"Rehan, bunda minta maaf ya, kadang-kadang bunda marah-marah, Rehan mau gak maafin bunda?" ucapku mengiba. "Iya Bunda, Rehan maafin kok," ucap Rehan seraya melanjutkan makannya. "Rehan mau gak tinggal sama bunda lagi, bunda sedih kalau jauh sama Rehan," ucapku memohon. "Kalau Rehan tinggal sama Bunda nanti giliran Ayah yang jadi sedih, Rehan juga nanti dosa kalau bikin Ayah sedih," ucap Rehan tampak berfikir. Aku bingung harus berkata apa, rasanya benar-benar ingin menangis tapi aku masih berusaha menguatkan diri. "Bunda tinggal bareng aja ya sama Ayah, biar baik semuanya, biar Rehan gak punya dosa sama Ayah atau Bunda, Bunda mau?" tanya Rehan memberi penawaran. "Tapi Bunda gak bisa ninggalin rumah nenek," ucapku beralasan. "Ooh, Bunda maunya tetap tinggal di rumah nenek?" tanya Rehan tampak berfikir. "Iyah..." jawabku seraya menganggukan kepala. "Rehan... " panggil Bayu seraya mendekat ke arah kami duduk. "Ayah sini Yah, Ayah mau es krim juga?" tanya Rehan antusias. "Nggak
"Rehan mau makan malam apa?" tanyaku pada Rehan dengan semangat. "Makan apem Bun, Rehan belum pernah makan apem," jawab Rehan semangat. "Apem? apem apa?" tanyaku bingung. "Bunda gak tau apem? apa Bunda juga gak pernah makan apem?" ucap Rehan kecewa. "Memangnya Rehan pernah liat apem di mana?" tanyaku penasaran. "Rehan belum pernah liat Bun, biasanya tante Arimbi yang nawarin Ayah buat makan malam apem,” jawab Rehan menjelaskan. “Kata Ayah apem lebih enak, karna itu Ayah akan langsung meninggalkan meja makan dan pergi bersama tante Arimbi untuk makan malam apem," lanjut Rehan dengan polosnya. "Jadi Rehan ditinggal dan makan sendirian? Ayah jahat ya," ucapku coba mempengaruhi. "Nggak Bun, Ayah bilang makan apem bisa membuat tenaga Ayah selalu kuat dan sehat,” ucap Rehan membela ayahnya. “Karna Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan maka Ayah perlu makan apem biar tetep bisa terus kerja, biar punya banyak uang buat Rehan," ucap Rehan menjelaskan. "Ayah biasanya pergi ke mana buat m
"Assalamu'alaikum Mbak Sari... " ucap Nisa seraya masuk Rumah. "Wa'alaikumussalam... duduk Nis" jawabku seraya berjalan menuju sofa ruang tamu. "Mbak gak jualan? tumben, dulu katanya gak akan ada kata libur," ledek Nisa menggodaku. "Aku lagi gak mood nih," jawabku lesu. "Wah keren seorang Mbak Sari bisa bad mood," ucap Nisa seraya tertawa. "Kamu pikir aku malaikat atau bahkan robot?" ucapku pura-pura merajuk. "Ya gak gitu Mbak, dulu kan Mbak Sari semangat banget, kaya gak ada kata capek," ucap Nisa. "Semuanya demi anak-anak Nis, sekarang kan aku gak sendiri ada Bapaknya anak-anak juga jadi aku bisa sedikit istirahat," ucapku seraya menyandarkan badan ke sofa. "Iya benar, demi anak-anak pasti akan kita lakukan apapun ya Mbak," ucap Nisa tampak sedih. "Kamu masih belum ketemu Rehan?" tanyaku khawatir. "Udah kok, semalam Rehan nginep di rumah, ini juga dari nganter dia sekolah," ucap Nisa lemes. "Trus kenapa gak semangat gitu, mestinya seneng dong udah ditungguin dari kemarin
"Haah kesal sekali rasanya," gumamku seraya membuka pintu Rumah. "Lho Rehan kok kamu di rumah?" tanyaku bingung. "Bunda gimana sih, hari ini kan Rehan memang pulang cepat, kan sudah di umumkan di grup kelas," ucap Rehan kesal. "Oh yah," ucapku seraya buru-buru memeriksa HP. "Oh maaf ternyata HP Bunda mati," ucapku seraya menunjukan layar HP. "Bunda mikir apa si, sampe-sampe HP mati aja gak tau," kata Rehan dengan emosi. "Ya maaf maaf besok-besok Bunda bakal lebih teliti lagi, Bunda buatin makan ya, Rehan mau makan apa?" tanyaku coba merayu. "Rehan udah kenyang udah makan tadi," jawabnya acuh. "Rehan makan apa sayang?" tanyaku lembut. "Makan pizza, aku habisin sendirian satu box Bun," jawab Rehan semangat. Aku senang melihatnya bahagia, tapi aku kesal karena Bayu terus saja memberinya makanan tidak sehat begitu. "Bunda mau makan pizza? Rehan sisain sepotong tuh buat Bunda," ucapnya antusias. "Oh ya mana? anak Bunda baik banget si, sampe nyisain pizzanya buat Bunda," ucapku
Sebulan kemudian. "Mbak Sari saya titip Ani ya, saya mau pulang ke kalimantan, minta tolong barangkali Ani butuh apa-apa," ucap Pak Ustadz ketika datang mengunjungi Ani di rumah sakit. "Oh iya Ustadz inshaAllah, maaf Ustadz kok mendadak sekali keluarga baik-baik saja kan di sana?" tanyaku khawatir. "Alhamdulillah baik, sebenarnya gak mendadak, waktu itu kami sudah merencanakan ingin berziarah ke Bapak, sekalian minta ridhonya Bapak untuk pernikahanku dengan Ani," jawab Pak Ustadz. "Ooh, nggak nunggu Ani sehat biar bisa ikut sekalian?" tanyaku berbasa-basi. "Iya tadinya mau bareng Ani sekalian, tapi kemudian Ani sakit jadi kami menundanya, tapi Ibu katanya ingin berziarah sekarang jadi kami pergi berdua dulu, nanti kalau Ani sudah bisa pergi kami pergi bersama," jawab Pak Ustadz menjelaskan. "Oh Iyah, kapan Ustadz mau berangkat?" tanyaku sopan. "Dari sini saya mau langsung menuju bandara, masih ada waktu 45 menit jadi saya sempatkan jenguk Ani dulu, kalau Ibu sudah berangkat dul
"Assalamu'alaikum... " ucap mas Bagas masuk rumah. "Wa'alaikumussalam," jawabku dengan tetap meneruskan aktifitasku. "Kopi ya Dek," pinta mas Bagas. "Sejak kapan manggilnya Dek lagi," ucapku acuh. "Kok kamu ngomongnya gitu si Dek," ucap mas Bagas seraya mendekat dan memelukku dari belakang. "Awas Mas ah, aku lagi masak susah kalo kamu deket-deket gini," ucapku seraya menyingkirkan tangannya. "Kamu kok pelit amat dipeluk aja, disingkirkan gini," keluh mas Bagas seraya merangkulkan tangannya di pundakku. "Aku lagi masak Mas, susah jadinya, kamu tidur aja sana, kamu udah gak tidur semalaman kan?" usirku dengan halus. Entah kenapa aku masih kesal. Aku merasa jengkel dan gak mau dekat-dekat sama mas Bagas. Mas Bagas baru bangun tidur dan langsung menghampiriku di ruang tengah. "Kamu keliatan capek banget Dek," ucap mas Bagas seraya memijatku.Aku yang sedang melipat pakaian hanya diam menikmati pijatannya. Pijatannya terasa begitu nyaman di pundakku. Akupun merubah posisi duduk
"Jadi maksud dan tujuannya adalah kamu menikahinya lagi?" tanyaku dingin. "Dia itu tidak punya siapa-siapa Dek, aku gak tega membiarkannya Dek," ucap mas Bagas seraya merubah posisi duduknya menghadap ku. "Kenapa harus kamu? dia bisa menikah dengan siapapun kan, gak harus kamu," ucapku dingin seraya membuang muka. “Tentu saja tidak harus denganku jika memang ada orang lain, tapi sekarang orang lain itu sudah tidak ada,” ucapnya tegas. “Tinggal nunggu ada orang lain lagi, laki-laki bukan hanya kamu Mas, gak harus kamu!” jawabku keras. "Karena anak yang dikandungnya adalah anakku, aku masih wajib bertanggung jawab atas anak itu kan?" ucap mas Bagas seraya menggenggam tanganku erat. "Bertanggungjawab gak harus menikahinya kan? kalau memang mau merawat anaknya maka rawatlah tak perlu menikahinya," ucapku kesal seraya melepas genggaman tangannya. "Mana mungkin dia mau menyerahkan anak itu begitu saja, dia orang tua yang tanggung jawab dia pasti akan berusaha merawat dan melindungi a
Kami langsung menuju ruang ICU dan menunggu di depan pintu ruangan. Mas Bagas terus saja mondar-mandir tak tenang. Begitupun aku yang duduk dengan rasa cemas yang tak jelas. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya mas Bagas panik kepada Dokter yang baru ke luar ruang ICU. "Alhamdulillah, sepertinya semangat hidup Bu Anita memang sangat besar, sehingga keadaanya cepat membaik," ucap Dokter lega. "Alhamdulillah, apa kami boleh menjenguknya Dok?" tanya mas Bagas tak sabar. "Kami akan segera memindahkannya ke ruang rawat, Anda boleh menemuinya, nanti setelah di ruang rawat," jawab Dokter menjelaskan. "Baiklah Dok, terimakasih" ucap mas Bagas terlihat lega. "Setelah ini jagalah perasaannya agar tetap tenang dan senang, jauhkan dari berita-berita buruk," ucap dokter berpesan. "Oh iya baik Dok," jawab mas Bagas dengan penuh keyakinan. "Batasi semua informasi yang bisa membuatnya sedih atau cemas, dan sebaliknya berilah berita yang sekiranya membuatnya bahagia dan semangat," ucap Dokter ser