Acara telah selesai. Kafe sudah sepi, hanya menyisakan para karyawan yang merapikan sisa acara. Alby duduk diposisi paling ujung, dekat jendela yang memperlihatkan hujan di malam hari. Ditemani secangkir mocaccino coffee, Alby menunggu dengan sabar."Bunda, itu siapa? Dari tadi om itu liatin aku terus, sih?" tanya Bizar pada sang bunda."Ayo, ikut Bunda."Shafa menggendong Bizar dan mendekati Alby. Rasanya sangat canggung saat kembali bertemu setelah sekian lama. Kalau Alby, dia canggung pada sang anak yang baru kali pertama dia temui.Bizar melihat Alby sebentar, kemudian memeluk bundanya yang masih menggendongnya. "Bizar, dengerin bunda dulu coba." Tangan Shafa mengelus kepala anaknya seakan merapikan rambut. "Bizar mau ketemu ayah, kan?""Iya, mau.""Ini ayah Bizar. Om yang dari tadi liatin Bizar itu ayah. Ayahnya Bizar."Kepalanya yang kecil kembali menengok dan menatap Bizar dengan wajah polosnya. "Ayah?"Setelah mencoba memberanikan diri, Alby akhirnya benar-benar berani untuk me
"Albizar, bangun, yuk? Katanya mau jalan-jalan sama ayah?"Sebenarnya bukan hanya kali itu, tapi setiap harinya Bizar selalu mudah jika dibangunkan. Bahkan, dia selalu bangun saat mendengar bundanya menangis di malam hari."Emangnya ayah udah dateng, Bun?""Nanti ayah jemput di kafe. Sekarang, Bizar siap-siap dulu. Mandi, terus sarapan, oke?"Mandi pun, Bizar sudah bisa melakukannya sendiri, tapi masih tetap dipantau sang bunda. Untuk makan, sudah sejak usia 3 tahun Bizar mulai makan tanpa di suapi. Shafa tidak heran kalau Bizar tergolong anak yang cerdas sejak kecil, karena itu pasti turunan dari ayahnya."Ayo, Bunda! Pasti ayah udah dateng."Shafa masih sibuk menguncir rambutnya disaat anaknya sudah menunggu di luar rumah. "Tunggu, Sayang.""Cepet, Bunda.""Iya, sabar."Bizar duduk dengan resah, tidak sabar bertemu ayahnya. Bukan salah liat, Bizar langsung memanggil saat melihat Alby datang. "Ayah?!""Assalamualaikum?""Wa'alaikumsalam, Ayah! Bunda, ayah dateng!"Walau tidak bisa mem
Hari yang sangat melelahkan untuk Alby lewati. Tapi juga membahagiakan karena mungkin itu keinginan terakhir yang telah terpenuhi. Dia hanya ingin memiliki anak dari Shafa, walau dengan status yang sudah berbeda.Sepertinya Shafa sadar kalau Alby terlihat jauh lebih kurus dari terakhir bertemu 5 tahun lalu. Bahkan, otot yang dulu selalu menjadi bantalan sudah tidak nampak lagi. Iya, itu semua karena penyakit yang dia alami sejak 3 tahun lalu. Kalau dipikir, itu lebih baik daripada dia meninggal Shafa dan anaknya disaat keluarga mereka utuh dan penuh kebahagiaan. Kepergiannya akan sangat menyakitkan untuk berikan, 'kan?"Iya, Pa. Aku di Yogya dari 2 hari lalu. Maaf aku enggak kasih tau Papa dulu." Sembari tiduran, Alby sengaja menelpon Fahri yang sudah beberapa kali menghubunginya."Kamu sendirian? Ngapain kamu ke sana?""Iya, aku pergi ke sini sendirian. Aku kangen sama Shafa, makannya aku ke Indonesia.""Tapi kamu lagi sakit, Al. Papa takut kamu kenapa-napa di sana. Kamu ngerti perasa
Walau tidak sejauh Indonesia-Australia, Shafa tetap merasakan dirinya jauh dari Alby. Di luar ruangan dengan kaca besar sebagai pembatas, Shafa terus menatap Alby sambil menangis sesenggukan. Satu persatu kenangan kebersamaan mereka saat dulu berputar bergantian. Sampai Bizar datang dan menghentikan putaran memori itu."Bunda!"Bersama Rendi, Bizar datang dengan masih mengenakan seragam sekolah dan ransel berkarakter Superman kesukaannya. Seperti tau apa yang bundanya rasakan, Bizar memeluk Shafa dengan sangat erat."Ayah kenapa, Bunda? Ayah sakit, ya?" tanya Bizar yang juga ikut menangis."Iya, ayah sakit. Tapi Bizar enggak usah khawatir. Pasti sebentar lagi ayah sembuh, kok."Anak lelaki dengan tubuh yang masih sangat kecil itu berusaha memeluk Shafa agar sepenuhnya masuk dalam pelukannya. "Aku sedih banget. Pasti Bunda lebih sedih, 'kan? Selama ini aja Bunda selalu nangis padahal enggak tau keadaan ayah. Apalagi sekarang saat bunda liat ayah sakit?" Bizar memeluknya lagi sambil mene
Shafa merasa kalau dia penyebab semua kekacauan itu. Kekacauan di hidupnya dan di hidup orang-orang terdekatnya. Karena menikah dengannya, Alby jadi banyak menderita. Lalu karena mengenalnya, Rendi jadi harus merasakan jatuh cinta yang tak berbalas.Di halaman belakang rumah, Shafa duduk termenung sampai lupa waktu. Bahkan Mbok Dewi yang menjemput Bizar di sekolah. Sudah 2 hari Shafa banyak melamun dan tidak pergi bekerja."Mbak Shafa?"Lamunannya tersadarkan dan Shafa menengok. "Ada apa, Mbok?""Tadi Bizar di jemput kakeknya. Dia merengek minta ikut kakeknya untuk ketemu Mas Alby. Enggak apa-apa, toh?""Enggak apa-apa, Mbok.""Ada masalah apa, toh, Mbak? Beberapa hari ini melamun terus?""Kalau Mbok di posisi aku, siapa yang bakal Mbok pilih? Mas Alby atau Rendi?""Loh, itu soal perasaan masing-masing, Mbak. Mbok enggak punya alasan untuk kasih jawaban ke Mbak.""Mereka tulus cinta sama aku, Mbok. Tapi aku enggak bisa balas ketulusan itu.""Mbak pernah bersama Mas Alby. Harusnya Mbak
Sonya kesal saat mengetahui Shafa akan menikah minggu depan. Sonya marah sebab Shafa tidak memberitahunya dari jauh-jauh hari. Karena ingin membicarakan masalah tersebut, Sonya mengajak Shafa untuk mengobrol di kafe.Tidak menunggu lama, Shafa datang dan langsung bertemu dengan Sonya yang duduk di tempat paling belakang. Sonya seperti mengabaikan temannya itu."Sonya, jangan marah, dong." Shafa memegang tangan Sonya, namun sahabatnya itu menolak. "Kamu belum dengar alasan kenapa aku mendadak kasih kabar itu 'kan?""Kalau gitu, jelasin aja sekarang. Aku dengerin, kok," jawab Sonya yang menyibukkan diri dengan ponselnya."Aku dijodohin.""Apa?! Kamu dijodohin?!" Mata Sonya membulat."Iya, aku dijodohin sama anak kenalan ibu aku dua hari lalu. Besok, aku mau lamaran yang cuma ngundang keluarga dan kerabat dari pihak aku dan calon aku." Sonya terlihat sangat terkejut dengan apa yang penjelasan Shafa."Secepat itu? Kenapa kamu enggak nolak, Shaf? Kamu suka sama dia?""Aku enggak bisa nolak
Acara pernikahan yang dilaksanakan selama 3 hari sudah selesai. Saatnya Alby pulang ke Malang. Tapi, kali itu dia pulang dengan membawa seorang wanita cantik yang sudah sah menjadi istrinya.Saat sedang tenang mengemudi, tiba-tiba seekor kucing keluar dari gang menuju rumah Alby, membuatnya harus berhenti mendadak. Shafa yang sedang bersandar, terbentur kaca lumayan kencang."Aduh!""Shaf, kamu enggak apa-apa?" tanya Alby yang tangannya segera mengelus kening istrinya."Sedikit sakit. Kamu enggak tabrak kucingnya, 'kan?""Kayaknya enggak. Coba aku liat dulu." Alby keluar dari mobil untuk mengecek. Ternyata, semua baik-baik saja. "Aman.""Syukurlah. Rumah kamu masih jauh?""Enggak. Sebentar lagi sampai, kok."Shafa tercengang saat sampai di rumah yang lumayan besar, rapi, dan bersih. Baru saja sampai, seorang wanita yang merupakan tetangga samping kiri rumah menyapa mereka."Mas Alby, apa kabar? Udah hampir seminggu lebih enggak pulang?"Wanita itu terlihat seksi dan berpenampilan leb
Shafa bangun lebih pagi. Dia masih berada di pelukan Alby. Otot tangan Alby yang besar, menjadi bantalan untuk tidurnya semalam. Saat ingin bangun, Alby malah mengeratkan lagi pelukannya."Mas Alby, aku mau belanja. Kayaknya, ada tukang sayur, tuh, di depan.""Cium aku dulu," pinta Alby dengan mata yang masih terpejam.Sebelum menciumnya, Shafa melihat wajah Alby yang masih tertidur. Bibirnya yang pucat tetap terlihat menggoda untuknya. Walau sedang tidur, Alby masih terlihat tampan. Saat itulah Shafa merasa sangat beruntung bisa memilikinya.Bibir mereka bertabrakan dan Alby memegang kepala Shafa agar tautan bibirnya tidak terlepas. Hampir kehabisan napas, Alby langsung melepaskan Shafa."Maaf, ya, Sayang?"Aku mau belanja dulu."Shafa segera keluar rumah saat mendengar suara teriakan tukang sayur yang lewat di depan rumahnya. Banyak ibu-ibu yang sudah lebih dulu datang, salah satunya Mbak Jelita."Bang, ada bayam?" tanya Shafa pada tukang sayur yang sudah setengah tua."Ada, Mbak. D