Shafa merasa sangat trauma. Tangannya gemetar hebat dan keringat terus mengalir membasahi keningnya. Selama diperjalanan menuju rumah sakit, Shafa terus berdoa dengan harapan suaminya akan baik-baik saja."Mas Alby pasti baik-baik aja, kok, Mbak," ucap Mbok Dewi yang terus menggenggam tangan majikannya itu.Sesampainya di rumah sakit, Shafa langsung berlari dan mengabaikan kondisinya yang sedang hamil muda. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang terhadapnya.Bugh!"Aduh!" rintih Shafa yang terjatuh karena menabrak seorang wanita."Shafa? Kamu ngapain di sini? Kenapa kamu nangis gitu?""Sonya ....""Di mana Mas Alby? Tadi, dia telepon aku. Katanya lagi di jalan mau ke sini. Tapi, kenapa belum sampai juga?""Mas Alby kecelakaan pas lagi di jalan mau jenguk anak kamu."Kembali Shafa berlari dan meninggalkan Sonya yang kakinya terasa berat untuk melangkah. "Apa? Kecelakaan?"Ada sekitar 3 polisi
3 hari sebelum Alby mengalami kecelakaan, Sonya sudah meminta mantan suaminya itu untuk datang. Sekalipun alasannya karena Daren, tapi Alby tidak kunjung datang. Sonya kesal dan berpikir Shafa adalah penyebabnya.Melihat sangat anak menderita, Sonya berniat untuk mengakhiri semua yang selama ini dia rahasiakan. Kakinya membawa dia pulang dan mencari sebuah kertas yang disembunyikan selama bertahun-tahun."Aku harus telepon mereka. Ini saatnya aku kasih tau ke mereka yang sebenernya. Aku mungkin bisa bertahan sedikit lagi, kalau aja mereka enggak menjadikan Daren sebagai korbannya. Mereka udah keterlaluan."2 nomor telepon yang tertulis dikertas itu, mulai disalin ke dalam ponsel. Nomor pertama milik wanita yang pernah menjadi ibu mertuanya. Sonya mendapatkan nomor itu beberapa tahun lalu dari ponsel Alby."Halo, ini siapa, ya?" tanya wanita itu.Jantung Sonya berdegup kencang. Itu kali pertama dia berkomunikasi dengan ibu mertuanya. Bahka
Shafa merasa tubuhnya tidak lagi dapat menahan rasa sakit yang teramat itu. Perutnya sudah mati rasa dan seluruh tubuhnya sudah tidak lagi memiliki tenaga.Darah mengalir keluar dari kemaluannya. Shafa hanya bersandar lemas pada tembok yang kotor akan lumut. Bibirnya pucat dan keringat membasahi keningnya."Mama, tolong aku. Tolong bawa aku ke rumah sakit," pinta Shafa dengan lemas.Hera yang duduk di hadapannya, sama sekali tidak memberi respon saat Shafa berkali-kali meminta tolong. Dia hanya sibuk dengan ponselnya untuk bertukar kabar dengan Sonya."Ma, tolong aku. Aku mohon, Ma," pinta Shafa sekali lagi."Kamu bisa diam enggak, sih?! Berisik banget dari tadi?!""Aku mohon, Ma."Hera berjalan menjauh dari Shafa yang tidak lagi dapat berdiri, apalagi untuk berjalan dan kabur dari sana."Jagain anak itu. Jangan kasihani dia," ucap Hera pada dua pria bertubuh besar yang berdiri di depan pintu."Siap, Bu
Bukan tidur, tapi pingsan. Shafa tidak kuat lagi menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Perutnya yang keram, kepalanya yang pusing, dan beberapa luka yang perih, membuat Shafa pingsan dari malam hari."Bawa dia ke mobil.""Siap, Bu!"Perintah Hera segera dilaksanakan oleh kedua orang suruhannya. Setelah dibekap mulutnya dan ditutup matanya, Shafa dibawa ke suatu tempat yang dia tidak tau dimana.Sampailah di sebuah klinik yang terpencil dan gelap. Shafa belum juga sadar. Mata dan mulutnya masih tertutup rapat. Langit masih gelap karena baru masuk jam 5 pagi. Hera sudah menyiapkan semuanya, jadi tinggal dieksekusi saja hari itu."Permisi, Dok? Saya Hera, yang kemarin bikin janji sama Dokter.""Oh, iya. Saya udah nunggu dari tadi, loh. Jadi ini yang mau diaborsi?" tanya dokter yang bernama Tiara itu."Iya, Dok. Tapi, bisa enggak kalau prosesnya dilakukan tanpa dia liat? Jadi saya mau saat dia sadar nanti, aborsinya selesa
"Shafa?"Semua yang ada di ruangan itu menyebutkan satu nama kala melihat seorang wanita yang duduk di kursi roda, dengan wajah dan tubuh yang dipenuhi luka."Shafa?" tanya Alby yang memang tidak bisa melihat. Dia hanya mendengar suara yang indah dan sangat dia rindukan."Iya, ini aku, Mas."Suster yang mendorong kursi rodanya, segera pergi saat Shafa mengucapkan terima kasih. Rendi mundur dan mendekatkan Shafa pada Alby."Kamu baik-baik aja, Mas?""S-shafa? Ini beneran kamu?" Alby memegang tangan Shafa yang terbalut perban. "K-kamu baik-baik aja, 'kan?"Sonya dan Hera beberapa kali bertukar pandangan. Rasanya, Sonya ingin sekali mati saat itu juga. Dia hanya ingin pergi dan tidak merasakan kebencian yang akan Alby berikan.Lain halnya dengan Hera yang mencoba untuk tenang tanpa rasa bersalah. Padahal dia diselimuti ketakutan. Dia akan hancur hanya dengan satu kalimat yang Shafa ungkapkan."Aku enggak k
Seiring berjalannya waktu, Alby mulai ikhlas dengan kondisinya yang baru. Berharap ada seseorang yang rela mendonorkan mata untuknya. Keberadaan Shafa dan Fahri di hidupnya, membuat Alby bisa dengan mudah menjalani hidup.Tiga bulan setelah dinyatakan keguguran, Shafa mengalami trauma. Dia masih ingat kejadian yang Hera dan Sonya lakukan padanya. Apalagi sampai membuat bayi dikandungnya meninggal."Shafa, kenapa belum ada kabar dari polisi, ya? Ini udah hampir 3 bulan, loh?"Alby benar-benar melaporkan Hera dan Sonya ke polisi. Namun, mereka berdua dinyatakan menghilang dan belum ditemukan keberadaannya."Aku juga enggak habis pikir. Ke mana mereka pergi sampai polisi enggak bisa menemukan mereka?""Permisi?"Kedatangan Rendi dan Jasmin yang sedari tadi mereka tunggu. Harum dan suara tangis bayi, Shafa menyukainya. Setelah Sonya menghilang, Rendi dan Jasmin yang baru menikah ikhlas merawat Daren sampai kondisi Alby dan Shafa puli
Malam hari seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk Shafa beristirahat. Tapi, kehadiran Daren akan membuatnya lebih sering begadang. Tangisan Daren membuat Shafa tidak bisa tidur tenang. Di usianya yang baru menginjak 1 tahun, Daren masih membutuhkan ASI, bukan susu formula."Yang sabar, ya? Nanti mama Daren pulang, kok."Shafa terus berbicara pada Daren yang tidak berhenti menangis. Menggendongnya sambil berjalan bolak-balik. Walau sudah berkali-kali menguap karena kantuk, tapi Shafa tidak mungkin tidur sebelum Daren pulas."Shafa?"Suara Alby membuat Shafa terkejut. Suaminya yang sudah tidur pulas karena obat, terbangun mungkin karena suara tangisan anaknya."Ada apa, Mas?" tanya Shafa sambil duduk dipinggir kasur. "Kamu haus?""Enggak, kok. Daren nangis terus, ya?""Iya, Mas.""Sini, biar aku gantian gendong dia. Kamu istirahat aja."Tidur mungkin Shafa menyerahkan tugas itu pada Alby yang kondisiny
Shafa masih syok dengan kedatangan Sonya yang secara tiba-tiba, padahal polisi sudah mencarinya ke mana-mana. Tangannya gemetar hebat karena takut dengan ancaman Sonya kemarin.Yang lebih bikin syok lagi, kedatangan Sonya ternyata baik. Dia mengatakan lelah menjadi buronan dan ingin menyerah saja. Sonya meminta maaf sambil bersimpuh di hadapan Shafa dan Alby."Tolong maafin aku. Sekarang juga, aku akan menyerahkan diri ke polisi. Tapi, tolong jaga Daren."Dalam hati, Shafa iba melihat sahabatnya jadi seperti itu. Namun, Sonya sudah membuatnya kehilangan anak dikandungnya."Saya bakal maafin kamu. Tapi, kamu tetap harus bertanggung jawab," ujar Alby."Iya, Mas. Aku akan bertanggung jawab.""Kalau gitu, saya mau telepon polisi untuk datang ke sini dan kamu jangan pergi."Dengan lembut, Shafa meraih tangan Alby yang duduk disampingnya. "Mas, sabar dulu, ya? Sonya datang dengan niat baik.""Maksud kamu kita harus ma