"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.
Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu."
"Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi.
"Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal."
"Mahal?" ulang Fazar tidak percaya.
"Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda."
"Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.
Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?
Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat menyamar menjadi pria yang biasa-biasa saja, Fazar dikhianati oleh Cinta yang meremehkannya karena miskin.
Apakah hakikat Cinta memang selalu memandang ada apanya? Tanpa mau menerima apa adanya. Mungkin itu hanya mitos belaka.
Seharusnya sejak kematian sang bunda, Fazar mematikan perasaannya saja agar tidak lagi disakiti. Namun, sekarang sudah terlambat.
Fazar telah menjadi seorang Ayah dari dua anak. Dan ia pun harus bertanggung jawab. Akan tetapi, jika menyangkut nyawa dari manusia yang dianggapnya ibu, haruskah Fazar tetap bertahan?
"Kenapa kamu diam saja, Amanda? Jawab pertanyaanku!" bentak Fazar lepas kendali saat istrinya tidak menjawab."
Amanda berdecih. "Untuk apa aku membiayai pengobatan ibumu, sedangkan kamu bersikap kurang ajar pada suamiku."
Fazar tertegun. "Jadi ini semua karena aku merusak pesta ulang tahun si Keparat Marvel?"
"Stop, menghina suamiku!" jerit Amanda hendak menampar Fazar, tetapi terhenti oleh dering dari ponselnya.
"Hari ini kamu beruntung, Mas. Lain kali jangan membuatku marah lagi, atau aku akan bertindak lebih dari ini."
Setelah memberikan peringatan dan ancaman, Amanda pergi meninggalkan Fazar dalam gelombang kemarahan yang memuncak. Pria bersurai sebahu itu menendang udara.
"Arghhh ... persetan."
Lalu, dia pergi untuk mengunjungi Mbok Marni.***
"Kamu bilang pada anak sialanmu itu untuk menceraikan Amanda."
"Tapi, Bu Ajeng. Merekakan saling mencintai."
"Itu dulu. Sekarang Amanda hanya mencintai Marvel."
Sungguh, Fazar tidak menduga. Kunjungannya ke rumah Mbok Marni disambut dengan pemandangan yang memilukan. Di mana wanita tua yang selama ini menampungnya sejak keluar dari rumah, terlihat memohon-mohon pada ibu mertuanya.
Ajeng sendiri dengan pongahnya terus mendesak agar Marni mau berbicara dengan Fazat untuk segera menceraikan Amanda. Pemandangan itu sungguh membuat sakit hati, terlebih dengan adanya para tetangga yang menjadi penonton. Mereka berbisik sambil menunjuk-nunjuk Mbok Marni, terlihat menghinanya.
"Sudah cukup, Ibu. Apa yang ibu lakukan?!"
Sungguh, jika tidak ingat bahwa wanita paruh baya berpakaian mewah di depannya adalah ibu dari istrinya, Fazar merasa akan muntah memanggilnya sebagai ibu. Ingin rasanya ia mengumpat dan memanggil nama si wanita itu dengan sebutan yang paling buruk. Namun, Fazar menahannya.
Dia tidak ingin Mbok Marni kembali disalahkan dan dianggap tidak becus mendidik anak karena ketidak sopanannya. Padahal Mbok Marni hanyalah janda tua yang tidak bisa punya anak. Namun, semenjak kepindahan mereka tujuh tahun lalu, yang orang-orang kompleks perumahan Anggrek tahu, Fazar adalah putra Mbok Marni.
Sebenarnya ada alasan sendiri kenapa Fazar memilih memanjangkan rambutnya, itu untuk menyembunyikan identitas aslinya sebagai Naren. Mengingat wajahnya saat SMA dulu tercetak di majalah-majalah bisnis maupun Fahsion."Ah, akhirnya kamu datang juga. Ini tanda tangani berkas ini."Ajeng menyerahkan berkas biru ke tangan Fazar yang langsung membukanya sambil bertanya. "Apa ini?"
"Surat perceraianmu dengan Amanda."
"Apa?"
Fazar terbelalak tak percaya akan pengakuan enteng sang ibu mertua. Ajeng bahkan sempat-sempatnya menyilangkan tangan santai. Seolah-olah tiada beban saat memutuskan masalah prahara di rumah tangga anaknya sendiri.
"Apa maksud, Ibu? Kenapa memutuskan hal seperti ini tanpa membicarakannya dulu denganku dan Amanda?" tanya Fazar geram dengan tingkah Ajeng yang kini sudah kelewatan batas.
Dari dulu ibu mertuanya ini memang selalu ikut campur dalam urusan rumah tangganya dengan Amanda. Dan sialannya Amanda selalu mengikuti perkataan ibunya.
Fazar jadi curiga. Jangan-hangan yang membuat Amanda setuju menikahi Marvel adalah bujuk rayu dari sang ibu mertuanya ini?
Jika memang seperti itu alasannya. Demi Tuhan, Fazar tidak akan memaafkan Ajeng. Ditambah perlakuannya kini yang terus memaksa Fazar untuk bercerai dengan Amanda.
"Tidak perlu ada pembicaraan lagi, Fazar. Kamu melihat sendirikan sikap Amanda semalam?"
"...." Fazar tidak bisa menjawab. Mau menyangkal pun terasa tidak berguna.
"Putriku sudah tidak lagi mencintaimu. Terimalah kenyataan yang ada."
"Tapi, Bu_____"
"Tenang saja, untuk masalah hak asuh anak. Kamu dan Amanda-kan memiliki dua putra-putri. Kalian bisa membawanya satu-satu."
Mendengar pernyataan itu, Fazar menggeram. "Aku tidak akan pernah memisahkan Cerry dan Ferro."
Ajeng mendengkus sinis. "Kalau begitu bawa saja keduanya. Toh, aku yakin Amanda akan kembali memberikanku Cucu dengan Marvel. Dan itu pasti lebih berkualitas darimu."
"Ibu!"
"Sudah, Fazar. Jangan membentak mertuamu seperti itu. Itu tidak baik," sahut Marni mencoba mendamaikan keadaan yang semakin memanas.
"Tapi, Mbok_____"
"Tidak apa-apa. Biar Mbok yang mengatasi ini." Marni mendorong Fazar ke sisi, sehingga kini ia berhadapan lagi dengan Ajeng.
"Tolong, Bu Ajeng juga tenang. Jangan mengambil keputusan seenaknya sendiri. Kasihan anak-anak," tutur Marni menasehati.
"Akan lebih kasihan jika aku terus membiarkan putriku memiliki suami seperti putramu," sinis Ajeng melirik Fazar tajam.
Sementara menantunya sendiri, tangannya terkepal kuat. Jika bukan karena dihalangi Mbok Marni, ia ingin sekali memukul wajah ibu mertuanya yang tidak tahu diri.
"Merupakan suatu kesalahan besar ketika aku merestui pernikahan mereka dulu. Jujur saja bagiku pernikahan antara Amnada dan Fazar itu tidak sah," pungkas Ajeng melanjutkan, membuat semua orang yang menyaksikan terkejut bukan main dengan pengakuannya.
Marni sendiri langsung beristighfar, sedangkan Fazar, wajahnya berubah memerah menahan luapan amarah.
"Astaghfirullah ... Nyebut, Bu Ajeng. Tidak baik berbicara seperti itu."
"Alah, kamu pun sama menjijikkannya. Tidak sederajat aku berbesan denganmu," cetus Ajeng lalu mendorong Marni sampai terantuk membentur aspal jalan.
"Mbok Marni!" Fazar berteriak panik dan segera memangku kepala wanita yang telah dianggapnya ibu di pahanya.
Sementara Ajeng, bukannya merasa bersalah justru kembali mengancam. "Ini barulah permulaan Fazar. Jika kamu masih kekeuh untuk mempertahankan rumah tanggamu dengan putriku. Aku bersumpah, selama aku hidup aku akan terus membuat kalian menderita. Camkan itu!"
Ajeng pun berlalu pergi meninggalkan Fazar yang semakin mendendam. "Persetan denganmu, Ajeng. Akan akan membalas dendam ini."
"Jika Mbok Marni sampai kenapa-kenapa. Aku bersumpah akan membunuhmu."
Setelahnya Fazar menggendong Mbok Marni ke rumah sakit. Memang sialan ketika para tetangga bukannya menolong, malah terus bergunjing ria.
***
Setelah membayar ongkos naik taksi, Fazar kembali menggendong Mbok Marni menuju ruang UGD sambil berteriak kesetanan.
"Dokter ... Suster ... Tolong, bantu Mbok Marni."
Para Perawat yang bertugas bergegas mengambil kasur dorong dan Fazar pun meletakan Mbok Marni di sana. Mereka pun membawanya ke ruang UGD.
"Maaf, Pak. Anda tidak boleh masuk," cegah salah satu suster saat Fazar berniat menerobos ke ruang pemeriksaan.
"Tapi, Sus. Mbok Marni ..."
"Maaf, Pak. Tapi ini sudah peraturannya. Silakan Anda mengurus bagian administrasinya dulu."
Tidak ada pilihan lain, Fazar pun membiarkan suster itu menutup pintu. Lantas, ia pergi menuju lobi pembayaran seperti yang diminta oleh Perawat tadi. Namun, seperti dugaan. Fazar yang tidak membawa apa-apa, selain ponsel jadulnya tidak bisa memberikan jaminan pembayaran.
"Sudah saya katakan akan membayar biaya pengobatannya nanti. Sekarang pokuslah dalam penanganan dulu," perintah Fazar kalut.
"Tapi, Pak. Kami membutuhkan jaminan dan berkas-berkas pasien pun mohon dilengkapi."
"Persetan dengan itu. Tenang saja, saya tidak akan kabur," cela Fazar gemas.
"Tidak bisa, Pak. Anda harus mengurus administrasi ini dulu," balas Suster tersebut.
Fazar menggeram, lalu menggebrak meja lobi. "Anda ini menganggap saya gembel atau apa? Sudah saya bilang akan saya lunasi nanti. Kalau perlu rumah sakit ini akan saya beli."
"Tolong, jangan membuat keributan di sini, Pak."
"Saya tidak membuat keributan, Anda-lah yang keras kepala."
"Biarkan saya saja yang akan menanggung semua biaya pengobatannya."
Deg!
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Aku ingin bertemu dengan Cerry dan Ferro."Untuk sekian kalinya, Fazar meminta pada Amanda. Sejak diusir dari rumah tiga hari yang lalu, ia berusaha untuk menemui anaknya. Fazar sangat khawatir, mengingat pertemuan terakhir mereka, baik Ferro dan Cerry menangis histeris.Akan tetapi, permintaannya hanya ditanggapi dengan Amanda yang sibuk menyuapi Marvel buah-buahan potong. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa mereka mengacuhkan keberadaan Fazar. Seakan-akan dia ini makhluk tidak kasar mata.Merasa geram, Fazar pun menyentak. "Amanda, kamu mendengarku? Tolong, pertemukan aku dengan anak-anak."Brak!Amanda menghentakan garpu di meja dengan kuat. Wanita berusia 27 tahun itu lalu berdiri dan menatap nyalang suami pertamanya."Kamu tidak bisa bertemu dengan anak-anak. Sebaiknya kamu pergi saja, sana!" usir Amanda menunjuk pintu keluar."Jangan keterlaluan, Amanda. Aku ini ayah mereka," jawab Fazar tidak kalah bengis.
"Apa? Coba ulangi sekali lagi!"Rahang Fazar mengeras, wajahnya menunjukan amarah yang siap meledak kapan saja. Nada suaranya pun memberat, bergema menahan luapan emosi yang bergejolak yang disebabkan oleh pernyataan sang istri."Mau sampai kapan Mas bertanya begitu?"Amanda menggerutu, memutar mata bosan. Tidak ada sedikitpun binar penyesalan di wajahnya yang telah melakukan tindakan tercela."Sudah kukatakan, Mas. Dia ini Marvel, suami baruku." Sekali lagi dengan santainya Amanda memperkenalkan pria lain di hadapan suami sahnya sendiri.Prang!Seketika itu juga Fazar langsung melemparkan gelas yang baru saja dicuci olehnya tadi. Raut wajah pria dengan surai hitam sebahu itu menegang, tersorot api kemarahan di manik matanya yang memerah terluka."Jangan main-main, Amanda. Ini tidak lucu!" Fazar menggeram menatap tajam istrinya."Memang siapa yang melucu, Mas?" balas Amanda sengit. "Aku serius. Marvel ini suamiku."
Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ...."Papa!"Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta."Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya."Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya."Papa masak nasi goreng kesukaan kalian,"
Selalu, lagi dan lagi Fazar dipaksa untuk menerima perlakuan kejam Amanda yang memperbudaknya. Di pesta ulang tahun Marvel hari ini ia diminta ikut bantu-bantu membagikan minuman pada para tamu undangan. "Eh, lihat bukannya pria itu suami pertamanya Amanda?!" Bisikan dari seorang tamu menyapa indera pendengaran. Mau tak mau, Fazar pun ikut mencuri dengar. Ia ingin tahu apa tanggapan orang banyak tentang tindakan menjijikkan istrinya. Kasus POLIGAMI memang sudah biasa. Namun, POLIANDRI itu luar biasa. Luar biasa GILA lebih tepatnya! "Iya. Itu Fazar suami sahnya Amanda." Wanita lain yang tak diketahui namanya ikut berghibah ria. Memang meski berbisik, tetapi suara mereka terlalu keras seakan-akan disengaja untuk didengar banyak orang. "Kok, dia mau ya di Poliandri? Apa harga dirinya sebagai lelaki sudah menumpul?" "Hehe... maklumi saja Amanda-kan wanita karir mapan. Sedangkan dia cuman pegawai bengkel." "Hm ... Iya juga sih. Apalagi kudengar suami barunya juga punya jabatan baik
"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya."Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?Ataukah jangan-jangan ....Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu.
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Aku ingin bertemu dengan Cerry dan Ferro."Untuk sekian kalinya, Fazar meminta pada Amanda. Sejak diusir dari rumah tiga hari yang lalu, ia berusaha untuk menemui anaknya. Fazar sangat khawatir, mengingat pertemuan terakhir mereka, baik Ferro dan Cerry menangis histeris.Akan tetapi, permintaannya hanya ditanggapi dengan Amanda yang sibuk menyuapi Marvel buah-buahan potong. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa mereka mengacuhkan keberadaan Fazar. Seakan-akan dia ini makhluk tidak kasar mata.Merasa geram, Fazar pun menyentak. "Amanda, kamu mendengarku? Tolong, pertemukan aku dengan anak-anak."Brak!Amanda menghentakan garpu di meja dengan kuat. Wanita berusia 27 tahun itu lalu berdiri dan menatap nyalang suami pertamanya."Kamu tidak bisa bertemu dengan anak-anak. Sebaiknya kamu pergi saja, sana!" usir Amanda menunjuk pintu keluar."Jangan keterlaluan, Amanda. Aku ini ayah mereka," jawab Fazar tidak kalah bengis.
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu.""Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi."Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal.""Mahal?" ulang Fazar tidak percaya."Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda.""Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat m
"Eungg ...." Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini. Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. "Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?" Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun. "Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya."Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?Ataukah jangan-jangan ....Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu.
Selalu, lagi dan lagi Fazar dipaksa untuk menerima perlakuan kejam Amanda yang memperbudaknya. Di pesta ulang tahun Marvel hari ini ia diminta ikut bantu-bantu membagikan minuman pada para tamu undangan. "Eh, lihat bukannya pria itu suami pertamanya Amanda?!" Bisikan dari seorang tamu menyapa indera pendengaran. Mau tak mau, Fazar pun ikut mencuri dengar. Ia ingin tahu apa tanggapan orang banyak tentang tindakan menjijikkan istrinya. Kasus POLIGAMI memang sudah biasa. Namun, POLIANDRI itu luar biasa. Luar biasa GILA lebih tepatnya! "Iya. Itu Fazar suami sahnya Amanda." Wanita lain yang tak diketahui namanya ikut berghibah ria. Memang meski berbisik, tetapi suara mereka terlalu keras seakan-akan disengaja untuk didengar banyak orang. "Kok, dia mau ya di Poliandri? Apa harga dirinya sebagai lelaki sudah menumpul?" "Hehe... maklumi saja Amanda-kan wanita karir mapan. Sedangkan dia cuman pegawai bengkel." "Hm ... Iya juga sih. Apalagi kudengar suami barunya juga punya jabatan baik
Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ...."Papa!"Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta."Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya."Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya."Papa masak nasi goreng kesukaan kalian,"