Seketika netra Rintik membola. Bukan karena alasan dirinya yang tidak jadi jatuh, melainkan orang yang menangkap tubuhnya.
"Janar," desis Rintik.
Bukan hanya Rintik, raut wajah Reka pun berubah pias ketika melihat siapa orang yang telah menangkap tubuh Rintik.
Sedangkan pria yang bernama Janar, segera mengangkat tubuh Rintik membantunya untuk berdiri. Wajahnya datar tak berekspresi. Lalu menatap Reka dengan amarah.
"Ada apa ini?" tanya Janar. Tatapannya tajam tertuju pada Reka. Bukannya menjawab, justru Reka terlihat gelisah karena melihat Janar, sepupu istrinya.
"I- ini bukan urusanmu, ini urusan rumah tangga kami," jawab Reka dengan terbata. Netranya bahkan bergerak liar dan tak beraturan, bahkan ia tak mampu menatap lawan bicaranya.
"Jan, kita bicara di tempat lain saja," ajak Rintik pada Janar.
Janar beralih menatap Rintik, "Aku ingin bicara disini. Bukan di tempat lain. Bisakah kalian menjelaskan apa yang terjadi? Karena aku punya banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan." Janar menatap Reka dan Rintik secara bergantian.
"Aku akan jawab semua pertanyaan kamu, tapi kita pergi dari sini dahulu," pinta Rintik.
"Tapi urusan kita belum selesai, Rin. Aku masih ingin berbicara denganmu," potong Reka. Rintik menatap pria yang masih sah sebagai suaminya itu dengan tatapan malas, "Tidak ada yang ingin aku katakan padamu, Ka. Tolong biarkan aku pergi."
Rintik segera mengajak Janar untuk meninggalkan tempat parkir perusahaannya. Dia juga terpaksa meninggalkan motornya di tempat parkir. Sedangkan Reka hanya mengusap wajahnya secara kasar karena Rintik tidak mau berbicara dengannya. Ia juga tidak ingin memaksakan kehendaknya pada wanita yang masih dicintainya di hadapan Janar. Karena jika hal itu terjadi, bukan solusi yang didapat, justru akan ada keributan di antara mereka. Ia tahu, seberapa posesif Janar pada sepupunya itu.
***
Janar dan Rintik berada di sebuah restoran cepat saji terdekat dari kantor. Suasana restoran cukup ramai oleh pengunjung yang sebagian besar dari kalangan muda mudi.
"Aku pesankan minum dulu," ucap Rintik pada Janar. Akan tetapi Janar justru menahan Rintik yang berniat pergi untuk memesan minum,"Aku tidak butuh minum, yang aku butuhkan adalah penjelasan."
"Setidaknya biarkan aku bercerita dengan ditemani segelas air minum," ucap Rintik pada Janar. Yang terpaksa membuat Janar menuruti kemauan Rintik.
Selagi Rintik memesan minum, Janar mencari dan menuju tempat duduk kosong. Yang terletak di pojok dekat dengan jendela.
"Jadi," ucap Janar. Yang sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Rintik. Rintik menatapnya sekilas seraya menyodorkan segelas minuman dingin padanya.
"Tapi kamu harus janji untuk tidak menceritakan pada Emak. Aku tidak mau jika dia sakit karena memikirkan masalah yang sedang aku hadapi," ucap Rintik sebelum memulai ceritanya.
"Kenapa? Apa ini masalah serius?" Janar mengerutkan dahinya ketika mendengar permintaan Rintik. Rintik hanya diam membisu.
"Berjanjilah terlebih dahulu," ucap Rintik lagi. Dengan terpaksa, Janar menganggukan kepalanya. Setuju pada permintaan Rintik.
"Aku akan bercerai dari Reka," lirih Rintik. Yang otomatis membuat netra Janar membola. Tak lupa mulutnya juga ikut terbuka lebar mendengar ucapan Rintik.
Rintik mengangguk membenarkan ucapannya." Keputusanku sudah bulat, Jan. Tidak bisa diganggu gugat."
“Tapi kenapa?” tanya Janar. "Tidakkah kamu ingat perjuangan kalian hingga sampai bisa ke pelaminan?” imbuhnya.
“Aku tahu. Tapi apa yang bisa aku lakukan, Nar? Reka menghamili wanita lain. Dan wanita itu menuntut pertanggung jawaban dari Reka,” ucap Rintik terisak. Air matanya tumpah, namun segera ia usap dengan jarinya.
"Hamil?!"
Rintik mengangguk, lalu menceritakan awal mula kejadian, tanggapan keluarga Reka, dan juga Reka sendiri. Dan dari semua itu, ia memutuskan untuk bercerai dari suaminya. Wajah Janar terlihat memerah, tangannya juga mengepal menahan emosi, ketika mendengar penuturan Rintik.
"Kalau begitu, aku mendukung keputusanmu untuk bercerai. Laki-laki macam dia, tidak pantas mendapatkan cintamu." Deru nafas yang memburu terdengar jelas di telinga Rintik. Ia yakin kalau saudaranya tengah menahan amarah. Karena Janar adalah orang yang gampang tersulut emosi.
"Tap, apa kamu ikhlas? Jika harus melepasnya?" Rintik kembali menundukkan pandangannya mendengar pertanyaan dari Janar.
Kemudian mengangguk lemah, tapi ia memantapkan hatinya. 'Memang, kata ikhlas bukan semudah membalikan tangan. Hanya saja, aku berharap demikian. Semua itu bertahap. Dari tersiksa, lalu terpaksa yang kemudian menjadi terbiasa,' batinnya.
Janar meraup wajahnya kasar, "Dasar brengsek! Laki-laki tidak tahu diri. Lihat saja, aku akan buat pelajaran padanya," gumam Janar. Suara gigi gemletuk terdengar dari mulutnya.
"Tolong, jangan katakan apapun pada Reka, Nar. Aku tidak mau ada keributan," pinta Rintik.
"Kamu masih membela laki-"
"Bukan. Tapi kamu tahu sendiri seperti apa ibunya," potong Rintik. Yang membuat Janar membuang nafasnya kasar, dan terpaksa mengangguk. Benar, jika sampai berurusan dengan Maminya Reka, Rintik pasti yang akan mendapatkan getahnya.
Janar mengantar Rintik menuju rumah kontrakan tempat tinggalnya yang baru karena waktu sudah sangat larut. Sebelum ia pergi, ia berpesan agar segera menghubunginya jika terjadi sesuatu. Rintik juga mengingatkan Janar agar tidak bertindak bodoh yang akhirnya akan membuat dirinya terlibat masalah.
***
Angel sedang memakai skin care malamnya saat Kevin masuk kamar setelah menyelesaikan pekerjaannya. Lalu menjatuhkan diri ke atas kasur. Hari ini cukup melelahkan baginya.
"Aku dengar, ada keributan di kantor?" tanya Kevin pada sang istri. Angel menoleh menghadap Kevin yang sudah berbaring di atas peraduan.
"Ya, sedikit. Tapi semua sudah beres," jawab Angel. Tangannya masih sibuk mengusap-usap wajahnya. Setelah selesai, ia segera menghampiri suaminya di atas peraduan.
"Rintik kenapa?" tanya Kevin lagi.
Mendapat pertanyaan tentang Rintik dari suaminya, membuat Angel menarik nafas kasar. Amarah di hatinya kembali muncul. "Tahu tidak? Reka selingkuh. Dan selingkuhannya hamil." Angel kembali terpancing emosi.
Kevin menautkan kedua alisnya. Merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Reka selingkuh dari Rintik adalah sebuah kebohongan besar, pikir Kevin.
"Benar. Rintik sendiri yang bercerita. Tadi aku juga melihat Reka datang menemui Rintik. Mungkin untuk membahas hubungan mereka. Aku dengar Reka tidak mau bercerai dan tetap meminta Rintik untuk berada disisinya." Angel menceritakan apa yang ia dengar dari sahabatnya. Tanpa ada pengurangan dan penambahan.
"Siapa wanita itu?" tanya Kevin. Angel menggeleng, "Entah. Rintik tidak mau menyebutkan nama wanita itu."
"Rintik sudah melakukan hal yang benar, tidak memberitahumu siapa wanita itu. Kalau kamu tahu, kamu pasti akan membuat keributan." Mendengar penuturan suaminya, Angel mencebikkan bibirnya. Dan beralasan kalau dia hanya membantu sahabatnya. Dia juga bersimpati pada Rintik sebagai sesama wanita.
"Pesanku, kamu jangan ikut campur urusan mereka. Meskipun kamu sahabat mereka. Biarkan mereka berdua menyelesaikan masalah mereka, dengan cara mereka sendiri," pesan Kevin pada Angel. Yang dijawab anggukan oleh Angel.
***
Rintik mengaduk kopi yang sudah selesai ia buat. Rasa kantuk di matanya memaksa dirinya untuk beranjak dari kursi nyamannya menuju pantry.
Tiba-tiba saja bahu Rintik di tarik oleh seseorang. Yang membuat kopi yang masih tergeletak di meja tumpah. Untung saja kopi panas itu tidak mengenai bagian tubuh Rintik.
"Kamu yang membuat Mas Reka tidak pulang? Kamu menyembunyikannya?" tanya Iren dengan amarah di dada.
Belum selesai keterkejutan Rintik karena kopinya tumpah, Iren membuatnya terkejut kembali dengan pertanyaan konyol yang ia lontarkan.
"Aku? Menyembunyikan Reka? Untuk apa?" tanya Rintik. Lalu ia menyeka tumpahan kopi diatas meja.
"Tidak usah berlagak bodoh. Aku tahu, kamu menyembunyikan Mas Reka, kan. Mengaku saja!" seru Iren.
Rintik berdecak kecil karena tuduhan Iren padanya. "Aku tidak menyembunyikannya," jawab Rintik. Tapi Iren tidak percaya dan masih tetap menuduh Rintik menyembunyikan Reka. Rintik yang muak dengan perdebatan yang terjadi pun pergi dari pantry.
Baru beberapa langkah ia berjalan, Rintik tiba-tiba saja membeku. Karena mendengar namanya diserukan oleh seseorang.
"Rintik!"
Bersambung...
Rintik menoleh ke asal suara. Bersamaan dengan itu, wanita yang memanggilnya tengah berjalan ke arahnya. Lalu tanpa aba-aba mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras di pipi Rintik. Cukup untuk membuat Rintik ataupun yang lainnya merasa terkejut. Rintik memegangi pipinya yang terasa panas dan menyakitkan. Tapi tak lebih menyakitkan dari tamparan di hatinya. Dia menatap wanita yang telah memberikan sebuah obat kantuk yang lebih ampuh daripada secangkir kopi. Wajahnya merah padam dan bola matanya serasa akan keluar dari rongganya. "Dasar wanita jalang! Dimana kamu sembunyikan putraku?" Margaret, yang sudah menampar Rintik, kini membentak dan berkata kasar serta menuduh menantunya menyembunyikan Reka. Netra Rintik mengembun seketika. Bukan karena tamparan yang ia dapat, melainkan sikap ibu mertuanya yang membentak dirinya dihadapan umum. Terlebih lagi, kini mereka tengah berada di kantor tempatnya bekerja. "Jawab! Dimana kamu sembunyikan Reka. Jangan kamu kira, dengan melakukan ha
“Apa dengan kejadian ini, kamu juga belum mau memberitahukan siapa wanita itu, Rin?” tanya Angel pada Rintik ketika dia mengantar Rintik pulang ke kontrakannya. Rintik hanya tersenyum tipis, dia tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak memberitahukan siapapun tentang Iren yang menjadi penyebab retaknya rumah tangganya dengan Reka.Angel mendesah frustasi karena Rintik yang bungkam. Dia tidak habis pikir kenapa sahabatnya masih menutupi wanita yang telah merusak hidupnya. Seharusnya dia mengekspos siapa wanita itu, supaya ada efek jera bagi wanita diluar sana untuk tidak macam-macam dengan pria yang sudah mempunyai istri. Padahal, sudah banyak cerita tentang istri sah yang melabrak pelakor dan mempermalukannya di tempat umum. Seharusnya Rintik mencontoh hal itu, bukan malah menjadi peran protagonis yang selalu diam dan mengalah ketika ditindas.Angel hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak mengerti dengan jalan pikiran dari wanita yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi sahabatnya i
Dahi Reka mengerut seketika, ketika melihat seseorang tengah berdiri di depan pagar rumah ibunya. Pasalnya waktu saat ini menunjukan pukul dua belas malam. Dan rasanya tidak patut jika bertamu saat ini."Ka- kamu?" ucap Reka merasa heran. Tapi perasaan herannya berubah menjadi perasaan gelisah. Jantungnya berdebar tak beraturan melihat orang itu mendekat ke arahnya. Tatapannya tajam, rasanya dia akan menerkamnya hidup-hidup."Kenapa? Tidak boleh?" ucapnya. Masih dengan tatapan tajamnya menatap Reka."Ta- tapi Janar, i- ini sudah tengah ma- malam. Tidak seharusnya kamu berada di sini. Kamu tidak berniat untuk berbuat buruk pada Mami, kan?" terka Reka.Mendengar ucapan suami dari saudaranya, membuat Janar tertawa sinis. "Tidak boleh? Ibumu saja sudah melakukan hal buruk terhadap saudaraku. Apa aku harus diam saja?" ucap Janar santai. Reka bergidik ngeri mendengar ucapan Janar. Dia tahu seperti apa watak dari saudara laki-laki dari istrinya itu. Dia adalah seorang yang temperamental dan
Bukan hanya terkejut dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya. Tapi, ketiga karyawan itu juga tidak menyangka jika orang yang sedang mereka bicarakan ada di belakang mereka."Pa- pagi, Pak," sapa kedua karyawan itu secara bersamaan. Di dalam hati mereka bertiga, mereka merutuki kebodohan yang mereka buat. Apalagi di hadapan seorang Langit. Dia memang bukan petinggi perusahaan, tapi dia sangat disegani oleh karyawan lain karena dia mempunyai aura yang tegas di balik keramah tamahan sikapnya. Tapi yang disapa justru melenggang masuk ke dalam lift karena lift sudah terbuka. Tak menghiraukan ketiga karyawan yang baru saja menyapanya."Bu Rintik, anda tidak masuk?" tanya Langit pada Rintik yang masih membeku di tempat. Mendengar namanya dipanggil, Rintik tergagap, kemudian berjalan masuk ke lift menyusul Langit."Kalian tidak ikut masuk?" tanya Langit pada ketiga karyawan itu dengan tatapan tajam.Meski sempat ragu, ketiganya masuk dengan menundukan kepa
Tiga hari lalu, Margaret datang ke apartemen Iren. Dia menceritakan tentang Reka yang sudah berani meninggikan suaranya hanya karena dia datang ke kantor tempat Rintik bekerja. Dia juga mengatakan kalau Rintik lah yang menjadi penyebab putranya menjadi tidak patuh."Cepatlah menikah dengan Reka," pinta Margaret pada Iren.Dengan wajah yang lesu, Iren menjawab, "Saya merasa tidak enak hati pada Mbak Rintik, Mih. Karena bagaimanapun, saya penyebab retaknya rumah tangga mereka. Saya hanya meminta hak anak yang ada di dalam rahim saya. Saya juga tidak bermaksud untuk menjadi perebut suami orang," ucap Iren yang diakhiri dengan isakan kecil."Tidak! Itu tidak benar. Kamu tidak salah. Kamu sudah benar jika meminta hak anakmu. Kamu tenang saja. Kamu juga tidak perlu bercerai dari Reka jika anak ini lahir. Karena bagaimanapun, dia adalah darah daging putraku. Dia akan hidup berkecukupan. Semua harta yang aku miliki, akan menjadi milik cucuku. Aku janji," ucap Margaret.Iren kembali menangis.
Iren reflek menutup mulutnya. Menyadari kebodohan yang telah ia lakukan. Yang artinya dia membongkar dirinya sendiri yang menjadi perusak rumah tangga wanita lain. “Ah! Tidak, tidak ada salahnya. Lagipula ditutupi pun suatu saat akan tau juga. Sudah kepalang tanggung. Lagipula mereka akan bercerai juga,” batin Iren."Jadi, kamu berpikir kalau aku memarahimu karena kamu yang telah merusak rumah tangga sahabatku?" Angel tidak bisa menahan tawanya. Dia tertawa sebelum melanjutkan ucapannya. "Itu karena memang kamu tidak becus dalam bekerja!" serunya."Tunggu! Jika kamu adalah wanita itu, kamu-" Angel tidak dapat menyelesaikan kata-katanya. Seketika dia menutup mulutnya, lalu menoleh kearah sahabatnya.Melihat ekspresi Angel, membuat Iren sadar, lalu dia menoleh ke sekeliling. Benar saja, ekspresi itu juga yang ia lihat dari orang-orang yang tengah berada di lobby. Mereka menatapnya dengan perasaan tak percaya mengetahui fakta bahwa beberapa hari ini yang menjadi bahan pembicaraan orang-
Iren menoleh kepada orang yang telah melayangkan sebuah tamparan yang sangat keras di pipinya. Yang diikuti dengan matanya yang membulat sempurna. Melihat Iren ditampar oleh seseorang, Rintik refleks menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. “Apa kamu bilang? Wanita yang tidak bisa mempunyai anak tidak berhak bahagia? Kamu pikir kamu siapa? Sampai bisa berkata seperti itu. Kenapa seorang wanita yang tidak bisa memberikan seorang keturunan bagi keluarga tidak berhak untuk bahagia? Kenapa! Kamu membanggakan kamu yang bisa hamil? Begitu? Kamu bisa hamil karena menggoda suami orang. Apa yang patut dibanggakan dari hal itu?!” seru Andrea penuh amarah. Iren hanya diam saja ketika ketua divisinya membuat pipinya kemerahan dengan sebuah tamparan.Seharusnya kamu malu karena menjadi wanita hina-”“Apa hakmu berkata seperti itu!” potong Iren. Nafasnya menderu, dan bola matanya memerah. “Karena aku menjadi seorang simpanan? Dengar ya, aku memang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga ora
“Rintik! Tunggu aku ingin bicara denganmu,” pinta Reka pada Rintik. Dia sudah menunggu Rintik untuk beberapa saat. Rintik menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap pria yang pernah dicintainya itu. Ia menarik nafas dalam sebelum mulai berbicara.“Ok. Ini terakhir kalinya kita berbicara. Aku tidak mau ada masalah yang timbul karena pembicaraan kita. Katakan apa yang ingin kamu katakan padaku. Aku beri waktu kamu lima menit,” ucap Rintik pada Reka.“Tapi, kenapa cuma lima menit?” Reka merasa keberatan dengan permintaan Rintik. Waktu lima menit tidak cukup untuk melepas kerinduannya pada wanita yang sangat dicintainya itu.“Kalau begitu tidak usah,” ucap Rintik seraya melangkahkan kakinya. Namun ditahan oleh Reka. “Baiklah. Lima menit,” ucapnya.Reka merasa bingung mau mulai dari mana. Dia gelisah untuk memulai pembicaraan."Em, begini, Rin. Kamu tahu kan kalau aku sangat mencintaimu. Dan tidak mau berpisah denganmu. Jadi-”“Tidak usah bertele-tele Reka. Langsung saja pada pokok p