Pagi-pagi sekali Zea sudah membuat sarapan , Gio memintanya membuatkan bekal telur ceplok dan nasi karena katanya hari ini ada pekerjaan pagi-pagi sekali. Dia tidak mau membuat suaminya kelaparan pagi hari dan sepertinya pekerjaan Gio akan sangat melelahkan.
Zea sejak malam sudah membawa telur satu butir ke kamar agar tidak di sembunyikan oleh Ibu sambungnya atau siapa pun yang ada di rumah itu. Pengalaman yang pernah ada, di rumah sendiri seolah-olah dia yang sendang menumpang di rumah itu. "Non, masih pagi tumben?" Bibi bertanya heran. "Mas Gio meminta aku membuatkan dia telur dadar, mau bawa ke tempat kerjanya. Mungkin ada ngerapiin rumah." Zea tersenyum sembari mengambil minyak untuk menggoreng. Melihat Zea yang seperti bukan di rumahnya sendiri, Bibi merasa iba. Harusnya Zea itu menjadi Nona yang hanya duduk dan dilayani. Namun, semua berakhir saat ibunya meninggal dan ayah kandungnya membawa ibu sambung yang menyeramkan seperti Bu Layla. "Heh, Zea. Kamu lagi ngapain?" tanya Sella. Wanita itu usianya di bawah Zea dia tahun, tapi memanggil Zea hanya dengan nama saja. "Kamu tidak lihat aku sedang membuat telur?" "Oh," ujar Sella. Wanita itu sudah rapi akan berangkat ke tempat kerja. Seperti biasa dia menunggu sarapan dulu, tapi karena ada meeting pagi Sella pun terpaksa bangun tidak sesuai jam biasnya. Zea tersenyum saat telur sudah matang dan menaruh di meja. Dia pun gegas mengambil nasi lebih dahulu. Namun, setelah dia berbalik dia tak menemukan telurnya. Hanya melihat Sella yang sedang makan dan Zea melihat ada setengah telur yang sudah di makannya. "Sella, ini telur yang aku buat kan?" tanya Zea dengan nada kesal. "Iya, kenapa?" Sella bertanya dengan santai tanpa rasa bersalah. "Itu aku buat untuk Mas Gio. Kamu buat saja sendiri," ujar Zea. "Aduh, kamu itu tinggal buat lagi aja susah. Nih, sudah habis." Sella melahap sisa telur dadarnya dan hanya berdusta nasi setengah. Sella pun langsung mengambil minum dan tersenyum meremehkan. Tidak Ibunya, Kakaknya, dia pun senang melihat Zea kesusahan. Sella pun mengambil tas dan meninggalkan meja makan. "Sella, kamu ganti!" titah Zea. Ibu dan Ayahnya keluar kamar mendengar keributan di luar. "Ada apa sih?" tanya sang ayah. "Sella makan telur yang aku buat untuk Mas Gio. Enggak sopan dia." Zea membela diri walau tahu ayahnya tak akan membelanya juga. "Halah, telur aja. Tinggal buat lagi aja, tapi awas kamu pakai telur Ibu. Beli sendiri loh, jangan pakai telur yang ada di kulkas." Bu Layla sudah mewanti-wanti dirinya. Zea menarik napas panjang, sudah pasti akan seperti itu. Jika Gio tak muncul, dirinya sudah kembali menjawab perkataan ibunya. "Sudah, kita ke dapur saja. Buat kan aku nasi kecap saja," bisiknya pelan. Gio sebelumnya sudah mendengar pertengkaran Sella dan Zea. Makanya dia keluar dan menenangkan sang istri. "Nasi pakai kecap buatan kamu enak kok, tambah royko saja." Gio kembali tersenyum. "Duh, enak banget punya suami kaya Gio. Di kasih nasi garemnjuga masih bisa hidup. Kamu bisa irit tuh, Zea," ujar Dara menimpali. Sejak tadi pun dia juga mendengar percakapan Giondsn Zea. Bu Layla tertawa mendengar ucapan Dara. Benar juga apa yang dikatakan sang anak. "Dar, namanya orang miskin. Lihat aja tuh, kurus begitu. Mungkin makan nasi sama kerupuk aja kalau siang. Beda sama Farhat yang badannya bagus dan bergizi," timpal Bu Layla. Tangan Zea ditahan oleh Gio, dia tak ingin istrinya membalas perkataan ibu dan kakak sambungnya. "Fokus nasi goreng saja, nanti aku kesiangan kalau kamu ladeni mereka." Zea pun menurut dan membuat nasi kecap untuk Gio, ada rasa sedih dan sesak di dada Membayangkan suaminya mencari nafkah di luar hanya dengan sarapan nasi kecap saja. Sembari menggoreng, berulang kali Zea mengusap air mata yang mengalir di pipi. Dari tempat duduk Gio pun memperhatikan sang istri. Gio pun sama sebenarnya merasa jengkel, tapi dia tidak mau melakukan hal yang gegabah dan membuat Zea kembali menderita lagi. "Nasinya sudah. Mas, aku mau mencari pekerjaan baru, katanya ada pekerjaan di gedung besar tidak jauh dari kota. Mungkin aku bisa melamar di sana dan menambah uang buat sehari-hari kita." "Gedung di dekat kita?" "Iya." "Yang warna Biru di pinggir kota yang ada kafe-kafe besar juga?" "Iya, Mas." "Jangan." "Jangan, kenapa?" "Eh, itu ---" ***Zea bingung dengan suaminya, mungkin Gio tidak mau dirinya terlalu lelah dengan pekerjaan baru. Namun, Zea mencoba menangkan suaminya jika dirinya akan baik-baik saja dan tidak lelah. Demi mendapatkan tambahan uang, bahkan agar tidak di hina terus menerus. Jika dia bekerja di tempat bagus pun mungkin gaji akan lebih besar. "Mas, kenapa?" Zea bertanya karena melihat wajah Gio yang berbeda. "Eh, enggak. Kaget aja, bukannya itu kantor besar, kamu mau melamar mau menjadi apa?" tanya Gio. Sedikit masam, Zea pun malah terdiam. Mendengar ucapan suaminya membuat dia sadar jika memang gedung besar itu tempat orang pintar dan berpendidikan tinggi. Mungkin, dirinya hanya pantas menjadi SPG di mall saja. atau buruh cuci Seperi yang sering di katakan oleh keluarganya. Zea tidak jelek, hanya saja mereka selalu meremehkannya. "Kok masam, maksud Mas enggak merendahkan kamu. Tapi, hanya bertanya apa ada lowongan juga buat Mas. Kali aja Mas yang kerja kamu tetap jaga toko di mall," ujar Gio.
Sontak ucapan Zea membuat kedua orang tua itu bungkam. Seketika tubuh Pak Mansyur mendadak lemas dan seolah tak bertulang. Dia tidak menyadari selama ini sang anak tahu kalau rumah ini adalah milik ibunya dan bukan milik ayahnya. Zea tersenyum lalu mengambil tas, dia tak mau meladeni keduanya karena takut telat dan kehilangan pekerjaan. Sudah hampir 30 menit dia dibuat kesal oleh Dara. Pintu tertutup dengan keras, Bu Layla menatap suaminya yang masih begitu pucat. "Pa, bagaimana ini. Rumah ini belum atas nama Papa?" tanya Bu Layla cemas. Pak Mansyur tidak berpikir sampai seperti itu karena dia berpikir jika Zea itu tidak akan mempermasalahkan masalah rumah yang mereka tinggali sekarang. Namun sepertinya pria tua itu salah karena dia lupa jika Zea sudah dewasa dan dia tahu jika memang rumah ini memang rumah peninggalan dari ibunya. Dia pun sudah lama mencari Di mana berkas-berkas rumah tapi tidak menemukannya. "Pa, jawab." Bu Layla kembali bertanya karena melihat sang s
Nur, dia pun terkadang suka bicara asal. Tanpa sadar terkadang menyakiti hati Zea. Apalagi saat Zea memperkenalkan Gio padanya. Namun, temannya itu sangat baik karena dari dirinya Zea suka meminjam uang. "Maaf, ya. Eh, kamu sudah melamar ke gedung besar itu belum?" tanya Nur mengalihkan pembicaraan. "Baru mau, nanti mau ke sana pas jam makan siang." Zea mengerutkan kening. Dia sudah malas membahas masalah suaminya. Ini dia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum jam makan siang karena dia akan pergi ke gedung depan untuk menaruh lamaran. Zea sudah bertekad untuk mencari pekerjaan tambahan untuk keluar dari rumah. Terkadang ia merasa sulit karena rumah itu adalah rumah kenangan bersama ibunya. "Nanti aku antar pakai motor kalau mau ke gedung depan." Zea pun gegas merapikan beberapa barang untuk display. Beberapa harga dia susun rapi juga beberapa vitamin obat mahal dia geser. Bekerja di sebuah apotek yang berada di mall sungguh menguras tenaga. Sel
"Ada apa Aleta?" tanya Gio. "Di meja Pak Gior. tempat makan siapa? Pak Gior bawa bekal?" Aleta bertanya penasaran karena saat masuk dia melihat sang bos sedang memandangi tempat makan berwarna merah itu. "Bukan urusan kamu, keluar saja dulu nanti saya keluar setelah merapikan beberapa pekerjaan." Terpaksa Aleta keluar dari ruangan Gior dengan rasa penasaran dan pertanyaan yang ada di kepalanya. "Sejak kapan Pak bos bawa bekal makanan?" Sementara, Gio pun gegas mencoba nasi kecap itu. Lidahnya sedikit tidak menerima, rasanya ya hanya rasa manis. Namun, dia teringat perjuangan Zea. Dengan mimik wajah yang tidak biasa, dia memakan dan bahkan menghabiskan bekal yang dibuat oleh sang istri. Tidak terasa air mata pun hampir menetes. "Apa orang miskin itu ada yang setulus Zea? Mau menerima suaminya yang miskin dan jelek?" Gio terus bermonolog sendiri. Gio meneguk air putih sampai habis. Lalu tak terasa dia mengeluarkan dahak. Sengaja dia makan setelah perut terasa lapa
"Sial kau. Kembali fokus dan biarkan aku membaca dan mempelajari berkas ini. Aku tak banyak waktu karena banyak hal yang akan aku kerjakan," ujar Gio. Arga tak mengganggunya lagi, pria itu sibuk dengan memperhatikan presentasi karyawan mereka. Tidak lama beberapa menit, semua terkesiap saat Gio memukul meja dengan kencang lalu melempar lembaran kertas pada Pak Wawan, manager keuangan bagaian dalam. "Saya tidak terima berkas kacau seperti ini! Semua sudah saya atur dengan baik bagaimana bisa kita mengalami kerugian, hah?" Netra tajam penuh emosi Gio membuat para karyawan terdiam. Tidak ada yang berani jika sang bos sudah marah. Akan ada hal buruk yang terjadi termasuk lembut yang tiada henti. "I--ini memang sudah di perhitungkan dan kita memang rugi 20%," ujar Pak Wawan. Pria tua itu merapikan lembaran kertas yang berserak di lantai. "Kamu sudah bosan bekerja di perusahaan saya, atau kamu sengaja mau membuat perusahaan saya bangkrut?" Suara kencang Gio membuat mereka s
"Semoga saja aku diterima ya. Lumayan kan buat tambahan aku, Mas. Aku enggak mau buat kamu susah, Mas. Sudah masuk dalam permasalahan aku," ujar Zea. Gio terdiam, lalu menarik napas dalam. Rasa ibanya pada Zea membawanya untuk menolong wanita itu. Hanya karena harga minuman murah dirinya malah merasa berhutang nyawa. Gio tertawa kecil, lalu tak sadar dia menggenggam tangan Zea. "Kamu enggak buat beban aku kok, kan aku yang mau menolong kamu dari juragan teh." "Tapi aku enggak enak, aku janji kalau aku aku berhasil keluar dari rumah itu atau menemukan surat-surat rumah mama, mungkin aku bisa mengusir mereka." "Surat rumah?" "Rumah itu milik mamaku, tapi ayahku malah mengakuinya. Menikah dengan nenek sihir dan aku dijadikan seolah-olah anak tiri." Zea menarik napas panjang, lalu kembali menyantap makanannya. Lagi, Guo Merasa heran dengan wanita di hadapannya. Selama ini perlakuan keluarganya sangat parah dan menyakitkan. Tapi, dia bisa tahan dan kuat menghadapi semuanya.
"A--aku enggak mau bahas. Kita pulang takut nanti orang rumah nyariin." Zea pun melangkah cepat, entah kenapa Gio bertanya hal itu. Sudah jelas saat pertama mereka sepakat menikah hanya untuk sementara. Gio menatap tubuh mungil istrinya, lalu tertawa sendiri. "Ternyata pria jelek dan miskin memang tidak laku apalagi dengan wanita miskin." Sepertinya Gio ragu jika Zea memang wanita yang sederhana dan wanita yang bisa membuat dirinya jatuh cinta. "Tidak ada ketulusan yang benar-benar tulus." Gio melangkah mengikuti Zea yang sudah agak jauh. Namun, langkah pria itu begitu lebar hingga bisa menghampirinya. Keduanya sampai di rumah, baru saja sampai di depan rumah sudah mendapat teriakan. "Duluan, saya mau ke warung dulu," ujar Gio. "Zea! kamu ini kerja apa sih, kok sampai malam kaya gini!" teriak Bu Layla. "Bu, aku lembur," jawab Zea berbohong. "Oh, kalau gitu Ibu minta uang gaji kamu lebihan sama lembur kamu. Sini." Bu Layla mengenadah tangan. Zea menggeleng,
"Di mana orang itu?" tanya Gio yang sudah datang ke lokasi di mana Arga menunggunya. Tidak sia-sia selama ini dirinya berada di tempat itu. Arga beserta anak buahnya mendorong paksa tiga pria hingga terjerembab di bawah kaki Gio. "Bos, mereka sudah mengaku!" Gio membungkuk melihat wajah-wajah seperti apa yang membuat kerugian besar pada perusahaannya baru-baru ini. Hampir satu tahun mereka mengalami kerugian akibat lamanya proyek pembangunan gedung kantor baru. Harusnya gedung kantor sudah berdiri megah di sana. Akan tetapi, hampir satu tahun masih saja hanyabterlihat kerangka saja. Selidik punya selidik, ternyata mandor itu tidak membayar full pekerja dan hanya membatasi beberapa tukang untuk dipekerjakan di gedung itu hingga memakan waktu hampir satu tahun yang harusnya enam bulan berjalan sudah selesai karena Gio pun sudah mengalokasikan dana beserta hal-hal lainnya. Semua bermula dari informasi sang kakek yang memintanya datang untuk kembali ke Jakarta. Sebelumnya se