Bab.2. Hari yang melelahkan
Dengan langkah kaki seribu, Rintik menuju ruang meeting. Jantungnya berdetak tak beraturan. Dia masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang wanita yang datang menemuinya. Rintik menduga tamu itu adalah Margaret, ibu mertuanya.Alangkah terkejutnya Rintik ketika melihat siapa yang datang dari dibalik pintu kaca ruang meeting. Yang semakin membuat ritme jantungnya tak beraturan.
"Emak?"
Wanita paruh baya yang sedang duduk di salah satu kursi itu menoleh keasal suara. "Rintik," sapa wanita yang dipanggil dengan sebutan Emak itu.
Rintik segera menghampiri Aisyah, adik dari mendiang ayahnya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Karena semenjak menjadi yatim piatu, ia tinggal beesama keluarga Aisyah. Kemudian meraih tangan wanita itu lalu mencium punggung tangannya. Kemudian memeluknya.
"Emak kok tidak kasih kabar kalau mau datang?" tanya Rintik.Wanita itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan dari keponakannya. "Sengaja. Karena Emak hanya mampir." Aisyah memindai wajah keponakannya.
"Bagaimana kabar kamu, Nak?""Ba- baik, Mak. Emak sendiri bagaimana kabarnya? Bapak? Bapak sehat kan?" tanya Rintik basa-basi. Dia bersusah payah agar tidak menunjukan wajah sedihnya pada Aisyah. Takut bibinya menjadi khawatir.
"Wajahmu pucat sekali. Apa kamu sedang tidak enak badan?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Rintik bertambah panik, tapi tetap berusaha menyembunyikannya. "Hanya lelah, Mak. Emak tidak usah khawatir," ucapnya seraya tersenyum. "Maaf, Mak. Terpaksa aku harus berbohong padamu. Aku hanya tidak ingin berbagi rasa sakit ini denganmu," batin Rintik. Dia merasa bersalah pada bibinya karena telah berbohong tentang keadannya."Ya sudah, Emak pamit pulang. Kamu jaga kesehatan, jangan sampai sakit," ucap Aisyah pada keponakannya."Loh, kok pulang? Baru datang, belum juga di buatkan minum.""Tidak apa-apa. Emak hanya mampir karena ada urusan di dekat sini. Ingat ya, kamu harus jaga kesehatan. Sampaikan salam Emak pada suami dan keluargamu," pesan Asyah.Rintik mengangguk. Entah ia harus merasa senang atau tidak. Dengan kedatangan bibinya yang tidak terduga, membuat Rintik gelisah. Ia takut jika bibinya mengetahui tentang keadaan rumah taangganya dengan Reka yang diambang kehancuran. ***“Berapa kali aku harus bicara pada Mami kalau aku tidak mau menikah dengan Iren?” Reka merasa kesal dengan ibunya yang terus saja memaksanya untuk menikah dengan wanita yang tidak dicintainya itu. Bahkan ibunya mengancam dengan warisan agar Reka menuruti kemauannya.
“Jika kamu masih berharap tempat ini menjadi milikmu, kamu harus menuruti permintaan Mami. Tapi jika kamu sudah tidak ingin menikmati semua kemewahan ini, ya sudah. Mami akan menjual tempat ini.” Ibunya kembali mengancam Reka dengan Swalayan yang selama ini ia kelola.
Reka mendesah kasar. “Kenapa Mami selalu menyangkut pautkan Swalayan dengan semua ini? Ini adalah sesuatu hal yang berbeda, Mih.”
“Reka, dengarkan Mami. Mami itu melakukan yang terbaik untuk kamu. Jika Mami minta kamu untuk menikahi Iren, itu juga untuk kebaikan kamu dan juga keluarga kita," ucap Margaret.
Reka menatap wajah ibunya. "Bagaimana Mami yakin kalau anak yang dikandungnya itu adalah anakku? Darah dagingku? Mami tolong jangan gegabah hanya karena menginginkan seorang cucu. Siapa tahu itu bukan anakku, Mih.""Sekarang Mami tanya sama kamu. Kamu merasa pernah tidur dengan Iren atau tidak?" Reka terdiam dengan pertanyaan dari ibunya. Dia bingung harus menjawab pertanyaan ibunya."Kalau kamu saja merasa, kenapa harus dipertanyakan? Kecuali kamu tidur dengan wanita pinggir jalan. Itu perlu dipertanyakan."
"Tapi aku sendiri tidak ingat. Apa benar aku melakukannya atau tidak." Reka masih mencari alasan agar bisa terbebas dari paksaan ibunya. "Kenapa tidak di gugurkan saja janin itu. Supaya tidak menimbulkan masalah."
"Reka! jangan jadi laki-laki pengecut. Mami tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat seperti itu. Itu adalah sebuah dosa besar. Pokoknya, keputusan Mami sudah bulat. Kamu harus menikahi Iren. Kalau kamu tidak berpikir untuk dirimu sendiri, setidaknya pikirkan Mami, mau ditaruh dimana wajah Mami jika teman-teman Mami tahu kamu tidak bertanggung jawab setelah menghamili anak orang."
Melihat amarah di mata ibunya, Reka pasrah dengan keputusan yang dibuat ibunya. Meski hati kecilnya menolak. "Bagaimana mungkin aku bisa menggantikan Rintik dengan wanita lain? Sedangkan dia sudah tertanam begitu dalam dihatiku," batin Reka. Reka mengambil nafas dalam dan menghembuskannya secara kasar.
Melihat hal itu, ibunya merasa khawatir jika putra semata wayangnya tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan istrinya. "Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bisa membuat Reka bercerai, bagaimanapun caranya. Harus. Ini semua demi kelangsungan keluargaku," pikir Margaret dalam hati.
***
Jam sudah menunjukan pukul empat lebih lima belas menit. Waktunya untuk berkemas dan siap-siap pulang. Rintik memindai kubikel-kubikel yang ada di depannya. Beberapa kursi sudah kosong. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, dia menyelesaikan tugas dan merapikan mejanya. Dia ingin segera pulang dan istirahat. Baginya, hari ini adalah hari paling melelahkan dan penuh emosianal.
Rintik berjalan melewati lobby kantor menuju parkiran. Selagi berjalan, netranya menangkap seorang wanita paruh baya tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Membuat Rintik melambatkan langkahnya. Dia menebak jika wanita itu akan datang menghampirinya. Dan tebakan Rintik benar. Seorang wanita paruh baya, yang sangat Rintik kenal berdiri di depan Rintik. Wanita itu melepas kaca mata hitam yang menutupi matanya.
"Untuk apa ibu mertua datang ke kantorku? Apa dia ingin menemui calon menantunya?" batin Rintik.
Ibu mertuanya memindai penampilan Rintik dari atas hingga ujung kaki dengan tatapan sinis. "Kebetulan bertemu dengnmu disini. Jadi aku tidak perlu repot untuk mencari keberadaanmu di dalam."Rintik mengangkat satu alisnya. Kemudian ia menanyakan perihal keperluan ibu mertuanya. Ia juga menduga kalau kedatangan ibu mertuanya masih berhubungan dengan masalah kemarin.
"Apa ini sambutan yang kamu berikan padaku? Mentang-mentang aku bukan ibu mertuamu lagi? Bahkan kamu tidak menawariku untuk duduk." Rintik mengedarkan pandangannya. Takut akan ada orang yang mendengar ucapan dari ibu mertuanya. Jika hal itu terjadi, bisa menjadi masalah untuk dirinya.Rintik mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian ia menutup kekesalan dalam hatinya dengan sebuah senyuman.
"Kalau begitu, mari kita duduk di sana," tunjuk Rintik pada kursi kosong di sisi lain lobby.Margaret melenggang dengan angkuh kearah kursi yang ditunjuk oleh Rintik. Rintik mengekor dibelakang ibu meetuanya. "Sabar, Rintik. Bersikap saja seperti biasanya," batin Rintik.
"Ada perlu apa--""Tidak usah pura-pura. Kamu pasti sudah tahu maksud kedatangan saya. Saya minta kamu untuk menjauh dari anak saya," ucap Margaret.
"Seperti yang kamu tahu, Iren sedang mengandung anak Reka. Cucuku. Jadi saya harap kamu punya rasa malu dan tidak usah mengganggu kehidupan putraku lagi. Kamu juga harus sadar diri, bahwa kamu tidak bisa memiliki anak. Dan harusnya kanu merasa bersyukur karena ada wanita yang menggantikanmu menjadi seorang ibu," ucapnya lagi.Rintik meremas ujung blouse yang ia kenakan. Hatinya terasa seperti teriris mendengar hinaan dari ibu mertuanya. "Saya tidak mengganggu anak Mami. Saya juga sudah melepaskan Reka, dengan pergi dari rumah. "
Ibu mertuanya kembali menatap Rintik dengan tatapan sinis. "Sudah seharusnya begitu. Karena kamu tidak mempunyai hak atas rumah itu. Jangan sampai kamu menghasut putraku untuk kembali padamu. Sampai kapanpun saya tidak akan pernah rela jika hal ini sampai terjadi."
"Apa? Menghasut? Yang benar saja. Faktanya Reka yang masih mencoba untuk menghubungiku," batin Rintik.
"Dan satu lagi. Jangan harap kamu bisa mendapatkan harta gono gini dari perceraian ini. Karena kamu tidak memiliki andil apapun. Kamu hanya wanita yatim piatu yang miskin. Tidak pantas jika bersanding dengan putraku."
Rintik menahan gejolak yang muncul dihatinya. Hatinya terasa sangat sakit mendengar ucapan yang keluar dari mulut ibu mertuanya. Tangannya kembali meremas ujung blouse yang ia pakai. Dia juga bersusah payah untuk menahan air mata yang ingin menerobos pertahanan yang Rintik buat. Dia tidak mau menunjukan sisi lemahnya pada ibu mertua yang selalu menghinanya.Rintik beranjak dari tempat duduknya. "Maaf, Mi. Sepertinya saya harus pergi. Saya ada urusan pen--"
Margaret ikut berdiri. "Kamu pikir kamu siapa? Orang penting apa yang ingin bertemu denganmu?" Margaret meninggikan suaranya. Membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian dari karyawan yang ada di lobby."Maaf, Mih, tolong kecilkan suaranya. Ini dikantor," ucap Rintik."Kenapa memangnya? Kamu hanya karyawan biasa. Jangan karena kamu dekat dengan Angel, kamu merasa menjadi orang yang penting. Kamu hanya bunga rumput di pinggir jalan yang kebetulan mendapat perhatian dari Angel. Ingat, Kamu itu bukan siapa-siapa. Sampai kapanpun akan begitu." Margaret pergi meninggalkan Rintik yang berdiri mematung. Tubuh Rintik limbung dan ia terjatuh di lantai. Air mata yang sedari tadi ia tahan, kini tumpah begitu saja. Ia menangis dalam diam. Ia ingin sekali berteriak, tapi ia tak sanggup melakukannya.Ditengah tangisnya yang tak bersuara, Rintik menangkap ssesosok pria yang berdiri didepannya seraya memberikan sapu tangan milinya."Pakailah," kata pria itu.Rintik mendongak, menatap pria yang berdiri.Bersambung...dihadapannya. Yang kemudian membuat Rintik membeku mengetahui siapa pria itu.
Rintik mendongak untuk melihat siapa yaang memberikannya sapu tangan. Ternyata yang memberinya sapu tangan adalah Langit, teman sekantornya. Tanpa sadar, tangannya menerima sapu tangan pemberian Langit. Kemudian ia gunakan untuk menyeka air matanya."Terima kasih," ucap Rintik. Dalam hatinya, ia sebenarnya merasa malu, karena Langit melihatnya menangis.Sedangkan Langit memutar tubuhnya membelakangi Rintik. Dia juga tidak bertanya tentang alasan mengapa istri dari sahabatnya itu menangis setelah betemu dengan ibu mertuanya. *** Rintik duduk sendirian di kamar kostnya. Dia menatap kosong pintu kamar yang hanya berukuran tiga kali tiga centi meter yang sekarang ia tempati. Memorinya memutar kembli kejadian tiga hari lalu. Hari dimana dirinya masih merasakan kebahgian ketika masih bersama dengan Reka suaminya. Dan bisa dibilang kalau hari itu adalah hari terakhirnya bersama dengan suaminya.Kala itu, Rintik tengah memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh ibu mertuanya. Ketika mereka b
Bab 4 Tidak mau berpisah Ritme jantung rintik tiba-tiba saja berubah. ketika melihat nama pemanggil yang tertera di layar onselnya."Janar? Bagaimana ini? Apa aku harus menjawabnya atau tidak?" pikir Rintik. Rintik membiarkan panggilan itu hingga deringan terakhir. Yang akhirnya panggilan itu tidak dijawabnya. "Aku bisa beralasan kalau aku sudah tidur. Lagipula ini sudah terlalu malam,"ucapnya bermonolog. Kemudian Rintik menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan bersiap menyambut mimpi. *** Pagi ini, Margaret datang ke tempat kerja Reka. Hal itu dikarenakan Reka tidak pulang ke rumah ataupun membalas pesan atau menjawab panggilan dari ibunya. Reka juga tidak menanggapi ketika ibunya berbicara panjang lebar mengenai rencana pernikahannya dengan Iren yang sebentar lagi akan segera di laksanakan. "Reka! kamu dengar apa yang Mami katakan tidak?" sungut ibunya kesal. Sedangkan Reka hanya merespon dengan pandangan mata sekilas. Lalu kembali menatap layar komputernya pura-pura menyib
"Ini-" Rintik tidak dapat melanjutkan ucapannya. Kemudian ia menatap karyawannya yang masih berdiri disampingnya. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dan hampir semua orang tengah memandangnya "Postingan ini baru saja muncul, Bu. Baru lima menit yang lalu," ucap karyawannya lagi."Meskipun baru beberapa menit, sudah pasti postingan ini sudah menyebar dan sudah di baca oleh orang lain," batin Rintik. "Ok, terima kasih. Kamu boleh pulang sekarang," ucap Rintik. *** Angel berjalan tergesa menghampiri Rintik, "Rin, kamu sudah lihat postingannya?" tanya Angel pada sahabatnya yang sedang tertimpa masalah itu. Rintik masih menatap layar komputer tanpa ingin menanggapi pertanyaan Angel padanya. "Jika Angel saja sudah mengetaui tentang berita ini, sudah pasti seluruh kantor suah mengetauinya," batin Rintik lagi. Ia mendesah kasar, lalu kembali membaca tulisan yang diposting di web. "R, Suami dari Rintik Daneschara Kepala divisi di KnA Advertaising telah menghamili seoran
Seketika netra Rintik membola. Bukan karena alasan dirinya yang tidak jadi jatuh, melainkan orang yang menangkap tubuhnya."Janar," desis Rintik.Bukan hanya Rintik, raut wajah Reka pun berubah pias ketika melihat siapa orang yang telah menangkap tubuh Rintik. Sedangkan pria yang bernama Janar, segera mengangkat tubuh Rintik membantunya untuk berdiri. Wajahnya datar tak berekspresi. Lalu menatap Reka dengan amarah."Ada apa ini?" tanya Janar. Tatapannya tajam tertuju pada Reka. Bukannya menjawab, justru Reka terlihat gelisah karena melihat Janar, sepupu istrinya."I- ini bukan urusanmu, ini urusan rumah tangga kami," jawab Reka dengan terbata. Netranya bahkan bergerak liar dan tak beraturan, bahkan ia tak mampu menatap lawan bicaranya."Jan, kita bicara di tempat lain saja," ajak Rintik pada Janar.Janar beralih menatap Rintik, "Aku ingin bicara disini. Bukan di tempat lain. Bisakah kalian menjelaskan apa yang terjadi? Karena aku punya banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan." Jana
Rintik menoleh ke asal suara. Bersamaan dengan itu, wanita yang memanggilnya tengah berjalan ke arahnya. Lalu tanpa aba-aba mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras di pipi Rintik. Cukup untuk membuat Rintik ataupun yang lainnya merasa terkejut. Rintik memegangi pipinya yang terasa panas dan menyakitkan. Tapi tak lebih menyakitkan dari tamparan di hatinya. Dia menatap wanita yang telah memberikan sebuah obat kantuk yang lebih ampuh daripada secangkir kopi. Wajahnya merah padam dan bola matanya serasa akan keluar dari rongganya. "Dasar wanita jalang! Dimana kamu sembunyikan putraku?" Margaret, yang sudah menampar Rintik, kini membentak dan berkata kasar serta menuduh menantunya menyembunyikan Reka. Netra Rintik mengembun seketika. Bukan karena tamparan yang ia dapat, melainkan sikap ibu mertuanya yang membentak dirinya dihadapan umum. Terlebih lagi, kini mereka tengah berada di kantor tempatnya bekerja. "Jawab! Dimana kamu sembunyikan Reka. Jangan kamu kira, dengan melakukan ha
“Apa dengan kejadian ini, kamu juga belum mau memberitahukan siapa wanita itu, Rin?” tanya Angel pada Rintik ketika dia mengantar Rintik pulang ke kontrakannya. Rintik hanya tersenyum tipis, dia tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak memberitahukan siapapun tentang Iren yang menjadi penyebab retaknya rumah tangganya dengan Reka.Angel mendesah frustasi karena Rintik yang bungkam. Dia tidak habis pikir kenapa sahabatnya masih menutupi wanita yang telah merusak hidupnya. Seharusnya dia mengekspos siapa wanita itu, supaya ada efek jera bagi wanita diluar sana untuk tidak macam-macam dengan pria yang sudah mempunyai istri. Padahal, sudah banyak cerita tentang istri sah yang melabrak pelakor dan mempermalukannya di tempat umum. Seharusnya Rintik mencontoh hal itu, bukan malah menjadi peran protagonis yang selalu diam dan mengalah ketika ditindas.Angel hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak mengerti dengan jalan pikiran dari wanita yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi sahabatnya i
Dahi Reka mengerut seketika, ketika melihat seseorang tengah berdiri di depan pagar rumah ibunya. Pasalnya waktu saat ini menunjukan pukul dua belas malam. Dan rasanya tidak patut jika bertamu saat ini."Ka- kamu?" ucap Reka merasa heran. Tapi perasaan herannya berubah menjadi perasaan gelisah. Jantungnya berdebar tak beraturan melihat orang itu mendekat ke arahnya. Tatapannya tajam, rasanya dia akan menerkamnya hidup-hidup."Kenapa? Tidak boleh?" ucapnya. Masih dengan tatapan tajamnya menatap Reka."Ta- tapi Janar, i- ini sudah tengah ma- malam. Tidak seharusnya kamu berada di sini. Kamu tidak berniat untuk berbuat buruk pada Mami, kan?" terka Reka.Mendengar ucapan suami dari saudaranya, membuat Janar tertawa sinis. "Tidak boleh? Ibumu saja sudah melakukan hal buruk terhadap saudaraku. Apa aku harus diam saja?" ucap Janar santai. Reka bergidik ngeri mendengar ucapan Janar. Dia tahu seperti apa watak dari saudara laki-laki dari istrinya itu. Dia adalah seorang yang temperamental dan
Bukan hanya terkejut dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya. Tapi, ketiga karyawan itu juga tidak menyangka jika orang yang sedang mereka bicarakan ada di belakang mereka."Pa- pagi, Pak," sapa kedua karyawan itu secara bersamaan. Di dalam hati mereka bertiga, mereka merutuki kebodohan yang mereka buat. Apalagi di hadapan seorang Langit. Dia memang bukan petinggi perusahaan, tapi dia sangat disegani oleh karyawan lain karena dia mempunyai aura yang tegas di balik keramah tamahan sikapnya. Tapi yang disapa justru melenggang masuk ke dalam lift karena lift sudah terbuka. Tak menghiraukan ketiga karyawan yang baru saja menyapanya."Bu Rintik, anda tidak masuk?" tanya Langit pada Rintik yang masih membeku di tempat. Mendengar namanya dipanggil, Rintik tergagap, kemudian berjalan masuk ke lift menyusul Langit."Kalian tidak ikut masuk?" tanya Langit pada ketiga karyawan itu dengan tatapan tajam.Meski sempat ragu, ketiganya masuk dengan menundukan kepa