Beranda / Rumah Tangga / Suami kedua Lebih Berasa / 4. Pertengkaran di Rumah Sakit

Share

4. Pertengkaran di Rumah Sakit

Penulis: Mimi Lita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-30 12:30:40

Pertengkaran di Rumah Sakit

Aroma karbol begitu menguar di penciumanku. Aku masih merasakan pusing di bagian kepalaku. Amat sangat pusing dan berdenyut membuatku merasa kesakitan meskipun hanya ingin berganti posisi.

“Akh ….” erangku kesakitan saat aku berganti dari berbaring menjadi miring.

Seketika itu juga ada tangan kekar yang membantuku. Aku sangat hapal dengan tangan itu yang di sana masih tersemat cincin pernikahan kami. Seketika itu juga aku menampiknya, kutampik sekuat tenaga dan menatapnya nyalang.

“Kenapa kamu ada di sini? Pergi dan jangan ganggu hidupku lagi!” usirku padanya sebab aku masih merasa begitu muak dengan semua ini.

Dia menatapku sayu, wajahnya terlihat kuyu, entah kenapa mungkin karena kurang tidur atau apa aku juga tidak tahu. Aku tidak berharap ataupun berpikiran kalau pria yang merupakan ayah dari putraku ini akan ikut bersedih atas apa yang menimpa hubungan kami. Sebaliknya, aku sangat yakin bila masalah ini bukanlah apa-apa baginya. Kemarin saja dia dengan mudah melepaskan kami tanpa upaya apapun untuk mempertahankan hubungan kami.

“Sayang, jangan begitu.” Dia berbicara masih menggunakan panggilan itu. panggilan yang tiba-tiba saja membuatku merasa jijik.

Sangat jijik ketika mendengarnya. Sudah pasti dengan wanita lain itu dia juga menggunakan panggilan yang sama. Saat ini aku hanya merasa nasibku begitu buruk, aku yang terlalu memercayainya dan kini harus menelan pil pahit. Cinta kami tidak semanis apa yang sering aku impikan.

“Apa urusanmu dengan hidupku? Aku sudah putuskan akan mengurus perceraian kita,” kataku tanpa sudi menatap wajahnya.

Terdengar suara deritan kursi, dia menariknya lalu duduk di sampingku. Andaikan saat ini tubuhku dalam keadaan sehat, sudah pasti aku akan berlari menghindar darinya. Sayangnya, saat ini aku hanya seperti patung yang tidak mampu bergerak banyak.

“Nala, Sayang. Kita ini masih suami istri, jadi jangan keras kepala seperti ini. Kita bicarakan ini baik-baik ya,” bujuknya padaku.

“Pergi, pergilah sejauh mungkin aku sudah tidak peduli lagi. Jangan juga urusi hidupku dan Gaffi. Aku masih kuat untuk menghidupi dan membahagiakannya. Urus saja wanitamu yang hamil itu.”

Kurasakan dia menyentuh tanganku yang tertancap infus. Bagaimana dan siapa yang memberitahunya mengenai keberadaanku di sini, aku pun tidak tahu. Saat ini, aku sudah sangat ingin menamparnya atau mencacinya sesukaku. Sayangnya tenagaku tidak sekuat itu, bahkan hanya untuk berbicara banyak saja aku sudah terengah-engah.

“Nala, aku rasa aku sudah tidak bisa menutupi ini lagi. Aku memang mempunyai wanita lain, tetapi aku melakukan itu juga untukmu. Untukmu dan masa depan Gaffi,” paparnya yang membuat hatiku remuk seketika.

Gila, ini sangat gila. Dia mencari pembenaran atas apa yang telah dia lakukan. Dia katakan kalau perselingkuhan ini demi aku dan juga masa depan putra kami? Cih! Sejujurnya aku sudah sangat ingin melenyapkan nyawa lelaki ini. Aku tidak bisa berkata lagi, hatiku begitu sakit hingga membuat napas dan tenagaku semakin menurun.

“Tidak ada yang bisa dibenarkan dari sebuah perselingkuhan apapun alasannya Mas. Percuma kamu mencari pembenaran seperti ini. Apa anakmu akan senang bila mengetahui ini? Ayahnya menjual nama anaknya semata-mata hanya untuk mendapatkan pembenaran atas kesalahan fatal yang dia lakukan.”

“Nala, apa tidak kamu lihat sejauh mana perjuanganku demi kebahagiaan kalian. Di saat kita terpuruk aku yang pontang-panting demi bangkitnya perekonomian keluarga kita. Sementara kamu, kamu hanya bisa berdiam diri di rumah menerima hasilnya,” ungkitnya dengan harapan aku akan mengiba dan memberikan toleransi terhadap kesalahannya ini.

“Jadi kamu mengungkit apa yang sudah kamu berikan kepada kami? Tentang jerih payah itu dan kamu menilai kami ini tidak ikut andil di dalamnya? Terima kasih banyak Mas, bertahun-tahun kita bersama, sekarang aku baru membuka mata. Inilah kamu yang sebenarnya, kamu tidak pernah ikhlas terhadap apa yang kamu dedikasikan kepada keluarga ini.” Aku menyeka air mataku. Sakit sungguh sakit yang kurasa saat ini di mana dia mencari pemebenaran atas perselingkuhan yang ia lakukan dan seenak hatinya menyalahkan aku. Dia mengungkit semua perjuangan yang memang seorang suami wajib berikan kepada keluarganya.

Dia lagi-lagi mencari perhatianku dengan mengusap lembut kepalaku yang masih berdenyut dan serasa mau pecah ini. Air mataku tak terbendung lagi meluncur bebas seiring dengan jeritan hatiku saat ini. Andaikan tangis hati ini bisa ia dengarkan, mungkin saat ini hatiku sedang meraung dan memakinya, mengumpat dengan kata-kata kasar dan sumpah-serapahnya.

“Aku ikhlas Nala, aku snagat ikhlas. Aku mengatakannya supaya kamu tahu saja, ini semua bukan atas dasar kemauanku. Aku hanya khilaf,” ucapnya yang menyita perhatianku. Aku seketika menoleh dan menatapnya tajam.

“Kamu khilaf? Khilaf Mas? Hanya orang bodoh yang mempercayai perselingkuhan itu adalah kekhilafan. Bukan kekhilafan, kamu melakukannya dengan sangat sadar bahkan berulang-ulang sampai perempuan itu hamil anakmu. Itu yang kamu sebut khilaf?” cecarku dengan cucuran air mata cerminan hancurnya jiwa.

Dia terdiam. Aku mengusap air mataku lagi dan saat ini sakit kepalaku kian menjadi. Entah di mana keberadaan putraku kini aku baru menyadari bahwa aku hanya seorang diri di dalam kamar ini. Lalu ke mana perginya putraku Gaffi?

Terdengar pintu terbuka, aku menoleh dan melihat sesosok lelaki berjas putih masuk dengan wajah paniknya sambil menggendong putraku. Dia Ryan. Dia datang di saat yang tepat. Saat di mana aku membutuhkan bantuan seseorang untuk mengusir penghianat ini.

“Bunda!” seru putraku saat pertama melihatku dengan wajahku yang sudah kacau dan mataku yang sembab.

“Gaffi, sini sayang sama ayah,” katanya mengulurkan tangannya kepada Gaffi dan putraku itu hanya diam menatapnya dingin. Tatapan yang belum pernah ku lihat ada padanya selama ini.

“Om Iyan, Gaffi mau sama Bunda,” ucapnya lembut meminta tolong kepada Ryan agar mendekatkannya kepadaku.

“Iya, Om kasih ke Bunda ya. Sekalian Om mau periksa tensi darah Bundamu. Sudah baik, atau malah naik,” ucap Ryan dengan tatapan matanya yang dingin menatap Mas Akbar.

“Kamu masih sakit Sayang, biar Gaffi sama aku aja. Aku bisa urus dia,” kata Mas Akbar dengan lembutnya seolah tidak ada pertengkaran yang terjadi diantara kami. Aku sangat yakin dia bersikap begini karena ada Ryan. Semua ini dia lakukan semata-mata hanya untuk menjaga nama baiknya. Bukan untuk menjaga perasaanku.

“Jangan berpura-pura baik di hadapan orang lain Mas. Hentikan itu, aku sudah muak, aku tidak akan memberikan Gaffi kepadamu apapun alasannya.”

“Kamu bicara apa sih Sayang, udahlah enggak usah drama,” tuturnya yang masih berusaha menutupi pertengkaran kami.

“Mas! Hentikan kepalsuan ini. Kalau bagimu tangisanku dan rasa sakit hatiku ini hanya sebuah drama. Maka pergilah! Pergilah dan urus saja wanitamu yang kamu hamili itu. pergi!” teriakku sekuat tenaga dengan semua rasa benci yang bertumpah ruah di sana.

Melihatku yang tiba-tiba duduk dan aku yang begitu emosi membuat Ryan seketika mendekapku. Gaffi dan Ryan mendekapku untuk menenangkanku. Rupanya hal itu memancing emosi dari Mas Akbar.

Tanpa kuduga, bogem mentah seketika ia tujukan ke wajah tampan dokter muda itu. Ryan pun sama sekali tidak tinggal diam. Dia dengan cepat mengambil tindakan dan membalasnya. Gaffi yang ketakutan terus saja menangis dalam dekapanku.

“Berani kamu memeluk istriku?” teriaknya dengan penuh emosi sebelum tinjunya mendarat di wajah Ryan.

“Aku hanya menenagkannya, dia sakit dan tidak boleh tertekan. Suami macam apa kamu yang membuatnya sampai dalam keadaan seperti ini?” bentak Ryan tidak kalah lantang.

“Terserah aku mau bagaimana yang jelas dia masih istriku yang sah!” balas Mas Akbar dengan membentak Ryan dan tatapan matanya yang tajam mengerikan.

Adu jotos itu terjadi dan Ryan dengan sengaja menggiringnya sampai ke luar ruang rawat dengan terus saling balas pukulan. Aku hanya terdiam dan melamun. Tubuhku lemas dan tenagaku habis. Aku tidak bisa bicara banyak lagi. Semoga saja tidak terjadi hal parah pada Ryan. Itu harapanku saat ini. Ya, aku berdoa bukan untuk suamiku lagi, tapi untuk mantan pacarku semasa SMA.

****

Lelah menangis membuatku tertidur sambil memeluk Gaffi. Putraku yang tadi ketakutan itu masih setia berada di sampingku. Perlahan saku membuka mata dan kudapati Ryan tertidur juga di sampingku tepat di samping tanganku yang masih terpasang jarum infus.

Dengan jelas aku bisa melihat luka di batang hidungnya yang mancung. Di tulang pipinya juga memiliki lebam dan lecet yang lumayan parah. Ini semua karena dia berupaya membelaku. Dia melakukan tadi semata-mata hanya untuk menenangkanku yang terbawa emosi. Hanya saja, Mas Akbar tidak terima. Mengapa tidak terima aku disentuh pria lain? Sedangkan dia saja sudah menghamili wanita lain. Apa hubungan yang seperti ini masih patut kupertahankan?

Air mataku kembali luruh, aku berada pada titik terendah hidupku. Aku merasa aku gagal dan tidak berguna. Sekuat mungkin aku menyembunyikan isakan kesedihan ini namun rupanya Ryan mendengar isakan pilu kalbuku. Aku merasakan jemarinya perlahan mengusap lenganku.

Dalam diam, aku menatapnya. Dia pun menatapku meski tanpa bicara. Terulur sebuah tisu tepat di hadapanku dan hal itu semakin membuatku haru. Apa yang Ryan lakukan kali ini sama seperti yang dahulu pernah Mas Akbar lakukan untukku. Selembar tisu penyeka air mata.

Dulu, Mas Akbar berkata, “Menangislah dibahuku, pakai aku sebagai sandaranmu.” Cih! Itu smeua palsu mengingatnya saja sudah membuatku muak.

“Nangis saja Nala, kuras air matamu dan cukup kamu sisakan kebagaioaan dan senyuman saja. Buat apa kamu menangisi pria seperti dia?” gumam Ryan yang begitu jelas terdengar di telingaku di antara isakan piluku.

“Aku menangis karena aku merasa lemah Ryan, aku merasa gagal sebagai ibu. Aku tidak bisa menjaga kutuhan rumah tangga kami,” kataku lirih dengan rasa malu yang amat sangat.

“Hei … kamu itu enggak gagal, siapa yang bilang kamu gagal? Justru ini adalah pembuktian awal kalau kamu adalah ibu yang kuat. Ibu yang bertekad menjauhkan anaknya dari contoh buruk. Kamu hebat Nala, tidak semua wanita berani mengambil keputusan dan berjuang seperti kamu ini. Aku merasa bangga terhadap keputusanmu,” ujarnya menguatkan aku.

“Benarkah begitu Yan?” tanyaku ragu dengan mata yang basah aku memberanikan diri menatapnya.

“Iya kemu benar. Kamu sudha mengambil langkah yang benar. Aku mengatakan ini bukan karena aku masih menyukaimua atau karena kita adalah mantan kekasih saat SMA. Aku mewngatakan ini karena memang secara agama pun tindakan suamimu itu tidka ada jalur benarnya. Hal seperti ini tidak bisa ditoleransi dalam sebuah hubungan, dia akan mengulanginya lagi dan lagi,” ucapnya pelan.

“Sebaiknya kamu beritahukan hal ini pada keluargamu,” kata Ryan yang membuatku kembali tergugu.

“Tidak bisa Yan,” tolakku.

“Kenapa tidak bisa Nala? Mereka keluargamu dan mereka berhak untuk tahu,” tutur Ryan penuh penekanan menatapku teduh seolah menguatkan.

Bagaimana? Abagaimana caraku mengatakan kebusukan suamiku kepada keluargaku? Bagaimana caranya? Apa aku punya nyali untuk itu?

Bab terkait

  • Suami kedua Lebih Berasa   5. Tidak Usah ditutupi Lagi

    Tidak Usah ditutupi Lagi“Kamu harus mengatakan hal ini kepada keluargamu Nala, ada apa kamu sampai takut mengatakannya? Mau sejauh mana kamu tutupi, mereka akan mengetahuinya,” kata Ryan yang berusaha menasehatiku agar aku mau bersikap terbuka kepada kedua orang tuaku.Aku mentapanya teduh dengan tatapan mata yang basah akan air mata. Bulir bening di mataku ini sudah tidak patuh lagi. Mereka meluncur begitu saja tanpa aba-aba dan aku benci ini mereka membasahi pipiku dan membuatku tampak lemah.“Yan, yang menjadi masalahnya adalah sedari awal hubungan kami ayahku itu tidak pernah setuju. Dia menentang hubunganku dengan Mas Akbar. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya kepadanya, maka dia akan memarahiku habis-habisan. Juga ….” Aku berhenti berbicara. Lidahku merasa kelu tiba-tiba aku merasa sudah terlalu banyak membuka aib keluargaku kepada pria lain. Apakah hal ini dapat dimaklumi dan dibenarkan dalam ag

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-01
  • Suami kedua Lebih Berasa   6. Piciknya Akbar

    “Katakan Yan, siapa wanita itu? Aku ingin tahu sekarang,” desakku kepada Ryan yang masih mendekapku.“Dia, dia adalah ….”Belum selesai Ryan berbicara, pintu ruang rawat terbuka dengan kasarnya suaranya keras dan membentur. Gaffi yang sedang terlelap pun sampai terbangun dan seketika menangis histeris. Iya, Mas Akbar datang lagi dan langsung dengan sekejap mata mendaratkan tinjunya lagi.aku yang melihat itu kali ini tidak tinggal diam. Dia terus saja melampiaskan semuanya kepada Ryan yang sebenarnya hanya ingin menolongku. Ryan memelukku karena ingin menenangkanku bukan karena niatan lain. Aku bisa merasakan ketulusannya.“Jangan Mas! Kamu apa-apaan main pukul aja sama dia? Dia enggak salah apa-apa!” bentakku dengan suara yang kupaksaan berseling dengan isak tangis yang tak bisa lagi kutahan.“Oh, jadi ini alasan kamu minta cerai Nala! Kamu diam-diam ada hub

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-02
  • Suami kedua Lebih Berasa   7. Rencana yang Meleset

    Melaju perlahan membelah jalanan. Kini aku tengah berada di dalam mobil Ryan. Dia berniat mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku menurutinya setelah Ryan lama membujukku. Membujuk aku yang keras kepala ini yang bersikukuh bisa menghadapi semuanya sendiri. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak kuat. Aku rapuh, sangat rapuh. "Kamu takut sama Om dan Tante?" tanya Ryan dengan maksud om dan Tante adalah ayah dan ibuku. "Iya Yan, aku sangat takut. Bagaimana kalau mereka menolakku? Bagaimana Yan? Sedangkan aku merasa terancam bila berada sendirian di rumah." "Apapun itu, hadapi Nala. Hadapi, kamu itu harus berani. Mereka orang tuamu, mungkin awalnya mereka akan menolak, tetapi pada akhirnya aku yakin bila mereka akan tetap menolongmu. Kamu itu anak kandungnya," ujar Ryan menguatkan aku, menambah setitik rasa berani di dalam diriku. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak memalukan berbuat seperti ini? Aku malu, bila harus merepotkan mereka sedangkan dulu saja aku menjauhi mereka

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-03
  • Suami kedua Lebih Berasa   8. Aku Berhutang Banyak

    Ayahku menolakku dan juga anakku. Saat ini aku sama sekali tidak punya tujuan. Bajuku dan juga Gaffi sudah pasti basah kuyup. Aku tak ubahnya seperti bunga dandelion yang terhempas sang bayung. Terbang ke sana ke mari tanpa tujuan yang pasti.Satu orang yang bisa kujadikan tumpuan saat ini hanyalah Ryan. Aku sama sekali tidak menyangka bila saat ini duniaku justru berporos kepadanya, mantan pacarku saat SMA yang ku tinggalkan hanya karena jarak yang memisahkan. Sebanarnya aku sangat malu. Namun, aku pun tidak bisa berbuat banyak.“Gaffi basah ya bajunya?” tanyanya padaku sambil mengemudi.“Iya Yan, tapi mungkin di koper itu masih ada pakaiannya yang bisa dipakai.”“Hhh … semoga saja,” dengusnya yang kemudian kembali mengemudi hingga kami tiba di sebuah rumah yang berpagar putih nan tinggi.“Ini rumah siapa Yan?” tanyaku kepadanya. Agak aneh bagiku, seba

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-04
  • Suami kedua Lebih Berasa   9. Wanita itu Tanteku

    “Ya, aku akan mengganti semua yang udah kamu kasih untuk aku dan Gaffi ini Yan,” kataku dengan perasaan malu karena telah sangat banyak merepotkan dia.“Karena aku juga, kamu sampai dipecat dari rumah sakit. Terus setelah ini kamu mau kerja apa?” tanyaku kepadanya yang sampai detik ini aku juga tidak tahu banyak mengenai seluk beluk keluarganya.Ryan terdiam, dia mengunyah makanannya dengan santai dan menatapku datar. Tatapan yang mana aku merasakan tidak ada perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya tatapan biasa antar teman.“Soal pekerjaan mungkin memang ini saatnya aku kembali dan mendengarkan apa kata ayah dan Bundaku. Aku harus menuruti kemauan mereka,” ujarnya yang membuatku semakin bertanya-tanya.“Memangnya, apa kata ayahmu?” tanyaku singkat.Ryan menenggak minumannya, jus jeruk sebagai teman makan malam kami yang dia buat sendiri. “Ya melanjutkan bis

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-05
  • Suami kedua Lebih Berasa   10. Agar semuanya lebih mudah

    “Entahlah Nala, sebelumnya aku sama sekali enggak pernah terlibat dengan kasus yang seperti ini. Dia memfitnahmu dan malah sengaja menyebarkan semuanya di media sosial. Akan seperti apa kebencian ayahmu terhadap ini? Oh iya, apa jangan-jangan kemarin dia juga yang menyampaikan berita ini sampai ibumu jatuh sakit?”Benar, aku tidak berfikiran sampai sejauh itu. Aku sama sekali tidak menduga bila Mas Akbar akan menjadi selicik ini. Sebenarnya untuk apa tujuannya memfitnahku? Buakanya seharusnya dia senang aku pergi tidak meminta dan membawa apapun darinya? Aku juga tidak menyebarkan berita ini ke sosial media. Tapi dia? Oh, kepalaku kembali berdenyut dan merasakan basah di sekitar hidungku.“Nala!” pekik Ryan yang terkejut melihat darah kembali mengucur dari hidungku.“Bunda, Bunda kenapa Om Dokter?” tanya Gaffi kepada Ryan yang merangkul tubuhku yang limbung.Ryan membawaku ke so

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-06
  • Suami kedua Lebih Berasa   11. Tamu yang Kubenci

    Tamu yang Kubenci “Em, lumayan dimudahkan,” jawabku kepadanya yang kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Sebenarnya, di saat mereka sedang berdua seperti ini, aku merasa bila Gaffi jauh lebih bahagia dengan Ryan dari pada dengan ayahnya sendiri. 6 tahun yang lalu saat putraku baru lahir, semuanya masih berjalan baik. Mas Akbar, masih tampil sebagai suami yang paling sempurna di mataku. Lalu … di malam kebangkrutan itu, di saat dia menghilang selama 3 hari dari kami, semuanya berubah. Entah apa yang dia lakukan di luar sana, entah apa yang dia upayakan, aku sama sekali tidak tahu. Hanya saja, semenjak hari itu, dia jadi menjaga jarak denganku dan hanya mau medekatiku ketika akan mengeluarkan air maninya. Iya, semua ini baru ku sadari setelah semalam aku memikirkan semuanya. Aku baru sadar itu, sikapnya berubah sudah semenjak Gaffi berumur 5 tahun. Semenjak satu tahun yang lalu dia menjauhiku. Sering pulang malam dan jarang meluangkan waktu. Seharusnya aku mendengarkan keluhan d

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-07
  • Suami kedua Lebih Berasa   12. Pertengkaran di Tengah Badai

    Pertengkaran di Tengah Badai “Enggak bisa Nala, mau sampai kapan kamu menghindar? Kita harus temui dia,” kata Ryan padaku. “Tenang, jangan takut. Ada aku okay?” ucapnya yang berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng bersamaan dengan luruhnya air mataku. Aku sudah begitu jengah menghadapi sin dalam drama ini. Menguras tenagaku dan membuatku sesak dalam bernapas. “Iya, ada kamu tapi mau apa kalian kalau bertemu? Berkelahi lagi? Saling adu tinju lagi? Udah Yan, udah,” kataku dengan terus menarik lengannya. Itulah yang aku benci dari seorang pria. Amarahnya dan egonya. Keduanya seperti trisula sedang yang satunya lagi adalah harga diri yang teramat tinggi. Benar atau salah yang penting marah, itulah mereka dari yang sejauh ini aku pahami. Selalu saja seperti ini. “Kalau kalian bertemu siang hari terserah Yan, ini malam hari. Aku takut kalian kalap, sudahlah lebih baik kamu minta bantuan keamanan lingkungan sini saja,” usulku yang tidak berpikir panjang. “Nala, tidak bisa seperti ini. Saa

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-08

Bab terbaru

  • Suami kedua Lebih Berasa   63. Membesarkannya tidak harus bersatu (END)

    Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad

  • Suami kedua Lebih Berasa   62. Keindahan Masa Lalu tidak Akan Menghapus Luka

    "Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru

  • Suami kedua Lebih Berasa   61. Bagaimana Bersikap Dengannya

    61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem

  • Suami kedua Lebih Berasa   60. Kemarahan Ryan

    60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya

  • Suami kedua Lebih Berasa   59. Hari Pesta Pernikahan

    59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa

  • Suami kedua Lebih Berasa   58. Ganjalan di hati Nala

    "Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan

  • Suami kedua Lebih Berasa   57. Dalang dibalik semua kejadian lalu adalah dia?

    57. Siang itu, mereka diundang untuk datang memeriksa persiapan pesta pernikahan keduanya. Ryan dan Nala keduanya menuju ke kediaman Mama Ratna. Wanita paruh baya itu menyambut bahagia kedua anaknya tersebut. "Afi," sapa mama Ratna kepada Gaffi yang baru saja turun dari mobil. "Nenek!" Gaffi tak kalah senang melihat wanita paruh baya yang ia panggil nenek itu. "Lihat itu senang banget sama anak kecil. Kamu belum ada hasil juga? Aku udah enggak sabar," kata Ryan sembari terus mengusap lenganku. "Belum Yan, kamu kurang dalem nancepnya. Hahahaha," canda Nala sambil tertawa terbahak-bahak. "Enggak usah dalam-dalam aja kamu udah jerit-jerit. Hahaha," balas Ryan yang kemudian membuka pintu dan turun meninggalkan Nala yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ih, tapi memang dia bener sih. Setelah aku rasa-rasakan, sensasinya memang beda. Jauh dan tidak seperti pada saat aku bersama Mas Akbar. Punyanya lebih besar dan panjang." Nala membayangkan ukuran milik kedua pria itu. Ryan yan

  • Suami kedua Lebih Berasa   56. Sekotak Bangkai

    Pov 3. Setelah hari di mana Gaffi mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, setelah itu juga Akbar seolah menarik jarak dari ke duanya. Sebenarnya bukan hanya Gaffi yang Akbar rindukan, melanikan Nala juga. Rasa bersalah itu sangat besar. Membuatnya tersiksa. Terlebih setelah kejadian di mana dia berkelahi sampai di lempar dari lantai dua. Setiap malam Akbar selalu saja mengalami mimpi buruk. Tentang kejadian itu. Kejadian yang menyisakan trauma baginya. “A …!” teriak Akbar saat ia tiba-tiba terjaga. “Ada apa?” tanya bu Rohimah, ibu sambung Akbar yang menunggui Akbar di rumah sakit. “Kamu mimpi buruk itu lagi Bar?” Akbar terlihat panik dengan napasnya yang terengah-engah. Mimpi buruk itu membuat lelaki yang kaki dan tangannya patah itu ketakutan. Di setiap mimpinya dia seakan kembali pada saat kejadian. “Iya Bu, aku kembali lagi pada saat itu, sama persis dan aku melihat bagaimana lelaki itu mendorongku jatuh,” jawab Akbar masih dengan napasnya yang terengah-engah. “Semuanya ha

  • Suami kedua Lebih Berasa   55. Keputusan Gaffi

    55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status