Nova [May, ini nama kamu bukan, sih?]
Satu screenshoot melengkapi pesan Nova, jelas nama yang tertera di sana adalah namanya. Tulisan yang menyertai postingan tersebut, yang menunjukan Firhan tengah ijab kabul dengan ayahnya tercetak jelas. [Kasihan, adiknya lari dari pernikahan, kakaknya yang menggantikan. Yang sabar ya, Mbak.] Air mata Maya kembali berjatuhan. Tapi tak lama gadis itu tersenyum, lalu tertawa dengan air mata yang membasahi pipi. "Kamu lihat, Arman? Gara-gara kamu aku jadi terkenal. Hahaha!" Lagi satu dan pesan lainnya masuk. Nova [May, kamu ok, kan?] "Pertanyaan yang bodoh, Nova." Nova: [Yang sabar, ya May. Tapi suami kamu ganteng, kok! Emang kamu sama si Arman ada masalah apa, sih? Kok, tiba-tiba dia batalin pernikahan kalian?] Maya: [Aku baik-baik aja, Nov. Kamu tenang aja.] Nova: [Alhamdulillah. Nanti pulang kerja aku ke rumah kamu, yang sabar, ya?!] Maya tak membalas pesan Nova lagi, pun dengan pesan lainnya yang masuk tak dihiraukannya sama sekali, karena Maya yakin mereka pasti akan mengajukan pertanyaan serupa dengan Nova. Biarlah Nova nanti yang akan menjawab semua rasa penasaran teman kerjanya yang lain. "Setidaknya kamu kirim pesan sama aku, Ba-jingan!" geram Maya menatap ruang percakapannya dengan Arman. Lagi Arman sedang online, entah apa yang sedang dilakukan lelaki itu terlepas dari mengabaikan dirinya. Namun Maya enggan mengemis penjelasan, dia akan meyakinkan dirinya kalau Arman sudah membuangnya, agar rasa cinta yang masih tersimpan dalam hatinya, berganti benci seutuhnya. Maya mendengkus kasar, saat panggilan alam membuatnya harus beranjak ke kamar mandi. Dengan malas gadis itu keluar kamar setelah mengganti batik yang dipakai, namun penampakan sepi di luar kamarnya membuat alis Maya mengernyit heran. "Kemana ibu sama bapak?" gumam Maya, dia pun lantas berjalan mencari keberadaan Mala, hingga kakaknya itu dia lihat ada di ruang tengah sedang menelpon. Mala langsung mengakhiri teleponnya saat melihat Mala keluar kamar. "Mbak, bapak sama ibu kemana?" tanya Maya sambil mendekat. Dia juga ingin bertanya tentang keberadaan suaminya, tapi rasa gengsi lebih kuat dari rasa penasaran yang dimiliki. "May, Bapak dibawa ke rumah sakit," ujar Mala setelah mendapat kabar bahwa Idham harus dirawat karena mendapat serangan jantung. "Apa? Kok, bisa?" seru Maya kaget. "Bapak kena serangan jantung, May." Lagi tubuh Maya terasa lemas oleh semua musibah yang dialami hari itu. *** Sepanjang jalan menuju ke rumah sakit, Maya lebih banyak diam. Di sebelahnya Firhan sesekali melirik tanpa bersuara. Tadi dia diminta menjemput Maya, setelah Mala menelpon kalau adiknya ingin ke rumah sakit untuk melihat keadaan Idham. Hingga dua puluh menit perjalanan mereka, keheningan lah yang menemani selain suara mesin kendaraan yang berlalu lalang. "Biar saya bukakan pintunya." Suara Firhan menahan gerakan Maya yang akan membuka pintu mobil begitu mereka sudah sampai di rumah sakit. "Aku bisa sendiri," sahut Maya setelah menoleh sebentar pada laki-laki yang hanya bisa menghela napas pasrah itu. Menunggu Firhan yang tengah memutari bagian depan mobil, Maya menatap gedung rumah sakit di depannya. "Ayo!" ajak Firhan, tangannya terulur ragu untuk menuntun Maya berjalan. Tatapan malas Maya berikan saat tangan itu ada di depannya, memalingkan muka sebagai jawaban, Firhan tahu kalau uluran tangannya ditolak oleh sang istri dadakan. Tak ingin berdebat tak penting, Idham akhirnya mendahului berjalan yang langsung diikuti Maya. "Bapak harus dirawat untuk beberapa hari ke depan," terang Firhan tanpa ditanya. Maya hanya menanggapi tak acuh. Bukankah tadi juga Mala sudah mengatakan hal itu? Jadi pemberitahuan dari Firhan sudah tak diperlukan lagi olehnya. "Tadi papa sempat mengatakan, kalau kemungkinan resepsi akan diundur sampai bapak--" "Apa Abang masih berpikir tentang resepsi?" potong Maya dengan menghentikan langkah, Firhan pun turut menahan langkah, lalu menatap istri yang tak pernah dia pikirkan akan menjadi teman hidupnya. "Bukankah sudah saya bilang kalau saya serius dengan pernikahan ini, Dik?!" "Dan aku tidak berniat seperti yang Abang pikirkan," balas Maya sambil kembali melangkah. "Kita tunggu bagaimana keputusan orang tua kita," timpal Firhan yang merasa tak akan baik berdebat seraya mereka berjalan ke ruang rawat Idham. Maya tak menjawab, dia hanya fokus mengikuti langkah Firhan yang kini berjarak dua langkah di depannya.Sementara di kamar rawat Idham, Lani merasa lega karena suaminya sudah sadar, selang oksigen terpasang untuk membantu pernapasan. "Maya mana, Bu?" tanya Idham sambil mengamati di mana dia sekarang. "Sebentar lagi pasti sampai, lagi dijemput Nak Firhan." Lani membenarkan selimut yang menutupi perut suaminya. Di dekatnya Rudi dan Lidya menatap wajah lelah besannya yang terbaring lemah. "Pak Rudi," panggil Idham pada besannya. "Iya, Pak." Rudi lantas mendekat. "Saya mohon maaf, kalau sekiranya nanti saya lebih memilih bagaimana keputusan Maya untuk kelanjutan pernikahan dia dengan Nak Firhan. Saya tahu saya juga salah, karena tidak meminta persetujuannya saat calon suaminya harus diganti Nak Firhan." "Jangan bicarakan ini dulu, Pak. Sekarang ini, kesehatan bapak lebih penting. Saya yakin Maya pun bisa--" "Assalamua'aikum." Suara salam menghentikan perkataan Rudi, Maya memasuki kamar rawat ayahnya dengan tergesa. "Pak, Bapak baik-baik saja, kan?" Wajah panik dan sedih Maya semakin
Mobil Firhan memasuki pekarangan, tenda yang masih terpasang, juga tumpukan kursi yang tadi pagi sempat dipakai, membuat hati Maya kembali teriris. Inilah salah satu alasan dia ingin secepatnya pergi kembali ke mess. Semua bukti hari bahagianya yang berantakan, terpampang jelas di depan mata. Hembusan napas kasar Maya terdengar oleh Firhan, belum lagi tatapan gadis itu yang berubah jadi sendu saat melihat pekarangan rumahnya. Mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Maya, Firhan langsung memaklumi kenapa Maya ingin langsung pergi besok. "Kita akan berusaha bareng-bareng, Dik," ujar Firhan saat dia bisa menebak arah pikiran Maya saat ini. Maya menghempas punggungnya ke sandaran kursi. "Kalau ternyata gagal?" ujarnya kemudian. "Setidaknya kita sudah mencoba melakukan yang terbaik untuk takdir yang sudah tertulis ini," ucap Firhan yang sebenarnya sedang mengingatkan dirinya sendiri juga. "Memangnya Abang tidak punya pacar, jadi langsung mau aja nerima jadi pengatin pengganti?
Waktu berjalan dengan pasti, janji Nova yang akan datang ke rumahnya, dibatalkan oleh Maya. Dia berbohong kalau saat ini tidak ada di rumah, karena harus menunggu Idham di rumah sakit. Dia tak ingin mendapat tatapan iba dan juga kasihan saat temannya itu datang mengunjunginya. "Besok aku masuk kerja, kok. Kita ngobrol sepuasnya nanti. Kamu bebas mau tanya apa juga." Begitu kata Maya saat menelpon Nova agar tidak jadi datang ke rumahnya. Padahal yang sebenarnya pergi ke rumah sakit adalah Mala, dia diminta Lina menemani di rumah sakit sekalian membawa makanan dan pakaian ganti. Selain memberikan waktu berdua saja untuk Firhan dan Maya. Firhan terlihat canggung. Bagaimanapun dia jelas asing dengan rumah yang kini mau tidak mau menjadi rumahnya juga. Ditambah sikap Maya yang kadang masih terlihat seperti melamun, Firhan semakin serba salah akan melakukan apa. Seperti sekarang, dia tengah terdiam sendiri di ruang tengah, sedang Mala ada di dalam kamar, perutnya terasa melilit lapa
Di antara kecanggungan-kecanggungan lainnya setelah dia menikah hari ini adalah: Ketika Maya harus tidur bersama Firhan malam ini. Maya tahu pernikahan mereka sangat di luar rencana, tapi mengingat dia sudah berikrar di depan ayahnya akan mencoba menerima keberadaan Firhan sebagai suaminya, rasanya tak pantas juga dia meminta Firhan tidur di kamar lain. Di rumah itu memang hanya ada mereka berdua saat ini, juga ada satu kamar yang sengaja dipersiapkan untuk tamu, namun apa boleh dia atau Firhan yang menempatinya untuk semalam ini? Karena untuk besok, dan besoknya lagi, dia akan berada di mess entah untuk berapa lama. Seminggu, dua minggu, atau berbulan kemudian seperti biasanya dia tidur di sana selama ini. Pertemuan dia dan Arman terjadi saat dirinya dan Nova jalan-jalan. Arman yang saat itu bersama temannya, tak sengaja menyenggol Maya hingga hampir membuat gadis itu terjatuh. Dari sanalah semua bermula, bertukar nomor telepon, janji ketemu kemudian, lalu berniat serius menghala
Setelah memeriksa pintu dan jendela, Maya kembali ke kamar. Dengan perlahan dia mendekat ke tempat tidur yang di sana sudah ada Firhan yang berbaring, mata Firhan menatap lurus langit-langit kamar, dia tak ingin membuat Maya canggung kalau dirinya menatap gadis itu. Merebahkan diri dengan canggung, Maya lantas memunggungi Firhan tanpa kata sama sekali. Memangnya apa lagi yang harus dibicarakan? Semua sudah keduanya bahas tadi. Melanjutkan pernikahan, dan bila sama-sama tak bisa saling nyaman, maka berpisah adalah pilihan terakhir. "Terima kasih," ucap Firhan setelah keheningan kamar itu menguasai. Tak ada sahutan dari Maya, tapi Firhan yakin Maya belum tidur, dan mendengar apa yang dia katakan. "Dan maafkan adik saya. Saya berjanji akan membuat kamu bahagia dalam pernikahan kita, meski awal kisah kita, dibuka dengan cara yang tak biasa. Bukalah hati kamu untuk kehadiran saya, seperti saya membuka hati saya untuk kehadiran kamu." Maya tetap membisu, namun matanya yang dia paksa t
"Apa kamu yakin akan pergi sekarang, May?" tanya Mala setelah tadi dia tau adiknya itu akan pergi ke mess lagi. "Iya, Mbak. Maaf, bukannya aku tidak memikirkan tentang bapak yang baru pulang dari rumah sakit, tapi--" "Mbak paham, May. Mbak bertanya karena kamu kan pastinya sudah ambil cuti," sela Mala yang dibalas anggukan samar dari adiknya. "Kalau aku masih di sini, aku jadi teringat terus dengan kemalangan aku, Mbak." Maya menghela napas kasar, bukan tak menerima apa yang juga sudah dia putuskan, tapi memang untuk sekarang ini dia hanya ingin menjauh dulu. Menyendiri. "Mbak paham. Diantar suami kamu 'kan perginya?" tanya Mala dengan sengaja menyebut siapa Firhan bagi adiknya itu, hanya agar Maya selalu ingat, bahwa Firhan-lah suaminya, bukan Arman. "Dia maksa mau anter, Mbak. Padahal tadinya aku mau pergi sendiri." "Sudah siap?" Suara Firhan dari ambang pintu terdengar, Maya dan Mala langsung mengalihkan tatap ke anggota baru keluarga mereka itu. "Sudah. Ayo," ujar Ma
Arman: [Bang!] Dengan cekatan cepat Firhan menekan tanda telpon, namun dia harus kecewa karena adiknya itu malah menolak panggilannya. "Ck, kenapa ditolak, Man?!" geram Firhan. Arman: [Nggak perlu nelpon, Bang.] [Cukup balas chat aku saja.] Firhan mendengus kasar, tapi tak urung jarinya bergerak pada layar ponselnya membalas pesan Arman. Firhan: [Ribet kamu, Man! Di mana kamu?] Arman: [Satu tempat, Bang. Gimana keadaan Maya?] Firhan terkekeh membaca pesan Arman. "Masih kamu tanya juga gimana keadaan kekasihmu itu, Man?" gumam Firhan sambil membalas pesan Arman. Firhan: [Mau apa kamu nanyain istri aku? Bukannya kamu sudah kenal dengan kakak iparmu itu?] Balas Firhan yang seakan menampar telak Arman status Maya untuknya saat ini. Arman tertunduk tanpa membalas pesan kakaknya lagi. Ini pilihan dia bukan? Memilih mengorbankan kebahagiaannya dan Maya. Firhan: [Kenapa tidak balas? Nyesel sekarang sudah meminta abang jadi pengantin pengganti?] Arman merema
"Kamu baik-baik aja 'kan, May?" Nova merangsek masuk, lalu segera menerima pelukan Maya yang langsung tergugu dalam dekapannya. "Sabar, May! Kamu pasti kuat!" bisik Nova mengusap punggung Maya yang bergetar karena tangis. "Salah aku apa sampai dia tega melakukan semua ini sama aku, Nov? Padahal dua hari yang lalu semua masih baik-baik saja," ucap Maya membuat Nova hanya bisa mengangguk. "Dia meminta agar kami tidak saling terhubung sampai hari H, pingitan katanya. Tapi nyatanya, dua hari itu dia tengah menyusun rencana buat ninggalin aku di pelaminan. Tega, Nov. Dia tega banget sama aku!" raung Maya. "Istighfar, May." Nova ikut menangis, dia tahu jelas perjalanan cinta Maya dan Arman. Tak menyangka Arman yang terlihat begitu mencintai Maya, justru menjadi sumber luka tak berperi untuk sahabatnya itu. Maya pun mengikuti apa yang Nova katakan, menyebut nama Tuhan agar hatinya terus kuat menghadapi cobaan. "Nah, begitu. Tarik napas yang dalam, terus hembuskan," lanjut Nova sa
"Firhan memberikan satu set perhiasan dan uang dua puluh juta sebagai mas kawin buat kamu," terang Idham seakan mengerti apa yang ada di pikiran Maya. "Firhan memberikan mas kawin yang sangat lebih dari layak buatmu, Maya. Meskipun pernikahan yang terjadi di luar rencananya, tapi dia menghargaimu dengan memberikan mahar yang besar. Untuk apa kamu ingin mengetahui apa yang Arman katakan di suratnya? Ibu nggak ridho kalau kamu nanti kembali pada laki-laki itu setelah membaca isi suratnya. Bagaimanapun, terbukti Arman tidak mencintai kamu! Dia sudah membuat kita malu! Apa itu yang dimaksud cinta? Jangan sampai goyah, May!" Maya langsung menunduk, padahal dia juga tidak terpikirkan untuk kembali pada Arman, hanya sekedar ingin tahu saja alasan sebenarnya, kenapa mantan calon suaminya itu meninggalkan dirinya di hari pernikahan mereka. "Maya nggak bermaksud seperti yang ibu kira." Maya menyampaikan pembelaannya. "Tapi bisa saja kamu jadi goyah setelah membaca surat si Arman, May! M
Maya bergegas turun dari ojeg yang dipesannya, menatap ke arah rumah yang sudah padam lampunya, Maya yakin semua penghuni rumah sudah tidur. Padahal waktu masih menunjukan jam sepuluh malam, tak biasanya Mala juga Sandi--sang kakak ipar--sudah tidur. Tak ingin mengganggu tidur Idham dan Lani, Maya menelpon Mala mengatakan dia ada di depan rumah. "Mbak, bukain cepat. Sepi, nih! Aku takut!" kata Maya begitu sambungan terhubung. "Iya tunggu. Mas Sandi ke depan sekarang. Ganggu aja kamu!" gerutu Mala. Maya mengernyit heran, namun beberapa detik berikutnya dia tersenyum paham. "Maaf, Mbak. Lagi nanggung, ya?!" ejek Maya, apalagi saat mendengar suara Mala terus menggerutu. "Iya lah! Emang kamu udah nikah belum ena-ena! Kasihan tuh, suami kamu! Lagian dia pergi, kamu pulang. Kayak sengaja banget deh!" Maya terdiam, apalagi suara pintu yang dibuka kuncinya terdengar, nampak iparnya keluar dan melangkah ke arah pintu pagar. "Mas, maaf ganggu," ujar Maya menatap kakak iparnya ya
Firhan menghela napas panjang. Dia juga tak menyangka akan secepat itu merasakan rasa sayang pada Maya, mungkin karena ikatan yang sudah terjalin di antara mereka sebagai suami istri, membuat hatinya bisa dengan cepat memiliki perasaan khusus untuk gadis itu. "Abang tidak akan melepaskan Maya, Man. Maaf kalau kamu berpikir abang tidak mengikuti apa yang kamu inginkan. Pernikahan kami sah secara agama dan negara. Jangan salahkan abang, tapi salahkan dirimu sendiri yang memilih pergi." Malam itu Firhan hanya bisa memandangi gambar Maya yang dia ambil tangkapan layar tadi saat video call, dengan lembut disentuhnya gambar itu diiringi doa dan harapan semoga pernikahannya dengan Maya adalah pernikahan terakhir. Sementara Maya jadi lebih banyak diam. Ungkapan yang dinyatakan Firhan mengusik hatinya. Benarkah Firhan sudah memiliki perasaan khusus untuknya? Sedang dirinya tak menampik, masih memiliki perasaan cinta untuk Arman. "Hayo, melamun aja! Pasti mikirin babang Ican." Nova
"Hmm, sudah sejauh itu ternyata. Syukurlah kalau kamu sudah bisa menaklukkan hati Maya, Bang." "Nggak gitu juga, Pa, Ma. Itu photo iseng aja. Kami belum sejauh yang papa sama mama pikirkan," elak Firhan dengan rona merah di pipinya. "Sudah pun nggak masalah, berarti kami tinggal nunggu cucu saja." Lidya tertawa, "Tolong bahagiakan Maya, Bang. Jangan kecewakan lagi seperti yang adikmu lakukan," lanjut Lidya dengan lirih. "Tentu, Ma. Abang akan berusaha membahagiakan Maya. Dia istri abang sekarang, tanggung jawab abang. Hanya saja saat abang bertukar pesan sama Arman, dia bilang akan kembali merebut Maya saat dia kembali nanti." "Arman bilang begitu?" Rudi terlihat kesal mendengar pernyataan Firhan. "Iya, Pa." "Gila! Entah apa yang ada di otak adikmu itu!" "Darah memang tak bisa berbohong, Pa," celetuk Lidya membuat Firhan tak mengerti dengan maksud ibunya, sedangkan Rudi tersentak kaget mendengar kata-kata dari istrinya. "Ma!" "Maksudnya, Ma? Darah tak bisa be
"May … apa saat Arman kembali dan dia mengatakan semua alasan kenapa dia pergi, kamu akan memaafkan dan kembali padanya?" tanya Firhan mengulang pertanyaan yang belum dijawab Maya, hatinya mendadak gamang, apa yang akan dia lakukan saat gadis yang saat ini berstatus istrinya menjawab iya? "Bukankah kita sudah sepakat untuk melanjutkan pernikahan ini, Bang?" Pertanyaan Firhan Maya jawab dengan pertanyaan lainnya. "Apa itu artinya kamu sudah benar-benar menerima kehadiran saya?" balas Firhan cepat. "Kita sudah membahasnya bukan? Dan baik abang ataupun aku setuju untuk menjalani. Jadi, kita ikuti saja alurnya akan seperti apa. Mengenai kedatangan adikmu lagi suatu saat nanti, bahkan mendengar alasannya pun aku sudah tidak memerlukannya lagi, Bang." Jelas sudah jawaban dari Maya, dari sana Firhan semakin yakin untuk segera mengurus semua berkas untuk buku nikah keduanya. "Makasih, May. Saya pegang ucapan kamu. Jangan lupa untuk bilang sama saya kalau kamu membutuhkan sesuatu. Oh
"Kamu baik-baik aja 'kan, May?" Nova merangsek masuk, lalu segera menerima pelukan Maya yang langsung tergugu dalam dekapannya. "Sabar, May! Kamu pasti kuat!" bisik Nova mengusap punggung Maya yang bergetar karena tangis. "Salah aku apa sampai dia tega melakukan semua ini sama aku, Nov? Padahal dua hari yang lalu semua masih baik-baik saja," ucap Maya membuat Nova hanya bisa mengangguk. "Dia meminta agar kami tidak saling terhubung sampai hari H, pingitan katanya. Tapi nyatanya, dua hari itu dia tengah menyusun rencana buat ninggalin aku di pelaminan. Tega, Nov. Dia tega banget sama aku!" raung Maya. "Istighfar, May." Nova ikut menangis, dia tahu jelas perjalanan cinta Maya dan Arman. Tak menyangka Arman yang terlihat begitu mencintai Maya, justru menjadi sumber luka tak berperi untuk sahabatnya itu. Maya pun mengikuti apa yang Nova katakan, menyebut nama Tuhan agar hatinya terus kuat menghadapi cobaan. "Nah, begitu. Tarik napas yang dalam, terus hembuskan," lanjut Nova sa
Arman: [Bang!] Dengan cekatan cepat Firhan menekan tanda telpon, namun dia harus kecewa karena adiknya itu malah menolak panggilannya. "Ck, kenapa ditolak, Man?!" geram Firhan. Arman: [Nggak perlu nelpon, Bang.] [Cukup balas chat aku saja.] Firhan mendengus kasar, tapi tak urung jarinya bergerak pada layar ponselnya membalas pesan Arman. Firhan: [Ribet kamu, Man! Di mana kamu?] Arman: [Satu tempat, Bang. Gimana keadaan Maya?] Firhan terkekeh membaca pesan Arman. "Masih kamu tanya juga gimana keadaan kekasihmu itu, Man?" gumam Firhan sambil membalas pesan Arman. Firhan: [Mau apa kamu nanyain istri aku? Bukannya kamu sudah kenal dengan kakak iparmu itu?] Balas Firhan yang seakan menampar telak Arman status Maya untuknya saat ini. Arman tertunduk tanpa membalas pesan kakaknya lagi. Ini pilihan dia bukan? Memilih mengorbankan kebahagiaannya dan Maya. Firhan: [Kenapa tidak balas? Nyesel sekarang sudah meminta abang jadi pengantin pengganti?] Arman merema
"Apa kamu yakin akan pergi sekarang, May?" tanya Mala setelah tadi dia tau adiknya itu akan pergi ke mess lagi. "Iya, Mbak. Maaf, bukannya aku tidak memikirkan tentang bapak yang baru pulang dari rumah sakit, tapi--" "Mbak paham, May. Mbak bertanya karena kamu kan pastinya sudah ambil cuti," sela Mala yang dibalas anggukan samar dari adiknya. "Kalau aku masih di sini, aku jadi teringat terus dengan kemalangan aku, Mbak." Maya menghela napas kasar, bukan tak menerima apa yang juga sudah dia putuskan, tapi memang untuk sekarang ini dia hanya ingin menjauh dulu. Menyendiri. "Mbak paham. Diantar suami kamu 'kan perginya?" tanya Mala dengan sengaja menyebut siapa Firhan bagi adiknya itu, hanya agar Maya selalu ingat, bahwa Firhan-lah suaminya, bukan Arman. "Dia maksa mau anter, Mbak. Padahal tadinya aku mau pergi sendiri." "Sudah siap?" Suara Firhan dari ambang pintu terdengar, Maya dan Mala langsung mengalihkan tatap ke anggota baru keluarga mereka itu. "Sudah. Ayo," ujar Ma
Setelah memeriksa pintu dan jendela, Maya kembali ke kamar. Dengan perlahan dia mendekat ke tempat tidur yang di sana sudah ada Firhan yang berbaring, mata Firhan menatap lurus langit-langit kamar, dia tak ingin membuat Maya canggung kalau dirinya menatap gadis itu. Merebahkan diri dengan canggung, Maya lantas memunggungi Firhan tanpa kata sama sekali. Memangnya apa lagi yang harus dibicarakan? Semua sudah keduanya bahas tadi. Melanjutkan pernikahan, dan bila sama-sama tak bisa saling nyaman, maka berpisah adalah pilihan terakhir. "Terima kasih," ucap Firhan setelah keheningan kamar itu menguasai. Tak ada sahutan dari Maya, tapi Firhan yakin Maya belum tidur, dan mendengar apa yang dia katakan. "Dan maafkan adik saya. Saya berjanji akan membuat kamu bahagia dalam pernikahan kita, meski awal kisah kita, dibuka dengan cara yang tak biasa. Bukalah hati kamu untuk kehadiran saya, seperti saya membuka hati saya untuk kehadiran kamu." Maya tetap membisu, namun matanya yang dia paksa t