Setelah dua hari, Nero menepati janjinya untuk datang kembali ke rumah Leah. Apapun yang terjadi dia harus menikah. Meski tidak mengenal Leah tapi entah kenapa seperti ada ikatan antara dia dengan gadis itu. Namun karena banyak sekali pekerjaan di perusahaan membuat Nero harus datang pada malam hari.
Leah sedang di kamar saat Nero datang, awalnya dia cukup kesal karena merasa Nero tidak menepati janji. “Mana? Katanya mau datang. Semua pria memang sama saja, kecuali ayah sih karena ayah selalu menepati janji.” Leah berbicara sendiri. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun Nero belum juga datang.
“Mikirin apa sih aku? Hei Leah, dia itu hanya orang iseng yang mau mempermainkan kamu. Sudah, tidak usah sedih.” Leah menyemangati dirinya sendiri.
“Tapi dia ganteng,” gumam Leah.
“Hei hati, sebenarnya kau itu punya siapa? Kenapa kau berdebar hanya dengan membayangkan wajahnya. Sudahlah, dia hanya orang aneh yang sedang iseng.” Leah merebahkan tubuhnya di kasur saat seseorang mengetuk pintu.
“Leah.” Suara ibu terdengar di balik pintu.
“Iya, Bu. Ada apa?” Leah setengah berteriak menjawab panggilan ibunya. Rasa kecewa membuatnya malas bergerak.
“Leah, keluar dulu.” Ibu tidak membuka pintu, wanita itu tetap sabar menunggu anaknya di luar.
Leah beranjak dari posisi rebahan, dia melangkah gontai menuju pintu. “Iya kenapa, Bu?” Leah membuka sedikit pintu dan hanya mengintip ibunya.
“Ada Nero di luar.”
“Katakan padanya aku sibuk.” Leah seperti ingin membalas perlakuan Nero.
“Hmm, ayah sudah menerima lamarannya. Mereka sedang membicarakan pernikahan sekarang.”
“Apa?” Leah terkejut, gadis itu membuka lebar pintu kamarnya. Walaupun dia berkata akan menerima tapi kan dia ingin mengatakannya sendiri.
“Ya sudah, sekarang perbaiki dulu wajahmu, anak ibu tidak akan menemui calon suaminya dengan wajah kusut seperti itu kan?”
Leah kembali menutup pintu setelah ibunya kembali ke tempat di mana Nero dan ayahnya berada. Gadis itu menatap dirinya di cermin. Tubuh langsing dengan rambut lurus alami, rambut yang semua orang bilang Leah selalu pergi ke salon untuk membuatnya seperti itu.
"Aku sudah cantik dari sananya," ucap Leah bangga.
Tak lama gadis itu keluar dari kamar setelah beberapa kali latihan tersenyum di depan cermin. Dilihatnya Nero yang masih terlihat tampan walaupun hari sudah malam. Namun dengan cepat dia merubah ekpresinya.
"Kemarilah." Ayah melihat Leah masih berdiri di sisi ruangan.
Leah mendekat, sekarang gadis itu sudah duduk di samping ayahnya. "Nak, persiapkan dirimu, kau akan menikah seminggu lagi," kata ayah.
"Apa?" Leah menutup mulutnya karena berteriak di depan Nero.
"Apa terlalu lama? Kau mau kita menikah dalam tiga hari atau besok?" tanya Nero.
Ayah terbahak mendengar pertanyaan pria yang kini jadi calon menantunya itu. "Benar begitu, Leah?" tanya ayah.
"Tidak." Leah menggeleng dengan cepat.
"Baiklah, ayah tinggal ya. Kalian bisa mengobrol." Ayah beranjak dari kursi lalu menarik istrinya yang belum bergerak sedikit pun dari sana. Ibu hanya pasrah mengikuti suaminya.
Kini hanya Leah dan Nero di sana. Mereka tampak canggung. Sesekali mereka saling menatap lalu mengalihkan pandangan secara bersamaan.
"Ada apa denganku? Aku tidak mungkin benar menyukai gadis ini kan?" tanya Nero dalam hati.
"Leah."
"Nero."
Mereka berbicara secara bersamaan.
"Apa sopan memanggil calon suami dengan sebutan nama?" Nero menatap Leah, mata hitam pekat milik Nero beradu dengan mata coklat milik Leah.
"Lalu aku harus panggil apa? Panggil bambang? Kan namamu Nero." Leah berbicara dengan nada ketus, gadis itu mencoba mengusir rasa gugupnya.
"Terserah, yang penting jangan nama."
"Mas?"
Nero menggelengkan kepala. "Memangnya aku terlihat seperti mas-mas."
"Abang?" tanya Leah lagi.
Nero mengerutkan keningnya, abang di benaknya adalah abang bakso yang ada pada sebuah lagu anak-anak.
"Jadi apa? Mas dan abang adalah bahasa nasional dan dipakai hampir di seluruh penjuru negeri," ucap Leah seolah tidak terima karena Nero seperti memandang rendah dua panggilan yang dia sebutkan tadi.
Nero biasa dipanggil tuan, hanya si kurang ajar Alton yang berani memanggilnya nama.
"Kau mau pernikahan seperti apa?" tanya Nero, mengalihkan topik mas-mas dan abang-abang.
"Sederhana tapi berkelas," kata Leah.
"Baiklah, besok kau akan dijemput setelah jam makan siang. Aku akan menunggumu di sana."
Nero menyerahkan ponselnya. "Berikan nomormu," perintah Nero.
Leah mengambil ponsel itu, "Bagaimana mungkin seminggu lagi menikah tapi baru bertukar nomor ponsel," gumam Leah.
"Apa?"
"Tidak." Leah menyerahkan ponsel milik Nero.
"Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai bertemu besok, calon istri." Nero beranjak tidak mempedulikan Leah yang wajahnya bersemu merah karena dipanggil calon istri.
***
Keesokan harinya kantor tempat Leah bekerja dibuat terkejut saat seorang pria dengan jas berwarna hitam mencarinya.
"Leah, kau tidak berhutang lalu ditagih debt collector kan?" tanya rekan kerja Leah.
"Eh, sembarangan. Tentu saja tidak." Karena beberapa waktu lalu marak kejadian seseorang ditagih debt collector karena tidak membayar tagihan pinjaman online. Orang yang menagih memang berbadan besar seperti orang yang sedang mencari Leah sekarang.
"Ada urusan apa dengan saya?" tanya Leah saat mendekati pria berbadan besar itu. Dia mencoba mengusir rasa takutnya.
"Nona Leah, silahkan ikut dengan kami," kata pria itu.
"Kemana? Kenapa saya harus ikut kalian?" tanya Leah.
"Ini perintah Tuan Nero, Nona."
Leah kaget mendengar nama Nero disebut. Nona? Tuan? Ada apa sebenarnya.
"Sebentar, aku izin dengan atasanku dulu," kata Leah.
"Tidak perlu, Nona. Tuan Nero sudah meminta langsung kepada atasan anda." Pria bertubuh besar itu melihat seseorang yang berdiri di belakang Leah.
"Benar, Tuan Nero sudah memintaku untuk mengizinkanmu keluar. Ambil waktu sesukamu," ucap atasan Leah.
"Tapi, Pak-" Leah mencoba mencerna keadaan. Nero memang berkata akan ada seseorang yang menjemput Leah, tapi dia tidak pernah menyangka jika akan dijemput dengan cara seperti itu. Karena dari pihak Nero tidak terlalu bercerita dia itu siapa, Leah hanya tahu jika calon suaminya itu bekerja di Aditama Group atau apalah itu yang disebut Nero kemarin. Seketika Leah terkejut.
"Tunggu, nama tuanmu Nero Aditama kan?" tanya Leah.
"Betul, Nona," jawab pria itu.
"Dia bekerja di perusahaan bernama Aditama. Apa jangan-jangan tuanmu pemiliknya?" Leah menebak-nebak dengan ilmu cocoklogi yang baru saja dia pikirkan.
"Anda benar, Nona." Pria itu menjawab semua pertanyaan Leah dengan singkat.
Seketika Leah lemas, dia tidak pernah menyangka jika dia telah dilamar atau bahkan akan menikah dengan seorang Nero Aditama yang merupakan pemilik sebuah perusahaan. Dia merasa tidak pantas mendapatkannya. Pantas saja wajah Nero setampan tokoh fiksi yang sering dia baca di komik.
"Eh, tapi apa hubungannya tokoh di komik dengan pemilik Aditama Group? Aku harus bagaimana? Haruskah aku membatalkan pernikahan ini?" Leah berbicara dalam hati. Dia mengikuti langkah kaki pria yang menjemputnya untuk menemui Nero, calon suaminya.
Mobil hitam yang membawa Leah tiba di sebuah restoran mewah dekat komplek perkantoran elit."Silahkan, Nona." Seorang pengawal membuka pintu untuk Leah."Ah, iya." Leah turun sambil menatap sekitar, dia pernah melihat restoran ini di media sosial. Tetapi tidak pernah mencoba untuk datang ke sana. Karena Leah pikir, mereka hanya menjual tempat, untuk rasa makanannya paling juga lebih enak masakan ibunya."Tuan Nero sudah menunggu." Pria itu mempersilahkan Leah untuk mengikutinya."Kok jantungku berdebar sih, aku tidak akan dieksekusi di sini kan. Ayah, selamatkan aku. Kenapa calon suamiku sepertinya menakutkan." Leah berbicara dalam hati.Setelah beberapa saat mereka tiba di sebuah private room, dan hanya orang dari kalangan tertentu yang boleh masuk. Terlihat dari tulisan VVIP yang membuat mata Leah silau saat melihatnya.Pintu itu digeser perlahan oleh pengawal yang membawa Leah ke sini. "Silahkan, Nona.""Iya, terima kasih."
Nero melirik Leah yang fokus pada makan siangnya. Tapi sebelum gadis itu sadar jika dia mencuri pandang, Nero dengan cepat mengalihkan pandangannya."Dia memang cantik sih." Nero seolah membenarkan ucapan Alton waktu itu."Aku sudah selesai, apakah aku boleh kembali ke kantor?" tanya Leah sesaat setelah menghambiskan makanannya."Kau lapar?" Nero melihat piring Leah yang kosong, tak ada satu makanan pun yang tersisa."Kata Ibu tidak boleh mubazir pada makanan, kau harus menghargainya walaupun makanan itu tidak enak sekali pun." Leah mengulangi apa yang pernah dikatakan oleh ibunya."Kan memang aku membayar makanan ini." Sikap Nero acuh, baginya jika makanan sudah dibayar maka dia bebas melakukan apapun."Jadi, aku sekarang bisa kembali ke kantor kan?" Leah mengulang pertanyannya. Karena sepertinya urusannya dengan Nero sudah selesai."Tidak, kita akan memilih gaun untukmu." Nero masih melanjutkan acara makannya."Cincin?" tanya
Akhirnya Leah tidak kembali ke kantornya. Setelah dibuat kesal oleh Nero, Leah diantar pulang oleh sopir dan seorang pengawal. Tanpa Nero tentu saja karena pria sibuk itu harus kembali bekerja."Nona, ini." Pengawal menyerahkan sebuah paper bag berwarna biru muda."Apa ini?" tanya Leah."Tuan Nero hanya meminta saya untuk memberikannya pada anda, Nona.""Terima kasih." Leah menerima paper bag yang cukup berat itu."Kalau begitu kami permisi, Nona." Pengawal itu mengganggukkan kepala, lalu masuk ke dalam mobil.Leah masuk ke dalam rumah, dilihatnya mobil ayah sudah terparkir, tanda bahwa ayah sudah pulang. Setelah masuk ke rumah Leah melihat orangtuanya berada di ruang tengah. Ayah sedang mengecek grup pesan berlogo hijau, sementara ibu sedang berkutat dengan catatan, ponsel dan kalkulator kesayangannya."Ada-ada saja." Ayah menghela nafas pelan."Kenapa?" tanya ibu."Biasa, ada kesalahan internal pada tim In-Bound." 
Pagi ini adalah pagi yang cerah, burung-burung berkicauan dengan merdu, terdengar dari balik jendela kamar gadis yang sebentar lagi akan melepas status singlenya."Leah." Suara ibu terdengar memanggil anak semata wayangnya."Iya, Bu. Ini juga sudah bangun." Tapi gadis itu masih nyaman di dalam selimutnya."Segera mandi, Leah," perintah ibu."Iya."Akhirnya gadis itu beranjak dari kasurnya, mengerjapkan mata dan mencoba mengumpulnya nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Leah berencana tidur tadi malam, tetapi drama on-going yang dia tunggu selama seminggu ternyata tayang malam itu. Bahkan tayang tiga episode sekaligus. Hal itu membuat Leah melupakan janjinya untuk beristirahat, dia justru begadang."Hah, aku masih ngantuk." Leah menguap tapi dia ingat jika hari ini Nero akan datang. Dengan cepat gadis itu meraih lulur dan masker rambut. Dia harus melakukan sedikit perawatan agar terlihat baik saat bertemu Nero nanti."Leah!" Ter
Nero masuk ke dalam mobil, meninggalkan Leah yang masih berdiri dengan wajah merah."Suamiku sayang. Hih! Apa-apaan itu." Leah memegang tengkuknya yang merinding. Bukan panggilan yang disebutkan Nero yang membuat Leah malu, tapi berada sedekat itu dengan Nero membuat jantung Leah berirama tidak karuan."Aku ini kenapa sih? Dengan Kevin dulu saja aku tidak pernah seperti ini." Leah masuk ke dalam rumah. Lalu menghela nafas saat melihat hadiah pernikahan yang berjajar memenuhi rumah.***Nero menatap gedung-gedung tinggi dari dalam mobil. Dia menghela nafas pelan."Ada apa, Tuan. Anda terlihat tidak senang." Ken menatap Nero dari kaca mobil."Tidak."Mereka tiba di gedung utama Aditama Group. Semua pegawai yang melihat kehadiran Nero dan asistennya tampak menundukkan kepala."Silahkan, Tuan." Ken mempersilahkan Nero masuk ke dalam lift khusus, lift yang hanya menuju satu lantai saja, tempat Nero menghabiskan harinya."Ruan
Nero merasakan angin berhembus dari jendela yang di buka lebar, saat ini dia sedang merilekskan tubuh dan pikirannya di sebuah ruangan yang atapnya terbuat dari kaca transparan. Melihat langit pekat tanpa dihiasi bintang membuatnya sedikit tenang.Tadi dia mencoba menahan semua rasa takutnya, mencoba menjadi pria kuat saat bertemu Veronica. Tapi Nero hanyalah manusia yang pasti memiliki rasa takut. Dan rasa takut terbesarnya adalah ibu tiri yang tidak pernah dipanggilnya ibu."Aku harus menghindari wanita itu mulai sekarang. Jangan sampai dia bertemu dengan gadis itu nanti." Nero bergumam, dia bertekad tidak akan membuat Leah atau pun Veronica bersinggungan. Tidak akan ada hubungan mertua dan menantu antara dua orang itu.Nero mengambil ponselnya yang ada di meja bundar di samping tempat dia duduk sekarang. "Sedang apa dia? Kenapa tidak ada basa-basinya, padahal sebentar lagi menikah." Nero meletakkan lagi ponselnya yang tidak ada notifikasi dari Leah, mengurung
Leah dibawa ke sebuah salon dan spa terbesar di kota itu. Gadis itu memandang sekeliling, banyak wanita berkelas yang sedang melakukan perawatan. Dari perawatan wajah, rambut hingga kuku."Kita mau apa di sini." Leah berbicara pada Nero yang ada di sebelahnya, tapi matanya masih memandang orang-orang yang ada di sana."Apalagi? Mencangkul? Memang apa yang kau kerjakan di salon kalau bukan perawatan?" Ketus Nero berbicara."Iya maksudku untuk apa?" tanya Leah."Tidak usah kau bilang aku juga tahu kalau tempat ini untuk perawatan." Leah menggerutu dalam hati.Mereka berdua disambut oleh seorang pegawai wanita yang menggunakan seragam berwarna hitam."Bawa gadis ini." Nero melirik Leah yang memasang wajah bingung."Baik, Tuan." Wanita itu membungkukkan badan."Mari nona.""Hei, kamu mau kemana?" Leah bertanya karena melihat Nero yang ingin pergi meninggalkannya."Memangnya aku kurang kerjaan sampai harus menunggumu d
"Panggilkan Nona Leah." Ken memberi perintah pada seorang karyawan."Baik." Karyawan itu masuk ke dalam.Tak lama Leah muncul, dia sudah mengenakan pakaian lengkap."Kamu datang menjemputku?" Leah bertanya."Tidak. Aku kebetulan lewat sini." Nero berkilah tapi matanya mengedarkan pandanganny ke sekeliling."Kalau sudah sebaiknya kau pulang." Nero memberikan titahnya, seperti seorang raja yang tidak bisa dibantah.Leah menggangguk pelan. Lalu berjalan melewati Nero dan Ken. Wajah Leah tak tertebak, apakah dia sudah bertemu Vero atau belum, Nero tidak tahu."Cari wanita itu, mobilnya masih ada." Nero berjalan menyusul Leah yang sudah lumayan jauh.Ken mengangguk, pria itu mengambil ponselnya, menelepon seseorang. "Cari Nyonya Vero di seluruh tempat.""Nyonya sudah pergi sebelum tuan memerintahkan untuk berjaga." Seorang pria berjas hitam dengan alat komunikasi di telinganya berbicara.Ken mengerutkan keningnya. "Kau