Bab 1. Bukan Biduk yang Sempurna“Mas, yakin besok mau berangkat?” tanyaku kepada suamiku yang sedari pulang kantor tadi sudah sibuk mempersiapkan segala keperluannya.“Iya, pekerjaan ini sama sekali tidak bisa di tunda lagi Sayang, kamu tahu ‘kan bagaimana aku membangun usaha ini? Bagaimana susahnya kita waktu itu?” jawabnya yang membalikkan pertanyaan kepadaku dan mengingatkan aku akan betapa kerasnya perjuangan kamu dahulu saat membangun perusahaan yang nyaris tumbang.Hanya saja, selama ini ada sesuatu yang mengganjal yang sama sekali tidak berani aku ungkapkan. Itu semua mengenai beberapa kali transaksi ke rekening pribadi seseorang yang tak sengaja aku temukan saat membuang sampah. Memang suamiku sering melakukan transfer, tapi untuk menggunakan rekening pribadi? Biasanya transaksi keuangan perusahaan itu juga dilakukan dengan rekening perusahaan dan divisi keuangan yang bertanggung jawab atas ini. Tetapi kali ini lain.“Iya Mas, aku tahu. Kali ini ke mana tujuannya?” tanyaku p
Bab 2. Pertengkaran Kami “Bangun Bun, bangun, kamu kenapa kok tidur di sini? Kamu mimpi apa kok sampai nangis?” tanyanya kepadaku sambil menyeka pipi basahku dengan tisu. Aku menatapnya, tatapan sendu berurai air mata menggambarkan sedih hatiku. Aku bersyukur semua itu hanya mimpi dan walaupun hanya mimpi, tetapi hal itu terasa begitu nyata. Seolah menikam jantungku tanpa perasaan. Sakit dan sesak secara bersamaan. “Mimpi apa, hum? Kenapa sampai nangis begini, kenapa tidur di sini? Nanti kamu sakit punggung loh,” ucapnya yang berusaha membujukku untuk mengatakan semuanya tentang apa yang aku alami di dalam mimpi di seperempat malam. “Enggak bukan apa-apa,” jawabku kepadanya sambil mengusap sisa air mata yang masih terpampang di pipi mulusku. Mimpiku semalam begitu jelas. Terasa begitu nyata, aku melihatnya bersama wanita dan seorang bayi laki-laki. Sayangnya, dalam mimpiku itu wajah wanita itu buram dan dia hanya diam sambil menggendong bayinya. Oh mengingatnya lagi membuatku mer
Bab 3. Siapa Wanita itu Semalaman aku menangis, menyesali diriku yang selama ini terlalu bodoh dan terlalu mengandalkan pria. Pantas saja, Mas Akbar bekali-kali menyindirku untuk mencari kesibukan lain. Mungkin sebenarnya dia sudah muak melihatku terus menerus hanya bisa menengadah tangan mengharapkan uang darinya setiap bulan. Kupijit kepalaku yang berdenyut, pandanganku terasa sedikit tidak baik, apa yang kulihat buram. Oh, mungkin karena aku terlalu lelah menangis. Tetapi tidak saat aku menggunakan ponselku untuk mengaca. Rupanya pembuluh darahku pecah di bagian mata. Ya aku rasa hentakan ini terlalu kuat dan aku sangat frustasi. Tidak pernah sebelumnya aku mengalami hal seperti ini. Ayah dan juga ibuku memperlakukan aku dengan baik sedari kecil. Mau seperti apa mereka jika tahu rumah tanggaku kacau seperti ini. Mungkin hal yang sama akan terjadi pada ibu. Dia juga mempunyai riwayat darah tinggi dan aku menuruni penyakit itu. “Bunda kenapa matanya?” tanya putraku yang baru saja
Pertengkaran di Rumah Sakit Aroma karbol begitu menguar di penciumanku. Aku masih merasakan pusing di bagian kepalaku. Amat sangat pusing dan berdenyut membuatku merasa kesakitan meskipun hanya ingin berganti posisi. “Akh ….” erangku kesakitan saat aku berganti dari berbaring menjadi miring. Seketika itu juga ada tangan kekar yang membantuku. Aku sangat hapal dengan tangan itu yang di sana masih tersemat cincin pernikahan kami. Seketika itu juga aku menampiknya, kutampik sekuat tenaga dan menatapnya nyalang. “Kenapa kamu ada di sini? Pergi dan jangan ganggu hidupku lagi!” usirku padanya sebab aku masih merasa begitu muak dengan semua ini. Dia menatapku sayu, wajahnya terlihat kuyu, entah kenapa mungkin karena kurang tidur atau apa aku juga tidak tahu. Aku tidak berharap ataupun berpikiran kalau pria yang merupakan ayah dari putraku ini akan ikut bersedih atas apa yang menimpa hubungan kami. Sebaliknya, aku sangat yakin bila masalah ini bukanlah apa-apa baginya. Kemarin saja dia de
Tidak Usah ditutupi Lagi“Kamu harus mengatakan hal ini kepada keluargamu Nala, ada apa kamu sampai takut mengatakannya? Mau sejauh mana kamu tutupi, mereka akan mengetahuinya,” kata Ryan yang berusaha menasehatiku agar aku mau bersikap terbuka kepada kedua orang tuaku.Aku mentapanya teduh dengan tatapan mata yang basah akan air mata. Bulir bening di mataku ini sudah tidak patuh lagi. Mereka meluncur begitu saja tanpa aba-aba dan aku benci ini mereka membasahi pipiku dan membuatku tampak lemah.“Yan, yang menjadi masalahnya adalah sedari awal hubungan kami ayahku itu tidak pernah setuju. Dia menentang hubunganku dengan Mas Akbar. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya kepadanya, maka dia akan memarahiku habis-habisan. Juga ….” Aku berhenti berbicara. Lidahku merasa kelu tiba-tiba aku merasa sudah terlalu banyak membuka aib keluargaku kepada pria lain. Apakah hal ini dapat dimaklumi dan dibenarkan dalam ag
“Katakan Yan, siapa wanita itu? Aku ingin tahu sekarang,” desakku kepada Ryan yang masih mendekapku.“Dia, dia adalah ….”Belum selesai Ryan berbicara, pintu ruang rawat terbuka dengan kasarnya suaranya keras dan membentur. Gaffi yang sedang terlelap pun sampai terbangun dan seketika menangis histeris. Iya, Mas Akbar datang lagi dan langsung dengan sekejap mata mendaratkan tinjunya lagi.aku yang melihat itu kali ini tidak tinggal diam. Dia terus saja melampiaskan semuanya kepada Ryan yang sebenarnya hanya ingin menolongku. Ryan memelukku karena ingin menenangkanku bukan karena niatan lain. Aku bisa merasakan ketulusannya.“Jangan Mas! Kamu apa-apaan main pukul aja sama dia? Dia enggak salah apa-apa!” bentakku dengan suara yang kupaksaan berseling dengan isak tangis yang tak bisa lagi kutahan.“Oh, jadi ini alasan kamu minta cerai Nala! Kamu diam-diam ada hub
Melaju perlahan membelah jalanan. Kini aku tengah berada di dalam mobil Ryan. Dia berniat mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku menurutinya setelah Ryan lama membujukku. Membujuk aku yang keras kepala ini yang bersikukuh bisa menghadapi semuanya sendiri. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak kuat. Aku rapuh, sangat rapuh. "Kamu takut sama Om dan Tante?" tanya Ryan dengan maksud om dan Tante adalah ayah dan ibuku. "Iya Yan, aku sangat takut. Bagaimana kalau mereka menolakku? Bagaimana Yan? Sedangkan aku merasa terancam bila berada sendirian di rumah." "Apapun itu, hadapi Nala. Hadapi, kamu itu harus berani. Mereka orang tuamu, mungkin awalnya mereka akan menolak, tetapi pada akhirnya aku yakin bila mereka akan tetap menolongmu. Kamu itu anak kandungnya," ujar Ryan menguatkan aku, menambah setitik rasa berani di dalam diriku. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak memalukan berbuat seperti ini? Aku malu, bila harus merepotkan mereka sedangkan dulu saja aku menjauhi mereka
Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, seba
Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad
"Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru
61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem
60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya
59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa
"Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan
57. Siang itu, mereka diundang untuk datang memeriksa persiapan pesta pernikahan keduanya. Ryan dan Nala keduanya menuju ke kediaman Mama Ratna. Wanita paruh baya itu menyambut bahagia kedua anaknya tersebut. "Afi," sapa mama Ratna kepada Gaffi yang baru saja turun dari mobil. "Nenek!" Gaffi tak kalah senang melihat wanita paruh baya yang ia panggil nenek itu. "Lihat itu senang banget sama anak kecil. Kamu belum ada hasil juga? Aku udah enggak sabar," kata Ryan sembari terus mengusap lenganku. "Belum Yan, kamu kurang dalem nancepnya. Hahahaha," canda Nala sambil tertawa terbahak-bahak. "Enggak usah dalam-dalam aja kamu udah jerit-jerit. Hahaha," balas Ryan yang kemudian membuka pintu dan turun meninggalkan Nala yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ih, tapi memang dia bener sih. Setelah aku rasa-rasakan, sensasinya memang beda. Jauh dan tidak seperti pada saat aku bersama Mas Akbar. Punyanya lebih besar dan panjang." Nala membayangkan ukuran milik kedua pria itu. Ryan yan
Pov 3. Setelah hari di mana Gaffi mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, setelah itu juga Akbar seolah menarik jarak dari ke duanya. Sebenarnya bukan hanya Gaffi yang Akbar rindukan, melanikan Nala juga. Rasa bersalah itu sangat besar. Membuatnya tersiksa. Terlebih setelah kejadian di mana dia berkelahi sampai di lempar dari lantai dua. Setiap malam Akbar selalu saja mengalami mimpi buruk. Tentang kejadian itu. Kejadian yang menyisakan trauma baginya. “A …!” teriak Akbar saat ia tiba-tiba terjaga. “Ada apa?” tanya bu Rohimah, ibu sambung Akbar yang menunggui Akbar di rumah sakit. “Kamu mimpi buruk itu lagi Bar?” Akbar terlihat panik dengan napasnya yang terengah-engah. Mimpi buruk itu membuat lelaki yang kaki dan tangannya patah itu ketakutan. Di setiap mimpinya dia seakan kembali pada saat kejadian. “Iya Bu, aku kembali lagi pada saat itu, sama persis dan aku melihat bagaimana lelaki itu mendorongku jatuh,” jawab Akbar masih dengan napasnya yang terengah-engah. “Semuanya ha
55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila