Shafa merasa seluruh tubuhnya seperti remuk. Pinggul dan kakinya terasa sangat sakit. Kepalanya pusing dan tenggorokannya perih. Entahlah, hanya dia yang merasakannya atau Alby juga merasakan hal yang sama. Untuk bangun pun, rasanya Shafa tidak sanggup. Dia membangunkan Alby yang masih tidur bertelanjang dada. Mulai saat itu, Shafa sangat menyukai tubuh kekar suaminya.
"Mas, bangun. Nanti kamu terlambat, loh?""5 menit lagi," jawab Alby dengan mata yang masih tertutup."Ayo, bangun!""5 menit lagi, Sayang." Suaranya terdengar serak dan berat. Bagi Shafa, Alby terlihat sangat seksi."Kalau terlambat, jangan salahin aku, ya?""Iya, deh!" Alby mulai bangun. Walau posisinya sudah duduk, tapi, matanya masih terpejam."Cepet, ke kamar mandi! Kalau masih di kasur, kantuknya enggak bakal hilang," ucap Shafa yang masih bersandar di sandaran kasur."Cium." Alby memanyunkan bibirnya."Enggak! Udah cukup tadi malem!""Cium dulu!""Enggak!"Matanya melotot dan menatap Shafa dengan tajam. "Shafa?"Bibir Shafa yang lembut, menabrak bibir Alby yang sedikit kering. Iya, Shafa akhirnya menuruti mau suaminya yang manja itu."Kenapa kamu masih di kasur? Biasanya udah sibuk di dapur?""E-enggak apa-apa, kok.""Sakit, ya, karena semalem?" Shafa malu untuk mengakuinya. "Maaf, ya, kalau semalem aku terlalu kasar?" Alby mengelus perut Shafa dengan lembut. "Kamu bakal segera hamil, 'kan?""Semoga aja, Mas.""Semalem, aku gagah, enggak?" Shafa hanya mengangguk malu. "Kamu suka?" Shafa mengangguk lagi, dengan senyuman di bibirnya. "Kalau kamu suka, pasti Mbak Jelita juga suka, 'kan?" Shafa langsung memukul Alby yang tidak berhenti meledeknya.***Sepertinya, Alby masih terbayang akan wajah Shafa saat mereka melakukannya semalam. Senyuman tidak pudar dari mulut Alby. Guru seniornya menyadari hal itu."Al, kamu kenapa senyam-senyum gitu?"Alby terkejut dan langsung menyadari keberadaan mereka. "E-enggak apa-apa, Pak.""Kamu udah lakuin, 'kan?""Lakuin apa, Pak?" Alby pura-pura tidak tahu dan langsung pergi keluar ruang guru."Berapa lama, Al? 3 jam? 5 jam?" bisik seorang guru bernama Hendra, yang 11 tahun lebih tua darinya."Enggak usah bahas itu, Pak." Mereka tertawa bersama.Sesampainya di kantin, Alby yang sedang duduk bersama Hendra, didatangi oleh beberapa murid mereka. "Pak Alby udah nikah, ya? Kok, enggak ngundang kita, Pak?""Iya, kita mau tau, kaya apa, sih, cewe yang Pak Alby suka?""Lebih cantik saya atau dia, Pak?""Kenalin istrinya ke kita, dong, Pak!""Iya! Bener, tuh, Pak!""Souvernirnya masih ada, Pak? Saya minta, dong!"Alby hanya tersenyum mendengar apa yang muridnya katakan. Dia merupakan guru favorit di sekolah itu. Selain baik dan ramah, wajah tampannya membuat siswi di sana terpanah."Saya nikah di Jakarta. Dia cantik dan baik, makannya saya mau nikah sama dia. Kalau ada waktu, saya bakal undang kalian dateng ke rumah untuk ketemu sama istri saya," jawab Alby dengan ramah."Serius, Pak?""Pak Alby bakal segera punya anak, loh!" Hendra berbisik pada muridnya.Respon cepat dari salah satu siswi itu. "Pak Alby udah bikin anak?!"***Pekerjaan rumah sudah beres. Shafa hanya menonton televisi dan bermain ponsel. Karena bosan, Shafa memutuskan untuk pergi ke suatu tempat dan pulang lebih awal. Kafe paling dekat berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Segera Shafa memesan ojek online yang datang dengan cepat.Kafe bernuansa alam, dikelilingi bunga tulip yang harum itu akan menjadi kafe favorit Shafa. Hidangan yang disajikan, tidak kalah enaknya dengan sajian di restoran mahal. Shafa mengambil posisi tengah, dekat dengan kolam ikan."Kenapa aku tiba-tiba teringat Sonya, ya?" Saat melihat bunga tulip, Shafa teringat sahabatnya yang sangat menyukai bunga tersebut."Sonya dimana, ya, sekarang?" Shafa kembali menelpon Sonya dan mengecek sosial media sahabatnya itu. Tapi, tidak ada respon atau balasan apapun dari Sonya.Baru sekitar 30 menit Shafa di kafe tersebut, Alby sudah menelponnya dan menyuruhnya segera pulang. Shafa tidak tahu kalau Alby akan pulang secepat itu. Dia segera meninggalkan kafe dan mendatangi taxi online yang sudah dia pesan sebelumnya."Kamu di mana, Sayang?""Aku pulang sekarang, nih.""Mau aku jemput?""Enggak usah. Udah dulu, ya? Aku mau jalan, nih."Seorang wanita yang wajahnya sangat familiar, membuat Shafa kembali menutup pintu taxi dan berlari mendekati wanita itu. Tapi, wanita yang dia kejar tiba-tiba menghilang diantara kerumunan orang."Itu kayak Sonya? Apa jangan-jangan, Sonya tinggal di sekitaran sini, ya?"Walau wanita itu sudah tidak terlihat, Shafa terus berjalan mencarinya. Benar saja, dia melihat wanita itu masuk ke dalam mobil. Shafa segera menghentikan taxi kosong yang lewat untuk mengejar mobil yang ditumpangi wanita itu."Sonya, apa itu kamu?"Lagi-lagi, Shafa kehilangan jejak wanita itu. Entah ke mana mobil yang sedari tadi dia ikuti. Karena Alby berkali-kali menelponnya, Shafa kembali pulang ke rumah dengan rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya."Aku berharap, itu beneran Sonya."***Jelita yang tahu kalau Shafa tidak ada di rumah, dengan sengaja bertamu ke rumah Alby. Dia membawa camilan keripik kentang balado kesukaan Alby. Alby sendiri bingung, dari mana Jelita bisa tahu segala hal yang dia sukai? Berkali-kali Alby menyuruh Jelita pulang, namun wanita itu terus saja mengajak ngobrol.Tiba saat Shafa pulang dengan raut wajah tak semangat, Alby langsung membuka pintu dan memeluk juga mencium kening istrinya itu. "Kamu dari mana, sayang?""Aku bosen di rumah. Jadi, aku pergi ke kafe dekat sini.""Oh, ke kafe, ya? Kalau cuma ke kafe, kok, penampilannya sebagus itu?" sosor Jelita dengan cepat. Shafa baru sadar kalau Jelita ada di dalam rumahnya, hanya berdua dengan Alby."Mbak Jelita?" Raut wajah Shafa berubah menjadi resah. Dia menarik tangan Alby, untuk berdiri di belakangnya. "Maksud Mbak Jelita apa, ya? Emangnya Mbak Jelita pikir, saya pergi ke mana?""Ya, mana saya tau.""Mbak Jelita sendiri, kenapa berpenampilan kayak mau pergi kondangan, padahal cuma belanja di tukang sayur komplek?" balas Shafa."Loh, saya ini janda yang lagi cari suami. Wajar aja kalau penampilan saya selalu menarik. Kalau Mbak Shafa kan, udah punya suami.""Lebih baik, sekarang Mbak Jelita keluar dari rumah saya! Jangan ganggu suami saya lagi, paham?!""Kamu enggak usah marah-marah. Saya datang dengan niat baik, kok.""Niat baik? Sejak kapan menggoda suami orang itu adalah niat baik?!""Menggoda? Saya enggak pernah menggoda Mas Alby, kok.""Kalau gitu, jauhin suami saya!""Kenapa kamu sewot? Mas Alby aja selama ini enggak pernah larang saya buat datang.""Pergi dari sini!"Jelita tidak terima dibentak seperti itu. Alby menutup pintu saat Jelita sudah keluar dan Shafa langsung pergi ke kamar. Dia mengunci pintu kamar dan menangis dibawah bantal."Sayang, buka pintunya, dong?""Enggak!""Aku enggak ngapa-ngapain sama dia, Sayang.""Kenapa kamu biarin dia masuk ke rumah disaat aku enggak ada?!""Dia maksa masuk dan enggak mau pulang, Shaf. Percaya, dong, sama aku.""Kamu suka sama dia, 'kan?""Aku enggak pernah suka sama Mbak Jelita. Aku enggak pernah tertarik sama dia.""Aku enggak mau ngomong sama kamu!"***Keesokan harinya, Shafa memutuskan untuk mendengar penjelasan Alby. Dia juga mengkhawatirkan Alby yang tidur di sofa, tanpa bantal dan selimut. Wajah Alby saat tidur, Shafa menyukainya.Dengkurannya yang lembut, sangat membuat candu. Wajahnya hitam manis dan terlihat sangat tampan. Shafa berharap, Jelita tidak pernah melihat Alby saat sedang tidur. Shafa duduk disampingnya dan menjatuhkan kepalanya diatas dada bidang suaminya itu."Eum? Shafa?" Alby terbangun dan langsung mendekap kepala istrinya itu. "Ada apa?""Maafin aku, Mas.""Buat apa?""Karena biarin kamu tidur di sini.""Iya, aku maafin. Tapi, maafin aku juga, ya? Beneran, aku enggak lakuin macam-macam sama Mbak Jelita.""Iya, aku percaya, kok."Alby bangun dan mendekap wajah mungil Shafa. Menatapnya dalam sembari tersenyum. Mata Alby mulai melihat kearah bibir Shafa yang merah alami. Mulailah, dia menabrak bibir tersebut dan melumatnya dengan lembut. Untung saja Shafa sudah paham dan bersiap, jadi tidak kehabisan napas sepert
Saat sedang menelpon Alby, Shafa terkejut saat mendengar seperti ada yang melempar sesuatu ke pintu rumahnya. Bahkan, ponselnya sampai terjatuh saking terkejutnya dia.Walau sebenarnya takut, tapi perasaan kesal berhasil menghalaunya. Shafa mendapati sebuah batu yang dibalut kain putih bertuliskan 'Berniat untuk menyerah sekarang?' yang membuatnya semakin penasaran."Pasti dia!"Dengan langkah tanpa ragu, Shafa pergi ke rumah Jelita. Keringatnya bercucuran karena panik dengan teror itu. Shafa mengetuk pintunya dengan kencang dan Jelita pun, keluar dengan menggendong seorang anak."Ada apa? Emangnya enggak bisa, ya, bertamu baik-baik?""Pasti ini ulah kamu, 'kan?!" tuduh Shafa yang memang kenyataannya, dia tidak memiliki bukti apa pun, untuk menuduh Jelita."Apa? Kenapa kamu tiba-tiba nuduh saya?!""Kamu, 'kan, yang sewa kurir buat kirim paket itu?!""Paket apa? Saya enggak tau apa-apa. Tolong, ya, jangan tuduh saya sembarangan!""Tuduh?! Saya yakin, pasti kamu pelakunya! Kalau kamu en
Seperti pagi hari biasanya, Alby selalu mencium dan memeluk Shafa dengan lembut. Tangannya yang membelai rambut Shafa, membuat Shafa merasa sangat dicintai. Dia benar-benar telah mencintai Alby. Saat Alby melepaskan pelukan itu, Shafa kembali merasa hampa."Mas, kamu cuma pergi 3 hari, 'kan?" tanya Shafa yang masih berada di kasur, dengan tangan melingkar dipinggang Alby."Iya, cuma 3 hari, kok. Kamu mau oleh-oleh apa?" Alby sudah hapal betul kalau istrinya sangat suka ketika dia membelai rambutnya."Aku cuma mau kamu cepet pulang.""Selain itu?""Aku mau kue bolu lapis khas Surabaya."Alby tersenyum dan kembali memeluk Shafa. "Nanti aku beliin, ya?"Sekolah tempat Alby mengajar mengadakan study tour ke Surabaya untuk murid kelas 2 SMA. Karena Alby menjadi wali kelas, jadi dia diharuskan ikut untuk menjaga muridnya.Alby mandi dan Shafa memasak, hal itu yang selalu mereka lakukan dipagi hari. Shafa memasak nasi goreng untuk sarapan dan sandwich dengan 2 keju untuk bekal Alby diperjala
Sudah hari ke-3 Alby pergi dan Shafa sendiri di rumah. Namun, mereka tetap bertukar kabar dan beberapa kali Alby mengirim foto dan video saat bersama dengan muridnya. Beberapa kali juga, Karina terlihat berada di dekat Alby. Hal itu membuat Shafa semakin penasaran untuk mencari tahu kebenarannya.Selama Alby tidak di rumah, Shaf sering mengunjungi Kafe Tulip, berharap bisa bertemu Sonya lagi. Nomor telepon dan sosial medianya tidak aktif lagi, membuat Shafa sulit menghubungi sahabatnya itu."Sonya mana, ya?"Karena tidak menemukan Sonya, Shafa pergi ke salah satu restoran kesukaan Alby. Tidak disangka, dia bertemu dengan sahabatnya yang sudah hampir 5 tahun tidak bertemu."Rendi?""Loh, Shafa? Udah lama banget kita enggak ketemu." Rendi yang juga baru datang, langsung duduk di depan Shafa."Kamu apa kabar, Ren?""Aku baik, kok. Kamu sendiri, gimana kabarnya?""Aku juga baik. Kenapa kamu enggak dateng ke acara pe
"Kamu nginep di mana?!" ucap Shafa yang mulai kesal dan mencoba menahan air matanya."Kamu tenang dulu. Besok pagi, kamu bakal tau semuanya.""Sekarang! Kasih tau aku sekarang!" rengek Shafa sambil menangis."Besok, aku bakal jujur ke kamu."Shafa berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dia mencegah dirinya untuk mengunci pintu kamar karena tidak ingin Alby tidur di luar lagi, di rumahnya sendiri.Tidak dapat tertahankan, Shafa menangis dibawah dibalik selimut. Bahkan, Alby dapat mendengarnya dari lantai bawah. Karena merasa bersalah, Alby memeluk Shafa yang tidur membelakanginya."Sayang, aku minta maaf."Shafa hanya terus menangis sesenggukan. Cara Alby memeluk, mencium, dan membelainya, tidak membuat Shafa berhenti menangis. Wanita berusia 24 tahun itu, sepertinya merasa sangat hancur.Dengan cepat, Shafa membuka selimutnya. "Kenapa enggak sekarang?!" Menampilkan rambut panjang yang terurai menutupi waja
Keluarga Alby dan Shafa makan dimeja yang sama, sedangkan tamu dimeja masing-masing. Itu pertama kalinya untuk Alby dan Shafa berbincang hangat dengan mertuanya. Namun, Shafa sadar kalau Alby terlihat tidak nyaman."Mas?"Alby terlihat sangat terkejut saat Shafa memanggilnya. "Iya?""Kamu kenapa? Pucat banget gitu mukanya?""Aku agak sedikit capek aja.""Kalau gitu, kamu istirahat aja di hotel. Aku antar, ya?""Enggak usah, Sayang. Eggak apa-apa."Karena Rendi terus meminta untuk pulang, akhirnya Sonya mengikuti. Jujur, Rendi juga merasa seperti seorang penjahat karena menyembunyikan status tentang Sonya dan Alby."Shaf, aku sama Sonya izin pulang duluan, ya?" Rendi mendekati meja Shafa dan berpamitan juga pada orang tua sahabatnya itu."Kok, pulang duluan, sih, Ren?" tanya Fatma yang memang kenal betul dengan Sonya dan Rendi."Iya, aku ada kerjaan nanti siang. Aku pulang duluan, ya, Tante? Kal
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Sejak siang, Shafa tidak dapat dihubungi. Alby sangat khawatir dan akhirnya bergegas pulang saat waktu mengajarnya selesai. Namun, sebuah nomor tidak dikenal menelponnya saat sedang mengemudi."Sonya? Kenapa, sih, kamu selalu ganggu aku? Aku udah bilang, berhenti hubungi aku!""Berhenti hubungi kamu? Inget, Mas! Kamu punya anak yang butuh kasih sayang seorang ayah! Hubungan kita emang udah berakhir. Tapi, hubungan ayah dan anak enggak ada akhirnya, Mas!"Sadar dengan kesalahannya, Alby hanya diam membungkam. "Daren baik-baik aja, 'kan?"Dia sakit.""Sakit?!""Iya, dia sakit leukemia. Kamu enggak tau, 'kan, Mas? Makannya, aku mau kasih tau ke kamu.""Leukimia? Kamu serius?""Untuk apa aku bohong? Daren butuh banyak perawatan. Jadi, aku minta tolong ke kamu untuk perhatiin Daren juga. Jangan selalu Shafa yang kamu perhatiin.""Kamu di mana sekarang?""Aku di rumah.
Selain karena panik, dinginnya suasana di rumah sakit membuat Alby menggigil. Bukannya menenangkan Sonya yang sedang mengkhawatirkan anaknya, Alby malah duduk di samping Shafa, menggenggam tangan sang istri dengan erat."Shaf, maafin aku," ucap Alby pelan."Kita bahas itu nanti aja, Mas."Padahal hatinya sedang menangis tersedu-sedu. Shafa merasa hancur dan terluka setelah mengetahui kenyataan yang membuat tubuhnya semakin lemas, kepalanya pusing, dan berkunang-kunang."Kamu kenapa, Shaf?" Alby mendekap wajah Shafa yang terlihat sangat pucat.Tidak lama, Shafa ambruk dipangkuan suaminya. Alby baru merasakan kalau seluruh tubuh Shafa terasa sangat panas, kecuali telapak tangannya. Dengan cepat, Alby memanggil perawat untuk memeriksanya.Ketika hendak pergi menemani Shafa, Sonya menarik tangan Alby dengan kuat. "Daren butuh kamu, Mas. Tolong, jangan mikirin Shafa terus. Daren lagi kritis, Mas!""Kamu enggak liat? Shafa pin