Tiara yang masih anak-anak belum bisa menyembunyikan emosinya sepenuhnya.Begitu dia mendengar rumah ini akan jadi milik mereka, dia langsung bertanya dengan penuh semangat, "Benarkah?"Sophie buru-buru menarik lengannya dengan panik, "Tiara, jangan ngomong sembarangan!""Ini rumah Tante Narella."Setelah itu, mata Sophie memerah dan dia menatapku dengan wajah sedih."Narella, aku nggak pernah berniat merusak hubunganmu dan Kak Michael.""Aku akan pergi sekarang, kamu jangan marah ya."Michael bergegas mendekat dan meraih lengan Sophie.Sophie jatuh ke pelukannya.Michael buru-buru memeluknya, tapi saat tatapan kami saling beradu, Michael buru-buru melepaskan tangannya.Kilatan keengganan muncul di mata Sophie dan detik berikutnya terganti dengan keluhan."Kak Michael, sudah nggak usah membujukku lagi. Memang kami yang sudah mengganggumu."Dia bicara sambil menitikkan air mata, Sophie tampak seperti bunga cantik yang layu.Tiara memeluk Sophie dan menangis tersedu-sedu."Mama jangan me
Michael pergi dengan marah.Yang menghilang di saat bersamaan adalah makian kasar ibuku.Ketika mobil lewat di depanku, aku melihat wajah bangga Sophie.Dia pikir dia telah menang.Sekali lagi aku terpisah dari semua sanak saudaraku, bagaikan orang malang yang kesepian.Tapi aku tidak peduli sama sekali.Baik orang tuaku, suamiku, atau anakku, aku tidak menginginkan semuanya lagi.Kalau Sophie mau, ya sudah. Kuberikan saja padanya.Entah karena berada di lingkungan yang keras, tiba-tiba semua kenangan buruk itu perlahan-lahan memenuhi pikiranku.Aku ingin sekali menangis, bukan karena sedih, tapi hanya karena ingin melampiaskannya.Tapi aku tidak berani menangis, aku takut wajahku akan tersengat air mata, yang niscaya akan memperburuk keadaan.Aku melangkah, menyeret kakiku satu persatu sampai mati rasa. Kepalaku terasa pusing dan aku tidak lagi terpikir semua hal buruk itu.Ketika aku akhirnya menemukan tempat untuk berteduh dan mencegat taksi, tiba-tiba taksi itu tergelincir, menabra
Kata-kata Arthur sangat mengejutkan hingga aku hampir melompat dari tempat tidur.Michael tiba-tiba meninggikan suaranya, "Apa katamu? Siapa kamu?"Arthur langsung mematikan telepon.Melihatku menatapnya, dia tersenyum canggung dan berkata, "Aku nggak bermaksud nyumpahin kamu mati, tapi menurutku suamimu keterlaluan.""Masa istrinya masuk rumah sakit karena kecelakaan dia nggak tahu?""Semua orang menelepon untuk mengabarinya, tapi nggak bisa. Sudah nggak kontak dua hari masa nggak khawatir sama sekali?""Kak, sejujurnya ... seleramu dalam memilih pria jelek banget sih."Aku tersenyum tak berdaya dan bergumam, "Bukan cuma urusan milih suami, aku juga bodoh dalam memilih orangtua dan sahabat."Bahkan aku melahirkan anak yang durhaka.Aku menelan kepahitanku dan bertanya, "Boleh bantu aku pesan makan siang?"Aku belum makan sejak tadi malam, jadi aku sangat lapar.Arthur langsung mengeluarkan ponselnya dan menanyakan apa yang ingin aku makan.Aku tidak nafsu makan, jadi aku hanya meminta
Michael mengerutkan kening saat melihatku memanggilnya mantan suami.Kupikir dia akan menuduhku keras kepala dan kehilangan kesabaran seperti sebelumnya.Tidak disangka, dia hanya menghela nafas, mengelus kepalaku dan berkata, "Masih marah? Sayang, maaf ya aku sudah nggak peduliin kamu, ke depannya aku janji akan berubah.""Kamu jangan marah lagi ya.""Kamu bisa pergi ke mana tanpa aku?"Meskipun aku tidak tahu kenapa tiba-tiba sikapnya berubah seperti ini, tapi aku tidak senang mendengar kalimat terakhir ucapannya."Dunia ini 'kan besar, kenapa aku bisa nggak punya tempat tujuan?"Michael berkata, "Bukan itu maksudku."Aku terlalu malas bicara dengannya.Sepertinya orang ini tidak mau bagi harta denganku, tapi aku tidak tahu apa alasannya tidak mau menceraikanku.Aku melihat Sophie sekilas dari ujung mataku. Aku pun memindahkan api permusuhan ini padanya."Hei, bisa nggak kamu keluar dari kamarku?"Wajah Sophie langsung memerah, dia terlihat hampir menangis dan berkata dengan hati-hat
Harus diakui, Arthur lebih terampil membedakan mana wanita yang munafik dan mana yang tidak dibandingkan Michael.Aku mengambil apel yang sudah dia kupas, lalu berkata dengan nada mengejek, "Oh, mungkin itu depresi."Aku terdiam sebentar, lalu berujar dengan nada menekankan, "Depresi berat.""Depresi berat apanya?" sahut Arthur dengan riang. "Dia itu menderita skizofrenia, harusnya dia dirawat di rumah sakit jiwa. Gejalanya harus diobati biar bisa segera pulih."Aku pun tertawa terbahak-bahak.Michael hanya menatapku dengan tidak percaya.Dia pasti tidak menyangka aku sebegitunya berhati dingin sampai-sampai ikut mengolok-olok Sophie yang sedang sakit.Namun, aku yakin dia paling tidak suka dengan kenyataan bagaimana aku selalu bersikap seperti patung di hadapannya padahal aku bisa tersenyum manis di hadapan pria lain.Api kecemburuan bergelora dalam hatinya, dia pun menegurku dengan marah,"Cukup, Narella! Bisa-bisanya sekarang kamu jadi seperti ini? Pantas saja orangtuamu sangat kece
Tiga bulan lalu, seorang preman yang melecehkan Sophie sudah dibebaskan dari penjara.Aku langsung menemuinya pada hari pertama dia bebas.Aku tidak pernah lupa ucapan Sophie terkait ada temannya yang sudah menunggunya di jalan itu.Menurutku, jika memang ada orang seperti itu, mungkin dialah satu-satunya saksi yang bisa membuktikan bahwa aku tidak bersalah.Aku menelusuri semua teman Sophie di sosial media, tetapi tidak menemukan apa pun.Itu sebabnya aku menduga bahwa "teman" yang Sophie maksud adalah preman ini.Pada akhirnya, bukan hanya aku berhasil mengetahui identitas sebenarnya dari "teman" itu, tetapi juga semua faktanya.Besok, akan kubeberkan semua fakta ini untuk membongkar kedok Sophie.Aku juga akan memberikan Michael sebuah perceraian yang dramatis.Setelah mengatur semuanya, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku seolah mendengar ada yang bertanya kepadaku, "Kalau memang kamu nggak peduli, kenapa kamu harus minum obat antidepresan?"...Keesokan harinya, setelah keluar dari
Sorot tatapan Sophie langsung terlihat waspada.Sepertinya dia tidak bodoh-bodoh amat. Dia tahu betapa aku membencinya, jadi wajar saja dia bertanya-tanya untuk apa aku sampai menyiapkan hadiah buatnya.Belum sempat Sophie menolak, seorang pria berambut pendek sudah berjalan keluar dari kerumunan orang yang menonton keributan kami.Sophie sontak terkejut. Dia langsung mengambil beberapa langkah mundur dengan ketakutan sambil refleks menyerukan nama pria berambut pendek itu,"Dicky!"Dicky Nolan mengembuskan asap rokok dari mulutnya, matanya menatap wajah Sophie dengan jahat."Hei, Mantan, sudah lama nggak ketemu, ya. Kamu kelihatan baik-baik saja. Apa janjimu untuk menikahiku setelah merebut semua harta Keluarga Dimant itu masih berlaku?"Orangtuaku sontak menatap Sophie dengan mata yang terbelalak kaget.Sophie menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan, "Jangan percaya ucapannya, Ayah! Ibu! Dia ... dia itu salah satu preman yang waktu itu!"Kemudian, Sophie menatapku dengan marah
Unggahan itu memang tidak menyebutkan nama siapa pun, tapi tidak kusangka ada banyak teman-teman SMA-ku dulu yang meninggalkan komentar.Tidak lama kemudian, semua kejahatan Sophie pun terungkap.Michael dan orangtuaku juga ikut terkena dampaknya.Ponselku bahkan nyaris meledak selama beberapa hari setelahnya.Aku pun menatap pelaku keonaran yang duduk di hadapanku itu sambil bertanya dengan geli, "Dasar anak nakal. Siapa juga yang menyuruhmu ikut campur?"Arthur meletakkan sepotong daging sapi yang masih hangat karena baru selesai dimasak ke atas piringku, lalu menjawab sambil tersenyum, "Jangan marah, Kak. Aku tahu kamu nggak mau repot-repot menggunakan lukamu untuk membuat orang lain jadi merasa bersalah.""Tapi, menurutku kenapa pihak yang dirugikan nggak boleh angkat bicara? Orang nggak bakal merasa bersalah kalau nggak tahu yang sebenarnya.""Semua ini juga sebenarnya nggak cukup untuk memulihkan lukamu, kamu juga nggak mungkin bisa benar-benar ikhlas melepaskan semua ini.""Jadi