"Kamu nginep di mana?!" ucap Shafa yang mulai kesal dan mencoba menahan air matanya.
"Kamu tenang dulu. Besok pagi, kamu bakal tau semuanya.""Sekarang! Kasih tau aku sekarang!" rengek Shafa sambil menangis."Besok, aku bakal jujur ke kamu."Shafa berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dia mencegah dirinya untuk mengunci pintu kamar karena tidak ingin Alby tidur di luar lagi, di rumahnya sendiri.Tidak dapat tertahankan, Shafa menangis dibawah dibalik selimut. Bahkan, Alby dapat mendengarnya dari lantai bawah. Karena merasa bersalah, Alby memeluk Shafa yang tidur membelakanginya."Sayang, aku minta maaf."Shafa hanya terus menangis sesenggukan. Cara Alby memeluk, mencium, dan membelainya, tidak membuat Shafa berhenti menangis. Wanita berusia 24 tahun itu, sepertinya merasa sangat hancur.Dengan cepat, Shafa membuka selimutnya. "Kenapa enggak sekarang?!" Menampilkan rambut panjang yang terurai menutupi wajaKeluarga Alby dan Shafa makan dimeja yang sama, sedangkan tamu dimeja masing-masing. Itu pertama kalinya untuk Alby dan Shafa berbincang hangat dengan mertuanya. Namun, Shafa sadar kalau Alby terlihat tidak nyaman."Mas?"Alby terlihat sangat terkejut saat Shafa memanggilnya. "Iya?""Kamu kenapa? Pucat banget gitu mukanya?""Aku agak sedikit capek aja.""Kalau gitu, kamu istirahat aja di hotel. Aku antar, ya?""Enggak usah, Sayang. Eggak apa-apa."Karena Rendi terus meminta untuk pulang, akhirnya Sonya mengikuti. Jujur, Rendi juga merasa seperti seorang penjahat karena menyembunyikan status tentang Sonya dan Alby."Shaf, aku sama Sonya izin pulang duluan, ya?" Rendi mendekati meja Shafa dan berpamitan juga pada orang tua sahabatnya itu."Kok, pulang duluan, sih, Ren?" tanya Fatma yang memang kenal betul dengan Sonya dan Rendi."Iya, aku ada kerjaan nanti siang. Aku pulang duluan, ya, Tante? Kal
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Sejak siang, Shafa tidak dapat dihubungi. Alby sangat khawatir dan akhirnya bergegas pulang saat waktu mengajarnya selesai. Namun, sebuah nomor tidak dikenal menelponnya saat sedang mengemudi."Sonya? Kenapa, sih, kamu selalu ganggu aku? Aku udah bilang, berhenti hubungi aku!""Berhenti hubungi kamu? Inget, Mas! Kamu punya anak yang butuh kasih sayang seorang ayah! Hubungan kita emang udah berakhir. Tapi, hubungan ayah dan anak enggak ada akhirnya, Mas!"Sadar dengan kesalahannya, Alby hanya diam membungkam. "Daren baik-baik aja, 'kan?"Dia sakit.""Sakit?!""Iya, dia sakit leukemia. Kamu enggak tau, 'kan, Mas? Makannya, aku mau kasih tau ke kamu.""Leukimia? Kamu serius?""Untuk apa aku bohong? Daren butuh banyak perawatan. Jadi, aku minta tolong ke kamu untuk perhatiin Daren juga. Jangan selalu Shafa yang kamu perhatiin.""Kamu di mana sekarang?""Aku di rumah.
Selain karena panik, dinginnya suasana di rumah sakit membuat Alby menggigil. Bukannya menenangkan Sonya yang sedang mengkhawatirkan anaknya, Alby malah duduk di samping Shafa, menggenggam tangan sang istri dengan erat."Shaf, maafin aku," ucap Alby pelan."Kita bahas itu nanti aja, Mas."Padahal hatinya sedang menangis tersedu-sedu. Shafa merasa hancur dan terluka setelah mengetahui kenyataan yang membuat tubuhnya semakin lemas, kepalanya pusing, dan berkunang-kunang."Kamu kenapa, Shaf?" Alby mendekap wajah Shafa yang terlihat sangat pucat.Tidak lama, Shafa ambruk dipangkuan suaminya. Alby baru merasakan kalau seluruh tubuh Shafa terasa sangat panas, kecuali telapak tangannya. Dengan cepat, Alby memanggil perawat untuk memeriksanya.Ketika hendak pergi menemani Shafa, Sonya menarik tangan Alby dengan kuat. "Daren butuh kamu, Mas. Tolong, jangan mikirin Shafa terus. Daren lagi kritis, Mas!""Kamu enggak liat? Shafa pin
Setelah 2 hari di perjalanan, Alby dan Shafa akhirnya sampai di Jakarta dengan perasaan duka. Bahkan, Shafa belum makan apa pun sejak diberi kabar kalau ayahnya meninggal. Bibirnya pucat, tubuhnya lemas, dan wajahnya terlihat berantakan.Bagaimana tidak? Seorang pria yang menjadi cinta pertama untuk putrinya, meninggal dunia dengan tragis. Shafa hanya bisa menangis di atas batu nisan sang ayah. Saat hari ulang tahunnya, itu adalah kali terakhir dia bertemu Yunus."Ayah, Shafa dateng."Sudah hampir 2 jam Shafa di sana, menangis dengan suara yang telah habis. Alby tidak dapat membujuknya untuk pulang. Benar-benar terlihat kalau Shafa merasa sangat kehilangan ayahnya."Sekarang, ayah pasti lagi suruh kamu untuk berhenti nangis. Pasti ayah lagi usap air mata kamu yang terus mengalir. Jadi, kamu harus kuat demi ayah, ya?" ujar Alby untuk menguatkan sang istri."Ayah aku udah enggak ada, Mas. Aku udah enggak punya ayah lagi sekarang. Ayah aku u
Setelah 1 bulan kepergian kedua orang tuanya yang secara berdekatan, Shafa masih merasa duka dan kehancuran dalam hidupnya. Jika tidak ada bayi diperutnya, mungkin Shafa akan mengakhiri hidupnya untuk dapat bertemu ayah dan ibunya.Alby terus berusaha menguatkan Shafa, memberinya banyak kasih sayang walau Shafa selalu mengabaikannya. Semenjak kehilangan kedua orang tuanya, Shafa jadi banyak diam dan tidak peduli dengan Alby."Shaf, aku berangkat dulu, ya? Kalau kamu butuh apa-apa, panggil Mbok Dewi aja. Nanti siang aku pulang, kok.""Iya, hati-hati."Setelah mencium kening, pipi, dan bibir Shafa, Alby langsung pergi dengan membawa bekal yang sudah Mbok Dewi siapkan. Mbok Dewi adalah asisten rumah tangga yang Alby pekerjakan untuk menemani dan menjaga Shafa di rumah.Shafa duduk di ruang tengah sambil menonton televisi dan meminum segelas susu untuk ibu hamil yang Mbok Dewi buatkan."Mbok, saya izin ke pasar dulu, ya? Saya mau beli ikan sama buah-buahan. Tadi di tukang sayur enggak ada,
Shafa merasa sangat trauma. Tangannya gemetar hebat dan keringat terus mengalir membasahi keningnya. Selama diperjalanan menuju rumah sakit, Shafa terus berdoa dengan harapan suaminya akan baik-baik saja."Mas Alby pasti baik-baik aja, kok, Mbak," ucap Mbok Dewi yang terus menggenggam tangan majikannya itu.Sesampainya di rumah sakit, Shafa langsung berlari dan mengabaikan kondisinya yang sedang hamil muda. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang terhadapnya.Bugh!"Aduh!" rintih Shafa yang terjatuh karena menabrak seorang wanita."Shafa? Kamu ngapain di sini? Kenapa kamu nangis gitu?""Sonya ....""Di mana Mas Alby? Tadi, dia telepon aku. Katanya lagi di jalan mau ke sini. Tapi, kenapa belum sampai juga?""Mas Alby kecelakaan pas lagi di jalan mau jenguk anak kamu."Kembali Shafa berlari dan meninggalkan Sonya yang kakinya terasa berat untuk melangkah. "Apa? Kecelakaan?"Ada sekitar 3 polisi
3 hari sebelum Alby mengalami kecelakaan, Sonya sudah meminta mantan suaminya itu untuk datang. Sekalipun alasannya karena Daren, tapi Alby tidak kunjung datang. Sonya kesal dan berpikir Shafa adalah penyebabnya.Melihat sangat anak menderita, Sonya berniat untuk mengakhiri semua yang selama ini dia rahasiakan. Kakinya membawa dia pulang dan mencari sebuah kertas yang disembunyikan selama bertahun-tahun."Aku harus telepon mereka. Ini saatnya aku kasih tau ke mereka yang sebenernya. Aku mungkin bisa bertahan sedikit lagi, kalau aja mereka enggak menjadikan Daren sebagai korbannya. Mereka udah keterlaluan."2 nomor telepon yang tertulis dikertas itu, mulai disalin ke dalam ponsel. Nomor pertama milik wanita yang pernah menjadi ibu mertuanya. Sonya mendapatkan nomor itu beberapa tahun lalu dari ponsel Alby."Halo, ini siapa, ya?" tanya wanita itu.Jantung Sonya berdegup kencang. Itu kali pertama dia berkomunikasi dengan ibu mertuanya. Bahka
Shafa merasa tubuhnya tidak lagi dapat menahan rasa sakit yang teramat itu. Perutnya sudah mati rasa dan seluruh tubuhnya sudah tidak lagi memiliki tenaga.Darah mengalir keluar dari kemaluannya. Shafa hanya bersandar lemas pada tembok yang kotor akan lumut. Bibirnya pucat dan keringat membasahi keningnya."Mama, tolong aku. Tolong bawa aku ke rumah sakit," pinta Shafa dengan lemas.Hera yang duduk di hadapannya, sama sekali tidak memberi respon saat Shafa berkali-kali meminta tolong. Dia hanya sibuk dengan ponselnya untuk bertukar kabar dengan Sonya."Ma, tolong aku. Aku mohon, Ma," pinta Shafa sekali lagi."Kamu bisa diam enggak, sih?! Berisik banget dari tadi?!""Aku mohon, Ma."Hera berjalan menjauh dari Shafa yang tidak lagi dapat berdiri, apalagi untuk berjalan dan kabur dari sana."Jagain anak itu. Jangan kasihani dia," ucap Hera pada dua pria bertubuh besar yang berdiri di depan pintu."Siap, Bu