Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ....
"Papa!"
Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta.
"Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"
Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya.
"Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.
Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya.
"Papa masak nasi goreng kesukaan kalian," jawab Fazar lembut dengan seulas senyum kecil di wajahnya.
"Hoyeee ... naci goyeng!" Fero terlonjak gembira. Balita kecil itu sungguh ekspresif.
Fazar terkekeh, ikut merasa senang. Meskipun hatinya remuk redam akan perbuatan ibu dari anak-anaknya. Namun, ia tak bisa menunjukan kesedihan itu di depan sang buah hati yang tak berdosa.
Fazar pun memilih melupakan sejenak sakit hatinya dengan mempokuskan diri pada sang putri yang tengah celingukan melihat sekitar rumah.
"Cerry cari siapa, Sayang?" tegur Fazar lembut.
"Mama ...."
Deg!
"Mama ... mana, Pah?"
Berbeda dengan Ferro yang bicaranya masih cadel, Cerry sudah menguasai berbagai macam kosa kata. Sikapnya pun lebih dewasa. Padahal mereka berdua masih berusia lima tahun.
"Papa?!"
"Ng, iya?"
Cerry mengernyit "Jadi Mama di mana, Pah?"
"Hm ... itu, Mama kalian ...."
Fazar merasa kesulitan sendiri dalam menemukan kalimat yang pas untuk dijadikan alasan, ia tega jika mengatakan yang sebenarnya bahwa Amanda sibuk dengan Marvel.
Ibu mertua bilang mereka butuh honeymoon.
Honeymoon?!
Yang benar saja? Fazar ingin tertawa, mengingat dulu saat pernikahannya dengan Amanda, ia langsung dipaksa menjadi babu.
Fazar berdecih, tidak menyadari Ferro dan Cerry yang berkedip-kedip polos dan saling pandang satu sama lain.
"Papa ... Cenapa, Mbak?" tanya Ferro memiringkan kepala imut.
"Mbak juga tidak tahu, Dek."
"Papa ...," panggil Cerry dan Ferro memegang masing-masing tangan Fazar hingga membuat pria itu tersentak.
"Papa kenapa melamun? Papa sakit?" tanya Cerry khawatir. Sedangkan Ferro matanya sudah berkaca-kaca. Melihat itu, Fazar kelabakan sendiri.
"Tidak ... Papa tidak sakit, Sayang. Jangan khawatir, Papa hanya sedang banyak pikiran," jawab Fazar berbohong.
"Memikirkan apa, Papa? Memikirkan Mama?!" tebak Cerry tepat sasaran. Fazar tertegun, tidak bisa menyangkal maupun mengiyakan.
"Memang Mama ke mana, sih, Pah? Kok, tidak ada bersama kita?" tanya Cerry sendu.
Jujur saja, kedua balita mungil itu merindukan ibunya. Akhir-akhir ini Amanda jarang menghabiskan waktu dengan mereka. Sang ibu selalu sibuk dengan dunianya sendiri.
"Mama pacti lagi cama Papa balu itu, ya, Pah?" tanya Ferro tiba-tiba.
Fazar tercengang. "Ferro bicara apa, Nak? Ferro tahu dari siapa kalimat itu?"
"Tahu dariku! Kenapa memangnya?"
Mendengar sahutan bernada khas itu, Fazar menoleh ke sumber suara, tampak Ajeng berjalan menuruni tangga. Fazar menggeram marah. "Ibu! Kenapa berbicara yang tidak-tidak pada anak-anak? Mereka masih kecil, Bu?"
"Lho, memang kenapa? Toh, pada kenyataannya seperti itukan? Marvel adalah suami Amanda yang artinya dia juga papa baru untuk mereka."
"Tapi, Bu ...," sela Fazar masih tak terima. Ia tak ingin anak-anaknya sampai mengetahui kebokbrokan rumah tangga orang tuanya. Biarlah ini menjadi rahasia antar orang dewasa.
"Tidak ada tapi-tapian!" hardik Ajeng lalu memotong lalu mencemooh. "Sudah lebih baik kamu kembali ke belakang sana. Menganggu pemandangan saja."
"Ayo, kalian ikut Nenek. Siap-siap ke sekolah."
Ajeng menggandeng tangan kedua cucunya, meninggalkan Fazar dalam perasaan terhina.
***
Di lain hari, Amanda kini tidak lagi memiliki waktu untuk melayani Fazar. Bahkan kamar mereka kini diisi oleh Marvel. Dengan kejam Amanda mengusirnya ke kamar tamu.
Beruntung saat keluar kamar, ia melihat Marvel berjalan menuju dapur. Fazar pun mendekati kamar Amanda dan membuka pintunya.
"Lho, Sayang. Kamu sudah kembali? Katanya ingin membuat kopi dulu sebelum kita lanjut main?"
Begitu membuka kenop pintu, Fazar langsung disambut perkataan tak senonoh Amanda yang duduk di meja rias. Akan tetapi, bukan itu yang membuatnya terpaku, melainkan penampilan Amanda yang memakai gaun sama seperti malam pertama dulu.
Nyeeess ....
Hati Fazar tercubit. Dengan penuh amarah ia membanting pintu kuat sampai membuat sang istri terlonjak di tempat. Buru-buru menoleh ke ambang pintu masuk.
"Apa sih, Say----Mas Fazar?!" pekik Amanda mengernyit. "Apa yang Mas lakukan di sini? Mana Marvel?"
"Memang kenapa?" balas Fazar mendekati sang istri yang bersedekap dada angkuh. "Memang salah kalau seorang suami ada di kamar istrinya sendiri?"
"Ya ... Tidak. Tapi inikan bukan jatahnya, Mas," balas Amanda menurunkan tangannya.
Fazar tertawa terbahak-bahak. "Terus kapan jatahku? Yang aku tahu, kamu selalu bermain dengan suami mudamu itu."
"Ya wajar dong, Mas. Kami-kan pengantin baru. Butuh privasi. Dulu kita jugakan begitu," balas Amanda semakin tak tahu malu.
"Hahaha ... Amanda ... Amanda ... setelah naik jabatan menjadi Asistent Manager. Kamu semakin pintar, ya?!" sinis Fazar mencemooh.
"Maksud Mas apa? Mas sedang mengejekku?" bentak Amanda tersulut emosi.
"Benar. Aku sedang mengejek IQ-mu yang menumpul itu."
Fazar tak kalah emosi, mengamati penampilan Amanda dari atas sampai bawah, terlihat manis dan menggoda, tetapi amat menyakitkan seperti sembilu pedang tajam.
"Coba kamu pikir, Amanda! Dari mana asalnya seorang istri bisa mempunyai dua suami? Terlebih tinggal dalam satu atap?!"
Fazar tak habis pikir dengan tindakan Amanda yang melakukan POLIANDRI. Itu jelas-jelas perbuatan terhina.
Amanda menghela napas. "Sudahlah kita telah sepakat akan hal ini."
"Sepakat?" ulang Fazar mendengkus. "Yang aku tahu, kamu terus menekanku."
"Sudah cukup, Mas! Aku tidak mau bertengkar malam ini. Lebih baik kamu keluar dari sini sebelum Marvel datang," usir Amanda.
"Lihat sekarang kamu melupakan kewajibanmu atasku," balas Fazar tertawa miris.
"Tentu saja. Marvel enak dipandang sedangkan kamu ...."
Amanda menggeleng-gelengkan kepala sambil menelusuri penampilan Fazar dari atas kepala sampai bawah kaki, kemudian wanita bergaun seksi itu mengernyit jijik, terang-terangan sekali mengejek penampilan sang suami yang terkesan kolot.
Fazar sangat sakit hati atas penilaian itu.
"Sudah sana, Mas, pergi! Jangan membuat aku berbuat lebih kasar lagi!" Amanda mendorong tubuh Fazar ke arah pintu.
Fazar menatap istrinya dengan tatapan sulit diartikan. "Jangan keterlaluan, Amanda. Atau kupastikan kamu akan menyesal."
"Terserah!"
Amanda mengabaikan peringatan sang suami pertama, lebih memilih membanting pintu dengan luapan emosi menggebu. Tanpa keduanya sadari Marvel mengintip di balik dinding.
"Mission compeleted."
Bersambung.
Selalu, lagi dan lagi Fazar dipaksa untuk menerima perlakuan kejam Amanda yang memperbudaknya. Di pesta ulang tahun Marvel hari ini ia diminta ikut bantu-bantu membagikan minuman pada para tamu undangan. "Eh, lihat bukannya pria itu suami pertamanya Amanda?!" Bisikan dari seorang tamu menyapa indera pendengaran. Mau tak mau, Fazar pun ikut mencuri dengar. Ia ingin tahu apa tanggapan orang banyak tentang tindakan menjijikkan istrinya. Kasus POLIGAMI memang sudah biasa. Namun, POLIANDRI itu luar biasa. Luar biasa GILA lebih tepatnya! "Iya. Itu Fazar suami sahnya Amanda." Wanita lain yang tak diketahui namanya ikut berghibah ria. Memang meski berbisik, tetapi suara mereka terlalu keras seakan-akan disengaja untuk didengar banyak orang. "Kok, dia mau ya di Poliandri? Apa harga dirinya sebagai lelaki sudah menumpul?" "Hehe... maklumi saja Amanda-kan wanita karir mapan. Sedangkan dia cuman pegawai bengkel." "Hm ... Iya juga sih. Apalagi kudengar suami barunya juga punya jabatan baik
"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya."Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?Ataukah jangan-jangan ....Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu.
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Eungg ...." Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini. Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. "Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?" Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun. "Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar
"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu.""Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi."Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal.""Mahal?" ulang Fazar tidak percaya."Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda.""Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat m
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Aku ingin bertemu dengan Cerry dan Ferro."Untuk sekian kalinya, Fazar meminta pada Amanda. Sejak diusir dari rumah tiga hari yang lalu, ia berusaha untuk menemui anaknya. Fazar sangat khawatir, mengingat pertemuan terakhir mereka, baik Ferro dan Cerry menangis histeris.Akan tetapi, permintaannya hanya ditanggapi dengan Amanda yang sibuk menyuapi Marvel buah-buahan potong. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa mereka mengacuhkan keberadaan Fazar. Seakan-akan dia ini makhluk tidak kasar mata.Merasa geram, Fazar pun menyentak. "Amanda, kamu mendengarku? Tolong, pertemukan aku dengan anak-anak."Brak!Amanda menghentakan garpu di meja dengan kuat. Wanita berusia 27 tahun itu lalu berdiri dan menatap nyalang suami pertamanya."Kamu tidak bisa bertemu dengan anak-anak. Sebaiknya kamu pergi saja, sana!" usir Amanda menunjuk pintu keluar."Jangan keterlaluan, Amanda. Aku ini ayah mereka," jawab Fazar tidak kalah bengis.
"Aku ingin bertemu dengan Cerry dan Ferro."Untuk sekian kalinya, Fazar meminta pada Amanda. Sejak diusir dari rumah tiga hari yang lalu, ia berusaha untuk menemui anaknya. Fazar sangat khawatir, mengingat pertemuan terakhir mereka, baik Ferro dan Cerry menangis histeris.Akan tetapi, permintaannya hanya ditanggapi dengan Amanda yang sibuk menyuapi Marvel buah-buahan potong. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa mereka mengacuhkan keberadaan Fazar. Seakan-akan dia ini makhluk tidak kasar mata.Merasa geram, Fazar pun menyentak. "Amanda, kamu mendengarku? Tolong, pertemukan aku dengan anak-anak."Brak!Amanda menghentakan garpu di meja dengan kuat. Wanita berusia 27 tahun itu lalu berdiri dan menatap nyalang suami pertamanya."Kamu tidak bisa bertemu dengan anak-anak. Sebaiknya kamu pergi saja, sana!" usir Amanda menunjuk pintu keluar."Jangan keterlaluan, Amanda. Aku ini ayah mereka," jawab Fazar tidak kalah bengis.
"Ah, akhirnya si beban itu mati juga." Setelah pemakaman Mbok Marni, Fazar pulang ke rumah bersama anak-anaknya. Sungguh, amarah dalam dirinya semakin bergejolak saat mendengar pernyataan kejam dari sang ibu mertua. "Ini tidak akan terjadi jika saja ibu tidak mendesak Mbok Marni." Fazar menatap tajam Ajeng setelah menyuruh kedua putra-putri kembarnya naik ke atas. Akan merusak mental mereka jika Fazar kelepasan marah. Sudah cukup dengan tingkah Amanada yang mencontohkan hal tidak baik dengan menjalani Poliandri. Ajeng yang sedang duduk di sofa ikut tersulut emosi. "Lho, kenapa kamu menyalahkanku? Memang sudah dasarnya ibumu itu penyakitan, makanya dia cepat mati." "Ibu!" sentak Fazar menaikan nada. Sungguh, tangannya gatal untuk menampar wajah angkuh Ajeng. Akan tetapi, Amanda yang datang bersama Marvel ke ruang tamu, segera menegur sikap kurang ajar Fazar pada ibunya. "Mas, apa hakmu membentak ibuku?!" "Dia
"Untuk apa kamu datang ke sini?"Fazar bertanya pada Kaiden yang duduk di sebelahnya. Kini mereka berdua sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Sementara, Marni sedang menjalani pemeriksaan di dalam sana."Ayah menyuruhku datang ke mari. Dia khawatir pada keadaanmu," jawab Kaiden tanpa menatap Fazar, sedangkan yang ditatap hanya menatap lurus ke depan.Raut wajahnya jelas dipenuh kebimbangan.Mendengar jawaban itu, Fazar mendengkus. "Lucu sekali. Setelah sekian lama si tua Bangka itu mengkhawatirkanku.""Hei, Naren. Sopanlah sedikit. Bagaimanapun dia ayah kita," tegur Kaiden menasehati.Sungguh, tidak ia sangka, meski Fazar sudah memiliki anak dua, tetapi sifat kekanakannya masih saja belum sirna.Di sisi lain, Fazar memilih tidak membalas. Bukan tidak ingin, tetapi ia sedang malas untuk berdebat. Pada akhirnya Kaiden akan selalu membela Hendra. Meski tahu bahwa apa yang dilakukan sang ayah salah, Kaiden selalu ada di kubun
"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi.Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu.""Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi."Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal.""Mahal?" ulang Fazar tidak percaya."Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda.""Memang.""Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah?Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat m
"Eungg ...." Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini. Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. "Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?" Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun. "Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar
Flashback ....Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar."Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan."Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka."Ayolah, Abang temani saja."Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras."Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah
"Tumben kamu datang menemuiku, Naren? Ada apa?"Kaiden membawa Fazar masuk ke ruangannya setelah insiden tegang di lobi tadi.Fazar duduk di depan sang kakak, tatapan matanya menyorot tak suka. Ada setitik jejak Kebencian di sana. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung memberitahukan maksud kedatangannya."Aku ingin kamu memecat seorang pegawai di Exco Compeny," perintah Fazar tegas.Kedua alis Kaiden terangkat naik, tidak mengerti dengan maksud sang adik yang telah kabur dari rumah sejak lulus SMA.Apa-apaan ini? Datang-datang langsung mengajukan permintaan aneh.Memang apa hubungannya pegawai Exco Compeny dengan masalah ini?Ataukah jangan-jangan ....Menyadari ada hal yang menarik, Kaiden menarik sudut bibirnya. "Kukira kamu akan meminta apa?!" dengkusnya merasa lucu sendiri dengan tingkah menggelikan sang adik.Fazar menggeram. "Aku tidak sedang main-main, sialan!"Sekali lagi, Kaiden mendengkus. "Aku tahu.
Selalu, lagi dan lagi Fazar dipaksa untuk menerima perlakuan kejam Amanda yang memperbudaknya. Di pesta ulang tahun Marvel hari ini ia diminta ikut bantu-bantu membagikan minuman pada para tamu undangan. "Eh, lihat bukannya pria itu suami pertamanya Amanda?!" Bisikan dari seorang tamu menyapa indera pendengaran. Mau tak mau, Fazar pun ikut mencuri dengar. Ia ingin tahu apa tanggapan orang banyak tentang tindakan menjijikkan istrinya. Kasus POLIGAMI memang sudah biasa. Namun, POLIANDRI itu luar biasa. Luar biasa GILA lebih tepatnya! "Iya. Itu Fazar suami sahnya Amanda." Wanita lain yang tak diketahui namanya ikut berghibah ria. Memang meski berbisik, tetapi suara mereka terlalu keras seakan-akan disengaja untuk didengar banyak orang. "Kok, dia mau ya di Poliandri? Apa harga dirinya sebagai lelaki sudah menumpul?" "Hehe... maklumi saja Amanda-kan wanita karir mapan. Sedangkan dia cuman pegawai bengkel." "Hm ... Iya juga sih. Apalagi kudengar suami barunya juga punya jabatan baik
Setelah kejadian Minggu lalu, Fazar mau tak mau menerima kehadiran Marvel. Bagaimana lagi nyawa Mbok Marni dalam bahaya jika pengobatannya dihentikan. Lagi pula alasan utama Fazar tidak bisa bercerai dengan Amanda adalah ...."Papa!"Seruan imut itu berhasil menyentaknya dari lamunan. Benturan lembut yang menubruk kedua kaki Fazar membuatnya tersenyum sumringah. Ayah dari dua anak itu lalu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan sang buah hati tercinta."Ferro ... Cerry ... kalian sudah bangun?"Fazar menyapa lembut dua balita mungil yang cekikian ketika ia mengusak rambut mereka secara bergantian. Tidak lupa juga memberikan morning kiss untuk keduanya."Hoam, Papa ... macak apa?" tanya Ferro mengusap-usap kelopak matanya yang terkantuk.Sungguh, sangat menggemaskan. Fazar menahan keinginan untuk mencubit pipi bulat dan cabai itu. Ia tidak ingin menyakiti putra-putri kembarnya."Papa masak nasi goreng kesukaan kalian,"