Keesokan harinya, Shafa memutuskan untuk mendengar penjelasan Alby. Dia juga mengkhawatirkan Alby yang tidur di sofa, tanpa bantal dan selimut. Wajah Alby saat tidur, Shafa menyukainya.
Dengkurannya yang lembut, sangat membuat candu. Wajahnya hitam manis dan terlihat sangat tampan. Shafa berharap, Jelita tidak pernah melihat Alby saat sedang tidur. Shafa duduk disampingnya dan menjatuhkan kepalanya diatas dada bidang suaminya itu."Eum? Shafa?" Alby terbangun dan langsung mendekap kepala istrinya itu. "Ada apa?""Maafin aku, Mas.""Buat apa?""Karena biarin kamu tidur di sini.""Iya, aku maafin. Tapi, maafin aku juga, ya? Beneran, aku enggak lakuin macam-macam sama Mbak Jelita.""Iya, aku percaya, kok."Alby bangun dan mendekap wajah mungil Shafa. Menatapnya dalam sembari tersenyum. Mata Alby mulai melihat kearah bibir Shafa yang merah alami. Mulailah, dia menabrak bibir tersebut dan melumatnya dengan lembut. Untung saja Shafa sudah paham dan bersiap, jadi tidak kehabisan napas seperti saat pertama."Mas, cukup!"Alby mengabaikannya dan terus melumat bibir itu. Mata mereka terpejam karena menikmati hal tersebut. Melihat Shafa mulai kehabisan napas, Alby melepasnya dan langsung memeluk Shafa dengan erat. Membelai dan mencium rambut pirang istrinya yang wangi."Aku cinta sama kamu, Shafa. Aku udah mencintai kamu. Aku enggak tau sejak kapan dan karena apa. Intinya, kamu udah berhasil bikin aku jatuh cinta sama kamu dalam waktu singkat."Bukan hanya Alby, Shafa juga memeluk suaminya itu dengan erat. "Iya, aku juga udah mencintai kamu, Mas. Tolong, jangan kecewain aku."Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan itu. "Shaf, aku mau lagi," pinta Alby."Lagi? 'Kan, baru kemarin, Mas?""Emangnya kenapa? Kamu enggak mau, ya?""O-oke, aku mau." Bukan karena terpaksa. Tapi, Shafa hanya ingin menuruti mau suaminya agar bisa menjadi istri yang baik."Di sini?""Enggak! Ruangannya terlalu terbuka. Di kamar aja."Dengan semangat, Alby menggendong Shafa dengan cepat menuju kamar. Lagi-lagi, dia menghempaskan tubuh Shafa ke atas kasur dan segera membuka pakaiannya.Mata Shafa tidak bisa dibohongi. Dia sangat menyukai bentuk tubuh Alby. Tubuh Alby seperti godaan yang sangat sulit untuk Shafa tolak. "Kamu enggak pergi kerja, Mas?""Jadwal ngajar aku nanti siang," jawab Alby sambil membuka bajunya."Mas, pelan-pelan, ya?" pinta Shafa dengan cemas.***Jelita masih tidak terima dengan perlakuan Shafa padanya. Dia benar-benar menyukai Alby, tapi Shafa adalah penghalang yang kuat. Jelita tidak bisa melakukan apa pun lagi untuk mendapatkan Alby. Status alby yang sudah menjadi suami orang, sulit untuk Jelita ubah menjadi suaminya.Hari itu adalah jadwal arisan di rumahnya. Jelita sudah memesan beberapa cemilan dan makanan berat. Ibu-ibu komplek mulai berdatangan meramaikan rumah Jelita. Mereka sudah berkumpul dan mulai saling berbincang."Ibu-ibu mau tau, enggak? Ternyata, sifat Mbak Shafa yang sebenernya, jauh beda sama yang kita liat," ujar Jelita."Mbak Shafa istrinya Mas Alby? Jauh beda gimana maksud kamu, Jel?" tanya Dinda, ibu-ibu muda yang usianya tidak jauh berbeda dengan Jelita."Kemarin, saya dimarahin habis-habisan sama dia. Masalahnya cuma karena saya kasih cemilan buat Mas Alby. Dia bener-bener posesif dan pencemburu berat. Kayaknya, Mas Alby tersiksa, deh, nikah sama dia.""Itu, sih, jelas salah kamu. Jel, Mas Alby itu udah punya istri sekarang. Kamu enggak bisa deketin dia kayak dulu. Wajar, lah, Mbak Shafa marah. Kamu, sih, deketin Mas Alby terus, " jawaban Dinda yang tidak sesuai harapan Jelita."Udahlah jangan ngarepin Mas Alby lagi. Dia udah nikah. Jadi, kamu jangan ganggu dia lagi," timpal ibu-ibu lainnya.Karena sudah merasa terpojokkan, akhirnya Jelita mengakhiri pembahasan itu. Dia semakin kesal dan merasa tidak terima karena ibu-ibu malah membela Shafa.Sekitar 2 jam berlalu, acara arisan itu akhirnya selesai. Ibu-ibu satu persatu meninggalkan rumah Jelita. Melihat Alby yang ingin berangkat kerja, Jelita menyapanya dengan ramah."Mas Alby, mau berangkat kerja, ya?""Iya, Mbak.""Udah makan? Bawa bekal, enggak?"Shafa datang dengan wajah masam saat melihat Jelita di tembok pembatas rumah mereka. "Udah saya siapin, kok. Mbak Jelita enggak usah, deh, ngurusin rumah tangga orang." Setelah memberikan bekal yang dia buat, Shafa memeluk Alby dengan erat. "Hati-hati di jalan, ya, Mas?"Bukan hanya itu, Jelita juga harus melihat Alby mencium bibir Shafa di depan matanya. "Kamu juga hati-hati di rumah. Kalau mau pergi, kabarin aku." Shafa mengangguk imut, lalu Alby mencium pucuk kepalanya. "Aku berangkat dulu."Bukan hanya Shafa yang melambaikan tangannya kala mobil Alby perlahan menjauhi rumah, tapi Jelita juga melambaikan tangan dengan senyuman yang merekah."Dasar enggak tau malu!" ucap Shafa yang langsung masuk ke dalam rumah.Mengingat apa yang telah dia lakukan dengan Alby pagi tadi, membuat Shafa senyam-senyum sendiri. Mereka sudah melakukannya 2 kali, berharap bisa segera memiliki anak.Saat sedang mengepel ruang tengah, seorang kurir datang dengan membawa kardus berukuran sedang. Ketika dibuka, Shafa langsung membuangnya."Siapa yang kirim itu?"Kotak itu berisi botol kaca yang dibalik kertas putih bertuliskan 'Jika kamu bertahan, maka kamu atau suamimu yang akan mati.'***Setelah hampir 30 menit di perjalanan tanpa macet, Alby sampai di sekolah tempat kerjanya. Dia selalu menyapa murid dengan senyum dan suara yang lembut. Wajahnya selalu terlihat fresh, entah pagi atau pun sore hari."Selamat pagi," sapa Alby saat memasuki ruang guru."Selamat pagi, Pak Alby. Wah, keliatan fresh banget, mukanya." Bu Rina berbicara lumayan kencang. Sampai membuat beberapa guru menengok ke arahnya."Biasanya juga kayak gini, 'kan, Bu?" jawab Alby.Saat melihat seorang wanita yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah, Alby memperhatikannya dengan seksama. Dia seperti mengenali wanita itu."Hey, ngeliatinnya sampai kayak gitu. Biasa aja kali. Inget, udah punya istri," ucap Bu Rina yang usianya sekitar 40 tahun."Bu, itu siapa? Guru baru?""Iya. Kalau enggak salah, Namanya Kirana Mahaputri. Baru lulus kuliah 5 bulan lalu. Cantikan mana sama istri kamu?""Cantikan istri saya, lah, Bu."Mendengar bel masuk dibunyikan, Alby segera menyiapkan buku dan lebar ulangan harian untuk muridnya. Dia melangkah dengan cepat, namun bibirnya tidak lepas dari senyuman.Menyusuri koridor yang tinggal menyisakan beberapa murid, menaiki beberapa anak tangga untuk menuju ke lantai 3. Tiba-tiba, seseorang memanggilnya, "Kak Alby!"Alby menengok, bersamaan dengan kakinya yang sudah sampai di lantai 3. "Iya?""Kak Alby, 'kan?""Eum? I-iya, nama saya Alby. Kamu siapa, ya?""Saya Kirana, Kakaknya Marcell. Ingat, enggak?""Marcell yang waktu itu les privat sama saya, ya?""Iya, bener. Masih inget saya?""Oh, saya inget. Kamu apa kabar?""Baik, Kak. Kabar Kak Alby gimana? Kak Alby ngajar di sini?""Kabar saya baik. Iya, saya ngajar di sini. Kamu ngajar juga?""Iya, saya ngajar Bahasa Inggris di sini, Kak."Biasanya, Alby selalu mematikan ponselnya saat sebelum mengajar. Tapi, dia lupa karena mengobrol dengan Kirana. Ponselnya berdering, memperlihatkan panggilan masuk dari sang istri."Hallo, Shaf?""Mas, ada yang teror aku! Aku takut, Mas.""Teror kamu?""Aaaa!!!!""Shafa?!"***Saat sedang menelpon Alby, Shafa terkejut saat mendengar seperti ada yang melempar sesuatu ke pintu rumahnya. Bahkan, ponselnya sampai terjatuh saking terkejutnya dia.Walau sebenarnya takut, tapi perasaan kesal berhasil menghalaunya. Shafa mendapati sebuah batu yang dibalut kain putih bertuliskan 'Berniat untuk menyerah sekarang?' yang membuatnya semakin penasaran."Pasti dia!"Dengan langkah tanpa ragu, Shafa pergi ke rumah Jelita. Keringatnya bercucuran karena panik dengan teror itu. Shafa mengetuk pintunya dengan kencang dan Jelita pun, keluar dengan menggendong seorang anak."Ada apa? Emangnya enggak bisa, ya, bertamu baik-baik?""Pasti ini ulah kamu, 'kan?!" tuduh Shafa yang memang kenyataannya, dia tidak memiliki bukti apa pun, untuk menuduh Jelita."Apa? Kenapa kamu tiba-tiba nuduh saya?!""Kamu, 'kan, yang sewa kurir buat kirim paket itu?!""Paket apa? Saya enggak tau apa-apa. Tolong, ya, jangan tuduh saya sembarangan!""Tuduh?! Saya yakin, pasti kamu pelakunya! Kalau kamu en
Seperti pagi hari biasanya, Alby selalu mencium dan memeluk Shafa dengan lembut. Tangannya yang membelai rambut Shafa, membuat Shafa merasa sangat dicintai. Dia benar-benar telah mencintai Alby. Saat Alby melepaskan pelukan itu, Shafa kembali merasa hampa."Mas, kamu cuma pergi 3 hari, 'kan?" tanya Shafa yang masih berada di kasur, dengan tangan melingkar dipinggang Alby."Iya, cuma 3 hari, kok. Kamu mau oleh-oleh apa?" Alby sudah hapal betul kalau istrinya sangat suka ketika dia membelai rambutnya."Aku cuma mau kamu cepet pulang.""Selain itu?""Aku mau kue bolu lapis khas Surabaya."Alby tersenyum dan kembali memeluk Shafa. "Nanti aku beliin, ya?"Sekolah tempat Alby mengajar mengadakan study tour ke Surabaya untuk murid kelas 2 SMA. Karena Alby menjadi wali kelas, jadi dia diharuskan ikut untuk menjaga muridnya.Alby mandi dan Shafa memasak, hal itu yang selalu mereka lakukan dipagi hari. Shafa memasak nasi goreng untuk sarapan dan sandwich dengan 2 keju untuk bekal Alby diperjala
Sudah hari ke-3 Alby pergi dan Shafa sendiri di rumah. Namun, mereka tetap bertukar kabar dan beberapa kali Alby mengirim foto dan video saat bersama dengan muridnya. Beberapa kali juga, Karina terlihat berada di dekat Alby. Hal itu membuat Shafa semakin penasaran untuk mencari tahu kebenarannya.Selama Alby tidak di rumah, Shaf sering mengunjungi Kafe Tulip, berharap bisa bertemu Sonya lagi. Nomor telepon dan sosial medianya tidak aktif lagi, membuat Shafa sulit menghubungi sahabatnya itu."Sonya mana, ya?"Karena tidak menemukan Sonya, Shafa pergi ke salah satu restoran kesukaan Alby. Tidak disangka, dia bertemu dengan sahabatnya yang sudah hampir 5 tahun tidak bertemu."Rendi?""Loh, Shafa? Udah lama banget kita enggak ketemu." Rendi yang juga baru datang, langsung duduk di depan Shafa."Kamu apa kabar, Ren?""Aku baik, kok. Kamu sendiri, gimana kabarnya?""Aku juga baik. Kenapa kamu enggak dateng ke acara pe
"Kamu nginep di mana?!" ucap Shafa yang mulai kesal dan mencoba menahan air matanya."Kamu tenang dulu. Besok pagi, kamu bakal tau semuanya.""Sekarang! Kasih tau aku sekarang!" rengek Shafa sambil menangis."Besok, aku bakal jujur ke kamu."Shafa berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dia mencegah dirinya untuk mengunci pintu kamar karena tidak ingin Alby tidur di luar lagi, di rumahnya sendiri.Tidak dapat tertahankan, Shafa menangis dibawah dibalik selimut. Bahkan, Alby dapat mendengarnya dari lantai bawah. Karena merasa bersalah, Alby memeluk Shafa yang tidur membelakanginya."Sayang, aku minta maaf."Shafa hanya terus menangis sesenggukan. Cara Alby memeluk, mencium, dan membelainya, tidak membuat Shafa berhenti menangis. Wanita berusia 24 tahun itu, sepertinya merasa sangat hancur.Dengan cepat, Shafa membuka selimutnya. "Kenapa enggak sekarang?!" Menampilkan rambut panjang yang terurai menutupi waja
Keluarga Alby dan Shafa makan dimeja yang sama, sedangkan tamu dimeja masing-masing. Itu pertama kalinya untuk Alby dan Shafa berbincang hangat dengan mertuanya. Namun, Shafa sadar kalau Alby terlihat tidak nyaman."Mas?"Alby terlihat sangat terkejut saat Shafa memanggilnya. "Iya?""Kamu kenapa? Pucat banget gitu mukanya?""Aku agak sedikit capek aja.""Kalau gitu, kamu istirahat aja di hotel. Aku antar, ya?""Enggak usah, Sayang. Eggak apa-apa."Karena Rendi terus meminta untuk pulang, akhirnya Sonya mengikuti. Jujur, Rendi juga merasa seperti seorang penjahat karena menyembunyikan status tentang Sonya dan Alby."Shaf, aku sama Sonya izin pulang duluan, ya?" Rendi mendekati meja Shafa dan berpamitan juga pada orang tua sahabatnya itu."Kok, pulang duluan, sih, Ren?" tanya Fatma yang memang kenal betul dengan Sonya dan Rendi."Iya, aku ada kerjaan nanti siang. Aku pulang duluan, ya, Tante? Kal
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Sejak siang, Shafa tidak dapat dihubungi. Alby sangat khawatir dan akhirnya bergegas pulang saat waktu mengajarnya selesai. Namun, sebuah nomor tidak dikenal menelponnya saat sedang mengemudi."Sonya? Kenapa, sih, kamu selalu ganggu aku? Aku udah bilang, berhenti hubungi aku!""Berhenti hubungi kamu? Inget, Mas! Kamu punya anak yang butuh kasih sayang seorang ayah! Hubungan kita emang udah berakhir. Tapi, hubungan ayah dan anak enggak ada akhirnya, Mas!"Sadar dengan kesalahannya, Alby hanya diam membungkam. "Daren baik-baik aja, 'kan?"Dia sakit.""Sakit?!""Iya, dia sakit leukemia. Kamu enggak tau, 'kan, Mas? Makannya, aku mau kasih tau ke kamu.""Leukimia? Kamu serius?""Untuk apa aku bohong? Daren butuh banyak perawatan. Jadi, aku minta tolong ke kamu untuk perhatiin Daren juga. Jangan selalu Shafa yang kamu perhatiin.""Kamu di mana sekarang?""Aku di rumah.
Selain karena panik, dinginnya suasana di rumah sakit membuat Alby menggigil. Bukannya menenangkan Sonya yang sedang mengkhawatirkan anaknya, Alby malah duduk di samping Shafa, menggenggam tangan sang istri dengan erat."Shaf, maafin aku," ucap Alby pelan."Kita bahas itu nanti aja, Mas."Padahal hatinya sedang menangis tersedu-sedu. Shafa merasa hancur dan terluka setelah mengetahui kenyataan yang membuat tubuhnya semakin lemas, kepalanya pusing, dan berkunang-kunang."Kamu kenapa, Shaf?" Alby mendekap wajah Shafa yang terlihat sangat pucat.Tidak lama, Shafa ambruk dipangkuan suaminya. Alby baru merasakan kalau seluruh tubuh Shafa terasa sangat panas, kecuali telapak tangannya. Dengan cepat, Alby memanggil perawat untuk memeriksanya.Ketika hendak pergi menemani Shafa, Sonya menarik tangan Alby dengan kuat. "Daren butuh kamu, Mas. Tolong, jangan mikirin Shafa terus. Daren lagi kritis, Mas!""Kamu enggak liat? Shafa pin
Setelah 2 hari di perjalanan, Alby dan Shafa akhirnya sampai di Jakarta dengan perasaan duka. Bahkan, Shafa belum makan apa pun sejak diberi kabar kalau ayahnya meninggal. Bibirnya pucat, tubuhnya lemas, dan wajahnya terlihat berantakan.Bagaimana tidak? Seorang pria yang menjadi cinta pertama untuk putrinya, meninggal dunia dengan tragis. Shafa hanya bisa menangis di atas batu nisan sang ayah. Saat hari ulang tahunnya, itu adalah kali terakhir dia bertemu Yunus."Ayah, Shafa dateng."Sudah hampir 2 jam Shafa di sana, menangis dengan suara yang telah habis. Alby tidak dapat membujuknya untuk pulang. Benar-benar terlihat kalau Shafa merasa sangat kehilangan ayahnya."Sekarang, ayah pasti lagi suruh kamu untuk berhenti nangis. Pasti ayah lagi usap air mata kamu yang terus mengalir. Jadi, kamu harus kuat demi ayah, ya?" ujar Alby untuk menguatkan sang istri."Ayah aku udah enggak ada, Mas. Aku udah enggak punya ayah lagi sekarang. Ayah aku u