Beranda / Pernikahan / Suami kedua Lebih Berasa / Bab 2. Pertengkaran Kami

Share

Bab 2. Pertengkaran Kami

Penulis: Mimi Lita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-18 11:17:30

Bab 2. Pertengkaran Kami

“Bangun Bun, bangun, kamu kenapa kok tidur di sini? Kamu mimpi apa kok sampai nangis?” tanyanya kepadaku sambil menyeka pipi basahku dengan tisu.

Aku menatapnya, tatapan sendu berurai air mata menggambarkan sedih hatiku. Aku bersyukur semua itu hanya mimpi dan walaupun hanya mimpi, tetapi hal itu terasa begitu nyata. Seolah menikam jantungku tanpa perasaan. Sakit dan sesak secara bersamaan.

“Mimpi apa, hum? Kenapa sampai nangis begini, kenapa tidur di sini? Nanti kamu sakit punggung loh,” ucapnya yang berusaha membujukku untuk mengatakan semuanya tentang apa yang aku alami di dalam mimpi di seperempat malam.

“Enggak bukan apa-apa,” jawabku kepadanya sambil mengusap sisa air mata yang masih terpampang di pipi mulusku.

Mimpiku semalam begitu jelas. Terasa begitu nyata, aku melihatnya bersama wanita dan seorang bayi laki-laki. Sayangnya, dalam mimpiku itu wajah wanita itu buram dan dia hanya diam sambil menggendong bayinya. Oh mengingatnya lagi membuatku merasa buruk. Aku merasa menjadi istri yang gagal.

“Bun, kalau ada apa-apa itu bilang. Kamu mikirin apa, kok sampai terbawa mimpi? Kata psikolog begitu, apa yang kita pikirkan secara berulang-ulang sebelum tidur itu akan terbawa ke alam bawah sadar sebab pikiran kita mengulangnya dan itu sama saja seperti diri kita memberikan sugesti untuk mengulang apa yang kita pikirkan tadi,” paparnya memberikanku penjelasan secara medis mengenai apa yang baru saja aku alami.

Iya, dia memang ada benarnya. Benar apa yang dia katakan mengenai sugesti dan juga cara otak memprogram pikiran manusia. Hhh … tapi tidak bagiku yang mempercayai teori lain bahwa mimpi adalah pesan. Karena tidak semua mimpi bisa kita ingat sampai membuka mata.

Bagiku, bila mimpi itu kosong, saat bangun maka kita akan lupa begitu saja. Seberapa kerasnya kita mencoba mengingatnya maka akan tetap tidak bisa ingat, tapi mimpiku ini? Sedihnya, sakitnya, sesaknya masih bisa ku rasakan dan bertambah sesak saat melihat wajahnya.

“Begitu ya? Mungkin karena aku baru saja menyelesaikan maraton drama semalam. Jadi sampai terbawa mimpi.” Bohongku dengan ku lampiri senyuman palsu pembungkus dusta.

Tangannya terulur mengusap surai hitamku. Dia lalu mengecup keningku dengan lembutnya. Di dalam matanya yang teduh itu aku tidak menemukan apa-apa. Kosong dan terlihat tak bisa lagi terbaca apa yang ia simpan di sana.

“Makanya, jangan melulu nonton drama aja. Kamu pasti selama aku pergi Cuma sibuk nonton drama ya? Cari kesibukan lain Sayang, sesuatu yang bermanfaat atau mungkin bisa menambah income,” ucapnya dengan lembut tetapi membuatku merasa tercubit dengan perkataan tersebut.

Ya, belakangan ini dia memang sering menyindir mengenai ini. Sayangnya pemikiranku dan dia bertolak belakang. Aku menganggur di matanya, tetapi di mataku aku ini sibuk luar biasa.

Semenjak menjadi seorang ibu, aku merasa diriku ini bukanlah diriku yang sebenarnya. Suamiku ini, sering menyindir mengenai income dan aku yang terus saja dia katakan harus mempunyai kesibukan lain. Entah ini dukungan atau memang baginya aku ini hanyalah suatu beban, aku tidak tahu.

“Aku ‘kan udah bilang Mas, aku mau fokus sama Gaffi dulu, nanti kalau dia sudah masuk SD baru aku akan mulai mencari kesibukan,” jawabku yang selalu saja sama dan mungkin saja jawabanku itu tidak bermakna baginya.

“Iya, tapi Gaffi itu sudah besar. Pagi ini saja dia membangunkan aku sudah dengan memakai seragamnya,” katanya yang membuatku baru sadar seberapa siang aku bangun.

“Astaga! Anakku, dia sudah berangkat Mas?” tanyaku yang baru saja ingat akan keperluan sekolah anakku itu.

Suamiku tersenyum lalu mencium pipiku. “Iya udah Sayang, tadi dia nyariin kamu, tapi aku urus dia. Aku juga udah antar dia, dia sudah besar sekarang, padahal belum lama aku mengajarinya berjalan.”

Dia berbicara layaknya ayah yang baik. Dulu aku sangat mempercayai semua perkataan dan tingkahnya di luaran sana yang dicap sebagai orang yang baik. Tapi sekarang? Setelah mimpi itu, aku jadi meragukan semuanya.

“Syukurlah, kalau begitu. Kamu mau makan apa Mas?” tanyaku padanya dengan membelokkan pembicaraan kami.

“Aku siang ini ada pertemuan dengan klien. Dia bisanya hari ini sebab besok sudah terbang ke Canada. Anaknya sakit katanya,” ucapnya dengan tatapan yang sulit kuartikan.

“Harus ya Mas? Tidak bisa kamu menyuruh sekretarismu mewakilkan?” tanyaku yang kesal saja. Baru kemarin dia pulang dan sekarang sudah harus pergi lagi.

“Sekretarisku itu masih bujangan, seminggu lalu dia kerja keras di kantor jadi hari ini dia merengek minta cuti. Pacarnya ngajak jalan katanya.”

“Ya sudah, kalau begitu.”

Jujur saja aku malas berdebat, malas juga mendengarnya alasannya yang entah mengapa bagiku itu hanyalah bualan saja. Tetapi Ibuku mengajarkan aku agar menghargai suami. Pengaruh mimpi itu sungguh membuatku jadi benci secara tiba-tiba terhadapnya.

“Kamu marah Nala?” tanyanya seraya memegangi tanganku dengan eratnya.

“Enggak, aku mau mandi aja. Hari ini kalau kamu mau pergi ya pergi aja, aku malas masak kalau kamu pergi. Biar nanti aku sama Gaffi pesan makanan. Males juga keluar, panas gini.” Bohongku sambil berlalu pergi setelah sebelumnya aku mencium pipi suamiku.

“Serius Sayang, kamu enggak marah? Tapi mukamu seperti itu,” ucapanya padaku sambil menyentuh wajahku dan aku secara reflek menepisnya pelan.

“Ini cuma kurang tidur aja kok,” kilahku yang kemudian berlalu pergi setelah manikku tak sengaja menatap canggung maniknya.

Aku pun mandi dan tidak lama aku juga mendengar deru mesin mobilnya. Dia memacu mobil itu dan pergi begitu saja. Aku terdiam memikirkan semuanya.

Tetes demi tetes air yang mengenai wajahku yang menengadah ini membuatku merasa sedikit relax. Aku masih saja memikirkan tentang mimpiku. Aku melihat pantulan wajahku dicermin.

“Apa iya suamiku selingkuh? Kenapa aku tidak bisa melupakannya? Apa arti mimpiku semalam?” Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Setelah mandi aku lalu memakai pakaian santaiku dan bergegas menjemput putraku. Lumayan lama aku menunggunya, hingga dia yang kutunggu akhirnya datang juga. Dia tersenyum dan berlari kecil dengan ceria seolah aku adalah rumah baginya.

“Bunda, lapar ....” ucap anakku dengan lembutnya.

Aku tersenyum dan kuusap pipi chubby yang merona karena terik matahari. Mungkin saja tadi anakku itu bermain di luar ruangan. Tidak bisa kupungkiri, aku pun merasakan hal yang sama. Aku juga lapar.

“Lapar ya? Kita pesan saja dan makan di rumah bagaimana?” tanyaku kepadanya yang kali ini terlihat tidak berselera.

“Bosan Bun, makan di rumah. Mau makan di luar, kita sudah lama tidak berjalan-jalan. Ayah selalu sibuk!” ketusnya yang membuatku tersadar.

Iya, selama dua bulan ini suamiku memang tidak punya waktu luang untukku. Selalu ada saja alasan untuk dia keluar rumah. Aku dan Gaffi selalu memberikan toleransi. Tetapi, bila terus seperti ini, aku rasa tidak akan baik.

“Begitu ya? Bagaimana kalau kita makan sekalian jalan-jalan di Mall?” tanyaku kepada putraku.

“Mau Bun!” serunya dengan binar kebahagiaan. Kakinya bergerak-gerak senang dan tangannya bertepuk riang.

Tidak ada yang lebih melegakan di dunia ini bagi seorang ibu selain melihat kebahagiaan pada buah hatinya. Melihat senyum dan tawanya membuat hatiku berbunga-bunga. Aku sangat senang bisa membuatnya seperti ini.

Sepanjang perjalanan kulihat dia bernyanyi. Kesenangan putraku ini begitu sederhana. Dia hanya ingin berkumpul dengan kedua orang tuanya. Hanya saja selalu ada hal bisa membuat kecewa, Suamiku dia sangat sibuk belakangan ini.

Kami sampai di mall dan hal pertama yang aku lakukan adalah membelikan dia pakaian. Mengganti bajunya dan setelahnya ku ajak dia memesan makanan. Namun, ada sesuatu yang membuatku terperangah.

Kudapati suamiku berjalan dengan seorang wanita hamil. Dia menggandeng tangan wanita itu dan mereka terlihat berbincang hangat. Tidak mungkin aku salah lihat, aku sangat hapal tubuh suamiku.

Tanpa terasa, mataku merasa panas dan air mataku luruh begitu saja. Kuambil ponselku dan kuabadikan apa yang ada di depan mataku. Setelahnya, kuhubungi dia.

Benar saja, dia adalah suamiku. Dia terlihat mengotak-atik ponselnya tetapi tidak mau mengangkat panggilanku. Ingin rasanya aku berlari ke arahnya dan ku luapkan segalanya. Namun, aku yang baru saja hendak berdiri seketika terhenti kala putraku mencekal pergelangan tanganku.

“Ada apa Sayang?” tanyaku sudah dengan luapan amarah, namun aku masih menjaga sikapku di hadapan putraku.

“Suapi Bun, aku takut kena duri,” ucapnya meminta bantuanku.

“Oh, maafkan Bunda ya? Bunda tadi haus dan mau ambil minum. Sampai lupa deh kalau ada Gaffi di sini,” kataku sembari memberikan senyuman termanisku.

Aku menyisihkan duri pada ikan itu tapi tidak duri dalam hatiku yang malah semakin banyak menancap dan melumpuhkan hatiku. Sebisa mungkin aku menjaga semuanya di hadapan putraku. Sebisa mungkin aku harus menjadi contoh ibu yang baik baginya.

“Bunda lihat apa?” tanyanya saat melihatku tetap menatap lurus ke arah jalannya mas Akbar bersama wanita hamil itu.

“Suamiku menghamili wanita lain?” geramku dalam hati. Dia yang ku nilai baik dan taat, pada nyatanya malah seperti ini.

Aku masih mencoba bersabar dan menguatkan diri. Anakku tidak boleh tahu soal ini. Jika pun harus sakit, cukup aku saja.

Aku tidak mau merusak hari dan kebahagiaan putraku. Dia begitu senang bermain bersama teman sebayanya yang baru saja dia kenal. Ya, anakku itu adalah anak yang ceria, dia juga mudah bergaul.

Siapa sangka di saat seperti ini, mataku menangkap sesosok wajah yang dahulu pernah singgah di hatiku saat remaja. Ryan, mantan kekasihku saat SMA. Entah ini mimpi atau bukan, tetapi harus ku akui, dia semakin tampan saja. Segera kupalingkan muka agar dia tidak melihatku. Jujur saja aku malu, dan juga aku masih ingin menjaga hati suamiku.

Walaupun, saat ini sudah sangat jelas di mataku, suamiku itu nyata-nyata berselingkuh. Oh, mengingatnya kembali membuat dadaku sesak. Ryan, semoga kamu bahagia bersama wanitamu. Harapku dalam hati.

***

“Sudah malam, tapi dia belum pulang. Aku yakin, dia saat ini tengah bersama wanita tadi! Penghianat kamu Mas!” Aku berteriak seperti orang gila di dalam kolam renang pada tengah malam. Kuluapkan semuanya di dalam kolam ini. Kudinginkan hati dan pikiranku dengan menyelam.

Kegelisahan itu masih melingkupi di saat suamiku belum juga kembali. Akhirnya aku mencoba menghubunginya namun tetap dia abaikan. Sampai ... Aku mengirimkan gambar tadi kepadanya.

“Selesaikan urusan kita dan silahkan urus wanita yang kamu hamili itu!” Tulisku pada pesan yang kukirim.

“Aaa...!” teriakku di dalam air sambil menangis menjerit-jerit. Setidaknya air kolam ini mampu meredam kerasnya jeritanku tanpa mengganggu tidur nyenyak putraku.

Setelah aku merasa puas dan tubuhku menggigil kedinginan, aku yang kacau mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Bersamaan dengan itu aku berpapasan dengan suamiku yang baru saja tiba. Dia terlihat terengah-engah dan mentapku nanar.

“Nala, aku bisa jelaskan semuanya. Kejadiannya tidak seperti itu Nala, kamu salah paham,” ucapnya yang masih mencoba berkelit.

“Salah paham? Salah paham katamu Mas? Aku yang salah paham? Sebutkan di mana letak salahnya aku!” bentakku padanya meski dengan suara yang bergetar dan mataku yang memanas dan berair lagi.

Dia mendekat dan mencoba menyentuhku. Segera aku menepisnya hingga tangannya terbentur pagar tangga. Iya, kami bertengkar di depan anak tangga menuju ke kamar kami.

“Nala! Aku bisa jelaskan!” dia berbalik membentakku.

“Apa? Apa yang kamu mau jelaskan? Tentang kamu yang sok baik dan nyatanya menghianati rumah tangga kita? Menghianati aku dan Gaffi? Salah apa aku sama kamu Mas?” cecarku tiada henti. Kuluapkan segalanya meski terasa begitu menyakitkan.

“Aku tidak seperti itu Nala! Tidak! Dari mana kamu dapat foto itu? Pasti itu hanya akal-akalan orang yang ingin melihat kehancuran kita! Itu hanya foto editan! Mana mungkin aku seperti itu Nala. Seharian ini aku bekerja,” ucapnya yang terus saja berkilah dan justru melimpahkan kesalahan kepada orang lain. Dia mencari pembenaran.

“Kamu bilang orang lain yang mengirim gambar ini yang ingin rumah tangga kita hancur?” tanyaku menahan ledakan amarah yang memenuhi dadaku.

“Iya, itu hanya foto rekayasa.” Lagi-lagi dia menekankan perkataannya bila semua itu hanya rekayasa.

Aku tersenyum miring dengan deraian air mata. Kutatap matanya tanpa berkedip dan, aku menampar pipinya sekuat tenaga.

Plak!

“Aku! Aku yang mengambil gambar ini! Apa untungnya bagiku merekayasa perselingkuhan suamiku? Aku melihatnya langsung, melihat kamu dan dia yang berjalan mesra. Kamu yang juga mengabaikan panggilanku. Puas kamu menghancurkan aku?” pekikku kuat hingga membangunkan putraku yang membuka pintu sambil menangis ketakutan melihat kekacauan yang kami lakukan.

“Ayah ... Bunda ....” lirih putraku memanggil kami sambil menangis memeluk bonekanya.

“Sayang,” kataku yang segera menyergapnya membawanya masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci pintu kamar.

“Bunda kenapa nangis?” tanyanya sambil mengusap bulir air mataku.

Perlakuan lembut putraku membuatku semakin tergugu. Bagaimana tidak? Wajahnya samar-samar mempunyai kemiripan dengan ayah kandungnya, dengan mas Akbar suamiku, yang satu menguatkan aku, tetapi yang satu meleburkan aku. Badai ini datang di saat aku terdampar dalam peluk kebahagiaan. Aku terlalu terlena dengan ketenangan sebelum hempasan badai ini.

“Nala! Buka pintunya!”

Teriaknya memekakkan telinga, suaranya menggema dan membuat putraku semakin ketakutan. Aku sudah muak dengan ini, begitu menyakitkan dan membuatku tidak bisa mentolerir. Janji pernikahan kami sedari dulu adalah, sesusah dan terpuruknya kami akan selalu menguatkan dan memaafkan kecuali perselingkuhan.

Sekarang ini, mungkin adalah waktunya bagiku untuk melangkahkan kaki dan menepati janji pernikahan kami. Apakah aku akan kuat?

Bab terkait

  • Suami kedua Lebih Berasa   Bab 3. Siapa Wanita itu

    Bab 3. Siapa Wanita itu Semalaman aku menangis, menyesali diriku yang selama ini terlalu bodoh dan terlalu mengandalkan pria. Pantas saja, Mas Akbar bekali-kali menyindirku untuk mencari kesibukan lain. Mungkin sebenarnya dia sudah muak melihatku terus menerus hanya bisa menengadah tangan mengharapkan uang darinya setiap bulan. Kupijit kepalaku yang berdenyut, pandanganku terasa sedikit tidak baik, apa yang kulihat buram. Oh, mungkin karena aku terlalu lelah menangis. Tetapi tidak saat aku menggunakan ponselku untuk mengaca. Rupanya pembuluh darahku pecah di bagian mata. Ya aku rasa hentakan ini terlalu kuat dan aku sangat frustasi. Tidak pernah sebelumnya aku mengalami hal seperti ini. Ayah dan juga ibuku memperlakukan aku dengan baik sedari kecil. Mau seperti apa mereka jika tahu rumah tanggaku kacau seperti ini. Mungkin hal yang sama akan terjadi pada ibu. Dia juga mempunyai riwayat darah tinggi dan aku menuruni penyakit itu. “Bunda kenapa matanya?” tanya putraku yang baru saja

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Suami kedua Lebih Berasa   4. Pertengkaran di Rumah Sakit

    Pertengkaran di Rumah Sakit Aroma karbol begitu menguar di penciumanku. Aku masih merasakan pusing di bagian kepalaku. Amat sangat pusing dan berdenyut membuatku merasa kesakitan meskipun hanya ingin berganti posisi. “Akh ….” erangku kesakitan saat aku berganti dari berbaring menjadi miring. Seketika itu juga ada tangan kekar yang membantuku. Aku sangat hapal dengan tangan itu yang di sana masih tersemat cincin pernikahan kami. Seketika itu juga aku menampiknya, kutampik sekuat tenaga dan menatapnya nyalang. “Kenapa kamu ada di sini? Pergi dan jangan ganggu hidupku lagi!” usirku padanya sebab aku masih merasa begitu muak dengan semua ini. Dia menatapku sayu, wajahnya terlihat kuyu, entah kenapa mungkin karena kurang tidur atau apa aku juga tidak tahu. Aku tidak berharap ataupun berpikiran kalau pria yang merupakan ayah dari putraku ini akan ikut bersedih atas apa yang menimpa hubungan kami. Sebaliknya, aku sangat yakin bila masalah ini bukanlah apa-apa baginya. Kemarin saja dia de

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-30
  • Suami kedua Lebih Berasa   5. Tidak Usah ditutupi Lagi

    Tidak Usah ditutupi Lagi“Kamu harus mengatakan hal ini kepada keluargamu Nala, ada apa kamu sampai takut mengatakannya? Mau sejauh mana kamu tutupi, mereka akan mengetahuinya,” kata Ryan yang berusaha menasehatiku agar aku mau bersikap terbuka kepada kedua orang tuaku.Aku mentapanya teduh dengan tatapan mata yang basah akan air mata. Bulir bening di mataku ini sudah tidak patuh lagi. Mereka meluncur begitu saja tanpa aba-aba dan aku benci ini mereka membasahi pipiku dan membuatku tampak lemah.“Yan, yang menjadi masalahnya adalah sedari awal hubungan kami ayahku itu tidak pernah setuju. Dia menentang hubunganku dengan Mas Akbar. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya kepadanya, maka dia akan memarahiku habis-habisan. Juga ….” Aku berhenti berbicara. Lidahku merasa kelu tiba-tiba aku merasa sudah terlalu banyak membuka aib keluargaku kepada pria lain. Apakah hal ini dapat dimaklumi dan dibenarkan dalam ag

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-01
  • Suami kedua Lebih Berasa   6. Piciknya Akbar

    “Katakan Yan, siapa wanita itu? Aku ingin tahu sekarang,” desakku kepada Ryan yang masih mendekapku.“Dia, dia adalah ….”Belum selesai Ryan berbicara, pintu ruang rawat terbuka dengan kasarnya suaranya keras dan membentur. Gaffi yang sedang terlelap pun sampai terbangun dan seketika menangis histeris. Iya, Mas Akbar datang lagi dan langsung dengan sekejap mata mendaratkan tinjunya lagi.aku yang melihat itu kali ini tidak tinggal diam. Dia terus saja melampiaskan semuanya kepada Ryan yang sebenarnya hanya ingin menolongku. Ryan memelukku karena ingin menenangkanku bukan karena niatan lain. Aku bisa merasakan ketulusannya.“Jangan Mas! Kamu apa-apaan main pukul aja sama dia? Dia enggak salah apa-apa!” bentakku dengan suara yang kupaksaan berseling dengan isak tangis yang tak bisa lagi kutahan.“Oh, jadi ini alasan kamu minta cerai Nala! Kamu diam-diam ada hub

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-02
  • Suami kedua Lebih Berasa   7. Rencana yang Meleset

    Melaju perlahan membelah jalanan. Kini aku tengah berada di dalam mobil Ryan. Dia berniat mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku menurutinya setelah Ryan lama membujukku. Membujuk aku yang keras kepala ini yang bersikukuh bisa menghadapi semuanya sendiri. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak kuat. Aku rapuh, sangat rapuh. "Kamu takut sama Om dan Tante?" tanya Ryan dengan maksud om dan Tante adalah ayah dan ibuku. "Iya Yan, aku sangat takut. Bagaimana kalau mereka menolakku? Bagaimana Yan? Sedangkan aku merasa terancam bila berada sendirian di rumah." "Apapun itu, hadapi Nala. Hadapi, kamu itu harus berani. Mereka orang tuamu, mungkin awalnya mereka akan menolak, tetapi pada akhirnya aku yakin bila mereka akan tetap menolongmu. Kamu itu anak kandungnya," ujar Ryan menguatkan aku, menambah setitik rasa berani di dalam diriku. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak memalukan berbuat seperti ini? Aku malu, bila harus merepotkan mereka sedangkan dulu saja aku menjauhi mereka

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-03
  • Suami kedua Lebih Berasa   8. Aku Berhutang Banyak

    Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, seba

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-04
  • Suami kedua Lebih Berasa   9. Wanita itu Tanteku

    “Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bis

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-05
  • Suami kedua Lebih Berasa   10. Agar semuanya lebih mudah

    “Entahlah Nala, sebelumnya aku sama sekali enggak pernah terlibat dengan kasus yang seperti ini. Dia memfitnahmu dan malah sengaja menyebarkan semuanya di media sosial. Akan seperti apa kebencian ayahmu terhadap ini? Oh iya, apa jangan-jangan kemarin dia juga yang menyampaikan berita ini sampai ibumu jatuh sakit?”Benar, aku tidak berfikiran sampai sejauh itu. Aku sama sekali tidak menduga bila Mas Akbar akan menjadi selicik ini. Sebenarnya untuk apa tujuannya memfitnahku? Buakanya seharusnya dia senang aku pergi tidak meminta dan membawa apapun darinya? Aku juga tidak menyebarkan berita ini ke sosial media. Tapi dia? Oh, kepalaku kembali berdenyut dan merasakan basah di sekitar hidungku.“Nala!” pekik Ryan yang terkejut melihat darah kembali mengucur dari hidungku.“Bunda, Bunda kenapa Om Dokter?” tanya Gaffi kepada Ryan yang merangkul tubuhku yang limbung.Ryan membawaku ke so

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-06

Bab terbaru

  • Suami kedua Lebih Berasa   63. Membesarkannya tidak harus bersatu (END)

    Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad

  • Suami kedua Lebih Berasa   62. Keindahan Masa Lalu tidak Akan Menghapus Luka

    "Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru

  • Suami kedua Lebih Berasa   61. Bagaimana Bersikap Dengannya

    61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem

  • Suami kedua Lebih Berasa   60. Kemarahan Ryan

    60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya

  • Suami kedua Lebih Berasa   59. Hari Pesta Pernikahan

    59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa

  • Suami kedua Lebih Berasa   58. Ganjalan di hati Nala

    "Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan

  • Suami kedua Lebih Berasa   57. Dalang dibalik semua kejadian lalu adalah dia?

    57. Siang itu, mereka diundang untuk datang memeriksa persiapan pesta pernikahan keduanya. Ryan dan Nala keduanya menuju ke kediaman Mama Ratna. Wanita paruh baya itu menyambut bahagia kedua anaknya tersebut. "Afi," sapa mama Ratna kepada Gaffi yang baru saja turun dari mobil. "Nenek!" Gaffi tak kalah senang melihat wanita paruh baya yang ia panggil nenek itu. "Lihat itu senang banget sama anak kecil. Kamu belum ada hasil juga? Aku udah enggak sabar," kata Ryan sembari terus mengusap lenganku. "Belum Yan, kamu kurang dalem nancepnya. Hahahaha," canda Nala sambil tertawa terbahak-bahak. "Enggak usah dalam-dalam aja kamu udah jerit-jerit. Hahaha," balas Ryan yang kemudian membuka pintu dan turun meninggalkan Nala yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ih, tapi memang dia bener sih. Setelah aku rasa-rasakan, sensasinya memang beda. Jauh dan tidak seperti pada saat aku bersama Mas Akbar. Punyanya lebih besar dan panjang." Nala membayangkan ukuran milik kedua pria itu. Ryan yan

  • Suami kedua Lebih Berasa   56. Sekotak Bangkai

    Pov 3. Setelah hari di mana Gaffi mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, setelah itu juga Akbar seolah menarik jarak dari ke duanya. Sebenarnya bukan hanya Gaffi yang Akbar rindukan, melanikan Nala juga. Rasa bersalah itu sangat besar. Membuatnya tersiksa. Terlebih setelah kejadian di mana dia berkelahi sampai di lempar dari lantai dua. Setiap malam Akbar selalu saja mengalami mimpi buruk. Tentang kejadian itu. Kejadian yang menyisakan trauma baginya. “A …!” teriak Akbar saat ia tiba-tiba terjaga. “Ada apa?” tanya bu Rohimah, ibu sambung Akbar yang menunggui Akbar di rumah sakit. “Kamu mimpi buruk itu lagi Bar?” Akbar terlihat panik dengan napasnya yang terengah-engah. Mimpi buruk itu membuat lelaki yang kaki dan tangannya patah itu ketakutan. Di setiap mimpinya dia seakan kembali pada saat kejadian. “Iya Bu, aku kembali lagi pada saat itu, sama persis dan aku melihat bagaimana lelaki itu mendorongku jatuh,” jawab Akbar masih dengan napasnya yang terengah-engah. “Semuanya ha

  • Suami kedua Lebih Berasa   55. Keputusan Gaffi

    55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila

DMCA.com Protection Status