Hana menghembuskan napas berat saat dia sedang berendam di bathtub.
"Persoalan terberat dalam hidupku baru saja selesai dengan tuntas. Bahkan persoalan ini selesai dengan cara yang sangat mudah dan hasilnya sesuai dengan harapanku, juga keluargaku. Tapi dadaku malah terasa lebih sesak.."
"Tuhan.. Sebenarnya apa yang membuatku seperti ini? Aku bahkan tidak merasa senang sedikit pun," lirih Hana di dalam hati.
Hana memejamkan matanya.
"Sebenarnya aku tahu jawabannya. Mungkin karena aku merasa bersalah pada Green. Aku yang sudah menggodanya duluan hingga akhirnya dia mencintaiku. Dan sekarang, aku malah membuatnya terluka. Aku tidak bisa menutup mata akan hal ini."
"Aku akan menebusnya, Green. Aku akan membantumu untuk sukses dan mandiri, juga sehat kembali. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Tekadnya di dalam hati.
Selesai berendam, H
Hi Readers tercinta! ^^ Terima kasih atas dukungan readers pada kisah Green dan Hana! ^^ Dukung terus karya ini ya! ^^ ❤️
"Saat tadi aku mengatakan pada Green bahwa kami akan bercerai, Green mengatakan padaku bahwa ia akan keluar dari rumah ini. Jadi, bisakah Papa membujuknya agar tetap tinggal bersama kita? Selama ini Papa dan Mama selalu bersikap dingin dan ketus padanya. Wajar saja dia tidak betah tinggal di sini. Jika Papa dan Mama membujuknya untuk tinggal dan bersikap ramah padanya, mungkin dia akan melunak dan mau tinggal bersama kita!"Anton mengangkat sebelah alisnya. "Apa Papa tidak salah mendengar? Kamu meminta Papa untuk membujuknya tinggal? Bukankah seharusnya saat ini dia yang merasa cemas takut diusir karena sudah tidak berguna bagi keluarga kita? Kenapa malah posisinya terbalik?"Kening Hana mengerut. "Apa yang sedang Papa katakan? Green tidak pernah takut meninggalkan rumah ini. Bahkan belakangan ini dia selalu mengeluh ingin kembali ke keluarga Assa karena perlakuan keluarga Winata yang begitu membencinya. Kalau bukan karena demi melindungiku
"Ma, susul Hana. Sapa Marcell dengan ramah!" ucap Anton tersenyum sumringah. Jika mereka menyapa berdua bersama sepertinya terkesan berlebihan. "Okay, Pa!" Jihan segera ke depan untuk menyapa calon menantu idaman masa depan. Anton kemudian mengarahkan pandangannya pada Green. "Kalau kamu sudah memutuskan untuk keluar dari rumah ini setelah bercerai maka lakukanlah," ucap Anton dengan nada dingin. Dia tidak perlu berpura-pura lagi karena Hana sudah tidak ada di ruang makan itu. "Baik," ucap Green tanpa ragu. *** Di sekolah, Marcell dan Hana tampak semakin akrab. Sementara Veronika tidak masuk sekolah hari ini. Dia masih merasa terpukul akan kejadian kemarin. Di jam istirahat, Marcell melangkah ke luar kelas sambil menggenggam tangan Hana. Green hanya bisa diam menatapnya. Tetapi suasana kelas segera riuh melihat adegan manis
"Marcell, ini sudah jam delapan malam. Aku harus segera pulang." Hana menuntaskan makannya dengan lebih cepat. "Kenapa? Aku kan sudah meminta izin? Lagian Om Anton sendiri bilang boleh saja agak lebih malam. Asalkan tidak lewat dari jam 11 malam." Marcell merasa tidak senang karena Hana terkesan buru-buru. Mendengar itu, Hana kesal sekali pada papanya. Hana pernah berjanji pada Green jika dia harus pulang sebelum jam tidurnya. Dia tidak ingin melanggar hal itu. Suasana hati Green sudah cukup buruk, Hana tidak ingin menambah keburukan lagi. Pada akhirnya Hana sampai di halaman rumah pukul setengah sepuluh malam. "Apa aku boleh cium kamu?" tanya Marcell meminta izin sebelum berpisah. Hana terkejut mendengarnya. "Itu...aku belum siap, Marcell," ucap Hana menolak halus. Marcell hanya mengangguk dengan bibir mengerucut. "Kalau begitu masuklah ke dalam
Pak Bian membuka matanya dan tidak mendapati Green di ranjang. Dia segera bangkit menuju toilet."Tuan Green?"Tidak ada sahutan, lantas Pak Bian membuka pintu toilet. Ternyata tidak ada di sana."Ke mana Tuan Green jam segini?"Pak Bian keluar dari kamar hendak menuju tangga, tetapi saat melewati kamar Nona Hana, dia mendengar suara aneh."Ini sudah dini hari, dan Tuan Green tidak ada di kamar. Apa jangan-jangan?""Tidak mungkin." Pak Bian menggeleng mengusir pikiran jeleknya terhadap Nona Hana.Karena penasaran Pak Bian pun menempelkan telinganya di sana. Suara desahan panas terdengar bersahut-sahutan. Matanya terbelalak!Pak Bian segera pergi untuk membangunkan Tuan Anton. Dia merasa tidak ada nyali mengganggu Nona-nya yang pasti sedang berada dalam keadaan yang memalukan. Dia sungguh menghormati Nona-nya. Tetapi d
"Jadi maksud Papa, Green akan tinggal di mana? Sebentar lagi kami akan ujian nasional, Pa!" tanya Hana dengan ekspresi masih menentang.Anton seketika terkekeh jengkel melihat putrinya. Dia lalu berdiri. "Itu urusannya sendiri. Dia bisa tinggal di kolong jembatan jika dia suka. Papa tidak peduli dengan laki-laki licik seperti dia. Dan kamu juga tidak boleh mengurusi dia lagi. Papa tidak akan mengizinkanmu!" tegas Anton."Apa maksud Papa berkata seperti itu? Bukankah Papa berjanji akan mengobati Green?" Hana menjadi bingung seketika."Apa kamu pikir Papa bodoh masih peduli soal janji itu setelah apa yang sudah ia lakukan padamu? Biar saja dia mati karena penyakitnya itu!" ucap Anton tanpa perasaan sedikit pun.Mendengar itu Hana menjadi emosi. "Kenapa Papa kejam sekali? Papa harusnya sudah puas memukuli Green sampai seperti itu, tetapi papa masih saja tidak puas, dan malah mengusirnya, bahkan tidak me
"Pa, kenapa kamu sampai tega menampar putri kita?" lirih Jihan. Anton diam sambil menatap tangannya yang sudah menampar Hana. Jika mengingat waktu dia menampar putrinya tadi tangannya jadi sedikit bergetar. "Walaupun Hana keras kepala, tapi apa perlu Papa sampai menamparnya? Dia putri kita satu-satunya, Pa. Aku melahirkannya dengan susah payah," ucap Jihan dengan suara bergetar. Anton mendesah pelan. "Maaf.. Papa sungguh emosi akan perkataan Hana yang lantam, Ma. Matanya juga sangat melawan." Anton menghembuskan napasnya kembali. Rasa kecewa berat sedari tadi terus bergelayut di dadanya. "Putri kita benar-benar sudah jatuh cinta pada pemuda brengsek itu. Kita sungguh sudah lalai kali ini, Ma!" ucap Anton dengan kesal. Jihan tidak menyangkal. Faktanya sudah jelas di depan mata, Hana-nya mau ditiduri oleh Green. *********
"Aku harus memberimu obat. Di mana obat-obatmu?" tanya Sartika."Sebentar." Green perlahan membuka kopernya dan mengambil sebuah kotak khusus berisi obat-obatnya.Sartika mengambil air hangat. Lalu ia memilih obat yang harus Green minum sesuai isi pesan Hana."Terima kasih, Sartika. Mulai sekarang, aku akan meminum obatku sendiri.""Kata Hana, tidak boleh. Kamu bisa saja lupa atau bingung meminum obat yang mana." Sartika keberatan.Green menunduk dengan perasaan sedih."Bahkan untuk meminum obat secara teratur saja, aku tidak memiliki kepercayaan diri. Bagaimana kalau aku keliru memakan obat yang bukan jadwalnya atau malah lupa meminum obat?" lirih Green di dalam hati.Green memperhatikan jenis obat-obatan itu baik-baik. Di tiap botol ada petunjuk pemakaian dan jumlah dosisnya. Asalkan dia teliti, dia tidak akan salah meminum obat sesuai
Hana menyadari sesuatu yang tidak beres saat memeriksa keuangannya. Dia pun segera keluar dari kamar dan menemui ayahnya yang sedang asyik menonton televisi bersama Jihan di ruang keluarga."Pa, kenapa Papa memotong keuanganku sebesar ini?" tanya Hana dengan kening mengerut bingung begitu sampai di ruangan itu.Anton mendengkus. "Sebelum bertanya, pikirkan dulu apa kesalahanmu.""Memangnya apa yang sudah kulakukan? Aku sudah menuruti semua perintah Papa. Termasuk soal pengajuan perceraian dan tidak berkomunikasi dengan Green lagi.""Kamu memang tidak berkomunikasi lagi dengannya, tapi kamu tetap memelihara kehidupan pemuda brengsek itu. Kau pikir Papa tidak tahu soal itu!"Hana diam."Pa, kenapa Papa begitu membenci Green? Papa sudah memukulinya, dan juga mengusirnya. Papa juga melarangku untuk menghubunginya. Kenapa masih juga belum puas?" protes Hana masih