Isabel tercengang dengan pernyataan Andra.
Isabel terbelalak mendengar pernyataan Andra yang tiba-tiba. "Tuan Andra, apakah Anda sadar dengan konsekuensi dari keputusan ini?" tanya Isabel, suaranya terdengar khawatir. "Kapal Danore adalah aset paling berharga kita. Kapal itu menyumbang pendapatan sebesar 1 miliar dolar setiap bulannya. Mengapa Anda menukarnya dengan lahan, tanpa mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi?" Andra mengangkat wajahnya, menatap Isabel dengan tatapan tajam. "Tentu saja aku harus melakukannya, apanya yang salah? Aku bisa memutuskan yang kuanggap perlu." Ditatap begitu, Isabel menelan salivanya. Sikap arogan Andra sepertinya seringkali tertuju padanya. Sebenarnya ia tak mengerti alasan Andra sering bersikap kSetelah memasuki ruang pertemuan, Andra terkejut melihat begitu banyak wajah-wajah familiar. Ternyata, hampir seluruh dewan direksi, komisaris, dan staf keuangan perusahaan sudah berkumpul di sana. Matanya langsung mencari sosok Isabel. Ketika menemukannya, ia langsung menghampiri wanita itu. "Ada apa ini? Kenapa aku tidak diberitahu tentang pertemuan ini?" suaranya meninggi sedikit. "Tuan, saya sudah mencoba menghubungi Anda berkali-kali," jawab Isabel dengan tenang. "Seharusnya kau memberitahuku lebih awal!" bentak Andra, meskipun berusaha menahan emosinya. Beberapa pasang mata tertuju pada mereka. Isabel diam saja. Ia tahu bahwa Andra sengaja
"Tenang saja, kau tetap berada di posisimu, tapi kau tidak boleh ikut campur dalam proyek Andromeda." Isabel kembali menunduk lalu mengangguk patuh. "Aku mengerti," jawabnya pelan. Tentu saja, Isabel sedikit lega dengan penjelasan Andra. "Oke. Pergilah, dan terimakasih kopinya." Tiba-tiba suasana sedikit mencair setelah Andra mengulas sedikit senyum untuknya. Ketegangan di ruangan itu seketika menghilang.Isabel merasakan déjà vu. Perasaan familiar ini pernah ia rasakan sebelumnya. Seolah-olah ia sedang menjalani skenario yang sama berulang kali.
Andra melihat rincian schedule hari ini. Perhatiannya terpaku pada sebaris catatan pertemuan dengan utusan perusahaan Lucky Lucky, perusahaan mantan istrinya. "Kenapa ada pertemuan dengan perusahaan ini?" Andra menanyakan pada Zack, asisten barunya. "Aku tidak tau, Isabel yang memberiku catatan ini. Sepertinya mereka juga membuat reservasi makan siang di restoran ternama." "Apakah menurutmu ini pertemuan pribadi?" Andra sedikit cemas, terlihat jelas di wajahnya. "Ah kau ini, jelas itu atas nama perusahaan. Kau saja yang masih baper," omel Zack. "Benar juga, aku cuma
Kegagalan Sofi membujuk Andra membuat Sera sangat kecewa. "Sofi, gunakan otakmu, kau harus mendapatkan setidaknya satu proyek yang berkolaborasi dengan perusahaan Andromeda. Riko sudah mendapatkan informasi, proyek ini adalah Mega proyek yang menjanjikan." Sofi mengerucutkan bibirnya, "Kau juga lihat tadi bagaimana aku berusaha, tapi sepertinya dia memang tidak butuh." "Tidak mungkin! Aku yakin jika kau sedikit merayunya dia akan luluh padamu. Aku masih bisa merasakan tatapan matanya kepadamu. Aku yakin dia masih mencintaimu!" Sofi sedikit tersentak, ia meragukan asumsi Sera, tapi... ucapan itu sepertinya masuk akal.
Tawaran Zack membuat Zein benar-benar gugup. Bagaimana tidak, ia sudah berjanji mentraktir Isabel makan siang. Berterus terang pada mereka berdua sepertinya bukan ide bagus. Apalagi kalau mengajak mereka makan bareng, rencananya pasti berantakan. "Ada apa denganmu, Zein? Lo beneran mencurigakan hari ini, apa ada sesuatu?" tanya Zack, matanya menyipit penuh selidik. Zein menggaruk-garuk kepalanya, gugup. "Ah, enggak kok. Masalahnya aku sudah janjian makan siang sama temanku..." "Sama cewek?" sela Zack dengan nada menggoda. Zein hanya bisa mengangguk pasrah. "Wow, itu sebabnya kau kelihatan gugup sekali," sahut
Zack hanya bisa menggelengkan kepala melihat perdebatan itu. Sepertinya tidak ada gunanya lagi untuk ikut campur ketika Andra sudah bersikap seperti ini. Isabel menatap Andra dengan tatapan tidak percaya. "Tuan Muda, hari ini saya harus menemani Tuan Daren dan Nyonya ke desa. Saya rasa Zack bisa menggantikan saya untuk tugas-tugas lain," usul Isabel dengan tegas. Andra mengerutkan kening, namun ia sudah memiliki rencana lain. "Tidak perlu khawatir, Ayah akan pergi sendiri hari ini," tegasnya sambil berdiri dan berjalan menjauh. Isabel memutar tubuhnya searah gerakan Andra, lalu iapun mengejarnya tergesa. "Bagaimana bisa, aku yakin ayah dan ibumu tidak akan setuju. Kebiasaan ini sudah sejak lama dan beliau sangat membutuhkanku," banta
Di sebuah rumah tua yang usang dimakan usia, seorang wanita paruh baya tengah menatap cemas ke arah suaminya."Andreas baru saja mengirim pesan. Katanya, kapal-kapal di Sudan sering sekali dibajak. Kalau terus begini, bagaimana nasib kita?"Daren yang tengah menganyam bambu hanya diam menanggapi kecemasan istrinya. Uban di rambut Elena semakin kentara, menjadi saksi bisu dari segala kekhawatiran yang ia rasakan."Sudah saatnya Andra pulang. Dia sudah dewasa dan harus tahu segalanya. Dia satu-satunya harapan kita untuk meneruskan usaha ini," lanjut Elena, suaranya sedikit bergetar.Jemari Daren terhenti sejenak. Ia menatap jauh ke depan, seakan sedang menimbang-nimbang sesuatu. "Aku takut Gendon akan mencari masalah kalau tahu Andra, anak kita, yang akan mewarisi bisnis ini. Dia sangat serakah," gumamnya, raut wajahnya penuh kekhawatiran."Itulah sebabnya, semakin awal Andra tau, kita akan menyiapkan segala kemungkinan. Kita akan menjadikan Andra kuat mengatasinya."Jemari Daren terhen
"Cepatlah! Kenapa kau lambat sekali, Andra?" Suara wanita menggelegar di mansion megah, "Aku tak habis pikir, bagaimana Sofi bisa memilihmu? Apa kau menggunakan sihir?"Andra yang tengah sibuk di dapur memasak keinginan ibu mertuanya, menghela napas.Diabaikannya omelan Rose dan fokus pada masakannya.Sofi, yang biasanya mual dengan aroma udang, pasti akan merasa tidak enak jika tahu harus memasak ini.Itulah sebabnya Andra turun tangan."Kenapa diam saja, menantu tak berguna!" bentak Rose lagi karena Andra tak juga menjawab.Pria tampan itu menahan napas.Saat masakan matang, ia menyajikannya dengan tenang di hadapan ibu mertuanya.Sera, kakak Sofi, tampak masuk dengan hidung berkerut senang. "Wah, harum sekali! Ibu kok bisa marah-marah sih?" tanyanya sambil mengambil nasi lalu duduk di samping Rose."Ibu jangan terlalu memikirkan satu menantu. Biarkan Sofi sadar sendiri," ujar Sera.Andra menatap tajam Sera, "Selama ini, Sofi sadar akan pilihannya. Dia tidak akan pernah menyesal."