Zack hanya bisa menggelengkan kepala melihat perdebatan itu. Sepertinya tidak ada gunanya lagi untuk ikut campur ketika Andra sudah bersikap seperti ini.
Isabel menatap Andra dengan tatapan tidak percaya. "Tuan Muda, hari ini saya harus menemani Tuan Daren dan Nyonya ke desa. Saya rasa Zack bisa menggantikan saya untuk tugas-tugas lain," usul Isabel dengan tegas. Andra mengerutkan kening, namun ia sudah memiliki rencana lain. "Tidak perlu khawatir, Ayah akan pergi sendiri hari ini," tegasnya sambil berdiri dan berjalan menjauh. Isabel memutar tubuhnya searah gerakan Andra, lalu iapun mengejarnya tergesa. "Bagaimana bisa, aku yakin ayah dan ibumu tidak akan setuju. Kebiasaan ini sudah sejak lama dan beliau sangat membutuhkanku," bantaBagi Isabel, melayani keluarga Daren adalah pengabdian terbesar dalam hidupnya. Ia tak perduli dengan resiko yang harus ia terima. Dia sadar sepenuhnya untuk mencapai tujuan dalam hidupnya saat ini. Akhirnya kendaraan yang mereka tumpangi melaju dengan tenang. Kegelapan yang menyatu dalam cuaca dingin, benar-benar membuat jarak pandang seperti dalam ruangan sempit. Tikungan tajam, jalan aspal yang berlubang tidak membuat Isabel ragu untuk melaju. Sepertinya tidak ada yang bisa memejamkan mata semua orang yang ada di dalam mobil itu, hanya ketegangan yang ada. Suasana mencekam, mengingat sebentar lagi mereka harus melewati bukit rawan di tengah malam. Tiba-tiba Isabel menepi di sisi jalan yang dipenuhi semak belukar. Terlihat iapun membuka sebuah koper yang ternyata berisi beberapa senjata. Andra sempat mendelik melihatnya. "Bersiaplah, kau harus bersiap dengan segala kemungkinan saat di jalan seperti ini," kata Daren sembari mengambil sepucuk pistol. Andra menelan
Ayahnya dan Isabel hanya tersenyum tipis karena Andra kebingungan. Menunjukkan Andra tak tau apapun resiko yang mereka hadapi saat ini sebagai orang terkaya. "Itulah sebabnya ayah ingin selalu bersembunyi, membiarkan semuanya tidak terlihat dan kita hidup seperti dulu lagi," pelan ayahnya. "Ayah selalu kuatir menjadi orang yang terkungkung dan waspada setiap saat. Ayah kuatir anakku tidak lagi memiliki kebebasan seperti dulu." Andra tertegun. Memang benar kebebasan itu sedikit demi sedikit menghilang dari hidupnya. Yang lebih mirisnya lagi Andra tak tau apapun dunia yang ditinggalinya saat ini. Musuh ayahnya, ancaman dan juga mungkin masih banyak rahasia yang tidak pernah ia pikirkan bakal dihadapinya. "Tapi kita tidak bisa lagi mundur
Andra tak menyangka pertemuan pertama setelah sekian lama dengan sang nenek berakhir dengan perdebatan. Dari sudut matanya, ia bisa menangkap keberadaan Isabel yang mengikutinya. "Jadi kau sudah tau rencana nenekku?" tanya Andra tajam. "Tidak, aku samasekali tidak tau." Isabel berdiri sedikit menjauh dari Andra. Ia mengatakan yang sebenarnya bahwa dirinya tak tau apapun soal percakapan tersebut. "Aku tidak sepenuhnya tidak tau, tapi aku tidak menyangka nenek akan membahas masalah ini denganmu. Sebenarnya mereka menjodohkan aku denganmu sejak tiga tahun yang lalu sebelum kau menikah dengan Isabel. Saat itu akupun menolak." Ini cukup aneh. Bagaimana Isabel mendapatkan tawaran itu lalu menolak? "Ah, jadi kau menolak? Dan sekarang setelah aku bercerai... kau pasti berharap kami bercerai bukan?"
"Hmm, aku mengerti," Isabel menjawab pelan. "Mengerti?" "Ya, aku mengerti kenapa Anda mengucapkan selamat. Bukankah Anda sedang mengatakan opsi yang lebih baik daripada perjodohan orang tua?" katanya, pandangannya terlempar keluar jendela, hanya gelap di sana. "Jujur, aku tidak terlalu memikirkan hal lain, bagiku mencari pembunuh ayahku lebih penting bagiku." Mendengar itu Andra merasa senang dan setuju dengan tujuan Isabel. "Benar juga, tujuanmu sangat mulia, aku bisa membantumu," kata Andra seolah itulah jawaban yang menguntungkan baginya. Setelah itu mereka hanya diam membisu, tidak ada percakapan sedikitpun. Pagi harinya setelah mereka tiba di rumah, tak sengaja Andra mendengar percakapan kedua orang tuanya di ruang makan. "Kalau saja kita punya dua anak laki-laki, aku akan memaksa salah satunya untuk menikahi Isabel." kata sang ibu sambil mengaduk teh untuk Daren. "Bagaimanapun kita tetap tidak bisa memaksa hati siapapun menerima keinginan kita," jawab suaminya li
Isabel sadar, tindakannya memang tidak sopan dan cenderung kurang ajar. Akan tetapi dia benci direndahkan. Rasanya sangat menyenangkan memberi Andra sedikit pelajaran. Sementara itu Andra sangat kesal karena Isabel berani bersikap seperti itu dan mengatainya pengecut. Memangnya siapa dia berani mengejeknya dan melawan? Akan tetapi tak bisa dipungkiri tatapan Isabel membuatnya terancam dan juga sentuhan wanita itu di dadanya. Seperti mendapatkan tanda bahaya, Andra langsung mendorong wanita itu menjauh. "Jangan asal sentuh, dasar tak tau diri!" omelnya. Isabel semakin kesal, iapun berbalik untuk meninggalkan Andra sendiri. Usai rapat, Sofi menemuinya. "Ide mu sangat hebat," puji Sofi setelah mengetahui secara keseluruhan proyek Andromeda yang dirancang mantan. "Aku bisa membayangkan berapa besarnya uang yang kau miliki untuk mewujudkannya." Sekarang Sofi bisa menghitung siapa Andra sebenarnya. Suami lemah yang dulu selalu dihina keluarganya, ternyata pria hebat sekaligu
Gendon mengeratkan rahangnya, kesal dengan sikap Isabel yang memihak keluarga Daren. Belum lagi sindiran Isabel yang menusuk jiwanya, mengingatkan kejahatan yang pernah ia lakukan. "Aku sudah melupakannya, tapi bocah sialan itu membuat hatiku tak enak," gumamnya pada dirinya sendiri. "Baiklah, kalian memang harus mendapatkan pelajaran." Dengan semangat yang berapi-api Gendon merencanakan sesuatu. Di area pemancingan, semua kolega Daren menikmati kegiatan mereka. Sambil berbincang bisnis mereka bersenang-senang di tepi danau, menikmati keindahan alam di sekitarnya. Tak ketinggalan Andra yang masih belum bisa memasang umpan hidup, iapun hanya menunggu Isabel memasang umpan miliknya. "Sudah apa belum? Lamban sekali," gerutu Andra mengalihkan pandanganya pada air danau yang jernih. Ia tak sanggup melihat hewan kecil di jari Isabel yang menggeliat di ujung mata pancing. Isabel tersenyum tipis dan melepaskan tali pancing, "Sudah," jawabnya singkat. Sama dengan Andra, Isabel
Isabel sengaja tidak memberi tau apa yang sebenarnya terjadi soal ayahnya dengan Daren ayah Andra. Ia ingin menyelesaikan semuanya sendiri tanpa ikut campur Andra. Permainan Gendon sepertinya sudah dimulai dalam penyerangan ini. "Bagaimana mungkin tidak punya musuh tapi seseorang menyasar ayahku? Apakah itu perbuatan paman Gendon? Kalian selalu memintaku berhati-hati dari paman Gendon padahal dia adalah ayahmu?" Isabel terdiam, ia tidak akan membuat Andra percaya dengan kesimpulan itu. "Ayahku sedang sibuk dalam pengiriman barang dan dia tidak tau soal kegiatan ini. Sebaiknya tidak terburu-buru berasumsi sebelum pelakunya tertangkap." Andra menatap Isabel sangat serius, "Jangan terburu-buru katamu? Padahal ayahku hampir mati?!" hardik Andra. "Andra, sudahlah, ayah baik-baik saja, ini bukan salah Isabel." Tak lama kemudian sebuah panggilan dari anak buah Daren terlihat di p
Selesai makan siang, Isabel mengemudi dengan tenang menuju perusahaan. Andra yang berada di sampingnya sesekali melirik Isabel. Saat itu tak sengaja melihat bekas luka yang berada di leher Isabel menggores samar. Akan tetapi Andra bisa tau apa yang menimpa Isabel saat ini. "Berhenti!" Andra seketika berteriak sehingga Isabel berhenti mendadak. Raut wajah Isabel keheranan dengan teriakan Andra yang mengejutkan padahal mereka baru saja keluar dari area parkir. "Ada apa dengan lehermu, Isabel?" tangan Andra mencekal lengan Isabel dan menariknya mendekat membuat Isabel meringis kesakitan. "Aukh!" rintihnya. Andra langsung melonggarkan cekalannya, sadar bahwa ia telah menyakiti Isabel. "Kamu terluka? Kenapa? Apa karena kemarin? Apakah parah?" pertanyaan Andra bertubi-tubi sementara Isabel semakin kebingungan. Isabel hanya bisa menatapnya karena Andra terlihat sangat kuatir. "Aku tidak apa-apa, ini hanya lecet," jawab Isabel santai, lalu kembali melajukan mobil. Andra yang p