Shafa bangun lebih pagi. Dia masih berada di pelukan Alby. Otot tangan Alby yang besar, menjadi bantalan untuk tidurnya semalam. Saat ingin bangun, Alby malah mengeratkan lagi pelukannya.
"Mas Alby, aku mau belanja. Kayaknya, ada tukang sayur, tuh, di depan.""Cium aku dulu," pinta Alby dengan mata yang masih terpejam.Sebelum menciumnya, Shafa melihat wajah Alby yang masih tertidur. Bibirnya yang pucat tetap terlihat menggoda untuknya. Walau sedang tidur, Alby masih terlihat tampan. Saat itulah Shafa merasa sangat beruntung bisa memilikinya.Bibir mereka bertabrakan dan Alby memegang kepala Shafa agar tautan bibirnya tidak terlepas. Hampir kehabisan napas, Alby langsung melepaskan Shafa."Maaf, ya, Sayang?"Aku mau belanja dulu."Shafa segera keluar rumah saat mendengar suara teriakan tukang sayur yang lewat di depan rumahnya. Banyak ibu-ibu yang sudah lebih dulu datang, salah satunya Mbak Jelita."Bang, ada bayam?" tanya Shafa pada tukang sayur yang sudah setengah tua."Ada, Mbak. Di depan, tuh, deket kangkung.""Mbak Shafa mau masak sayur bening, ya?" tanya Jelita yang baru saja datang dengan dandanan seperti ingin pergi pesta."Iya.""Itu siapa, Jel?" tanya seseorang pada Jelita."Itu Shafa, istrinya Mas Alby.""Emangnya, kapan Mas Alby nikah?" tanya salah satu ibu-ibu dengan terkejut, mewakili ibu-ibu yang lainnya."Sekitar seminggu yang lalu. Pasti, ibu-ibu kaget, ya? Ibu-ibu pasti nyangkanya, kalau Mas Alby bakal nikah sama saya, 'kan?" Apa yang Jelita ucapkan, mulai membuat Shafa kesal.Shafa mencoba menahannya dan segera membayar sayuran yang dia beli. "Bang, saya beli ini aja. Semuanya berapa?"Tukang sayur tersebut menghitungnya dengan cepat. "32 ribu, Mbak."Setelah Shafa membayar dengan uang pecahan 50 ribu, "Ambil aja kembaliannya, Bang.""Alhamdulillah, terima kasih, Mbak.""Ibu-ibu, saya duluan, ya? Mau bangunin Mas Alby. Dia susah banget kalau dibangunin. Mungkin, kecapean gara-gara semalem kali, ya?" Mata Shafa melirik ke arah Jelita."Aduh, pengantin baru bikin iri aja, nih," ucap seorang wanita yang sedang hamil.Shafa tersenyum ramah. "Kalau gitu, saya permisi, ya, Ibu-ibu?" Shafa merasa puas mengatakan hal tersebut di depan Jelita.***Setelah selesai memasak sayur bening dengan beberapa potong jagung, tempe goreng, dan sambal, Alby yang sudah selesai bersiap untuk berangkat kerja, langsung datang ke meja makan."Aku cuma masak itu. Soalnya, Mbak Jelita bikin telinga aku panas," kata Shafa yang duduk di hadapan Alby, sambil mengambilkan nasi untuk suaminya itu."Kenapa lagi?" Alby lagi-lagi meledek istrinya yang mudah marah itu."Gimana aku enggak marah coba? Dia ngomongin kamu di depan ibu-ibu. Dia ngomong seakan aku merebut kamu dari dia.""Kalau kenyataannya bener gimana?" tanya Alby yang mulutnya terisi penuh oleh nasi."Aku udah nyangka kalau kamu pasti suka sama dia." Shafa bangun dari duduknya, pergi ke dapur meninggalkan Alby yang masih sibuk makan."Shaf, aku cuma bercanda tau."Gemas melihat istrinya saat sedang marah, Alby mendekat dan memeluknya dari belakang. Kepalanya dia sandarkan pada bahu Shafa."Jangan marah, dong. Aku cuma bercanda, Sayang.""Sana berangkat, nanti terlambat." Shafa pergi saat Alby mendekatinya.Tapi, Alby terus mengejar Shafa. "Cium," pinta Alby yang saat itu memeluk Shafa dari depan.Wajah suaminya yang tampan dan menawan, membuat mata Shafa sulit untuk berpaling. "Pergi, enggak?""Cium dulu.""Pergi!""Cium dulu!"Shafa hanya mengabaikannya. Tanpa izin, Alby mendekap wajah Shafa dan mencium bibir istrinya yang cantik itu. Berkali-kali dan dengan kuat menahan Shafa yang mencoba berpaling. Semakin lama, Shafa merelakan Alby menyentuhnya. Dia berharap, cara itu bisa membuat cinta segera hadir di dalam pernikahan mereka."Permisi, Mas Alby!" teriak Jelita dari depan gerbang rumah Alby.Dengan kuat, Shafa mendorong Alby. Dia berlari menuruni anak tangga, menuju lantai bawah. Namun, Alby berhasil menarik tangannya."Kamu mau ngapain?""Aku mau cakar mukanya!"Saat hendak lanjut pergi, Alby memeluk Shafa dan kembali menciumnya. Jelita yang berkali-kali memanggil, mereka abaikan. Bibir mereka saling bertautan. Tangan Shafa memukul pelan punggung lebar suaminya, walau sebenarnya, dia sangat menikmati itu.***Sebelum Alby pulang, Shafa membersihkan rumah, khususnya kamar mereka. Saat selesai, Shafa duduk di sofa depan televisi, memakan cemilan yang dia beli. Saat sedang santai, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Pintu dibuka, namun tidak ada siapa pun di sana. "Mas Alby? Kamu, 'kan, yang ketuk pintunya?" Shafa melangkah ke luar, menuju halaman depan rumah.Shafa terkejut menerima pelukan suaminya. Alby memeluk dan mencium pipinya dari belakang. Tangan Alby yang melingkar di pinggang Shafa, dielus lembut olehnya.Karena lokasi rumah mereka selalu sepi, Alby berani untuk melakukan hal itu di luar rumah. Lagi pula, itu hal wajar untuk pasangan yang baru menikah. Keromantisan mereka lagi-lagi dihancurkan oleh suara si janda anak 1."Mas Alby!" Jelita mendekati tembok pembatas rumah mereka. "Saya masak semur daging, loh! Mas Alby mau enggak?" Jelita seperti tidak melihat kehadiran Shafa yang masih berada dipelukan Alby.Karena kesal, Shafa menggenggam tangan Alby yang melingkar di perutnya dengan kuat. "Ayo, sayang, kita makan bareng!" Shafa langsung menarik Alby masuk ke dalam rumah."Kamu cemburu lagi, ya?""Enggak, kok!" Dengan kasar, Shafa menyalakan kompor untuk menghangatkan soto yang dia buat."Ternyata, kamu beneran udah jatuh cinta sama aku, ya?"Sepertinya, Alby sudah tau bagaimana cara memanjakan istrinya. Dia berdiri di belakang Shafa. Setelah mematikan kompor, tangan Alby kembali melingkar di pinggang Shafa."Sayang, aku cinta sama kamu.""Aku juga." Tapi, Shafa menjawabnya seperti tidak serius."Bohong.""Ngapain aku bohong?"Alby mencium leher putih dan harum milik istrinya. Shafa memejamkan matanya, saat Alby menciumnya semakin dalam. Mereka sama-sama menikmatinya. Semakin lama, Shafa mulai mengeluarkan suara lembut yang masih terdengar samar."Sayang, aku mau sekarang," pinta Alby dengan suara lembut."Sekarang? Tapi, kamu baru pulang kerja, Mas.""Kamu mau atau enggak?""Terserah. A-aku, ikutin mau kamu aja."Alby mengangkat tubuh mungil Shafa menuju kamar mereka. Shafa bisa merasakan tubuh kekar suaminya itu. Untuk kedua kalinya, tubuh Shafa dihempaskan keatas kasur."Shafa, kamu udah percaya sama aku?" Wajah Alby berada di atas Shafa. Bahkan, napasnya terasa sangat hangat."Emangnya kenapa?""Kalau kamu belum cinta dan percaya sama aku, kita jangan lakuin sekarang.""Emangnya, kamu udah cinta sama aku?""Aku tanya kamu, Shaf. Jangan tanya balik."Shafa diam sejenak, menatap mata Alby yang indah. "A-aku ... Aku udah cinta sama kamu. Kalau kamu?""Aku juga. Aku sangat mencintai kamu. Jadi, aku boleh lakuin sekarang?"Iya, boleh, Mas."Lebih dulu, Alby membuka seragam kerjanya. Otot tangan dan tubuhnya yang kekar, membuat Shafa selalu terpukau. Shafa masih merasa malu, padahal dia sudah beberapa kali melihat Alby tidak mengenakan pakaian."Kenapa muka kamu jadi merah gitu?""A-aku takut.""Enggak usah takut . Aku bakal pelan-pelan, kok."***Shafa merasa seluruh tubuhnya seperti remuk. Pinggul dan kakinya terasa sangat sakit. Kepalanya pusing dan tenggorokannya perih. Entahlah, hanya dia yang merasakannya atau Alby juga merasakan hal yang sama. Untuk bangun pun, rasanya Shafa tidak sanggup. Dia membangunkan Alby yang masih tidur bertelanjang dada. Mulai saat itu, Shafa sangat menyukai tubuh kekar suaminya."Mas, bangun. Nanti kamu terlambat, loh?""5 menit lagi," jawab Alby dengan mata yang masih tertutup."Ayo, bangun!""5 menit lagi, Sayang." Suaranya terdengar serak dan berat. Bagi Shafa, Alby terlihat sangat seksi."Kalau terlambat, jangan salahin aku, ya?""Iya, deh!" Alby mulai bangun. Walau posisinya sudah duduk, tapi, matanya masih terpejam."Cepet, ke kamar mandi! Kalau masih di kasur, kantuknya enggak bakal hilang," ucap Shafa yang masih bersandar di sandaran kasur."Cium." Alby memanyunkan bibirnya."Enggak! Udah cukup tadi malem!""Cium dulu!""Enggak!"Matanya melotot dan menatap Shafa dengan tajam. "Shafa?"
Keesokan harinya, Shafa memutuskan untuk mendengar penjelasan Alby. Dia juga mengkhawatirkan Alby yang tidur di sofa, tanpa bantal dan selimut. Wajah Alby saat tidur, Shafa menyukainya.Dengkurannya yang lembut, sangat membuat candu. Wajahnya hitam manis dan terlihat sangat tampan. Shafa berharap, Jelita tidak pernah melihat Alby saat sedang tidur. Shafa duduk disampingnya dan menjatuhkan kepalanya diatas dada bidang suaminya itu."Eum? Shafa?" Alby terbangun dan langsung mendekap kepala istrinya itu. "Ada apa?""Maafin aku, Mas.""Buat apa?""Karena biarin kamu tidur di sini.""Iya, aku maafin. Tapi, maafin aku juga, ya? Beneran, aku enggak lakuin macam-macam sama Mbak Jelita.""Iya, aku percaya, kok."Alby bangun dan mendekap wajah mungil Shafa. Menatapnya dalam sembari tersenyum. Mata Alby mulai melihat kearah bibir Shafa yang merah alami. Mulailah, dia menabrak bibir tersebut dan melumatnya dengan lembut. Untung saja Shafa sudah paham dan bersiap, jadi tidak kehabisan napas sepert
Saat sedang menelpon Alby, Shafa terkejut saat mendengar seperti ada yang melempar sesuatu ke pintu rumahnya. Bahkan, ponselnya sampai terjatuh saking terkejutnya dia.Walau sebenarnya takut, tapi perasaan kesal berhasil menghalaunya. Shafa mendapati sebuah batu yang dibalut kain putih bertuliskan 'Berniat untuk menyerah sekarang?' yang membuatnya semakin penasaran."Pasti dia!"Dengan langkah tanpa ragu, Shafa pergi ke rumah Jelita. Keringatnya bercucuran karena panik dengan teror itu. Shafa mengetuk pintunya dengan kencang dan Jelita pun, keluar dengan menggendong seorang anak."Ada apa? Emangnya enggak bisa, ya, bertamu baik-baik?""Pasti ini ulah kamu, 'kan?!" tuduh Shafa yang memang kenyataannya, dia tidak memiliki bukti apa pun, untuk menuduh Jelita."Apa? Kenapa kamu tiba-tiba nuduh saya?!""Kamu, 'kan, yang sewa kurir buat kirim paket itu?!""Paket apa? Saya enggak tau apa-apa. Tolong, ya, jangan tuduh saya sembarangan!""Tuduh?! Saya yakin, pasti kamu pelakunya! Kalau kamu en
Seperti pagi hari biasanya, Alby selalu mencium dan memeluk Shafa dengan lembut. Tangannya yang membelai rambut Shafa, membuat Shafa merasa sangat dicintai. Dia benar-benar telah mencintai Alby. Saat Alby melepaskan pelukan itu, Shafa kembali merasa hampa."Mas, kamu cuma pergi 3 hari, 'kan?" tanya Shafa yang masih berada di kasur, dengan tangan melingkar dipinggang Alby."Iya, cuma 3 hari, kok. Kamu mau oleh-oleh apa?" Alby sudah hapal betul kalau istrinya sangat suka ketika dia membelai rambutnya."Aku cuma mau kamu cepet pulang.""Selain itu?""Aku mau kue bolu lapis khas Surabaya."Alby tersenyum dan kembali memeluk Shafa. "Nanti aku beliin, ya?"Sekolah tempat Alby mengajar mengadakan study tour ke Surabaya untuk murid kelas 2 SMA. Karena Alby menjadi wali kelas, jadi dia diharuskan ikut untuk menjaga muridnya.Alby mandi dan Shafa memasak, hal itu yang selalu mereka lakukan dipagi hari. Shafa memasak nasi goreng untuk sarapan dan sandwich dengan 2 keju untuk bekal Alby diperjala
Sudah hari ke-3 Alby pergi dan Shafa sendiri di rumah. Namun, mereka tetap bertukar kabar dan beberapa kali Alby mengirim foto dan video saat bersama dengan muridnya. Beberapa kali juga, Karina terlihat berada di dekat Alby. Hal itu membuat Shafa semakin penasaran untuk mencari tahu kebenarannya.Selama Alby tidak di rumah, Shaf sering mengunjungi Kafe Tulip, berharap bisa bertemu Sonya lagi. Nomor telepon dan sosial medianya tidak aktif lagi, membuat Shafa sulit menghubungi sahabatnya itu."Sonya mana, ya?"Karena tidak menemukan Sonya, Shafa pergi ke salah satu restoran kesukaan Alby. Tidak disangka, dia bertemu dengan sahabatnya yang sudah hampir 5 tahun tidak bertemu."Rendi?""Loh, Shafa? Udah lama banget kita enggak ketemu." Rendi yang juga baru datang, langsung duduk di depan Shafa."Kamu apa kabar, Ren?""Aku baik, kok. Kamu sendiri, gimana kabarnya?""Aku juga baik. Kenapa kamu enggak dateng ke acara pe
"Kamu nginep di mana?!" ucap Shafa yang mulai kesal dan mencoba menahan air matanya."Kamu tenang dulu. Besok pagi, kamu bakal tau semuanya.""Sekarang! Kasih tau aku sekarang!" rengek Shafa sambil menangis."Besok, aku bakal jujur ke kamu."Shafa berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dia mencegah dirinya untuk mengunci pintu kamar karena tidak ingin Alby tidur di luar lagi, di rumahnya sendiri.Tidak dapat tertahankan, Shafa menangis dibawah dibalik selimut. Bahkan, Alby dapat mendengarnya dari lantai bawah. Karena merasa bersalah, Alby memeluk Shafa yang tidur membelakanginya."Sayang, aku minta maaf."Shafa hanya terus menangis sesenggukan. Cara Alby memeluk, mencium, dan membelainya, tidak membuat Shafa berhenti menangis. Wanita berusia 24 tahun itu, sepertinya merasa sangat hancur.Dengan cepat, Shafa membuka selimutnya. "Kenapa enggak sekarang?!" Menampilkan rambut panjang yang terurai menutupi waja
Keluarga Alby dan Shafa makan dimeja yang sama, sedangkan tamu dimeja masing-masing. Itu pertama kalinya untuk Alby dan Shafa berbincang hangat dengan mertuanya. Namun, Shafa sadar kalau Alby terlihat tidak nyaman."Mas?"Alby terlihat sangat terkejut saat Shafa memanggilnya. "Iya?""Kamu kenapa? Pucat banget gitu mukanya?""Aku agak sedikit capek aja.""Kalau gitu, kamu istirahat aja di hotel. Aku antar, ya?""Enggak usah, Sayang. Eggak apa-apa."Karena Rendi terus meminta untuk pulang, akhirnya Sonya mengikuti. Jujur, Rendi juga merasa seperti seorang penjahat karena menyembunyikan status tentang Sonya dan Alby."Shaf, aku sama Sonya izin pulang duluan, ya?" Rendi mendekati meja Shafa dan berpamitan juga pada orang tua sahabatnya itu."Kok, pulang duluan, sih, Ren?" tanya Fatma yang memang kenal betul dengan Sonya dan Rendi."Iya, aku ada kerjaan nanti siang. Aku pulang duluan, ya, Tante? Kal
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Sejak siang, Shafa tidak dapat dihubungi. Alby sangat khawatir dan akhirnya bergegas pulang saat waktu mengajarnya selesai. Namun, sebuah nomor tidak dikenal menelponnya saat sedang mengemudi."Sonya? Kenapa, sih, kamu selalu ganggu aku? Aku udah bilang, berhenti hubungi aku!""Berhenti hubungi kamu? Inget, Mas! Kamu punya anak yang butuh kasih sayang seorang ayah! Hubungan kita emang udah berakhir. Tapi, hubungan ayah dan anak enggak ada akhirnya, Mas!"Sadar dengan kesalahannya, Alby hanya diam membungkam. "Daren baik-baik aja, 'kan?"Dia sakit.""Sakit?!""Iya, dia sakit leukemia. Kamu enggak tau, 'kan, Mas? Makannya, aku mau kasih tau ke kamu.""Leukimia? Kamu serius?""Untuk apa aku bohong? Daren butuh banyak perawatan. Jadi, aku minta tolong ke kamu untuk perhatiin Daren juga. Jangan selalu Shafa yang kamu perhatiin.""Kamu di mana sekarang?""Aku di rumah.
Shafa merasa kalau dia penyebab semua kekacauan itu. Kekacauan di hidupnya dan di hidup orang-orang terdekatnya. Karena menikah dengannya, Alby jadi banyak menderita. Lalu karena mengenalnya, Rendi jadi harus merasakan jatuh cinta yang tak berbalas.Di halaman belakang rumah, Shafa duduk termenung sampai lupa waktu. Bahkan Mbok Dewi yang menjemput Bizar di sekolah. Sudah 2 hari Shafa banyak melamun dan tidak pergi bekerja."Mbak Shafa?"Lamunannya tersadarkan dan Shafa menengok. "Ada apa, Mbok?""Tadi Bizar di jemput kakeknya. Dia merengek minta ikut kakeknya untuk ketemu Mas Alby. Enggak apa-apa, toh?""Enggak apa-apa, Mbok.""Ada masalah apa, toh, Mbak? Beberapa hari ini melamun terus?""Kalau Mbok di posisi aku, siapa yang bakal Mbok pilih? Mas Alby atau Rendi?""Loh, itu soal perasaan masing-masing, Mbak. Mbok enggak punya alasan untuk kasih jawaban ke Mbak.""Mereka tulus cinta sama aku, Mbok. Tapi aku enggak bisa balas ketulusan itu.""Mbak pernah bersama Mas Alby. Harusnya Mbak
Walau tidak sejauh Indonesia-Australia, Shafa tetap merasakan dirinya jauh dari Alby. Di luar ruangan dengan kaca besar sebagai pembatas, Shafa terus menatap Alby sambil menangis sesenggukan. Satu persatu kenangan kebersamaan mereka saat dulu berputar bergantian. Sampai Bizar datang dan menghentikan putaran memori itu."Bunda!"Bersama Rendi, Bizar datang dengan masih mengenakan seragam sekolah dan ransel berkarakter Superman kesukaannya. Seperti tau apa yang bundanya rasakan, Bizar memeluk Shafa dengan sangat erat."Ayah kenapa, Bunda? Ayah sakit, ya?" tanya Bizar yang juga ikut menangis."Iya, ayah sakit. Tapi Bizar enggak usah khawatir. Pasti sebentar lagi ayah sembuh, kok."Anak lelaki dengan tubuh yang masih sangat kecil itu berusaha memeluk Shafa agar sepenuhnya masuk dalam pelukannya. "Aku sedih banget. Pasti Bunda lebih sedih, 'kan? Selama ini aja Bunda selalu nangis padahal enggak tau keadaan ayah. Apalagi sekarang saat bunda liat ayah sakit?" Bizar memeluknya lagi sambil mene
Hari yang sangat melelahkan untuk Alby lewati. Tapi juga membahagiakan karena mungkin itu keinginan terakhir yang telah terpenuhi. Dia hanya ingin memiliki anak dari Shafa, walau dengan status yang sudah berbeda.Sepertinya Shafa sadar kalau Alby terlihat jauh lebih kurus dari terakhir bertemu 5 tahun lalu. Bahkan, otot yang dulu selalu menjadi bantalan sudah tidak nampak lagi. Iya, itu semua karena penyakit yang dia alami sejak 3 tahun lalu. Kalau dipikir, itu lebih baik daripada dia meninggal Shafa dan anaknya disaat keluarga mereka utuh dan penuh kebahagiaan. Kepergiannya akan sangat menyakitkan untuk berikan, 'kan?"Iya, Pa. Aku di Yogya dari 2 hari lalu. Maaf aku enggak kasih tau Papa dulu." Sembari tiduran, Alby sengaja menelpon Fahri yang sudah beberapa kali menghubunginya."Kamu sendirian? Ngapain kamu ke sana?""Iya, aku pergi ke sini sendirian. Aku kangen sama Shafa, makannya aku ke Indonesia.""Tapi kamu lagi sakit, Al. Papa takut kamu kenapa-napa di sana. Kamu ngerti perasa
"Albizar, bangun, yuk? Katanya mau jalan-jalan sama ayah?"Sebenarnya bukan hanya kali itu, tapi setiap harinya Bizar selalu mudah jika dibangunkan. Bahkan, dia selalu bangun saat mendengar bundanya menangis di malam hari."Emangnya ayah udah dateng, Bun?""Nanti ayah jemput di kafe. Sekarang, Bizar siap-siap dulu. Mandi, terus sarapan, oke?"Mandi pun, Bizar sudah bisa melakukannya sendiri, tapi masih tetap dipantau sang bunda. Untuk makan, sudah sejak usia 3 tahun Bizar mulai makan tanpa di suapi. Shafa tidak heran kalau Bizar tergolong anak yang cerdas sejak kecil, karena itu pasti turunan dari ayahnya."Ayo, Bunda! Pasti ayah udah dateng."Shafa masih sibuk menguncir rambutnya disaat anaknya sudah menunggu di luar rumah. "Tunggu, Sayang.""Cepet, Bunda.""Iya, sabar."Bizar duduk dengan resah, tidak sabar bertemu ayahnya. Bukan salah liat, Bizar langsung memanggil saat melihat Alby datang. "Ayah?!""Assalamualaikum?""Wa'alaikumsalam, Ayah! Bunda, ayah dateng!"Walau tidak bisa mem
Acara telah selesai. Kafe sudah sepi, hanya menyisakan para karyawan yang merapikan sisa acara. Alby duduk diposisi paling ujung, dekat jendela yang memperlihatkan hujan di malam hari. Ditemani secangkir mocaccino coffee, Alby menunggu dengan sabar."Bunda, itu siapa? Dari tadi om itu liatin aku terus, sih?" tanya Bizar pada sang bunda."Ayo, ikut Bunda."Shafa menggendong Bizar dan mendekati Alby. Rasanya sangat canggung saat kembali bertemu setelah sekian lama. Kalau Alby, dia canggung pada sang anak yang baru kali pertama dia temui.Bizar melihat Alby sebentar, kemudian memeluk bundanya yang masih menggendongnya. "Bizar, dengerin bunda dulu coba." Tangan Shafa mengelus kepala anaknya seakan merapikan rambut. "Bizar mau ketemu ayah, kan?""Iya, mau.""Ini ayah Bizar. Om yang dari tadi liatin Bizar itu ayah. Ayahnya Bizar."Kepalanya yang kecil kembali menengok dan menatap Bizar dengan wajah polosnya. "Ayah?"Setelah mencoba memberanikan diri, Alby akhirnya benar-benar berani untuk me
5 tahun berlalu. Shafa mengurus anak laki-lakinya tanpa suami. Tapi tidak sendirian, ada Mbok Dewi yang masih setia menemaninya. Mbok Dewi memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai ART karena ingin kembali berjualan, ditemani dengan Shafa. Sudah 2 tahun mereka berjualan keliling menjajakan kue buatan sendiri. Sampai akhirnya, Shafa memiliki sebuah kafe, modal dari sang kakak.Keberadaannya di Yogya diketahui oleh Rendi setelah Shafa melahirkan. Tapi, Alby dan ayahnya–Fahri–sama sekali tidak terdengar kabarnya. Rindu. Iya, itu yang Shafa rasakan walau mereka sudah lama bercerai.Bizar tumbuh menjadi anak tampan dan pintar. Usianya sudah menginjak 5 tahun. Tentu dia banyak bertanya tentang ayahnya. Di mana ayah? Kapan aku ketemu ayah? Dan beberapa pertanyaan lain yang selalu diulang.Hari itu, Shafa sengaja memboking sendiri kafe miliknya untuk ulang tahun Bizar. Dia mengundang teman sekelas Bizar dan guru-gurunya juga."Ayo, silahkan masuk. Di pakai topinya, ya?" Shafa memberikan topi
Kemarin menjadi hari kehilangan kesekian kalinya untuk Shafa. Setelah kehilangan orang tuanya, anaknya, dan sahabatnya, dia juga telah kehilangan suaminya. Sungguh, saat itu ingin sekali Shafa mencegahnya. Bukan gengsi. Tapi entah kenapa sulit dilakukan."Maafin aku, Mas." Itu yang berkali-kali Shafa ucapkan dalam lamunannya."Shafa, ada Mbok Dewi dateng, nih."Berbeda dengan saat Alby yang datang, kali itu Shafa yang menemui tamunya sendiri di ruang tamu. "Mbok Dewi? Apa kabar, Mbok?""Baik. Mbak sendiri gimana kabarnya?""Aku baik-baik aja. Mbok Dewi mau ke mana?" Shafa melihat wanita tua berusia 50-an tahun itu membawa 2 tas besar."Mbok ke sini mau pamit sama Mbak Shafa. Mbok mau pulang kampung karena udah enggak ada kerjaan lagi di sini. Mbok juga harus betul-betul pilih majikan, jadi enggak mau buru-buru, Mbak.""Mas Alby ....""Beliau udah berangkat ke Australia pagi tadi, Mbak.""Jadi, Mas Alby bener-bener pergi?""Iya. Oh, ada sesuatu yang dia titipin ke saya buat Mbak Shafa.
Hari pertama tanpa Shafa sangat sulit Alby lalui. Fahri melarangnya untuk menemui Shafa karena keadaan belum baik-baik saja. Alby menurut walau sulit dia lakukan. Mbok Dewi juga banyak memberikan saran dan masukan yang sedikit membuat Alby merasa masih ada harapan untuk dapat kembali bersama dengan Shafa."Selama ini, Mbak Shafa selalu cinta sama Mas Alby dalam situasi apapun. Dia bisa bertahan sendiri, Mas. Jadi, bibi sebenarnya enggak percaya kalau Mbak Shafa bisa semudah itu mau pisah sama Mas Alby.""Jadi maksud Mbok Dewi, mungkin Shafa cuma lagi emosi dan bakal kembali sama saya lagi?""Iya, Mas. Coba sabar aja dulu. Biarin Mbak Shafa tenangin dirinya dulu. Nanti coba Mas Alby temuin dan ngomong baik-baik."Setelah hampir 30 menit mengobrol, Alby yang cuti dari jadwal mengajar dan kuliahnya, pergi menemui Siska di penjara. Polisi berhasil menangkapnya 2 hari setelah laporan di terima dan Siska terbukti bersalah.Penampilan Siska sangat berubah. Saat SMP, Alby jatuh cinta padanya
"Apa salah aku, Mas? Kenapa aku selalu kehilangan orang-orang yang aku cinta?! Kenapa?!!!"Shafa marah besar saat tau dia kembali kehilangan anak dikandungannya. Fahri, Galih, dan Mbok Dewi pun ikut menangis dan ikut merasakan hal yang Shafa rasakan. Bukan hal yang mudah untuk bisa ikhlas dan bangkit setelah kehilangan banyak orang tercinta."Daripada orang-orang dekatku mati, mending aku aja yang mati!"Walau Alby memeluknya, Shafa dapat memberontak karena tenaganya begitu kuat. "Sayang, tenang dulu. Tenangin diri kamu dulu.""Lepas!" Shafa menampar Alby untuk pertama kalinya. "Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang bikin hidup aku jadi kayak gini! Setelah nikah sama kamu, kedua orang tua aku meninggal! Kamu juga udah hancurin hidup sahabat aku sampai dia meninggal. Mama kamu yang jahat itu, banyak nyakitin aku dan sampai bikin anak aku meninggal juga! Ini semua karena kamu! Bukan aku, tapi kamu yang pembawa sial! Kamu yang pembawa sial!!!"Sakit. Sangat sakit. Apa yang Shafa tuturkan s