"Apa? Coba ulangi sekali lagi!"
Rahang Fazar mengeras, wajahnya menunjukan amarah yang siap meledak kapan saja. Nada suaranya pun memberat, bergema menahan luapan emosi yang bergejolak yang disebabkan oleh pernyataan sang istri.
"Mau sampai kapan Mas bertanya begitu?"
Amanda menggerutu, memutar mata bosan. Tidak ada sedikitpun binar penyesalan di wajahnya yang telah melakukan tindakan tercela.
"Sudah kukatakan, Mas. Dia ini Marvel, suami baruku." Sekali lagi dengan santainya Amanda memperkenalkan pria lain di hadapan suami sahnya sendiri.
Prang!
Seketika itu juga Fazar langsung melemparkan gelas yang baru saja dicuci olehnya tadi. Raut wajah pria dengan surai hitam sebahu itu menegang, tersorot api kemarahan di manik matanya yang memerah terluka.
"Jangan main-main, Amanda. Ini tidak lucu!" Fazar menggeram menatap tajam istrinya.
"Memang siapa yang melucu, Mas?" balas Amanda sengit. "Aku serius. Marvel ini suamiku."
"Keparat!" umpat Fazar tak bisa lagi menahan diri. Dengan kasar ia mencengkram bahu wanita yang dinikahinya tujuh tahun lalu.
"Kalau dia ini suamimu ... " Fazar melirik sinis si pembinor. "Lalu aku siapa? Pembantu?!"
Saking kesalnya dengan tingkah semena-mena Amada, Fazar semakin menguatkan cengkeramannya di bahu sang istri hingga membuat Amanda meringis kesakitan. Namun, Fazar tak peduli. Hatinya jauh lebih sakit akan permainan api ini.
"Lepaskan aku, Mas! Kamu menyakitiku!" bentak Amanda mendorong tubuh Fazar menjauh.
"Siapa yang lebih tersakiti di sini, Amanda?!"
Sungguh, Fazar tak habis pikir dengan pola pikir ibu dari anak-anaknya. Bisa-bisanya Amanda mendua seperti ini. Apa dia sudah kehilangan akal atau apa?
"Kenapa kamu membawa pria lain ke rumah kita?" ringis Fazar frustrasi.
"Memang kenapa jika aku membawanya? Toh, kalian berdua sama-sama milikku."
Jawaban santai itu semakin membuat Fazar sakit hati, tangannya terkepal kuat. "Kamu sudah sangat keterlaluan, Amanda. Kalau seperti ini lebih baik kita cerai saja. Aku muak dengan tingkahmu!"
"Tidak masalah. Aku akan sangat berterima kasih malah."
Fazar terbelalak. Sungguh, tak menduga respon Amanda yang sangat angkuh. Istrinya bahkan tertawa mengejek dan melanjutkan hinaannya.
"Lagi pula kamu pasti hanya menggertak saja. Aku tahu kamu sangat mencintaikukan, Mas?"
Fazar menggeram marah. Sungguh tak terima jika perasaannya dijadikan sebagai alasan untuk bertindak di luar batas. "Dan itu membuatmu bebas untuk menduakanku?!"
"Tentu saja. Dasar lelaki bodoh!"
Fazar tersinggung. "Amanda! Jangan keterlaluan. Jangan kira karena selama ini aku sering mengalah membuatmu bisa berlaku seenaknya padaku."
Fazar kemudian menarik pergelangan tangan Amanda dan menyudutkannya di dinding ruang dapur. Fazar mendekatkan wajah mereka, mengabaikan keberadaan Marvel yang menjadi pengamat.
"Lalu kamu mau apa? Mau memukulku?" tantang Amanda tidak terpengaruh dengan tatapan intimidasi suaminya.
"Kamu pun tahu bahwa aku bukan tipe suami seperti itu. Tapi kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Memang apa salahku, Amanda?" Fazar balik bertanya sendu.
"Kamu tidak salah apa-apa, Mas."
"Lalu kenapa kamu mengkhianatiku?"
"...."
"Kenapa diam? Ayo, jawab!" desak Fazar mengangkat dagu Amanda. Keduanya saling bertatapan.
"Ayo katakan! Kenapa kamu mengkhianati janji pernikahan kita. Padahal kau tahu aku sangat mencintaimu."
"Cinta saja tidak cukup untuk membuatku bahagia, Mas!" teriak Amanda marah. "Aku ...."
Fazar menunggu Amanda selesai mengungkapkan isi hatinya.
"Aku malu punya suami sepertimu!"
Deg!
"Ma---malu?" gumam Fazar tak percaya. Bahkan langkah kakinya ikut mundur tak lagi memerangkap tubuh Amanda di dinding.
"Iya. Aku malu. Coba lihat dirimu sekarang, Mas."
Amanda menyodorkan ponsel pintar tepat ke wajah Fazar. Di layar terang itu, Fazar bisa melihat tampilan dirinya sendiri. Rambut gondrong, wajah kusam dan berminyak. Belum lagi pakaian lusuh yang dikenakannya saat ini. Penampilan itu jelas mencerminkan pembantu rumah tangga ataupun tukang kebun.
"Memang kenapa denganku?" tanya Fazar sambil menepis ponsel Amanda. Tatapan matanya berubah dingin.
"Aku berpenampilan seperti ini karena sibuk membersihkan rumah kita dan mengurus keluarga ini. Tidak salah bukan jika penampilanku kucel?!"
"Salah, Mas! Salah!" sentak Amanda geram.
"Aku malu sama teman-temanku setiap mereka melihatmu sebagai suamiku. Mereka bilang ... masa wanita sukses sepertiku punya suami tukang bengkel sepertimu?"
Keluhan yang keluar dari bibir tipis Amanda, membuat Fazar terbungkam. Tidak menyangka jika istrinya akan menyinggung soal penampilan fisiknya yang terkesan buruk rupa.
Padahal selama ini yang mengerjakan tugas rumah tangga dari mulai memasak, mencuci sampai membereskan rumah adalah Fazar. Wajar jika ia tak memiliki waktu pribadi untuk sekadar memotong rambut.
Bayangkan saja, Amanda selalu mengeluh lelah setiap pulang kerja dari kantor. Padahal sama sepertinya, Fazar pun penat seharian mengurus rumah, dan lagi ia masih harus bekerja paruh waktu di bengkel motor.
"Mereka selalu mengejekku, Mas. Katanya suamiku bau oli. Suamiku jelek. Suamiku gondrong. Suamiku ini ... suamiku itu ... aku capek mendengar omongan mereka."
"Terus karena alasan itu kamu akhirnya menikahi pria ini?" tunjuk Fazar pada Marvel. "Karena dia lebih muda dariku. Lebih goodlooking. Lebih fresh, begitu?"
"Iya. Usia Marvel bahkan lebih muda 5 tahun dari kita. Dia pria idamanku."
Mendengar pengakuan itu, terlebih ketika Amanda lagi-lagi berhambur ke pelukan Marvel, membuat Fazar merasa geli sendiri akan hidupnya. Setetes cairan bening terjatuh begitu saja.
Katakanlah Fazar cengeng. Tidak mengapa karena alur hidupnya pun tidak pernah berakhir baik-baik saja. Selalu saja ada yang mengacaukan kebahagiaannya. Ini membuat Fazar muak.
Brak!
"Kamu sudah tidak waras, Amanda!" Fazar menendang perkakas dapur. "Bisa-bisanya kamu ...."
Lidahnya terasa kelu, Fazar tidak sanggup meneruskan umpatan dan makian pada istrinya. Rasanya kemarahan ini tidak cukup untuk mengomentari perbuatan menjijikan Amanda..
"Apa?" tanya Amanda menaikan dagu tinggi. "Yang pasti kami sekarang sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Dan lagi kami ini saling mencintai."
"Mencintai?" ulang Fazar mendengkus sinis. "Aku meragukannya. Apa iya dia mencintai tante-tante beranak dua sepertimu. Paling dia hanya ingin hartamu saja."
Plak!
"Jaga mulutmu, Pengemis!"
Fazar memegang pipi kanannya dan menatap si pelaku penamparan yang tak lain adalah ibu mertuanya sendiri.
"Apa?" tantang Ajeng balik menatap tajam.
"Tahu diri sedikit! Jika bukan karena putriku yang menikahimu, janda miskin itu pasti sudah mati!"
Hati Fazar tertohok akan perkataan nyelekit ibu mertuanya. Terlebih ketika Ajeng membawa-bawa Mbok Marni yang selama ini mengurus Fazar.
"Kamu tidak ingin itu terjadi pada ibu-kan, Fazar? Atau kamu memang ingin kami menghentikan biaya pengobatan ibu miskinmu itu?"
"...."
Melihat reaksi menantunya yang terdiam, Ajeng menyeringai puas dan memberi perintah yang membuat Fazar semakin sakit hati. "Sekarang diam! Dan terima saja Marvel sebagai madu-mu."
"Kamu ini termasuk beruntung. Karena putriku yang baik hati ini tidak melayangkan gugatan cerai. Kalau itu aku, sudah kubuang kamu ke jalanan."
Setelah berkata demikian, Ajeng berbalik arah dan menggandeng tangan Amanda.
"Ayo, Nak, bawa suami barumu ke luar. Kita perkenalkan pada tetangga. Tidak usah mengurusi suami pertamamu ini."
Ajeng melirik sinis Fazar yang terdiam.
"Suka tidak suka, dia harus menerima keputusanmu karena kamulah pemimpin di keluarga ini."
Deg!
Bersambung.
Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ...."Papa!"Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta."Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya."Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya."Papa masak nasi goreng kesukaan kalian,"
Selalu, lagi dan lagi Fazar dipaksa untuk menerima perlakuan kejam Amanda yang memperbudaknya. Di pesta ulang tahun Marvel hari ini ia diminta ikut bantu-bantu membagikan minuman pada para tamu undangan. "Eh, lihat bukannya pria itu suami pertamanya Amanda?!" Bisikan dari seorang tamu menyapa indera pendengaran. Mau tak mau, Fazar pun ikut mencuri dengar. Ia ingin tahu apa tanggapan orang banyak tentang tindakan menjijikkan istrinya. Kasus POLIGAMI memang sudah biasa. Namun, POLIANDRI itu luar biasa. Luar biasa GILA lebih tepatnya! "Iya. Itu Fazar suami sahnya Amanda." Wanita lain yang tak diketahui namanya ikut berghibah ria. Memang meski berbisik, tetapi suara mereka terlalu keras seakan-akan disengaja untuk didengar banyak orang. "Kok, dia mau ya di Poliandri? Apa harga dirinya sebagai lelaki sudah menumpul?" "Hehe... maklumi saja Amanda-kan wanita karir mapan. Sedangkan dia cuman pegawai bengkel." "Hm ... Iya juga sih. Apalagi kudengar suami barunya juga punya jabatan baik
"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya."Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?Ataukah jangan-jangan ....Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu.
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Eungg ...." Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini. Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. "Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?" Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun. "Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar
"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu.""Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi."Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal.""Mahal?" ulang Fazar tidak percaya."Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda.""Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat m
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Aku ingin bertemu dengan Cerry dan Ferro."Untuk sekian kalinya, Fazar meminta pada Amanda. Sejak diusir dari rumah tiga hari yang lalu, ia berusaha untuk menemui anaknya. Fazar sangat khawatir, mengingat pertemuan terakhir mereka, baik Ferro dan Cerry menangis histeris.Akan tetapi, permintaannya hanya ditanggapi dengan Amanda yang sibuk menyuapi Marvel buah-buahan potong. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa mereka mengacuhkan keberadaan Fazar. Seakan-akan dia ini makhluk tidak kasar mata.Merasa geram, Fazar pun menyentak. "Amanda, kamu mendengarku? Tolong, pertemukan aku dengan anak-anak."Brak!Amanda menghentakan garpu di meja dengan kuat. Wanita berusia 27 tahun itu lalu berdiri dan menatap nyalang suami pertamanya."Kamu tidak bisa bertemu dengan anak-anak. Sebaiknya kamu pergi saja, sana!" usir Amanda menunjuk pintu keluar."Jangan keterlaluan, Amanda. Aku ini ayah mereka," jawab Fazar tidak kalah bengis.
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu.""Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi."Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal.""Mahal?" ulang Fazar tidak percaya."Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda.""Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat m
"Eungg ...." Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini. Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. "Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?" Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun. "Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya."Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?Ataukah jangan-jangan ....Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu.
Selalu, lagi dan lagi Fazar dipaksa untuk menerima perlakuan kejam Amanda yang memperbudaknya. Di pesta ulang tahun Marvel hari ini ia diminta ikut bantu-bantu membagikan minuman pada para tamu undangan. "Eh, lihat bukannya pria itu suami pertamanya Amanda?!" Bisikan dari seorang tamu menyapa indera pendengaran. Mau tak mau, Fazar pun ikut mencuri dengar. Ia ingin tahu apa tanggapan orang banyak tentang tindakan menjijikkan istrinya. Kasus POLIGAMI memang sudah biasa. Namun, POLIANDRI itu luar biasa. Luar biasa GILA lebih tepatnya! "Iya. Itu Fazar suami sahnya Amanda." Wanita lain yang tak diketahui namanya ikut berghibah ria. Memang meski berbisik, tetapi suara mereka terlalu keras seakan-akan disengaja untuk didengar banyak orang. "Kok, dia mau ya di Poliandri? Apa harga dirinya sebagai lelaki sudah menumpul?" "Hehe... maklumi saja Amanda-kan wanita karir mapan. Sedangkan dia cuman pegawai bengkel." "Hm ... Iya juga sih. Apalagi kudengar suami barunya juga punya jabatan baik
Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ...."Papa!"Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta."Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya."Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya."Papa masak nasi goreng kesukaan kalian,"