Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.
Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.
Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order.
"Enggak ada penambahan yang order ya Sis, jumlahnya masih sama dengan jumlah hari ini?" tanya Arga sembari netranya tetap fokus melihat ke arah layar monitor.
"Iya Pak, masih sama."
Arga mengangguk, tangannya masih fokus ke mengarahkan mouse pada layar. "Oh ya, untuk menu katering minggu depan, sekalian langsung share ke pelanggan di hari jumat aja ya, terus juga share ke i*******m kita. Tinggal share dan posting aja, karena saya sudah buat designnya. Kamu tinggal cek di folder menu aja. Kita sharenya setiap jumat aja sekarang," jelas Arga.
"Siap Pak Arga, " jawab Siska tapi kemudian ia tampak merintih.
"Kamu kenapa Siska?"
Siska menggigit bibirnya sembari tangannya seperti meremas perutnya. "Kayaknya saya mau haid ini Pak, biasanya emang sakit begini." Tanpa rasa malu-malu, Siska menyebutkan akan perihal masa datang bulannya itu. Padahal, biasanya perempuan akan malu dan ragu bicara secara terus terang tentang hal seperti ini.
Mendengar jawaban Siska, Arga hanya terdiam. Jika perempuan yang di depannya ini adalah Melani yang sudah pasti adalah istrinya, tentu saja Arga akan dengan sigap untuk membantu Melani dan segera menyiapkan semuanya seperti biasa saat Melani lupa dengan jadwal menstruasinya yang malah justru Arga lebih hafal.
"Kamu ke kamar mandi aja dulu, meja kasir biar saya yang jaga,” kata Arga pada Siska.
"Makasih Pak." Siska segera bergegas untuk ke kamar mandi sambil membawa tasnya. Namun, sialnya Siska lupa tidak memiliki persediaan pembalut di dalam tasnya. Tanpa pikir panjang, akhirnya Siska pun mengirimkan pesan di nomor Arga yang pernah disimpannya.
Arga yang masih mengecek jumlah rekapan order, berjengit kaget saat ponselnya bergetar. Ia pikir dari Melani. Namun, dahinya mengerut saat melihat nama si pengirim pesan.
Siska : Pak Arga, boleh minta bantuannya Pak? Saya bingung karena tidak punya persediaan pembalut.
Arga mengerutkan dahinya dengan pesan Siska tersebut. Berulang kali ia bahkan terus membaca pesan tersebut, berulang kali pula Arga seakan bergelut dengan pemikirannya. Harusnya hal ini sangat tidak etis bukan? Seorang perempuan yang bukan mahram, meminta bantuan tentang hal-hal pribadi seperti ini. Namun, Arga hanya mengambil sisi postifinya, mungkin Siska hanya spontan, mengingat tadi sebelum gadis itu ke kamar mandi untuk mengecek keadaanya, hanya Arga yang tahu apa yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya ia pun memutuskan apa yang harus dilakukannya.
Arga memanggil salah satu pegawai yang ia percaya untuk menjaga kasir, lalu naik ke atas ruangannya, mencoba mengecek di dalam lemari, apakah ada persediaan pembalut Melani. Karena beberapa kali, Melani sempat tak sengaja bocor saat berada di kedai, sehingga saat itu Arga berinisiatif untuk membelikan persediaan celana dan pembalut juga beberapa pakaiannya dan Melani. Setelah menemukan benda yang ia cari, Arga segera menghampiri Siska yang masih berada di dalam kamar mandi.
Arga mengetuk pintu kamar mandi di lantai atas dengan pelan, karena bagaimanapun Arga merasa malu dan tidak seharusnya ia begini. Berulang kali Arga menegaskan dalam hatinya, bahwa yang dilakukannya hanya sekadar membantu dan tidak terpikirkan hal-hal yang lain. "Siska, maaf ini ada perlengkapan yang bisa kamu pakai. Ini punya istri saya tapi masih baru."
Beberapa lama tidak ada suara terdengar dari dalam kamar mandi, hingga terdengar suara kenop pintu yang bergerak, Arga masih berdiri tepat di depa. Sekali lagi, ia tidak memiliki pikiran apa pun, membayangkannya pun tidak. Hanya saja, netranya tiba-tiba membeliak saat melihat bagaimana penampilan Siska saat membuka pintu tersebut, membuat Arga mematung dengan debaran jantung yang berdentam hebat.
Gadis itu mengulas senyum manis dengan jengah, namun tangannya menarik perlahan Arga untuk masuk ke dalam kamar mandi.
***
"Jadi gosip tentang Dara itu benar? Suaminya selingkuh dan minta izin buat nikahin selingkuhannya?" tanya salah satu teman Melani yang hari ini juga ikut berkumpul di acara sesama penyiar atau mantan penyiar radio di Bandung.
"Iya. Kasihan Dara. Dia resign kan dari pekerjaannya, karena dia juga harus ngurus anak kembarnya, udah jadi ibu rumah tangga kerja penuh di rumah eh disakitin suami. Kan geblek itu lakinya."
"Terus Dara sekarang gimana? Ngasih izin?"
Temannya itu menggeleng dan kembali melanjutkan ceritanya dengan antusias. "Dara nggak mau. Dia tetap ngotot minta pisah. Yang paling gebleknya lagi itu, keluarganya malah marahin Dara katanya malah kasihan sama anak-anak kalau Dara sampai cerai terutama masalah ekonomi. Ya kalian tahu lah, gimana toxic-nya keluarga dia, apalagi kalau soal materi."
"Lalu langkah Dara apa? Suaminya memang sampai pernah berhubungan badan dengan selingkuhannya?" kali ini Melani ikut bertanya. Selain tidak menduga dengan apa yang terjadi pada Dara, Melani ikut merasakan sesak napas tentang perselingkuhan suami temannya.
Almarhum papanya adalah sosok yang paling Melani sayang dan teladani. Papanya tidak pernah neko-neko. Memiliki ilmu yang luas serta bijaksana, bahkan papanya sangat setia pada sikap mamanya yang bagi Melani menyebalkan.
"Menurut pengakuannya sih enggak pernah sampai tidur, tapi udah kayak sayang ke pelakor dan susah buat ninggalin juga, tapi nggak mau buat ceraikan Dara, karena katanya juga masih sayang Dara dan anak-anak. Tapi ya, namanya selingkuh kalau udah kayak gitu, udah jelas kan nggak lagi cinta."
"Kena pelet kali, orang mana sih tuh pelakor?" timpal temannya yang lain.
"Pegawai suaminya di kantor, masih gadis unyu-unyu, anak magang baru lulus kuliah lho, mana pakaiannya tuh syar'i banget! Gila kan, kepalanya yang tertutup nggak bisa nutupin hati dan pikirannya buat nggak ngambil milik orang lain."
"Wah berpendidikan dong, aku kira yang kayak lagi viral itu sama nanny-nya."
"Geblek lah emang lakinya Dara."
Melani hanya terdiam. Ia memikirkan bagaimana Dara bagaimana bila itu dirinya. Dara yang bisa memberikan sepasang anak kembar bisa diselingkuhi oleh suaminya, bagaimana bila itu dirinya yang hingga saat ini belum juga diberikan tanda-tanda kehamilan.
"Kenapa Mel? Cemas gitu? Ke-trigger ya sama kondisi Dara?" tanya temannya secara langsung.
"Tenang Mel, kayaknya Arga mah setia dan nggak neko-neko, lagian juga kalian kerja bareng ngerintis usaha bareng, suami bisa diawasin penuh dan kerjaannya kita juga tahu kebiasannya gimana, jadi peluangnya kecil buat macam-macam kan si Arga."
"Bener sih, tapi tetap aja aku khawatir. Tahu nggak sih, mama aku sering banget menekan kita buat ikut promil atau bayi tabung gitu, dan katanya sekalian juga buat ngecek apakah salah satu dari kita ada yang salah atau gimana," tutur Melani.
"Menurutku itu sih nggak masalah Mel, lakuin aja saran mama kamu, enggak ada yang salah dengan promil kan, yang penting kalian siap dan tahu risikonya kalau udah keluar hasilnya terutama bila ternyata salah satu di antara kalian infertilitasnya bermasalah."
Melani mengangguk. Dalam hati ia bergumam dan membenarkan ucapan Anya--temannya itu.
Hanya saja, rasanya Melani masih bingung harus memulai dari mana dan apa tahapannya bila ia harus melakukan program kehamilan. Lima tahun pernikahan yang sudah dijalaninya tidak pernah ada riak besar. Dan yang paling Melani takutkan adalah program kehamilan ini justru akan membuat badai di rumah tangganya.
Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu. Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan. "Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu. Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya. "Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga. "Cocok kan tapi?" Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melan
Bab 7 Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak? Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang. "Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup." Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin. "Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan. Melani mengangguk dan netranya berkaca-kac
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang
"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi. "Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali. "Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur. "Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani. "Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bu
Bab 7 Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak? Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang. "Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup." Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin. "Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan. Melani mengangguk dan netranya berkaca-kac
Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu. Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan. "Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu. Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya. "Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga. "Cocok kan tapi?" Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melan
Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order."Enggak ada penambahan yang order ya Sis,
"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi. "Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali. "Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur. "Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani. "Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bu
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang