Shafa merasa tubuhnya tidak lagi dapat menahan rasa sakit yang teramat itu. Perutnya sudah mati rasa dan seluruh tubuhnya sudah tidak lagi memiliki tenaga.
Darah mengalir keluar dari kemaluannya. Shafa hanya bersandar lemas pada tembok yang kotor akan lumut. Bibirnya pucat dan keringat membasahi keningnya."Mama, tolong aku. Tolong bawa aku ke rumah sakit," pinta Shafa dengan lemas.Hera yang duduk di hadapannya, sama sekali tidak memberi respon saat Shafa berkali-kali meminta tolong. Dia hanya sibuk dengan ponselnya untuk bertukar kabar dengan Sonya."Ma, tolong aku. Aku mohon, Ma," pinta Shafa sekali lagi."Kamu bisa diam enggak, sih?! Berisik banget dari tadi?!""Aku mohon, Ma."Hera berjalan menjauh dari Shafa yang tidak lagi dapat berdiri, apalagi untuk berjalan dan kabur dari sana."Jagain anak itu. Jangan kasihani dia," ucap Hera pada dua pria bertubuh besar yang berdiri di depan pintu."Siap, BuBukan tidur, tapi pingsan. Shafa tidak kuat lagi menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Perutnya yang keram, kepalanya yang pusing, dan beberapa luka yang perih, membuat Shafa pingsan dari malam hari."Bawa dia ke mobil.""Siap, Bu!"Perintah Hera segera dilaksanakan oleh kedua orang suruhannya. Setelah dibekap mulutnya dan ditutup matanya, Shafa dibawa ke suatu tempat yang dia tidak tau dimana.Sampailah di sebuah klinik yang terpencil dan gelap. Shafa belum juga sadar. Mata dan mulutnya masih tertutup rapat. Langit masih gelap karena baru masuk jam 5 pagi. Hera sudah menyiapkan semuanya, jadi tinggal dieksekusi saja hari itu."Permisi, Dok? Saya Hera, yang kemarin bikin janji sama Dokter.""Oh, iya. Saya udah nunggu dari tadi, loh. Jadi ini yang mau diaborsi?" tanya dokter yang bernama Tiara itu."Iya, Dok. Tapi, bisa enggak kalau prosesnya dilakukan tanpa dia liat? Jadi saya mau saat dia sadar nanti, aborsinya selesa
"Shafa?"Semua yang ada di ruangan itu menyebutkan satu nama kala melihat seorang wanita yang duduk di kursi roda, dengan wajah dan tubuh yang dipenuhi luka."Shafa?" tanya Alby yang memang tidak bisa melihat. Dia hanya mendengar suara yang indah dan sangat dia rindukan."Iya, ini aku, Mas."Suster yang mendorong kursi rodanya, segera pergi saat Shafa mengucapkan terima kasih. Rendi mundur dan mendekatkan Shafa pada Alby."Kamu baik-baik aja, Mas?""S-shafa? Ini beneran kamu?" Alby memegang tangan Shafa yang terbalut perban. "K-kamu baik-baik aja, 'kan?"Sonya dan Hera beberapa kali bertukar pandangan. Rasanya, Sonya ingin sekali mati saat itu juga. Dia hanya ingin pergi dan tidak merasakan kebencian yang akan Alby berikan.Lain halnya dengan Hera yang mencoba untuk tenang tanpa rasa bersalah. Padahal dia diselimuti ketakutan. Dia akan hancur hanya dengan satu kalimat yang Shafa ungkapkan."Aku enggak k
Seiring berjalannya waktu, Alby mulai ikhlas dengan kondisinya yang baru. Berharap ada seseorang yang rela mendonorkan mata untuknya. Keberadaan Shafa dan Fahri di hidupnya, membuat Alby bisa dengan mudah menjalani hidup.Tiga bulan setelah dinyatakan keguguran, Shafa mengalami trauma. Dia masih ingat kejadian yang Hera dan Sonya lakukan padanya. Apalagi sampai membuat bayi dikandungnya meninggal."Shafa, kenapa belum ada kabar dari polisi, ya? Ini udah hampir 3 bulan, loh?"Alby benar-benar melaporkan Hera dan Sonya ke polisi. Namun, mereka berdua dinyatakan menghilang dan belum ditemukan keberadaannya."Aku juga enggak habis pikir. Ke mana mereka pergi sampai polisi enggak bisa menemukan mereka?""Permisi?"Kedatangan Rendi dan Jasmin yang sedari tadi mereka tunggu. Harum dan suara tangis bayi, Shafa menyukainya. Setelah Sonya menghilang, Rendi dan Jasmin yang baru menikah ikhlas merawat Daren sampai kondisi Alby dan Shafa puli
Malam hari seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk Shafa beristirahat. Tapi, kehadiran Daren akan membuatnya lebih sering begadang. Tangisan Daren membuat Shafa tidak bisa tidur tenang. Di usianya yang baru menginjak 1 tahun, Daren masih membutuhkan ASI, bukan susu formula."Yang sabar, ya? Nanti mama Daren pulang, kok."Shafa terus berbicara pada Daren yang tidak berhenti menangis. Menggendongnya sambil berjalan bolak-balik. Walau sudah berkali-kali menguap karena kantuk, tapi Shafa tidak mungkin tidur sebelum Daren pulas."Shafa?"Suara Alby membuat Shafa terkejut. Suaminya yang sudah tidur pulas karena obat, terbangun mungkin karena suara tangisan anaknya."Ada apa, Mas?" tanya Shafa sambil duduk dipinggir kasur. "Kamu haus?""Enggak, kok. Daren nangis terus, ya?""Iya, Mas.""Sini, biar aku gantian gendong dia. Kamu istirahat aja."Tidur mungkin Shafa menyerahkan tugas itu pada Alby yang kondisiny
Shafa masih syok dengan kedatangan Sonya yang secara tiba-tiba, padahal polisi sudah mencarinya ke mana-mana. Tangannya gemetar hebat karena takut dengan ancaman Sonya kemarin.Yang lebih bikin syok lagi, kedatangan Sonya ternyata baik. Dia mengatakan lelah menjadi buronan dan ingin menyerah saja. Sonya meminta maaf sambil bersimpuh di hadapan Shafa dan Alby."Tolong maafin aku. Sekarang juga, aku akan menyerahkan diri ke polisi. Tapi, tolong jaga Daren."Dalam hati, Shafa iba melihat sahabatnya jadi seperti itu. Namun, Sonya sudah membuatnya kehilangan anak dikandungnya."Saya bakal maafin kamu. Tapi, kamu tetap harus bertanggung jawab," ujar Alby."Iya, Mas. Aku akan bertanggung jawab.""Kalau gitu, saya mau telepon polisi untuk datang ke sini dan kamu jangan pergi."Dengan lembut, Shafa meraih tangan Alby yang duduk disampingnya. "Mas, sabar dulu, ya? Sonya datang dengan niat baik.""Maksud kamu kita harus ma
Malam terasa sangat panjang. Shafa hanya tidur beberapa menit, lalu terbangun, dan tidur sejenak, lalu terbangun lagi. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan Sonya. Masih ada yang ingin dia sampaikan pada Sonya. Namun Sonya sudah pergi untuk selamanya sebelum Shafa mengatakannya.Sambil melihat langit-langit ruangan itu, Shafa terus menahan tangisnya walau air mata gagal dihadang. "Sonya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."Jadwal Alby bangun pagi ada di jam setengah tujuh. Dia terbangun, namun pura-pura tertidur saat mendengar Shafa berbicara dengan suara yang lemah dan sedikit serak.Shafa kembali melanjutkan kalimatnya dengan pelan. "Aku enggak punya sedikitpun perasa dendam ke kamu. Aku pikir, hari itu aku bisa memperbaiki hubungan kita. Tapi, kamu malah pergi untuk selamanya secepat ini. Maafin aku karena ingkar janji sama kamu. Dulu, kita pernah janji untuk saling menjaga, menolong, dan menyayangi. Tapi aku enggak bisa menolong k
1 bulan setelah Alby dapat kembali melihat berkat mata yang Sonya donorkan, pria tampan itu memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Dia meninggalkan pekerjaan dan semua kenangan buruk di kota yang indah itu.Shafa perlahan dapat menerima semua yang terjadi di hidupnya. Kehilangan beberapa orang yang dia cinta, tidak boleh membuatnya menyerahkan hidupnya. Berkat Alby, Shafa mampu bertahan."Aku deg-degan banget buat wawancara besok," ucap Alby sambil memeluk Shafa yang tertidur di lengannya."Aku yakin kamu pasti diterima." Alby mencium kening Shafa dengan lembut."Kalau aku enggak lolos lagi, terpaksa aku harus kerja di perusahaan papa.""Kali ini kamu pasti lolos, kok. Toh, kamu udah mempersiapkan semuanya, udah memperbaiki kesalahan dan kekurangan dari lamaran sebelumnya. Jadi kali ini kamu pasti lolos."Shafa selalu membuat Alby hangat dan nyaman. Ucapannya yang membuat hati tenang dan wajah cantiknya yang membuatnya makin jatuh cinta. Alby menarik perlahan dagu Shafa dan mulai mencium
Alby merasa sangat kesal. Dia sampai memutuskan untuk tidur di ruang tengah. Shafa takut untuk membangunkan Alby. Tapi, Mbok Dewi memberikan saran agar Shafa berani. Dia membuat teh tawar hangat yang setiap pagi Alby minum."Mbok Dewi aja, deh, yang bangunin. Saya takut.""Kalau kayak gitu gimana Mbak Shafa sama Mas Alby bisa baikan? Mending Mbak Shafa bangunin dan langsung minta maaf. Mungkin pikirannya Mas Alby udah enakan sekarang." Saran Mbok Dewi dapat Shafa terima, namun sulit dilakukan.Setelah beberapa menit melihat Alby dari dapur, Shafa memberanikan diri membawa teh yang dia buat dan duduk disamping sang suami."Mas Alby, bangun. Kamu harus ke sekolah, 'kan?"Alby bukan tipe orang yang sulit dibangunkan. Dia mudah bangun saat mendengar bunyi yang mengganggunya. Matanya setengah terbuka. Dia duduk sambil melihat Shafa dihadapannya."Aku bikin teh buat kamu, nih."Sudah kembali sadar akan kejadian semalam, Alby m