Home / Rumah Tangga / Suami kedua Lebih Berasa / Bab 1. Bukan Biduk yang Sempurna

Share

Suami kedua Lebih Berasa
Suami kedua Lebih Berasa
Author: Mimi Lita

Bab 1. Bukan Biduk yang Sempurna

Author: Mimi Lita
last update Last Updated: 2022-11-18 10:21:48

Bab 1. Bukan Biduk yang Sempurna

“Mas, yakin besok mau berangkat?” tanyaku kepada suamiku yang sedari pulang kantor tadi sudah sibuk mempersiapkan segala keperluannya.

“Iya, pekerjaan ini sama sekali tidak bisa di tunda lagi Sayang, kamu tahu ‘kan bagaimana aku membangun usaha ini? Bagaimana susahnya kita waktu itu?” jawabnya yang membalikkan pertanyaan kepadaku dan mengingatkan aku akan betapa kerasnya perjuangan kamu dahulu saat membangun perusahaan yang nyaris tumbang.

Hanya saja, selama ini ada sesuatu yang mengganjal yang sama sekali tidak berani aku ungkapkan. Itu semua mengenai beberapa kali transaksi ke rekening pribadi seseorang yang tak sengaja aku temukan saat membuang sampah. Memang suamiku sering melakukan transfer, tapi untuk menggunakan rekening pribadi? Biasanya transaksi keuangan perusahaan itu juga dilakukan dengan rekening perusahaan dan divisi keuangan yang bertanggung jawab atas ini. Tetapi kali ini lain.

“Iya Mas, aku tahu. Kali ini ke mana tujuannya?” tanyaku padanya yang sebenarnya hanya ingin berbasa-basi saja.

Jujur saja aku masih kesal kepadanya. Karena besok adalah ulang tahun anak kami Gaffi, putra kami. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa berbuat banyak untuk anakku yang merengek agar ayahnya tidak pergi.

“Kali ini aku harus menemui klien ke Bali. Dia orang asing, jadi ya … aku harus sedikit mengalah kepadanya untuk tempat kami bertemu. Karena proyek ini sangat penting dan dia adalah rekan lama sekaligus relasi terbaik,” katanya yang membuatku merasa percaya.

“Sini, biar aku gendong Gaffi, kamu bersih-bersih dulu, aku mau minta jatahku sebelum berangkat. Oke?” ucapnya sambil mengedipkan mata dan menghadiahi keningku dengan kecupan manis.

Inilah dia sosok suamiku yang sering sekali aku banggakan di sosial media. Aku sering sekali memposting kebersamaan kami. Aku sering sekali menuliskan kata-kata manis dan ucapan terima kasih atas semua jerih payahnya. Dia pun sama, sering dia melakukan itu entah dengan tulus atau sekedar menutupi sesuatu. Bila sudah begini aku pikir tidak akan ada celah untuk orang ke tiga.

Seperti malam-malam biasanya, sebelum melakukan suatu hubungan kami selalu mempersiapkan diri. Aku dengan baju haram itu, dan dia selalu menghujaniku dengan cumbu rayu. Terdengar manis di telinga hingga membuatku berkali-kali memanjatkan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Aku bersyukur telah mempunyai suami seperti dia yang mungkin saja di luaran sana begitu banyak wanita yang mendambanya.

“Kamu selalu tampil cantik Sayang, terima kasih,” ucapnya dengan lembut membuai hatiku lalu merengkuh tubuhku ke dalam hangat peluknya.

“Terima kasih juga sudah menjadi ayah dan suami yang baik selama ini Mas,” balasku kepadanya dengan bibirku yang bergerak mencium dada bidangnya.

Diusia pernikahan kami yang tujuh tahun ini, kami masih mempertahankan bentuk fisik kami. Kami saling dukung dan menguatkan. Tidak ada makian atau hinaan. Demi kesehatan dia mengatakan agar aku terus menjaga berat badan. Aku, aku menurutinya menjalankan itu sesuai keinginannya.

Malam ini kamu habiskan dengan saling peluk dan tidur bersama. Hingga, pagi harinya sudah tidak ku dapati lagi suamiku di sisiku, dia sudah pergi dengan alasan pekerjaannya dan meninggalkanku sendirian di ranjang.

“Oh, dia udah berangkat rupanya,” gumamku yang kemudian turun menapaki lantai marmer rumah kami dan menuju kamar putra kami.

“Dia masih tidur, nanti saja ku bangunkan kalau aku sudah mandi,” gumamku seorang diri di ambang pintu kamar Gaffi.

Sayup-sayup, terdengar adzan subuh di telingaku, aku mulai mengguyur tubuhku dan membersihkan sisa-sisa percintaan kami semalam. Bibirku selalu tersungging saat mengingat segala pujian yang ia tujukan di telingaku. Berbisik merdu hingga selalu membuatku tersipu malu.

Selesai dengan itu semua, ku hampiri putraku. Ternyata dia sudah bangun dengan wajah malasnya. Wajah putraku begitu mirip denganku. Jangankan itu, postur tubuhnya saja sama persis denganku. Pun dengan rambutnya.

“Gaffi, sudah bangun Sayang? Masih malas enggak? Kita sholat yuk,” ajakku kepadanya yang masih terlihat lesu.

“Yang jadi imam, ayah atau Gaffi Bun?” tanyanya kepadaku yang duduk di sampingnya sambil mengusap rambutnya.

“Gaffi dong, ayah ‘kan sudah bilang dari kemarin kalau ada pekerjaan, jadi seminggu ini Gaffi deh yang jadi imam,” kataku padanya yang seketika itu wajahnya terlihat murung.

Aku tidak tega melihat bujang kecilku mengusap air matanya secara diam-diam. Dia selalu menyembunyikan wajah cengengnya dariku. Dia ingin terlihat tegar seperti ayahnya. Kenyataannya, dia tetaplah sosok anak kecil yang membutuhkan dekapan hangat dan usapan lembut untuk meredakan tangisnya.

“Ayah udah enggak sayang Gaffi Bun, kemarin saja waktu ada pentas di sekolah, ayah tidak datang. Ayah teman-teman Gaffi datang semua Bun,” ucapnya mengadukan apa yang selama ini mengganjal di hatinya.

“Hustt… jangan ngomong gitu Sayang. Ayah itu Sayang sama Gaffi, hanya saja ayah Gaffi sibuk dan tidak seperti ayah teman-teman Gaffi lainnya,” kataku memberikan alasan agar anakku ini tidak membenci ayahnya hanya karena masalah kecil seperti ini.

“Bunda tidak tahu, Gaffi rasakan ayah itu berubah Bun,” ucapnya yang membuatku mengurai pelukanku lalu menatapnya lurus.

“Ayah, ayah, ayah tidak suka main lagi sama Gaffi. Kalau di rumah ayah selalu sibuk sama ponselnya. Bukan hanya ponselnya yang mau di ajak ngomong Bun, tapi Gaffi juga. Ayah juga udah enggak mau gendong Gaffi, ayah bilang Gaffi berat,” adunya kepadaku yang membuat sedih hatiku saat mendengarkan curahan hatinya.

“Iya deh, bunda yang minta maaf. Semuanya Bunda yang gantikan bagaimana? Em ... atau di ulang tahun ini Gaffi mau minta tambahan hadiah apa?” tanyaku padanya dengan berusaha membujuknya agar tidak larut dalam kemarahan.

Aku tahu saat ini putraku sedang marah, dia bahkan menangis tanpa suara dan itu sungguh membuatku tersayat. Seolah saat ini aku sedang berada di antara dua jurang terjal. Antara membela suami atau anakku.

“Beda Bun, ayah ya ayah, bunda ya bunda. Gaffi tidak mau ada apa-apa. Gaffi tidak mau ada pesta ulang tahun!” tukasnya yang kemudian berbaring dan menutup rapat tubuhnya dengan selimut.

“Jangan begitu dong sayang, kasihan kan itu bi Niah sudah masak banyak, teman-teman Gaffi sudah diundang, lalu Bunda juga sudah membeli kue yang Gaffi mau. Jangan marah ya sayang ya?” bujukku kepadanya yang tengah merasa diabaikan ayah kandungnya.

“Jangan paksa Gaffi Bun, Gaffi tidak mau!” serunya sambil menangis.

Marah? Tentu saja aku marah, tapi aku tidak pernah berbuat kasar kepada putraku yang penurut ini. Aku memaklumi dan memahami kemarahannya saat ini. Memang jika di pikir-pikir, suamiku akhir-akhir ini sangatlah sibuk. Dia saja sampai tidak punya waktu akhir pekan untuk kami. Hari liburnya saja masih ia habiskan untuk pergi membahas pekerjaan. Begitu pamitnya kepadaku.

“Bunda minta maaf mewakili ayah ya?” bisikku kepada putraku yang hanya dibalas tangisan dan gelengan.

Aku hanya bisa menghela napasku kemudian pergi sambil mencoba membicarakan ini dengan suamiku. Sayangnya, berkali-kali aku menghubungi sama sekali tidak ada jawaban. Aku memutuskan untuk menenangkan diri sendiri dan memilih berpikiran positif untuk kemudian menunaikan ibadah subuhku.

Ku bentangkan sajadah dan di sana aku banyak bercerita dan bersyukur kepada Rabb-ku. Selalu saja aku sebut nama suamiku di dalam doaku agar dia selalu berada dalam lindungan-Nya. Sesuatu yang sangat ku harapkan, semuanya baik-baik saja sampai kami menua bersama.

Satu minggu setelah kejadian itu, setelah di hari ulang tahun anakku aku disuguhkan dengan kekacauan pesta ulang tahun dan diakhiri dengan acara pembagian makanan. Sebab, yang berulang tahun sama sekali tidak mau menemui para tamunya. Putraku mengurung diri di kamar.

Suamiku pulang sambil menggeret kopernya. Seperti biasa ia langsung memelukku dan mencium keningku. Bibirnya tidak berhenti bercerita tentang pekerjaannya. Entah itu benar adanya atau hanya sekedar mengada-ada aku juga tidak tahu faktanya. Aku sudah menahan diri dan mencoba menguji satu hal yang dikatakan oleh putraku.

Selama kepergiannya Gaffi yang tidur bersamaku sering mengigau dan mengatakan bahwa ayahnya sudah tidak menyayanginya lagi. Kalimat itu mengusik batin dan jiwaku. Pikiranku pun menjadi tidak tenang. Biasanya batin anak-anak yang masih suci itu lebih peka dan bisa merasakan semuanya.

“Lancar kerjaannya?” tanyaku padanya sambil menarik kopernya. Dia merangkul pinggangku lali mencium pipiku sebelum berbicara.

“Alhamdulillah, baik semuanya lancar,” jawabnya sambil tersenyum. Namun, aku merasa ada yang kurang di mana dia sama sekali tidak menanyakan keberadaan Gaffi.

“Kamu enggak kangen Gaffi Mas? Dari tadi kamu enggak nanyain dia, dan juga mana oleh-oleh atau kado buat dia?” cecarku kepadanya yang membuat langkah kami terhenti.

“Astaga…, iya Bun aku lupa. Gimana dong? Jadwalnya padet banget Bun, sampai aku enggak ada waktu buat keluar. Gimana kalau nanti malam kita makan di luar sekalian beliin apapun yang dia minta?” Dia berbicara dengan raut penyesalan.

“Ya, coba kamu bicara langsung sama dia. Aku sih nurut aja apa mau kalian,” kataku yang kemudian mendahuluinya.

Lagi-lagi dia menyusulku dan merangkul pinggangku. “Oke, aku akan ngomong sama dia, tapi sebelumnya aku mau ambil jatahku boleh?” tanyanya padaku dengan tatapan menggoda.

“Badanku capek banget ini, kalau dikeolonin sama kamu pasti bakalan cepet segar lagi,” ucapnya sambil membopong tubuhku menaiki anak tangga.

Menyusulku, disela-sela itu, aku menangkap sesuatu yang aneh. Bau parfumnya berbeda dan juga ada beberapa helai rambut panjang di bajunya. Rambut siapa yang berwarna pirang begini? Namun aku hanya memilih diam, menepis pikiran buruk dan mencoba berpikir positif.

“Rambut siapa ini? Apa benar apa yang sering anakku katakan kalau ayahnya sudah berubah? Mungkinkah bidukku ini bukanlah biduk yang sempurna?” hatiku gelisah. Pekerjaan macam apa yang sampai membuat rambut wanita tersangkut di kemejanya?

Related chapters

  • Suami kedua Lebih Berasa   Bab 2. Pertengkaran Kami

    Bab 2. Pertengkaran Kami “Bangun Bun, bangun, kamu kenapa kok tidur di sini? Kamu mimpi apa kok sampai nangis?” tanyanya kepadaku sambil menyeka pipi basahku dengan tisu. Aku menatapnya, tatapan sendu berurai air mata menggambarkan sedih hatiku. Aku bersyukur semua itu hanya mimpi dan walaupun hanya mimpi, tetapi hal itu terasa begitu nyata. Seolah menikam jantungku tanpa perasaan. Sakit dan sesak secara bersamaan. “Mimpi apa, hum? Kenapa sampai nangis begini, kenapa tidur di sini? Nanti kamu sakit punggung loh,” ucapnya yang berusaha membujukku untuk mengatakan semuanya tentang apa yang aku alami di dalam mimpi di seperempat malam. “Enggak bukan apa-apa,” jawabku kepadanya sambil mengusap sisa air mata yang masih terpampang di pipi mulusku. Mimpiku semalam begitu jelas. Terasa begitu nyata, aku melihatnya bersama wanita dan seorang bayi laki-laki. Sayangnya, dalam mimpiku itu wajah wanita itu buram dan dia hanya diam sambil menggendong bayinya. Oh mengingatnya lagi membuatku mer

    Last Updated : 2022-11-18
  • Suami kedua Lebih Berasa   Bab 3. Siapa Wanita itu

    Bab 3. Siapa Wanita itu Semalaman aku menangis, menyesali diriku yang selama ini terlalu bodoh dan terlalu mengandalkan pria. Pantas saja, Mas Akbar bekali-kali menyindirku untuk mencari kesibukan lain. Mungkin sebenarnya dia sudah muak melihatku terus menerus hanya bisa menengadah tangan mengharapkan uang darinya setiap bulan. Kupijit kepalaku yang berdenyut, pandanganku terasa sedikit tidak baik, apa yang kulihat buram. Oh, mungkin karena aku terlalu lelah menangis. Tetapi tidak saat aku menggunakan ponselku untuk mengaca. Rupanya pembuluh darahku pecah di bagian mata. Ya aku rasa hentakan ini terlalu kuat dan aku sangat frustasi. Tidak pernah sebelumnya aku mengalami hal seperti ini. Ayah dan juga ibuku memperlakukan aku dengan baik sedari kecil. Mau seperti apa mereka jika tahu rumah tanggaku kacau seperti ini. Mungkin hal yang sama akan terjadi pada ibu. Dia juga mempunyai riwayat darah tinggi dan aku menuruni penyakit itu. “Bunda kenapa matanya?” tanya putraku yang baru saja

    Last Updated : 2022-11-18
  • Suami kedua Lebih Berasa   4. Pertengkaran di Rumah Sakit

    Pertengkaran di Rumah Sakit Aroma karbol begitu menguar di penciumanku. Aku masih merasakan pusing di bagian kepalaku. Amat sangat pusing dan berdenyut membuatku merasa kesakitan meskipun hanya ingin berganti posisi. “Akh ….” erangku kesakitan saat aku berganti dari berbaring menjadi miring. Seketika itu juga ada tangan kekar yang membantuku. Aku sangat hapal dengan tangan itu yang di sana masih tersemat cincin pernikahan kami. Seketika itu juga aku menampiknya, kutampik sekuat tenaga dan menatapnya nyalang. “Kenapa kamu ada di sini? Pergi dan jangan ganggu hidupku lagi!” usirku padanya sebab aku masih merasa begitu muak dengan semua ini. Dia menatapku sayu, wajahnya terlihat kuyu, entah kenapa mungkin karena kurang tidur atau apa aku juga tidak tahu. Aku tidak berharap ataupun berpikiran kalau pria yang merupakan ayah dari putraku ini akan ikut bersedih atas apa yang menimpa hubungan kami. Sebaliknya, aku sangat yakin bila masalah ini bukanlah apa-apa baginya. Kemarin saja dia de

    Last Updated : 2022-11-30
  • Suami kedua Lebih Berasa   5. Tidak Usah ditutupi Lagi

    Tidak Usah ditutupi Lagi“Kamu harus mengatakan hal ini kepada keluargamu Nala, ada apa kamu sampai takut mengatakannya? Mau sejauh mana kamu tutupi, mereka akan mengetahuinya,” kata Ryan yang berusaha menasehatiku agar aku mau bersikap terbuka kepada kedua orang tuaku.Aku mentapanya teduh dengan tatapan mata yang basah akan air mata. Bulir bening di mataku ini sudah tidak patuh lagi. Mereka meluncur begitu saja tanpa aba-aba dan aku benci ini mereka membasahi pipiku dan membuatku tampak lemah.“Yan, yang menjadi masalahnya adalah sedari awal hubungan kami ayahku itu tidak pernah setuju. Dia menentang hubunganku dengan Mas Akbar. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya kepadanya, maka dia akan memarahiku habis-habisan. Juga ….” Aku berhenti berbicara. Lidahku merasa kelu tiba-tiba aku merasa sudah terlalu banyak membuka aib keluargaku kepada pria lain. Apakah hal ini dapat dimaklumi dan dibenarkan dalam ag

    Last Updated : 2022-12-01
  • Suami kedua Lebih Berasa   6. Piciknya Akbar

    “Katakan Yan, siapa wanita itu? Aku ingin tahu sekarang,” desakku kepada Ryan yang masih mendekapku.“Dia, dia adalah ….”Belum selesai Ryan berbicara, pintu ruang rawat terbuka dengan kasarnya suaranya keras dan membentur. Gaffi yang sedang terlelap pun sampai terbangun dan seketika menangis histeris. Iya, Mas Akbar datang lagi dan langsung dengan sekejap mata mendaratkan tinjunya lagi.aku yang melihat itu kali ini tidak tinggal diam. Dia terus saja melampiaskan semuanya kepada Ryan yang sebenarnya hanya ingin menolongku. Ryan memelukku karena ingin menenangkanku bukan karena niatan lain. Aku bisa merasakan ketulusannya.“Jangan Mas! Kamu apa-apaan main pukul aja sama dia? Dia enggak salah apa-apa!” bentakku dengan suara yang kupaksaan berseling dengan isak tangis yang tak bisa lagi kutahan.“Oh, jadi ini alasan kamu minta cerai Nala! Kamu diam-diam ada hub

    Last Updated : 2022-12-02
  • Suami kedua Lebih Berasa   7. Rencana yang Meleset

    Melaju perlahan membelah jalanan. Kini aku tengah berada di dalam mobil Ryan. Dia berniat mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku menurutinya setelah Ryan lama membujukku. Membujuk aku yang keras kepala ini yang bersikukuh bisa menghadapi semuanya sendiri. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak kuat. Aku rapuh, sangat rapuh. "Kamu takut sama Om dan Tante?" tanya Ryan dengan maksud om dan Tante adalah ayah dan ibuku. "Iya Yan, aku sangat takut. Bagaimana kalau mereka menolakku? Bagaimana Yan? Sedangkan aku merasa terancam bila berada sendirian di rumah." "Apapun itu, hadapi Nala. Hadapi, kamu itu harus berani. Mereka orang tuamu, mungkin awalnya mereka akan menolak, tetapi pada akhirnya aku yakin bila mereka akan tetap menolongmu. Kamu itu anak kandungnya," ujar Ryan menguatkan aku, menambah setitik rasa berani di dalam diriku. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak memalukan berbuat seperti ini? Aku malu, bila harus merepotkan mereka sedangkan dulu saja aku menjauhi mereka

    Last Updated : 2022-12-03
  • Suami kedua Lebih Berasa   8. Aku Berhutang Banyak

    Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, seba

    Last Updated : 2022-12-04
  • Suami kedua Lebih Berasa   9. Wanita itu Tanteku

    “Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bis

    Last Updated : 2022-12-05

Latest chapter

  • Suami kedua Lebih Berasa   63. Membesarkannya tidak harus bersatu (END)

    Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad

  • Suami kedua Lebih Berasa   62. Keindahan Masa Lalu tidak Akan Menghapus Luka

    "Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru

  • Suami kedua Lebih Berasa   61. Bagaimana Bersikap Dengannya

    61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem

  • Suami kedua Lebih Berasa   60. Kemarahan Ryan

    60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya

  • Suami kedua Lebih Berasa   59. Hari Pesta Pernikahan

    59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa

  • Suami kedua Lebih Berasa   58. Ganjalan di hati Nala

    "Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan

  • Suami kedua Lebih Berasa   57. Dalang dibalik semua kejadian lalu adalah dia?

    57. Siang itu, mereka diundang untuk datang memeriksa persiapan pesta pernikahan keduanya. Ryan dan Nala keduanya menuju ke kediaman Mama Ratna. Wanita paruh baya itu menyambut bahagia kedua anaknya tersebut. "Afi," sapa mama Ratna kepada Gaffi yang baru saja turun dari mobil. "Nenek!" Gaffi tak kalah senang melihat wanita paruh baya yang ia panggil nenek itu. "Lihat itu senang banget sama anak kecil. Kamu belum ada hasil juga? Aku udah enggak sabar," kata Ryan sembari terus mengusap lenganku. "Belum Yan, kamu kurang dalem nancepnya. Hahahaha," canda Nala sambil tertawa terbahak-bahak. "Enggak usah dalam-dalam aja kamu udah jerit-jerit. Hahaha," balas Ryan yang kemudian membuka pintu dan turun meninggalkan Nala yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ih, tapi memang dia bener sih. Setelah aku rasa-rasakan, sensasinya memang beda. Jauh dan tidak seperti pada saat aku bersama Mas Akbar. Punyanya lebih besar dan panjang." Nala membayangkan ukuran milik kedua pria itu. Ryan yan

  • Suami kedua Lebih Berasa   56. Sekotak Bangkai

    Pov 3. Setelah hari di mana Gaffi mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, setelah itu juga Akbar seolah menarik jarak dari ke duanya. Sebenarnya bukan hanya Gaffi yang Akbar rindukan, melanikan Nala juga. Rasa bersalah itu sangat besar. Membuatnya tersiksa. Terlebih setelah kejadian di mana dia berkelahi sampai di lempar dari lantai dua. Setiap malam Akbar selalu saja mengalami mimpi buruk. Tentang kejadian itu. Kejadian yang menyisakan trauma baginya. “A …!” teriak Akbar saat ia tiba-tiba terjaga. “Ada apa?” tanya bu Rohimah, ibu sambung Akbar yang menunggui Akbar di rumah sakit. “Kamu mimpi buruk itu lagi Bar?” Akbar terlihat panik dengan napasnya yang terengah-engah. Mimpi buruk itu membuat lelaki yang kaki dan tangannya patah itu ketakutan. Di setiap mimpinya dia seakan kembali pada saat kejadian. “Iya Bu, aku kembali lagi pada saat itu, sama persis dan aku melihat bagaimana lelaki itu mendorongku jatuh,” jawab Akbar masih dengan napasnya yang terengah-engah. “Semuanya ha

  • Suami kedua Lebih Berasa   55. Keputusan Gaffi

    55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status