JTA 1
"Saya terima nikahnya Ismaya Seroja dengan mas kawin tersebut tunai!" Lantang suara itu membuat Maya memejamkan mata. Dia jelas tak salah mengenali suara. Dia tahu dengan pasti, laki-laki yang beberapa detik lalu menyebut namanya dalam ikrar ikatan suci, bukanlah kekasihnya, Arman. "Mbak ...!" seru Maya saat melihat pintu kamarnya dibuka dari luar, sosok sang kakak datang dengan wajah yang terlihat murung. "Selamat, May, kamu sudah resmi jadi seorang istri," ucap Mala memaksa segurat senyuman di bibirnya. "Tapi, kenapa suara Arman terdengar berbeda, Mbak? Itu--" "Kamu lihat langsung saja, ya?! Yuk, kita keluar sekarang," sela Mala tak memberikan Maya kesempatan untuk berbicara banyak. Dengan lembut ditariknya tangan Maya untuk berdiri. "Mbak, semua baik-baik saja, kan?" tanya Maya menahan langkah dari tarikan tangan Mala. Hatinya berkata ada yang tidak beres. "Yang barusan ngucapin janji buat sehidup semati denganku Arman 'kan, Mbak?" Mala memalingkan tatap dari tuntutan pertanyaan Maya. Tangannya yang tadi mencekal lembut lengan Maya, kini terkulai lemas di sisi tubuhnya. "Lebih baik, kamu--" Suara berisik dari arah luar menghentikan perkataan Mala, tak lama muncul sosok laki-laki yang kini sudah resmi menjadi adik iparnya, berdiri dengan gagah menggunakan baju khas pengantin, serasi dengan pakaian yang dipakai Maya. Sedang Maya menatap tak percaya dengan penampakan di depan pintu kamarnya. Bola matanya membesar dengan jantung yang berdegup kencang. "Bang Fir-han," gumam Maya sambil menutup mulutnya. Otaknya bekerja keras mencerna apa yang terjadi. Mengapa kakak kekasihnya memakai baju yang seharusnya tersampir di tubuh sang adik? "Mbak keluar dulu, ya?! S-suami kamu datang menjemput rupanya," ujar Mala sambil tersenyum miris, tak menyangka hari bahagia adiknya harus berubah tanpa seorangpun dari keluarga yang tahu. Termasuk Maya Sang pengantin wanita. "Apa?! Suami?" pekik Maya dengan hati yang patah seketika. Tubuhnya mendadak lemas, kakinya tak bertenaga menopang raga yang tiba-tiba hilang semangat hidup. "Kamu dengarkan penjelasan dari suami kamu, ya?! Mbak pergi dulu," kata Mala setelah membantu Maya duduk di tepi tempat tidur. Dengan gegas wanita yang beda usia empat tahun dengan Maya itu melangkah keluar dari kamar Maya. Firhan berdiri kaku, dia bingung harus dengan cara apa menjelaskan pada calon istri adiknya itu--setidaknya sebelum dia mengucapkan janji di depan penghulu--beberapa menit lalu, gadis yang kini justru sudah menjadi istrinya. Kenapa ini harus terjadi, ya Allah? Namun Firhan tahu dia tidak bisa meratapi apa pun. Dia dengan secara sadar menyetujui untuk menggantikan Arman menikah dengan Maya. Langkah Firhan tersendat memasuki kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Aura kamar pengantin membuatnya masih tak percaya, kalau dirinya kini sudah menjadi seorang suami ... lagi. "Ehem!" Suasana hening kamar yang pintunya sudah ditutup oleh Mala, mengembalikan kesadaran Maya, begitu suara deheman Firhan terdengar, dia menatap laki-laki dewasa yang tengah menatapnya dengan kaku. "B-bang ... mana Arman? Kenapa, kenapa Abang yang ... yang menjadi suamiku?" tanya Maya dengan suara pelan, rasa sesak sudah menguasai dada, dia merasa tenggorokannya tercekat. Matanya sudah memanas, hingga tak lama buliran bukti kesedihan meluncur dengan mulus menuruni pipi. "Saya tidak tahu harus bicara apa sama kamu, D-dek. Tapi keberadaan saya di sini, adalah keinginan dari Arman," sahut Firhan seraya semakin memangkas jarak, hingga tersisa jarak satu meter dengan Maya yang sontak berdiri. "Maksud, Abang? Arman sengaja melakukan ini semua? Dia ...." Maya tak lanjut berkata-kata, dia menoleh ke atas kasur di mana ponselnya tergeletak di sana. "Tidak! Arman tidak mungkin melakukan ini padaku!" gumam Maya dengan tangan bergetar membuka ruang percakapannya dengan Arman. Terakhir mereka bertukar kabar dua hari lalu. Arman bilang biar mereka merasakan bagaimana rasanya rindu, dan bertemu lagi hari ini saat ikatan mereka sudah berganti jadi suami istri. "Angkat, Arman!" Maya mengusap kasar air mata yang semakin banyak berjatuhan. Pengabaian yang dilakukan Arman merajam hatinya. Laki-laki itu sedang online, tapi sepertinya dia memang tak ingin menerima panggilan telepon dari mantan calon istrinya itu. "Maya," panggil Firhan, saat Maya semakin kalap menekan layar ponsel agar Arman menerima panggilan. "Percuma, Maya." "Diam, Bang! Ini pasti salah! Kalian sengaja nge-prank aku, kan?! Kamu dan Arman sengaja membuat kejutan seperti ini buat aku 'kan?" Tangan Maya terangkat, dengan kesal dilemparnya ponsel ke atas kasur, lalu dengan tergesa Maya melangkah hendak keluar kamar, bahkan dengan kasar ditabraknya tubuh Firhan hingga badannya limbung. Beruntung Firhan dengan sigap menahan tubuh Maya, hingga keduanya seperti berpelukan. "Lepas! Jangan sentuh aku!" teriak Maya dengan meronta. Tak dihiraukannya lagi penampilannya yang kini terbalut pakaian pengantin."Tolong jangan seperti ini, Maya! Saya akan menjelaskan semuanya!" kata Firhan yang mengabaikan pemberontakan Maya. "Aku mau ketemu Arman, Bang! Aku mau dia langsung yang menjelaskan semuanya padaku! Bagaimana bisa tiba-tiba pengantinku berubah jadi kamu, Bang?!" raung Maya. Suaranya terdengar sampai keluar kamar. Kerabat dan para tamu undangan bahkan bisa mendengar teriakan pengantin wanita itu. Ibu Maya menatap sedih pada pintu kamar anaknya yang tertutup rapat. Di sebelahnya, sang suami menatap tajam pada kedua besannya yang menunduk malu. Lantas saja tadi rombongan pengantin laki-laki hanya satu mobil yang datang. Ternyata rencana yang sudah disusun sedemikian rupa, berubah tak seperti awalnya. Pengantin pria, berganti orang yang tidak dia duga. Andai saja dia tidak ingat akan malu oleh tetangga, akan dia batalkan saja pernikahan anak bungsunya itu. Tapi kadung penghulu sudah datang, dia pun tak bisa menolak saat harus berganti menantu tiba-tiba. "Sebenarnya kemana Arman
Ingatan Firhan lantas kembali pada saat dia menemukan selembar surat di atas tempat tidurnya. Dia baru saja datang khusus untuk acara pernikahan adiknya itu, tapi bukannya dia mengucapkan selamat atas pernikahan Arman, justru dia yang jadi terjebak dalam pernikahan dengan calon adik iparnya. "Kamu jangan gila, Arman! Kembali cepat!" murka Firhan setelah membaca goresan tangan Arman di surat yang ditulis untuknya. Namun percuma karena setelah menjelaskan kalau dia tidak bisa mengubah keputusannya, Arman lantas memutuskan sambungan teleponnya. Dengan amarah juga kebingungan yang memenuhi kepala, Firhan berjalan menuju ke kamar Arman. Langkah tergesa Arman yang baru saja sampai, membuat Rudi dan Lidya yang tengah melihat kelengkapan hantaran untuk esok, bertanya. "Bang, istirahat dulu. Biarkan Arman--" "Arman nggak ada, Ma, Pa! Anak itu pergi!" sela Firhan dengan menahan kekesalan juga amarah. "Apa? Pergi gimana maksudnya?" Lidya langsung mendekat Pada Firhan. Dia tahu Arman mem
Kata-kata penuh pertanyaan Maya menyentil ego Firhan. Dia tahu dia tak diinginkan oleh gadis itu. Begitu pun dengan dirinya yang merasa terpaksa mengikuti keinginan adiknya, untuk menjadi pengantin pengganti. Namun pantang bagi Firhan mempermainkan satu hubungan. Pernikahannya dengan Maya jelas sah secara agama juga negara, meskipun buku tanda statusnya kembali menjadi seorang imam, belum ada dalam genggaman. Lantas, akankah dia mengikuti keinginan Maya yang ingin ikatan suci mereka dibatalkan? "Kamu sadar dengan apa yang kamu tanyakan, Dik?" tanya Firhan dengan tatapan tajam, berbeda dengan sorot mata tadi yang menatapnya penuh rasa bersalah. "Memangnya Abang berniat serius dengan pernikahan ini? Kita sama-sama terpaksa, Bang! Abang dengan paksaan Arman." Maya memejamkan mata saat harus mengucapkan nama itu, nama yang selama lima bulan terakhir selalu ada dalam hati dan pikirannya. Namun nama itu yang sekarang sangat enggan dia sebut untuk satu alasan pun. "Dan aku yang merasa di
Nova [May, ini nama kamu bukan, sih?] Satu screenshoot melengkapi pesan Nova, jelas nama yang tertera di sana adalah namanya. Tulisan yang menyertai postingan tersebut, yang menunjukan Firhan tengah ijab kabul dengan ayahnya tercetak jelas.[Kasihan, adiknya lari dari pernikahan, kakaknya yang menggantikan. Yang sabar ya, Mbak.] Air mata Maya kembali berjatuhan. Tapi tak lama gadis itu tersenyum, lalu tertawa dengan air mata yang membasahi pipi. "Kamu lihat, Arman? Gara-gara kamu aku jadi terkenal. Hahaha!" Lagi satu dan pesan lainnya masuk. Nova [May, kamu ok, kan?] "Pertanyaan yang bodoh, Nova." Nova: [Yang sabar, ya May. Tapi suami kamu ganteng, kok! Emang kamu sama si Arman ada masalah apa, sih? Kok, tiba-tiba dia batalin pernikahan kalian?] Maya: [Aku baik-baik aja, Nov. Kamu tenang aja.] Nova: [Alhamdulillah. Nanti pulang kerja aku ke rumah kamu, yang sabar, ya?!] Maya tak membalas pesan Nova lagi, pun dengan pesan lainnya yang masuk tak dihiraukannya sama sekali
Sementara di kamar rawat Idham, Lani merasa lega karena suaminya sudah sadar, selang oksigen terpasang untuk membantu pernapasan. "Maya mana, Bu?" tanya Idham sambil mengamati di mana dia sekarang. "Sebentar lagi pasti sampai, lagi dijemput Nak Firhan." Lani membenarkan selimut yang menutupi perut suaminya. Di dekatnya Rudi dan Lidya menatap wajah lelah besannya yang terbaring lemah. "Pak Rudi," panggil Idham pada besannya. "Iya, Pak." Rudi lantas mendekat. "Saya mohon maaf, kalau sekiranya nanti saya lebih memilih bagaimana keputusan Maya untuk kelanjutan pernikahan dia dengan Nak Firhan. Saya tahu saya juga salah, karena tidak meminta persetujuannya saat calon suaminya harus diganti Nak Firhan." "Jangan bicarakan ini dulu, Pak. Sekarang ini, kesehatan bapak lebih penting. Saya yakin Maya pun bisa--" "Assalamua'aikum." Suara salam menghentikan perkataan Rudi, Maya memasuki kamar rawat ayahnya dengan tergesa. "Pak, Bapak baik-baik saja, kan?" Wajah panik dan sedih Maya semakin
Mobil Firhan memasuki pekarangan, tenda yang masih terpasang, juga tumpukan kursi yang tadi pagi sempat dipakai, membuat hati Maya kembali teriris. Inilah salah satu alasan dia ingin secepatnya pergi kembali ke mess. Semua bukti hari bahagianya yang berantakan, terpampang jelas di depan mata. Hembusan napas kasar Maya terdengar oleh Firhan, belum lagi tatapan gadis itu yang berubah jadi sendu saat melihat pekarangan rumahnya. Mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Maya, Firhan langsung memaklumi kenapa Maya ingin langsung pergi besok. "Kita akan berusaha bareng-bareng, Dik," ujar Firhan saat dia bisa menebak arah pikiran Maya saat ini. Maya menghempas punggungnya ke sandaran kursi. "Kalau ternyata gagal?" ujarnya kemudian. "Setidaknya kita sudah mencoba melakukan yang terbaik untuk takdir yang sudah tertulis ini," ucap Firhan yang sebenarnya sedang mengingatkan dirinya sendiri juga. "Memangnya Abang tidak punya pacar, jadi langsung mau aja nerima jadi pengatin pengganti?
Waktu berjalan dengan pasti, janji Nova yang akan datang ke rumahnya, dibatalkan oleh Maya. Dia berbohong kalau saat ini tidak ada di rumah, karena harus menunggu Idham di rumah sakit. Dia tak ingin mendapat tatapan iba dan juga kasihan saat temannya itu datang mengunjunginya. "Besok aku masuk kerja, kok. Kita ngobrol sepuasnya nanti. Kamu bebas mau tanya apa juga." Begitu kata Maya saat menelpon Nova agar tidak jadi datang ke rumahnya. Padahal yang sebenarnya pergi ke rumah sakit adalah Mala, dia diminta Lina menemani di rumah sakit sekalian membawa makanan dan pakaian ganti. Selain memberikan waktu berdua saja untuk Firhan dan Maya. Firhan terlihat canggung. Bagaimanapun dia jelas asing dengan rumah yang kini mau tidak mau menjadi rumahnya juga. Ditambah sikap Maya yang kadang masih terlihat seperti melamun, Firhan semakin serba salah akan melakukan apa. Seperti sekarang, dia tengah terdiam sendiri di ruang tengah, sedang Mala ada di dalam kamar, perutnya terasa melilit lapa
Di antara kecanggungan-kecanggungan lainnya setelah dia menikah hari ini adalah: Ketika Maya harus tidur bersama Firhan malam ini. Maya tahu pernikahan mereka sangat di luar rencana, tapi mengingat dia sudah berikrar di depan ayahnya akan mencoba menerima keberadaan Firhan sebagai suaminya, rasanya tak pantas juga dia meminta Firhan tidur di kamar lain. Di rumah itu memang hanya ada mereka berdua saat ini, juga ada satu kamar yang sengaja dipersiapkan untuk tamu, namun apa boleh dia atau Firhan yang menempatinya untuk semalam ini? Karena untuk besok, dan besoknya lagi, dia akan berada di mess entah untuk berapa lama. Seminggu, dua minggu, atau berbulan kemudian seperti biasanya dia tidur di sana selama ini. Pertemuan dia dan Arman terjadi saat dirinya dan Nova jalan-jalan. Arman yang saat itu bersama temannya, tak sengaja menyenggol Maya hingga hampir membuat gadis itu terjatuh. Dari sanalah semua bermula, bertukar nomor telepon, janji ketemu kemudian, lalu berniat serius menghala
"Firhan memberikan satu set perhiasan dan uang dua puluh juta sebagai mas kawin buat kamu," terang Idham seakan mengerti apa yang ada di pikiran Maya. "Firhan memberikan mas kawin yang sangat lebih dari layak buatmu, Maya. Meskipun pernikahan yang terjadi di luar rencananya, tapi dia menghargaimu dengan memberikan mahar yang besar. Untuk apa kamu ingin mengetahui apa yang Arman katakan di suratnya? Ibu nggak ridho kalau kamu nanti kembali pada laki-laki itu setelah membaca isi suratnya. Bagaimanapun, terbukti Arman tidak mencintai kamu! Dia sudah membuat kita malu! Apa itu yang dimaksud cinta? Jangan sampai goyah, May!" Maya langsung menunduk, padahal dia juga tidak terpikirkan untuk kembali pada Arman, hanya sekedar ingin tahu saja alasan sebenarnya, kenapa mantan calon suaminya itu meninggalkan dirinya di hari pernikahan mereka. "Maya nggak bermaksud seperti yang ibu kira." Maya menyampaikan pembelaannya. "Tapi bisa saja kamu jadi goyah setelah membaca surat si Arman, May! M
Maya bergegas turun dari ojeg yang dipesannya, menatap ke arah rumah yang sudah padam lampunya, Maya yakin semua penghuni rumah sudah tidur. Padahal waktu masih menunjukan jam sepuluh malam, tak biasanya Mala juga Sandi--sang kakak ipar--sudah tidur. Tak ingin mengganggu tidur Idham dan Lani, Maya menelpon Mala mengatakan dia ada di depan rumah. "Mbak, bukain cepat. Sepi, nih! Aku takut!" kata Maya begitu sambungan terhubung. "Iya tunggu. Mas Sandi ke depan sekarang. Ganggu aja kamu!" gerutu Mala. Maya mengernyit heran, namun beberapa detik berikutnya dia tersenyum paham. "Maaf, Mbak. Lagi nanggung, ya?!" ejek Maya, apalagi saat mendengar suara Mala terus menggerutu. "Iya lah! Emang kamu udah nikah belum ena-ena! Kasihan tuh, suami kamu! Lagian dia pergi, kamu pulang. Kayak sengaja banget deh!" Maya terdiam, apalagi suara pintu yang dibuka kuncinya terdengar, nampak iparnya keluar dan melangkah ke arah pintu pagar. "Mas, maaf ganggu," ujar Maya menatap kakak iparnya ya
Firhan menghela napas panjang. Dia juga tak menyangka akan secepat itu merasakan rasa sayang pada Maya, mungkin karena ikatan yang sudah terjalin di antara mereka sebagai suami istri, membuat hatinya bisa dengan cepat memiliki perasaan khusus untuk gadis itu. "Abang tidak akan melepaskan Maya, Man. Maaf kalau kamu berpikir abang tidak mengikuti apa yang kamu inginkan. Pernikahan kami sah secara agama dan negara. Jangan salahkan abang, tapi salahkan dirimu sendiri yang memilih pergi." Malam itu Firhan hanya bisa memandangi gambar Maya yang dia ambil tangkapan layar tadi saat video call, dengan lembut disentuhnya gambar itu diiringi doa dan harapan semoga pernikahannya dengan Maya adalah pernikahan terakhir. Sementara Maya jadi lebih banyak diam. Ungkapan yang dinyatakan Firhan mengusik hatinya. Benarkah Firhan sudah memiliki perasaan khusus untuknya? Sedang dirinya tak menampik, masih memiliki perasaan cinta untuk Arman. "Hayo, melamun aja! Pasti mikirin babang Ican." Nova
"Hmm, sudah sejauh itu ternyata. Syukurlah kalau kamu sudah bisa menaklukkan hati Maya, Bang." "Nggak gitu juga, Pa, Ma. Itu photo iseng aja. Kami belum sejauh yang papa sama mama pikirkan," elak Firhan dengan rona merah di pipinya. "Sudah pun nggak masalah, berarti kami tinggal nunggu cucu saja." Lidya tertawa, "Tolong bahagiakan Maya, Bang. Jangan kecewakan lagi seperti yang adikmu lakukan," lanjut Lidya dengan lirih. "Tentu, Ma. Abang akan berusaha membahagiakan Maya. Dia istri abang sekarang, tanggung jawab abang. Hanya saja saat abang bertukar pesan sama Arman, dia bilang akan kembali merebut Maya saat dia kembali nanti." "Arman bilang begitu?" Rudi terlihat kesal mendengar pernyataan Firhan. "Iya, Pa." "Gila! Entah apa yang ada di otak adikmu itu!" "Darah memang tak bisa berbohong, Pa," celetuk Lidya membuat Firhan tak mengerti dengan maksud ibunya, sedangkan Rudi tersentak kaget mendengar kata-kata dari istrinya. "Ma!" "Maksudnya, Ma? Darah tak bisa be
"May … apa saat Arman kembali dan dia mengatakan semua alasan kenapa dia pergi, kamu akan memaafkan dan kembali padanya?" tanya Firhan mengulang pertanyaan yang belum dijawab Maya, hatinya mendadak gamang, apa yang akan dia lakukan saat gadis yang saat ini berstatus istrinya menjawab iya? "Bukankah kita sudah sepakat untuk melanjutkan pernikahan ini, Bang?" Pertanyaan Firhan Maya jawab dengan pertanyaan lainnya. "Apa itu artinya kamu sudah benar-benar menerima kehadiran saya?" balas Firhan cepat. "Kita sudah membahasnya bukan? Dan baik abang ataupun aku setuju untuk menjalani. Jadi, kita ikuti saja alurnya akan seperti apa. Mengenai kedatangan adikmu lagi suatu saat nanti, bahkan mendengar alasannya pun aku sudah tidak memerlukannya lagi, Bang." Jelas sudah jawaban dari Maya, dari sana Firhan semakin yakin untuk segera mengurus semua berkas untuk buku nikah keduanya. "Makasih, May. Saya pegang ucapan kamu. Jangan lupa untuk bilang sama saya kalau kamu membutuhkan sesuatu. Oh
"Kamu baik-baik aja 'kan, May?" Nova merangsek masuk, lalu segera menerima pelukan Maya yang langsung tergugu dalam dekapannya. "Sabar, May! Kamu pasti kuat!" bisik Nova mengusap punggung Maya yang bergetar karena tangis. "Salah aku apa sampai dia tega melakukan semua ini sama aku, Nov? Padahal dua hari yang lalu semua masih baik-baik saja," ucap Maya membuat Nova hanya bisa mengangguk. "Dia meminta agar kami tidak saling terhubung sampai hari H, pingitan katanya. Tapi nyatanya, dua hari itu dia tengah menyusun rencana buat ninggalin aku di pelaminan. Tega, Nov. Dia tega banget sama aku!" raung Maya. "Istighfar, May." Nova ikut menangis, dia tahu jelas perjalanan cinta Maya dan Arman. Tak menyangka Arman yang terlihat begitu mencintai Maya, justru menjadi sumber luka tak berperi untuk sahabatnya itu. Maya pun mengikuti apa yang Nova katakan, menyebut nama Tuhan agar hatinya terus kuat menghadapi cobaan. "Nah, begitu. Tarik napas yang dalam, terus hembuskan," lanjut Nova sa
Arman: [Bang!] Dengan cekatan cepat Firhan menekan tanda telpon, namun dia harus kecewa karena adiknya itu malah menolak panggilannya. "Ck, kenapa ditolak, Man?!" geram Firhan. Arman: [Nggak perlu nelpon, Bang.] [Cukup balas chat aku saja.] Firhan mendengus kasar, tapi tak urung jarinya bergerak pada layar ponselnya membalas pesan Arman. Firhan: [Ribet kamu, Man! Di mana kamu?] Arman: [Satu tempat, Bang. Gimana keadaan Maya?] Firhan terkekeh membaca pesan Arman. "Masih kamu tanya juga gimana keadaan kekasihmu itu, Man?" gumam Firhan sambil membalas pesan Arman. Firhan: [Mau apa kamu nanyain istri aku? Bukannya kamu sudah kenal dengan kakak iparmu itu?] Balas Firhan yang seakan menampar telak Arman status Maya untuknya saat ini. Arman tertunduk tanpa membalas pesan kakaknya lagi. Ini pilihan dia bukan? Memilih mengorbankan kebahagiaannya dan Maya. Firhan: [Kenapa tidak balas? Nyesel sekarang sudah meminta abang jadi pengantin pengganti?] Arman merema
"Apa kamu yakin akan pergi sekarang, May?" tanya Mala setelah tadi dia tau adiknya itu akan pergi ke mess lagi. "Iya, Mbak. Maaf, bukannya aku tidak memikirkan tentang bapak yang baru pulang dari rumah sakit, tapi--" "Mbak paham, May. Mbak bertanya karena kamu kan pastinya sudah ambil cuti," sela Mala yang dibalas anggukan samar dari adiknya. "Kalau aku masih di sini, aku jadi teringat terus dengan kemalangan aku, Mbak." Maya menghela napas kasar, bukan tak menerima apa yang juga sudah dia putuskan, tapi memang untuk sekarang ini dia hanya ingin menjauh dulu. Menyendiri. "Mbak paham. Diantar suami kamu 'kan perginya?" tanya Mala dengan sengaja menyebut siapa Firhan bagi adiknya itu, hanya agar Maya selalu ingat, bahwa Firhan-lah suaminya, bukan Arman. "Dia maksa mau anter, Mbak. Padahal tadinya aku mau pergi sendiri." "Sudah siap?" Suara Firhan dari ambang pintu terdengar, Maya dan Mala langsung mengalihkan tatap ke anggota baru keluarga mereka itu. "Sudah. Ayo," ujar Ma
Setelah memeriksa pintu dan jendela, Maya kembali ke kamar. Dengan perlahan dia mendekat ke tempat tidur yang di sana sudah ada Firhan yang berbaring, mata Firhan menatap lurus langit-langit kamar, dia tak ingin membuat Maya canggung kalau dirinya menatap gadis itu. Merebahkan diri dengan canggung, Maya lantas memunggungi Firhan tanpa kata sama sekali. Memangnya apa lagi yang harus dibicarakan? Semua sudah keduanya bahas tadi. Melanjutkan pernikahan, dan bila sama-sama tak bisa saling nyaman, maka berpisah adalah pilihan terakhir. "Terima kasih," ucap Firhan setelah keheningan kamar itu menguasai. Tak ada sahutan dari Maya, tapi Firhan yakin Maya belum tidur, dan mendengar apa yang dia katakan. "Dan maafkan adik saya. Saya berjanji akan membuat kamu bahagia dalam pernikahan kita, meski awal kisah kita, dibuka dengan cara yang tak biasa. Bukalah hati kamu untuk kehadiran saya, seperti saya membuka hati saya untuk kehadiran kamu." Maya tetap membisu, namun matanya yang dia paksa t