Bab 7
Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak?
Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang.
"Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup."
Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin.
"Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan.
Melani mengangguk dan netranya berkaca-kaca. Mereka berdua pun memutuskan untuk tidak memberi tahu terlebih dulu pada kedua orang tua mereka, untuk mencegah beragam reaksi yang akan muncul setelah hasilnya keluar.
Melani dan Arga berusaha agar tetap menyelesaikan masalah mereka dengan kepala dingin dan tanpa campur tangan keluarga.
"Arga?" suara bariton dari samping kiri memanggil nama Arga, sontak Arga menoleh dan berusaha mengingat siapakah yang sedang memanggilnya.
"Lupa? Rifki ini mah, yang dulu di kelas 3 IPA 1, kumaha, inget keneh teu?"
"Oh, Rifki, sugan teh saha. Damang, Rif?" Arga bertanya akan kabar Rifki hingga mereka saling berjabat tangan dan memeluk.
"Alhamdulillah baik, lagi periksa?" tanya Rifki langsung yang sudah menduga kedatangan Arga yang mungkin sama dengan pasangan suami-istri lain.
"Iya, tapi ini pertama kalinya kita ke sini, baru coba," jawab Arga.
"Enggak apa-apa namanya juga ikhtiar. Sudah berapa tahun nikah?"
"Tahun ini mau masuk tahun kelima Rif, kerja di sini?"
"Alhamdulillah ya, sudah menikah, aku nih masih jomlo. Aku bagian laboratorium." Kemudian Rifki mendekat dan berbisik ke arah Arga. "Aku neliti sperma orang tapi sperma sendiri aja belum pernah membuahi."
Bisikan kalimat Rifki membuat keduanya saling tertawa lepas. Lalu Arga meraih tangan Melani dan menyuruh istrinya itu untuk berdiri. "Kenalin Rif, ini istriku namanya Melani."
"Melani," ucap Melani yang memperkenalkan dirinya. Rifki menelisik Melani dari atas hingga bawah. Suara Melani seakan tak asing di telinganya.
"Ini Melani si Mel yang mantan penyiar radio A itu kan?" tanya Rifki yang tampak berbinar setelah menerka siapa Melani.
Arga mengangguk mantap dan terlihat angkuh. Tangannya segera meraih pinggang istrinya itu.
"Wah keren ya, aku suka lho dengerin dulu pas masih jadi penyiar, pernah juga kan siaran malam sampai jam dua pagi? Nah paling suka pas dengerin di jam itu, apalagi waktu enggak bisa tidur," ujar Rifki.
Melani menyelipkan rambutnya di telinga. Sedikit banyak, ucapan Rifki membuatnya tersanjung karena masih diingat sebagai penyiar. Profesi yang disukainya tapi juga harus ia tinggalkan.
"Terima kasih, masih ingat dengan penyiar amatiran ini," kilah Melani tapi wajahnya masih tersipu.
Arga berdeham cukup keras membuyarkan nostalgia penyiar dan pendengar yang agak mengganggu bagi Arga. "Prosesnya bakal lama enggak Rof untuk pemeriksaan?"
Pertanyaan Arga membuat Rifki kembali ke mode serius dan menghentikan senyumnya yang masih terpesona pada sosok asli Melani.
"Sesi konsultasi terlebih dulu, baru nanti akan dijelaskan serangkaian tes yang harus dijalani pasangan suami-istri," terang Rifki.
"Hasilnya bisa kita ketahui kapan?"
"Tergantung serangkaian tesnya, tapi klinik kami ini punya regulasi kalau hasil tes akan diberikan secara menyeluruh, jadi tidak satu tes langsung hasil keluar dan dipegang klien, tapi setelah semua proses tes dan uji laboratorium keluar maka kami akan segera menyerahkannya pada dokter lalu dokter lah yang memiliki kewajiban untuk menjelaskan kondisi klien dari hasil laboratorium lalu nanti akan menyarankan terapi atau obat apa saja yang harus dikonsumsi dan dilakukan."
Penjelasan panjang lebar dari Rifki membuat Arga mengangguk. Ia pun semakin erat mengenggam tangan Melani, seolah menyalurkan rasa gugup yang kini pun mulai menyergap Arga.
***
Kini, Arga dan Melani sudah duduk di ruang konsultasi dokter dan dijelaskan mengenai serangkaian tes yang harus dijalani keduanya.
"Prosesnya cukup panjang ya Dokter?" tanya Melani yang ditanggapi senyuman dari dokter laki-laki itu.
"Memang panjang, Bu, karena kami harus meneliti secara keseluruhan pada bagian-bagian yang memengaruhi fertilitas pria maupun wanita. Prosesnya pun tidak bisa langsung satu hari. Beberapa tes seperti urine, darah dan trans vaginal melalui pengecekan kondisi seviks juga tes jari pada panggul. Tes yang saya sebutkan di atas, bisa satu kali waktu dijalankan. Jika ibu sudah siap, Ibu dan Bapak bisa menandatangani surat pernyataan persetujuan untuk melaksanakan program kehamilan dan uji laboratorium sehingga kami bisa segera memrosesnya."
"Kalau untuk laki-laki bagaimana, Dok?" kini Arga yang bertanya.
"Untuk laki-laki tesnya tidak jauh berbeda Pak, yang membedakan adalah adany tes uji sperma. Nanti kami akan sediakan ruang ejakulasi, di sana klien bisa memroses untuk menghasilkan sperma dan harus ditampung dalam wadah yang kami sediakan. Bila tidak nyaman di ruang ejakulasi, boleh dilakukan di tempat lain dengan membawa wadah yang sudah kami sediakan. Tapi harus segera diantar ke klinik kami, sebelum satu jam pasca sperma berada di ruang terbuka. Karena, untuk menguji kualitas sperma dan menghasilkan yang akurat harus tidak lebih dari satu jam. Karena itu di klinik bayi tabung dan fertilitas, biasanya akan disediakan ruang ejakulasi. Tentunya boleh didampingi oleh istri, tapi tidak disarankan menggunakan pelicin atai sabun ya Pak, karena jelas zat yang terkandung di dalamnya pasti akan bercampur dengan sperma dan pastinya akan membuat hasil sperma akan tidak jelas."
Melani dan Arga menyimak dengan baik penjelasan dari dokter laki-laki paruh baya tersebut. Mereka saling bersitatap dan meyakinkan diri akan keputusan yang diambil mereka berdua. Tangan Melani dan Arga saling bertaut. Melani bahkan agak meremas genggaman Arga hingga membuat suaminya itu menoleh ke arahnya.
"Gimana, tetap lanjut?" tanya Arga yang masih melihat keraguan juga ketakutan di wajah Melani.
"Kalau kamu yakin, aku juga bismillah yakin, Mas," jawab Melani.
"Kalau gitu kita tanda tangan sekarang, ya?"
Melani menganggu kemudian Dokter tersebut menyodorkan format persetujuan dalam menjalani serangkaian tes dan program kehamilan.
Melani hanya bisa berdoa dan berharap, bahwa apa pun hasilnya, tidak akan menggoyahkan rumah tangga mereka berdua.
***
Satu minggu setelah proses rangkaian tes yang dilakukan oleh Arga dan Melani, dan hari ini lah mereka akan mendapatkan hasil dari ikhtiar mereka. Semenjak pulang dari klinik tersebut, Melani dan Arga bahkan saling terdiam kemudian mereka tertawa bersama saat mengingat bagaimana penat dan lelahnya mennjalani seluruh tes tersebut.
Ruang ejakulasi adalah yang paling memalukan dari segala tes yang mereka lakukan. Bayangkan saja, ada sebuah ruangan kecil berukuran 3 meter x 3 meter, dan di dalamnya terdapat sebuah TV LED, pendingin ruangan, dan juga sebuah sofa single yang empuk, tebal dan nyaman. Tissue dan juga selimut pun disediakan. Arga dan Melani pun dibuat canggung. Bercinta di beberapa tempat bahkan mobil pun pernah dilakoni mereka, akan tetapi di sebuah ruangan yang memang sengaja dikhususkan untuk mengeluarkan cairan laki-laki tersebut, menjadi yang pertama bagi mereka. Sebelum masuk ke ruangan tersebut pun, Melani dan Arga kembali diperingatkan untuk tidak menggunakan mulut, pelicin ataupun sabun, jadi murni hanya memakai tangan. Tentu saja, peringatan dari perawat tersebut membuat Arga memerah bagai kepiting rebus. Namun, demi sebuah hasil ikhtiar yang mereka idam-idamkan, tentu Arga harus mengenyahkan rasa malunya.
Hari ini Melani dipaksa mama mertua Arga untuk ikut dalam acara peragaan busana di Jakarta, yang mana ibu mertuanya itu mengikut sertakan karya-karya rancangan dari butiknya. Sebenarnya, Arga sendiri sebenarnya tidak tahu bila hari ini karena baru mendapatkan panggilan dari Rifki mendadak pagi tadi setelah Melani berangkat. Jadwal mereka sendiri harusnya tiga hari lagi bertemu dengan sang Dokter. Namun, entah mengapa Rifki menelponnya dan malah mengajaknya bertemu saat di kantin klinik tersebut.
“Rif—“ sapa Arga pada Rifki yang tampak sedang mengaduk-aduk minumannya itu. Arga segera mengambil tempat duduk di depan Rifki dan segera langsung bertanya tanpa basa-basi. “Hasilnya sudah keluar? Kok enggak di ruangan dokter?” tanya Arga yang mulai cemas dan gugup tapi rasa penasarannya pun kian tinggi.
Rifki hanya menatap Arga dengan sorot mata yang tak mampu Arga baca.
“Kamu selama ini ada keluhan, Arga? Terutama saat berhubungan badan?” tanya Rifki entah apa tujuannya menanyakan hal yang sangat privasi itu. Arga menggeleng.
“Aku enggak membawa hasil laboratorium milikmu dan milik istrimu, tapi karena aku yang menguji hasil urine, darah, dan juga sperma, maka sedikit banyak aku tahu apa yang sedang terjadi.”
Arga semakin mengerutkan dahinya hingga membuat alis tebalnya itu menyatu. “Kenapa memangnya Rif?”
“Istrimu harus dikuatkan karena peluang kalian kecil hanya 20%.”
Penuturan Rifki membuat Arga lemas seketika. Kini, ketakutan pun membayanginya. Apa yang diucapkan oleh Melani ternyata benar, bahwa hasil dari laboratorium tersebut, akan bisa mengubah segalanya. Dan … kini Arga pun mengalaminya, ketakutan tersebut seakan perlahan dan nyata di hadapannya, seolah siap menerkamnya dan membabat habis keberaniannya sebagai seorang laki-laki dan kepala rumah tangga.
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang
"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi. "Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali. "Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur. "Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani. "Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bu
Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order."Enggak ada penambahan yang order ya Sis,
Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu. Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan. "Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu. Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya. "Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga. "Cocok kan tapi?" Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melan
Bab 7 Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak? Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang. "Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup." Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin. "Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan. Melani mengangguk dan netranya berkaca-kac
Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu. Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan. "Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu. Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya. "Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga. "Cocok kan tapi?" Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melan
Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order."Enggak ada penambahan yang order ya Sis,
"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi. "Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali. "Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur. "Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani. "Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bu
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang