"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"
Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.
Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya.
"Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.
Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.
Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.
Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?
Ataukah jangan-jangan ....
Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.
Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"
Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu. Tapi memang apa hubungannya para pegawai itu dengan masalahmu ini?"
"Kamu tak perlu tahu detailnya!" jawab Fazar dingin.
"Tentu aku harus tahu karena saat ini akulah yang menjadi pemimpin sementara Exco Group," balas Kaiden menyeringai keji.
"Persetan!" bentak Fazar mengumpat. "Aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya ingin kamu memecat satu orang saja. Apakah itu sulit untukmu?"
Kaiden tertawa terpikal-pikal. "Hahaha ... Ya kamu dan sikap manjamu tidak pernah berubah."
Fazar mencebik, tetapi tidak menanggapi provokasi kakak tirinya, membuat Kaiden dengan bebas terus melanjutkan celaannya.
"Kupikir setelah kabur dari rumah, kamu akan sedikit dewasa. Nyatanya sama saja. Bossy."
Geraman meluncur dari celah bibir Fazar yang murka. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak menonjok wajah angkuh kakak tirinya.
"Setelah lama menghilang bertahun-tahun, kupikir kamu sudah mati loh, Dek," ungkap Kaiden dengan seringai di wajah, menggoda Fazar yang lalu menggebrak meja.
"Cukup! Jangan main-main denganku!"
Ayah dari Ferro dan Cerry itu berdiri, lalu mencengkram kerah kemeja Kaiden. Di sisi lain sang kakak justru semakin melebarkan seringai, tidak merasa marah atas perlakuan kasar adiknya. Toh, Kaiden sudah terbiasa diperlakukan tidak sopan begini.
"Oke. Tenang, Little Bro. Mari kita bicarakan ini baik-baik," putus Kaiden melepaskan cengkraman Fazar.
"Ceritakan dulu semua masalahmu! Baru aku akan mempertimbangkan untuk membantu atau tidak."
Tidak ada pilihan lain, Fazar pun menjelaskan semua masalahnya dari mulai bertemu Amanda, menikahinya lalu diduakan oleh wanita bersurai ikal itu.
Di sisi lain, Kaiden menjadi pendengar yang baik, tak sekalipun ia memotong keluh kesah sang adik tiri. Kisah hidupnya nano-nano sekali. Sampai akhirnya pun Fazar selesai bercerita dan Kaiden masih diam di posisi.
"Gila! Kisah hidupmu seperti sinetron saja, Naren. Apa kamu yakin tidak sedang syuting film?"
Fazar mendengkus dengan komentar tak penting dari kakaknya. "Aku di sini bukan untuk mendengarkan komentarmu. Aku di sini hanya ingin kamu memecat Amanda."
Seketika itu juga Kaiden terdiam, lalu berdehem. "Mungkin saja. Coba mari kita lihat siapa istrimu ini."
Kaiden lalu mengarahkan tatapan matanya pada leptop yang ada di meja, mengutak-atiknya sebentar. Mulai membaca dan mempelajari profil tentang wanita bernama Amanda.
"Tunggu! Tadi kamu bilang siapa nama suami kedua istrimu itu?" tanya Kaiden membuat Fazar mengernyit dengan pertanyaan spesifik itu. Namun, tetap menjawabnya.
"Marvel. Marvel Yudistira."
Mendengarnya Zidan menepuk jidat. "Astaga."
"Kenapa?" tanya Fazar tak mengerti.
"Dia kan orang yang baru-baru ini dipilih jadi Manajer di Exco Compeny," balas Kaiden terlihat frustrasi.
Fazar melotot. Dia memang mengetahui bahwa Marvel dan Amanda bekerja di perusahaan sama. Namun, tidak tahu jika posisi Marvel ternyata lebih tinggi dari istrinya. Akan tetapi, memang apa masalahnya?
Posisi Kaiden sendiri adalah CEO. Meski itu sementara dan tidak resmi, mengingat seharusnya posisi tersebut di isi oleh Fazar. Tentu saja, memecat seorang Manajer bukan hal yang sulit untuk Kaiden lakukan.
"Aku tidak bisa memecat mereka berdua. Maaf," sesal Kaiden tertunduk.
"Hah? Apa? Tapi kenapa?" tanya Fazar tak terima. "Dia hanya Manajer dan Amanda staf biasa. Itu tidak akan sulit. Masih banyak orang di luar sana yang bisa menggantikan posisi mereka."
Kaiden menghela napas. "Yang kamu katakan tidak salah, tapi Marvel ini ... dia berbeda."
"Berbeda bagaimana?" Fazar semakin dibuat kebingungan.
"Marvel ini dipilih langsung oleh Ayah untuk berada di posisinya. Secara tidak langsung bisa dibilang dia juga asistenku yang membantu mengawasi perusahaan Exco Compeny. Tangan kananku ... Yaa kamu bisa memanggilnya seperti itu," jelas Kaiden panjang lebar.
"Apa? Sejak kapan si tua itu menangani hal seperti ini?" dengkus Fazar berdiri. "Pokoknya aku tidak mau tahu. Aku ingin kamu memecat mereka berdua."
Kaiden ikut bangkit. "Tidak bisa, Naren. Kali ini aku tak bisa membantumu. Jika kamu bersikeras mari kita temui Ayah."
Fazar menepis tangan Kaiden. "Tidak! Aku tak mau bertemu dengan si tua bangka itu. Sampai matipun aku tak akan menganggapnya ayahku."
Sekali lagi Kaiden menghela napas. "Kalau begitu. Maaf, aku tak bisa membantumu. Silakan urus masalah rumah tanggamu sendiri."
Kaiden kembali duduk di kursinya dengan tenang, berbanding terbalik dengan Fazar yang tambah kesal, lalu berteriak frustrasi dan pergi dari ruangan sang kakak setelah berteriak ....
"Persetan denganmu!"
***
Fazar yang pergi dari perusahaan Exc dengan perasaan kesal, kini berakhir di sebuah klub malam. Di tangannya kini terdapat cairan berwarna kemerahan.
Sebenarnya dimulai dari mana kekacauan ini?
Apa salahnya?
Ketika pernikahan yang awalnya berbuah manis kini menjadi pahit. Sangat pahit dan menyakitkan.
Seperti kematian ....
Dengan penuh amarah, Fazar meneguk habis minuman berbau khas di tangannya.
"Ukhh ... Dunia ... memang ... menyebalkan."
Pria yang memiliki dua anak itu mulai sesenggukan. Kepalanya terasa pusing. Namun, di saat bersamaan pun terasa nyaman.
"Bartender ... tambah ... hik ... lagi minumannya ...."
"Maaf tuan, tapi sepertinya anda sudah mabuk," jawab si Bartender merasa keberatan untuk memenuhi keinginan konsumennya.
"Memang ... kenapa?" Fazar membalas sengak, merasa kesal ketika perintahnya tidak dituruti. "Kamu ... hik ... mau melawanku ... juga?"
"Maaf, Tuan. Sebaiknya anda pulang saja."
"Apa? Kamu mengusirku?!" hardik Fazar berdiri. Wajahnya benar-benar sudah memerah dengan tatapan mata sanyu.
"Kamu tidak tahu siapa aku?!"
Menyadari akan ada kegadungan, Si Bartender memberikan kode tangan pada penjaga bar, menyuruh mereka untuk menyeret Fazar ke luar.
"Silakan pergi. Tolong jangan buat keribuan di sini," ujar salah satu penjaga.
"Sialan! Kamu meremehkanku, Hah?" teriak Fazar memberontak. Akan tetapi, kondisi yang kacau balau membuatnya tak bisa berkutik. Suami dari Amanda itu lalu ditendang keluar bar.
"Jangan datang ke sini lagi!"
Salah satu penjaga meninggalkan Fazar yang terbaring pingsan di jalanan.
Beberapa saat kemudian sesosok manusia berlutut di dekat suami Amanda, lalu mengusap surai hitamnya.
"Kasian sekali kamu, Nak."
Bersambung.
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Eungg ...." Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini. Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. "Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?" Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun. "Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar
"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu.""Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi."Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal.""Mahal?" ulang Fazar tidak percaya."Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda.""Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat m
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Aku ingin bertemu dengan Cerry dan Ferro."Untuk sekian kalinya, Fazar meminta pada Amanda. Sejak diusir dari rumah tiga hari yang lalu, ia berusaha untuk menemui anaknya. Fazar sangat khawatir, mengingat pertemuan terakhir mereka, baik Ferro dan Cerry menangis histeris.Akan tetapi, permintaannya hanya ditanggapi dengan Amanda yang sibuk menyuapi Marvel buah-buahan potong. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa mereka mengacuhkan keberadaan Fazar. Seakan-akan dia ini makhluk tidak kasar mata.Merasa geram, Fazar pun menyentak. "Amanda, kamu mendengarku? Tolong, pertemukan aku dengan anak-anak."Brak!Amanda menghentakan garpu di meja dengan kuat. Wanita berusia 27 tahun itu lalu berdiri dan menatap nyalang suami pertamanya."Kamu tidak bisa bertemu dengan anak-anak. Sebaiknya kamu pergi saja, sana!" usir Amanda menunjuk pintu keluar."Jangan keterlaluan, Amanda. Aku ini ayah mereka," jawab Fazar tidak kalah bengis.
"Apa? Coba ulangi sekali lagi!"Rahang Fazar mengeras, wajahnya menunjukan amarah yang siap meledak kapan saja. Nada suaranya pun memberat, bergema menahan luapan emosi yang bergejolak yang disebabkan oleh pernyataan sang istri."Mau sampai kapan Mas bertanya begitu?"Amanda menggerutu, memutar mata bosan. Tidak ada sedikitpun binar penyesalan di wajahnya yang telah melakukan tindakan tercela."Sudah kukatakan, Mas. Dia ini Marvel, suami baruku." Sekali lagi dengan santainya Amanda memperkenalkan pria lain di hadapan suami sahnya sendiri.Prang!Seketika itu juga Fazar langsung melemparkan gelas yang baru saja dicuci olehnya tadi. Raut wajah pria dengan surai hitam sebahu itu menegang, tersorot api kemarahan di manik matanya yang memerah terluka."Jangan main-main, Amanda. Ini tidak lucu!" Fazar menggeram menatap tajam istrinya."Memang siapa yang melucu, Mas?" balas Amanda sengit. "Aku serius. Marvel ini suamiku."
Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ...."Papa!"Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta."Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya."Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya."Papa masak nasi goreng kesukaan kalian,"
"Aku ingin bertemu dengan Cerry dan Ferro."Untuk sekian kalinya, Fazar meminta pada Amanda. Sejak diusir dari rumah tiga hari yang lalu, ia berusaha untuk menemui anaknya. Fazar sangat khawatir, mengingat pertemuan terakhir mereka, baik Ferro dan Cerry menangis histeris.Akan tetapi, permintaannya hanya ditanggapi dengan Amanda yang sibuk menyuapi Marvel buah-buahan potong. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa mereka mengacuhkan keberadaan Fazar. Seakan-akan dia ini makhluk tidak kasar mata.Merasa geram, Fazar pun menyentak. "Amanda, kamu mendengarku? Tolong, pertemukan aku dengan anak-anak."Brak!Amanda menghentakan garpu di meja dengan kuat. Wanita berusia 27 tahun itu lalu berdiri dan menatap nyalang suami pertamanya."Kamu tidak bisa bertemu dengan anak-anak. Sebaiknya kamu pergi saja, sana!" usir Amanda menunjuk pintu keluar."Jangan keterlaluan, Amanda. Aku ini ayah mereka," jawab Fazar tidak kalah bengis.
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu.""Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi."Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal.""Mahal?" ulang Fazar tidak percaya."Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda.""Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat m
"Eungg ...." Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini. Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. "Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?" Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun. "Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya."Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?Ataukah jangan-jangan ....Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu.
Selalu, lagi dan lagi Fazar dipaksa untuk menerima perlakuan kejam Amanda yang memperbudaknya. Di pesta ulang tahun Marvel hari ini ia diminta ikut bantu-bantu membagikan minuman pada para tamu undangan. "Eh, lihat bukannya pria itu suami pertamanya Amanda?!" Bisikan dari seorang tamu menyapa indera pendengaran. Mau tak mau, Fazar pun ikut mencuri dengar. Ia ingin tahu apa tanggapan orang banyak tentang tindakan menjijikkan istrinya. Kasus POLIGAMI memang sudah biasa. Namun, POLIANDRI itu luar biasa. Luar biasa GILA lebih tepatnya! "Iya. Itu Fazar suami sahnya Amanda." Wanita lain yang tak diketahui namanya ikut berghibah ria. Memang meski berbisik, tetapi suara mereka terlalu keras seakan-akan disengaja untuk didengar banyak orang. "Kok, dia mau ya di Poliandri? Apa harga dirinya sebagai lelaki sudah menumpul?" "Hehe... maklumi saja Amanda-kan wanita karir mapan. Sedangkan dia cuman pegawai bengkel." "Hm ... Iya juga sih. Apalagi kudengar suami barunya juga punya jabatan baik
Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ...."Papa!"Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta."Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya."Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya."Papa masak nasi goreng kesukaan kalian,"