Bab.1Luka tak Terduga
"Iren hamil anakmu, kamu harus segera menikahinya," ucap Margaret pada Reka. Bagai disambar petir di siang bolong. Reka menautkan kedua alisnya tidak mengerti. Begitu juga dengan Rintik. Apa maksud dari perkataan ibu mertuanya. Dia masih berusaha mencerna dengan apa yang baru saja ia dengar. Reka gelisah menatap Rintik yang tengah kebingungan. "Ma- maksud Mami, apa?" Rintik menginterupsi ucapan ibu mertuanya. Dengan pandangan mata sinis, Margaret menatap Rintik. Dengan tanpa merubah posisi duduknya menghadap Rintik, ibu mertuanya menjawab pertanyaan Rintik. " Kurang jelas? Atau telingamu tuli? Telingamu masih berguna, kan? Dengarkan baik-baik yang akan saya katakan, Iren tengah mengandung anak Reka. Dan Reka harus segera menikahi Iren secepatnya." Setelah mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh ibu mertuanya, Rintik mengalihkan pandangannya menatap Iren yang duduk dengan tenang. Bahkan Rintik merasa tidak ada sedikitpun rasa bersalah dihati Iren. Pandangan Rintik beralih pada pria yang sudah satu tahun ini menjadi suaminya. Pria yang dipandangnya menggelengkan kepala. "Itu bohong, Rin." Reka mengelak dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. "Iren, kenapa kamu bohong. Kamu jangan mengada-ada-" Iren memotong ucapan Reka dengan melempar sebuah tespek keatas meja. Yang membuat Rintik segera meraih benda dengan panjang lima belas centi meter tersebut dan memeriksanya. Dan hal itu membuat hatinya semakin bertambah sakit. Dia menutup mulutnya tak percaya. Hatinya terasa seperti keluar dari rongganya. "Apa bukti itu masih kurang?" tanya Iren seraya melipat tangannya di dada. Dia juga menyilangkan kakinya. Mengamati raut wajah Reka yang tengah ketakutan. Reka mengusap wajahnya dengan kasar. "Itu semua bohong, Rin. Percaya sama aku." Reka mendekat dan memohon pada Rintik untuk mempercayai ucapannya."Lalu ini apa Reka?" ucap Rintik. Tak lupa juga dia menunjukan tespek yang tadi di lempar oleh Iren keatas meja. Kemudian benda itu dilempar oleh Rintik kearah reka. Reka kembali mengusap wajahnya secara kasar. Dia kehabisan kata-kata untuk menenangkan Rintik yang sudah mulai emosi. Rintik terduduk di sofa. Dia menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Kemudian mengusap air mata yang mulai keluar dari pelupuk matanya. "Ibu tidak peduli, Reka. Ibu mau, kamu segera menikahi Iren. Sebelum perutnya bertambah besar. Bila perlu secepatnya. Atau mungkin minggu depan," usul Margaret. Mendengar ucapan sang ibu, membuat Reka terpancing emosi. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran dari ibunya. Kenapa ibunya memaksakan kehendaknya agar dirinya segera menikahi Iren sedangkan dirinya masih menjadi suami sah Rintik."Tapi, Mam-"
"Kalau kamu tidak mau menuruti perkataan Mami, jangan harap kamu akan mendapatkan warisan Papi." Reka yang merasa bingung, hanya bisa mendesah kasar. Dia tidak bisa memilih antara Rintik atau warisan yang sudah seharusnya diberikan padanya.
"Bagaimana? Kamu akan memilih wanita itu, atau harta yang sudah kamu nikmati selama ini?" tanya Margaret pada putra semata wayangnya. "Mami yakin kamu pasti tidak bisa melepas warisan yang Papimu berikan, Reka," batin Margaret.
"Mami, please…," rengek Reka pada ibunya.
Tapi ibunya tidak bergeming. Dia harus kekeh pada keputusannya agar Reka menuruti kemauannya untuk menikahi Iren yang sedang mengandung cucunya.
Rintik menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya. Dia yakin jika Reka tidak bisa merelakan harta warisan peninggalan mendiang Papinya. Meski terluka, dia mencoba memantapkan hatinya. "Kalau begitu, ceraikan aku dulu jika kamu mau menikah dengan Iren," ucap Rintik seraya menatap Reka.
"Tidak bisa, Rin. Aku tidak akan menikah dengan Iren. Aku juga tidak akan pernah menceraikan kamu."
"Reka! Kapan kamu akan sadar? Wanita itu sudah minta cerai dari kamu. Kamu tunggu apalagi? Justru itu jauh lebih bagus. Iren dan kamu bisa menikah secara sah." Ibunya merasa kesal pada Reka yang tidak mau mendengarkan ucapannya. Dan masih bersikeras mempertahankan Rintik.
Rintik bangkit dari tempat duduknya, kemudian masuk kedalam kamar yang selama ini ia tempati bersama dengan Reka. Ia mengambil koper miliknya yang ia simpan di kamar tamu. Tanpa pikir panjang ia memasukan semua pakaiannya kedalam koper. Reka yang melihat hal itu, mencegah Rintik. Ia tidak mau jika Rintik meninggalkan dirinya. Tapi bagi Rintik, ia sudah merasa di ambang batas sabarnya. Ia sudah tidak bisa menerima perlakuan kasar dari ibu mertuanya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu saja tajam dan melukai perasaannya.
"Reka! Sadar, Nak. Sampai kapan kamu akan seperti ini?" Suara Margaret menggema diambang pintu. Dia tidak senang melihat putranya memohon pada wanita yang bahkan tidak bisa memberikannya seorang cucu.
Tanpa mempedulikan seruan suaminya dan juga ibu mertuanya, Rintik tetap memasukan pakaian miliknya kedalam tas dan koper.
***
Suara klakson mobil menghentikan aktifitas Rintik yang masih mengemas beberapa barang miliknya. Ia segera menyelesaikannya, lalu keluar membawa koper beserta tas yang berisi pakaiannya. Ketika berjalan keluar, ia sempatkan melirik Iren yang masih duduk manis di tempatnya. Posisinya masih sama seperti terakhir kali Rintik lihat. Ia masih menyilangkan kakinya dan melipat tangannya di depan dada. Rintik juga menyadari sebuah senyum sinis yang terukir di bibir wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya. Pandangannya teralihkan pada ibu meetuanya. Seakan dia tidak peduli dengan Rintik. Bahkan tidak ada kata maaf yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu.
"Rin, Rintik. Please," mohon Reka pada Rintik untuk terakhir kalinya. Berharap Rintik mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah.
"Aku tunggu surat cerainya. Semoga kalian bahagia," ucap Rintik sebelum benar-benar pergi. "Aku akan menyuruh orang untuk mengambil motorku besok."
Reka masih menyerukan nama Rintik, hingga mobil yang mambawa wanita yang dicintainya menghilang.
***"Kamu kemarin tidak berangkat kerja kenapa? Kamu sakit?" tanya Angel, atasan sekaligus sahabat Rintik. Angel menanyakan perihal absennya Rintik di hari kemarin."Tidak. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit merasa tidak enak badan saja," jawab Rintik pada Angel. Angel menarik sebuah kursi dari meja sebelah untuk duduk. Ia kemudian menatap Rintik. Rintik yang menyadari tatapan Angel, berusaha menyembunyikan suasana hatinya agar tidak ketahuan oleh Angel.
"Serius? Kamu tidak apa-apa? Wajahmu terlihat pucat."
"Serius. Kamu tidak perlu khawatir begitu. Sudah, lebih baik kamu pergi. Aku mau melanjutkan pekerjaan yang tertunda karena kemarin aku tidak berangkat bekerja."
"Ya sudah kalau memang kamu tidak apa-apa." Meski merasa tidak yakin, Angel meninggalkan Rintik yang kembali fokus pada pekerjaannya.
***Rasa kantuk mulai menyerang mata Rintik. Dari pagi hingga menjelang sore, Rintik disibukkan oleh pekerjaannya. Setidaknya dengan banyaknya pekerjaan, ia sedikit melupakan kemelut rumah tangga yang sedang dialaminya. Ia memutuskan pergi ke pantry untuk membuat secangkir kopi. Dengan harapan rasa kantuknya akan hilang.Langkah Rintik terhenti sejenak ketika ia sampai di pantry. Ia melihat seseorang yang sangat ingin dihindarinya. Dia adalah Iren. Wanita yang sudah berhasil memporak-porandakan kebahagiaan rumah tangganya dengan Reka. Wanita sedang berdiri di depan meja pantry seraya mengaduk minumannya. Melihat kedatangan Rintik, Iren menyunggingkan senyum.
Rasa kantuk yang sedari tadi Rintik tahan, kini lenyap sudah. Karena pertemuannya dengan Iren. Rintik mengurunfkan niatnya untuk membuat kopi dan berniat kembali ke tempat kerjanya.
"Kenapa tidak jadi? Apa kamu takut kalau aku akan menyirammu dengan air panas?" Langkah Rintik terhenti karena ucapan Iren. Dia memutar badannya menatap wanita yang sekarang ia benci.
Rintik menguatkan hatinya agar terlihat tegar dihadapan Iren. Meski hatinya sebenarnya telah hancur berkeping-keping. "Jika ada adegan seperti itu, bukankah seharusnya aku yang melakukannya? Karena kamu yang sudah menghancurkan rumah tanggaku."
Sebuah senyuman tersungging dibibir Iren. "Terima kasih ya, sudah mau merelakan Mas Reka untuk menikah denganku," ucap Iren.
"Merebut suami orang apakah itu menyenangkan? Kenapa harus Reka? Kenapa? Apa tidak ada laki-laki lain yang mendekatimu? Sehingga kamu mendekati suamiku?" Air mata Rintik luruh seiring pertanyaan yang diberikannya pada Iren. Sekuat apapun Rintik menahan, ia tidak bisa pura-pura bersikap tegar di hadapan Iren.
Melihat tangis Rintik pecah, membuat Iren tertawa. "Mau bagaimana lagi. Sebetulnya, aku juga tidak mau jika harus merebut suami orang. Tapi, suamimu itu terus saja merayuku. Dia juga mengatakan jika aku ini sangat sexy dan menggoda."
Mendengar perkataan Iren, dada Rintik terasa panas dan terbakar. Rasanya sangat sakit mengetahui laki-laki yang dicintainya beehubungan dengan wanita lain. Entah itu disengaja atau tidak. Rinrik menyeka air mata yang membasahi pipinya. Kemudian berbalik peegi meninggalkan Iren di ruang pantry.
Iren tersenyum senang karena sudah berhasil membuat Rintik menangis. "Maaf Rintik, aku harus melakukan ini. Reka terlalu sempurna untuk wanita sepertimu. Kamu tidak pantas bersanding dengannya," gumam Iren seraya menatap kepergian Rintik.
Rintik membasuh wajahnya sebelum kembali menuju meja kerjanya. Dia tidak ingin ada orang yang menyadari bahwa dirinya menangis. "Rintik, kamu harus kuat. Kamu harus tetap tegar," ucap Rintik menyemangati dirinya sendiri.Baru saja Rintik mendaratkan bobot tubuh dikursinya, salah seorang karyawan datang menghampirinya.
"Bu, ada tamu buat Ibu," ucap Gina. Salah satu karyawan yang bekerja dengannya.
"Tamu? Siapa ya? Saya tidak merasa ada janji temu hari ini."
"Beliau sudah menunggu di ruang meeting, Bu," ucap Gina lagi. Yang membuat Rintik menaikkan satu alisnya.
"Wanita paruh baya, Bu. Katanya penting." Gina memberikan informasi yang semakin membuat jantung Rintik berdebar.
"Wanita paruh baya? Jangan-jangan ...," batin Rintik.
Bersambung...
Bab.2. Hari yang melelahkan Dengan langkah kaki seribu, Rintik menuju ruang meeting. Jantungnya berdetak tak beraturan. Dia masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang wanita yang datang menemuinya. Rintik menduga tamu itu adalah Margaret, ibu mertuanya. Alangkah terkejutnya Rintik ketika melihat siapa yang datang dari dibalik pintu kaca ruang meeting. Yang semakin membuat ritme jantungnya tak beraturan. "Emak?" Wanita paruh baya yang sedang duduk di salah satu kursi itu menoleh keasal suara. "Rintik," sapa wanita yang dipanggil dengan sebutan Emak itu. Rintik segera menghampiri Aisyah, adik dari mendiang ayahnya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Karena semenjak menjadi yatim piatu, ia tinggal beesama keluarga Aisyah. Kemudian meraih tangan wanita itu lalu mencium punggung tangannya. Kemudian memeluknya. "Emak kok tidak kasih kabar kalau mau datang?" tanya Rintik. Wanita itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan dari keponakannya. "Sengaja. Karena Emak hanya mam
Rintik mendongak untuk melihat siapa yaang memberikannya sapu tangan. Ternyata yang memberinya sapu tangan adalah Langit, teman sekantornya. Tanpa sadar, tangannya menerima sapu tangan pemberian Langit. Kemudian ia gunakan untuk menyeka air matanya."Terima kasih," ucap Rintik. Dalam hatinya, ia sebenarnya merasa malu, karena Langit melihatnya menangis.Sedangkan Langit memutar tubuhnya membelakangi Rintik. Dia juga tidak bertanya tentang alasan mengapa istri dari sahabatnya itu menangis setelah betemu dengan ibu mertuanya. *** Rintik duduk sendirian di kamar kostnya. Dia menatap kosong pintu kamar yang hanya berukuran tiga kali tiga centi meter yang sekarang ia tempati. Memorinya memutar kembli kejadian tiga hari lalu. Hari dimana dirinya masih merasakan kebahgian ketika masih bersama dengan Reka suaminya. Dan bisa dibilang kalau hari itu adalah hari terakhirnya bersama dengan suaminya.Kala itu, Rintik tengah memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh ibu mertuanya. Ketika mereka b
Bab 4 Tidak mau berpisah Ritme jantung rintik tiba-tiba saja berubah. ketika melihat nama pemanggil yang tertera di layar onselnya."Janar? Bagaimana ini? Apa aku harus menjawabnya atau tidak?" pikir Rintik. Rintik membiarkan panggilan itu hingga deringan terakhir. Yang akhirnya panggilan itu tidak dijawabnya. "Aku bisa beralasan kalau aku sudah tidur. Lagipula ini sudah terlalu malam,"ucapnya bermonolog. Kemudian Rintik menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan bersiap menyambut mimpi. *** Pagi ini, Margaret datang ke tempat kerja Reka. Hal itu dikarenakan Reka tidak pulang ke rumah ataupun membalas pesan atau menjawab panggilan dari ibunya. Reka juga tidak menanggapi ketika ibunya berbicara panjang lebar mengenai rencana pernikahannya dengan Iren yang sebentar lagi akan segera di laksanakan. "Reka! kamu dengar apa yang Mami katakan tidak?" sungut ibunya kesal. Sedangkan Reka hanya merespon dengan pandangan mata sekilas. Lalu kembali menatap layar komputernya pura-pura menyib
"Ini-" Rintik tidak dapat melanjutkan ucapannya. Kemudian ia menatap karyawannya yang masih berdiri disampingnya. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dan hampir semua orang tengah memandangnya "Postingan ini baru saja muncul, Bu. Baru lima menit yang lalu," ucap karyawannya lagi."Meskipun baru beberapa menit, sudah pasti postingan ini sudah menyebar dan sudah di baca oleh orang lain," batin Rintik. "Ok, terima kasih. Kamu boleh pulang sekarang," ucap Rintik. *** Angel berjalan tergesa menghampiri Rintik, "Rin, kamu sudah lihat postingannya?" tanya Angel pada sahabatnya yang sedang tertimpa masalah itu. Rintik masih menatap layar komputer tanpa ingin menanggapi pertanyaan Angel padanya. "Jika Angel saja sudah mengetaui tentang berita ini, sudah pasti seluruh kantor suah mengetauinya," batin Rintik lagi. Ia mendesah kasar, lalu kembali membaca tulisan yang diposting di web. "R, Suami dari Rintik Daneschara Kepala divisi di KnA Advertaising telah menghamili seoran
Seketika netra Rintik membola. Bukan karena alasan dirinya yang tidak jadi jatuh, melainkan orang yang menangkap tubuhnya."Janar," desis Rintik.Bukan hanya Rintik, raut wajah Reka pun berubah pias ketika melihat siapa orang yang telah menangkap tubuh Rintik. Sedangkan pria yang bernama Janar, segera mengangkat tubuh Rintik membantunya untuk berdiri. Wajahnya datar tak berekspresi. Lalu menatap Reka dengan amarah."Ada apa ini?" tanya Janar. Tatapannya tajam tertuju pada Reka. Bukannya menjawab, justru Reka terlihat gelisah karena melihat Janar, sepupu istrinya."I- ini bukan urusanmu, ini urusan rumah tangga kami," jawab Reka dengan terbata. Netranya bahkan bergerak liar dan tak beraturan, bahkan ia tak mampu menatap lawan bicaranya."Jan, kita bicara di tempat lain saja," ajak Rintik pada Janar.Janar beralih menatap Rintik, "Aku ingin bicara disini. Bukan di tempat lain. Bisakah kalian menjelaskan apa yang terjadi? Karena aku punya banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan." Jana
Rintik menoleh ke asal suara. Bersamaan dengan itu, wanita yang memanggilnya tengah berjalan ke arahnya. Lalu tanpa aba-aba mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras di pipi Rintik. Cukup untuk membuat Rintik ataupun yang lainnya merasa terkejut. Rintik memegangi pipinya yang terasa panas dan menyakitkan. Tapi tak lebih menyakitkan dari tamparan di hatinya. Dia menatap wanita yang telah memberikan sebuah obat kantuk yang lebih ampuh daripada secangkir kopi. Wajahnya merah padam dan bola matanya serasa akan keluar dari rongganya. "Dasar wanita jalang! Dimana kamu sembunyikan putraku?" Margaret, yang sudah menampar Rintik, kini membentak dan berkata kasar serta menuduh menantunya menyembunyikan Reka. Netra Rintik mengembun seketika. Bukan karena tamparan yang ia dapat, melainkan sikap ibu mertuanya yang membentak dirinya dihadapan umum. Terlebih lagi, kini mereka tengah berada di kantor tempatnya bekerja. "Jawab! Dimana kamu sembunyikan Reka. Jangan kamu kira, dengan melakukan ha
“Apa dengan kejadian ini, kamu juga belum mau memberitahukan siapa wanita itu, Rin?” tanya Angel pada Rintik ketika dia mengantar Rintik pulang ke kontrakannya. Rintik hanya tersenyum tipis, dia tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak memberitahukan siapapun tentang Iren yang menjadi penyebab retaknya rumah tangganya dengan Reka.Angel mendesah frustasi karena Rintik yang bungkam. Dia tidak habis pikir kenapa sahabatnya masih menutupi wanita yang telah merusak hidupnya. Seharusnya dia mengekspos siapa wanita itu, supaya ada efek jera bagi wanita diluar sana untuk tidak macam-macam dengan pria yang sudah mempunyai istri. Padahal, sudah banyak cerita tentang istri sah yang melabrak pelakor dan mempermalukannya di tempat umum. Seharusnya Rintik mencontoh hal itu, bukan malah menjadi peran protagonis yang selalu diam dan mengalah ketika ditindas.Angel hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak mengerti dengan jalan pikiran dari wanita yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi sahabatnya i
Dahi Reka mengerut seketika, ketika melihat seseorang tengah berdiri di depan pagar rumah ibunya. Pasalnya waktu saat ini menunjukan pukul dua belas malam. Dan rasanya tidak patut jika bertamu saat ini."Ka- kamu?" ucap Reka merasa heran. Tapi perasaan herannya berubah menjadi perasaan gelisah. Jantungnya berdebar tak beraturan melihat orang itu mendekat ke arahnya. Tatapannya tajam, rasanya dia akan menerkamnya hidup-hidup."Kenapa? Tidak boleh?" ucapnya. Masih dengan tatapan tajamnya menatap Reka."Ta- tapi Janar, i- ini sudah tengah ma- malam. Tidak seharusnya kamu berada di sini. Kamu tidak berniat untuk berbuat buruk pada Mami, kan?" terka Reka.Mendengar ucapan suami dari saudaranya, membuat Janar tertawa sinis. "Tidak boleh? Ibumu saja sudah melakukan hal buruk terhadap saudaraku. Apa aku harus diam saja?" ucap Janar santai. Reka bergidik ngeri mendengar ucapan Janar. Dia tahu seperti apa watak dari saudara laki-laki dari istrinya itu. Dia adalah seorang yang temperamental dan