Niko tidak langsung menjawab sehingga Nita harus menanyakan kembali pertanyaannya hingga akhirnya Niko mengangguk.“Kamu tidak ragu untuk mempercayaiku. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayaimu.” Kali ini Niko mengatakannya dengan penuh kemantapan hati.Nita senang mendengarnya. Mendapat kepercayaan dari Niko itu sudah lebih dari cukup.“Oh ya, Nita. Apa Kakek punya cucu lagi?” Niko masih penasaran, karena dia pikir Nita lebih tahu banyak hal tentang Abraham daripada cucu kandungnya sendiri.“Aku nggak tahu, Kak.” Nita mengedikkan kedua bahunya. “setahuku Kakek nggak mengadopsi cucu lagi selain aku.”‘Semoga Tidak.’ Niko menatap Nita dengan senyuman geli, membayangkan seandainya Abraham mengadopsi 100 cucu seperti Nita. Pasti hidupnya kewalahan.Mata Nita memicing melihat Niko menatapnya dengan senyuman aneh, “Apa yang Kakak pikirkan tentang aku?”“Aku hanya merasa kagum padamu,” kilah Niko dengan senyuman kecil. “hemmm aku penasaran, kenapa kamu bisa mengenalku lebih du
“Bagaimana kalau Echa tahu?” Tessa berbicara dengan seringai dingin. “kamu sudah tertangkap basah, Niko.”Niko segera menguasai situasi. Dia memasang wajah bingung, seolah tidak mengerti apa yang diucapkan Tessa.Dengan santainya Niko kembali menatap Nita dan berpura-pura menjadi seorang pembeli, “Jadi gimana nih, mbak? Mana yang cocok untukku? Maaf ya merepotkan.”Tessa mengernyit.Nita mengerti kode yang diberikan Niko. Dia pun memainkan peran sebagai pelayan toko.“Nggak apa-apa. Ini sudah menjadi tugasku untuk melayani pembeli kami.” Nita tidak kikuk dan murah senyum. Dia memasangkan kemeja berwarna putih ke tubuh Niko. “ini cocok sekali untuk Bapak. Cocok dipakai untuk acara apapun.”Alis Tessa semakin berkerut saat mendengar ini, “Jadi?”Nita menoleh pada Tessa dengan murah senyum, “Mbak silahkan lihat-lihat dulu nggak apa-apa. Kalau bingung milihnya, jangan sungkan minta bantuanku.”Tessa seketika menghembus napas panjang, rupanya dia telah salah paham. Tapi senyum di bibirnya
Niko sengaja ingin mempermalukan Tessa di hadapan umum untuk memberikan efek jera.“Aku sudah beristri. Jangan menggodaku! Mungkin di luar sana ada lelaki hidung belang yang mau menerima jasamu,” seru Niko.Mata Tessa membulat dan mulutnya menganga lebar. Rasa kesal, marah, dan malu bercampur jadi satu. Orang-orang semakin banyak memperhatikannya.Tessa menatap Niko dengan mata tajamnya. Bibir tebalnya bergerak pelan, seperti akan mengatakan sesuatu.Saat ini, terdengar sorakan dari pengunjung untuk Tessa. Para wanita bahkan mulai melemparkan kalimat hinaan.“Wanita nggak tahu malu! Bisa-bisanya dia menjajakan diri di tempat umum.”“Percuma cantik sih kalau milih jadi pelacur. Jadi cewek kok murahan banget. Itunya pasti sudah disodok ribuan batang.”“Awas ibu-ibu. Jauhkan suaminya dari wanita penggoda. Ini nih yang suka merusak rumah tangga orang.”Rahang Tessa mengeras. Giginya bergemelatuk. Wajahnya menegang, tatapannya menyiratkan amarahnya.“Sembarangan kalian! Aku–” Baru saja di
“Es krim-nya enak?” tanya Niko.“Enak.” Echa mendekatkan tubuhnya di telinga Niko. “tapi enakan punyamu.”Niko menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. Dia merasa darah di sekejur tubuhnya menderu-deru.Echa terkekeh pelan melihat ekspresi Niko ini.Niko pun membisikkan sesuatu di telinga Echa, “Kita makan dulu, abis itu kita bertempur di rumah.” Dengan malu-malu istrinya menganggukkan kepala. Mereka pun menuju salah satu tempat makan yang ada di lantai itu juga.Saat mereka makan bersama, mereka saling bertatapan mesra hingga seseorang menepuk pelan pundak Echa dari arah belakang.“Echa?” sapa seorang wanita.“Susi?” sapa Echa. Dia tampak senang bertemu temannya itu. “sudah lama aku nggak bertemu denganmu. Kapan balik dari Amerika?”“Aku baru balik seminggu yang lalu. Sekalian mau tetap tinggal di sini,” jawab Susi sambil menarik kursi di sebelah Echa, kemudian dia menatap pada Niko yang duduk di depan. “Kamu Niko, ‘kan?”Niko hanya mengangguk.“Iya
Melihat Mamanya menatap Niko dengan senyuman penuh arti, Echa pun memperingatkan, “Jangan nyeleneh, Ma. Nggak usah nyuruh Mas Niko yang aneh-aneh lagi.”“Apasih, Echa. Kamu itu loh kalau ke Mama kok pikirannya negatif melulu,” sanggah Hesti. “heran Mama. Apa jangan-jangan otakmu–” “Udah, Ma,” potong Echa. “ada keperluan apa Mama datang ke sini?”“Kamu nggak mau mempersilahkan Mama masuk dulu?” tanya Hesti–kesal. “capek loh Mama nungguin dari tadi.”Echa menarik napasnya dalam-dalam, “Mama jawab dulu keperluan Mama.”“Mama ke sini mau minta uang. Uang Mama sudah habis,” keluh Hesti.Echa mengambil uang dari dalam dompetnya, “Ini, Ma.” dia menyodorkan 3 lembar 50 ribu-an.“150 ribu? Uang apaan ini. Masak cuma ngasih segini doang. Dibelikan jajan nggak cukup ini.” Hesti jelas menolak pemberian Echa yang terlalu sedikit.Echa tidak kaget. “Uang Echa tinggal 200 ribu, Ma. Echa cuma ngambil 50-nya,” ucap Echa.“Kamu kok pelit banget sih sama Mama sendiri. Kebangetan sih kamu, Echa. Minima
Lagi, terdengar suara ketukan pintu. Echa meremas-remas tangannya–emosi. Kali ini dia enggan membukakan pintu.“Echa!” teriak Hesti dari luar. “katanya suamimu punya 300 ribu. Di transfer ya ke rekening Mama. Malam ini juga.”Echa tak menjawab. Dia hanya menahan kesedihan dalam hati.“Mama pulang. Awas loh, beneran ditransfer.”Echa berhambur ke pelukan Niko. Dia memeluk suaminya dengan erat.“Aku nggak habis pikir dengan Mama. Kenapa dia sangat membencimu, Mas?” Echa berusaha menahan tangisnya.Niko merengkuh tubuh istrinya. Dia mengelus punggungnya dengan lembut, “Tidak usah dipikirkan. Aku biasa aja.”Tak ingin istrinya berlarut-larut memikirkan ini, Niko membisikkan sesuatu, “Katanya mau bertempur?”Perlahan senyuman merekah terbit di bibir Echa, “Mau bertempur pakai strategi apa?”“Pakai semua strategi yang ada,” jawab Niko, dan keduanya saling melemparkan senyuman menggoda.***Pagi hari yang cerah, tapi suasananya tidak secerah harinya. Bagaimana tidak, Hesti kembali datang men
“Niko, mana minumannya?! Si lelet ini, bisa kerja gak, sih? ” Lengkingan suara sang Nyonya seketika memenuhi rumah, membuat pria 20 tahunan itu berjalan cepat menuju ruang tamu sambil membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya.Selalu seperti ini, Hesti akan memarahinya tanpa ampun jika tidak sesuai keinginan wanita itu. Padahal, Niko awalnya melamar menjadi sopir di rumah ini untuk membiayai kuliahnya sendiri di kampus yang kebetulan sama dengan Echa–anak Nyonya Hesti. Tapi, perlahan jobdesknya justru terus bertambah akibat sang Nyonya. “Maaf, barusan aku masih meracik minuman, Nyonya,” ucap Niko sembari memindahkan gelas ke atas meja untuk nyonya rumah dan kedua temannya yang baru saja pulang dari acara arisan Ibu-ibu sosialita itu. “Ck! Mau kupecat kamu?”“Udahlah, Hes. Kamu hebat loh bisa menemukan pembantu multitalenta kayak dia!” Salah satu teman sosialita Hesti berbicara. “Penurut kayak seekor anjing,” sambung yang lain dengan nada sarkas. “padahal dia ganteng sih. Tubuh
Pikiran Niko seketika kosong. Dengan gagap dia menjawab, “Ka-kakek-ku? A-abraham?”“Benar.” Danish mengangguk. “Kakek Pak Niko adalah pengusaha dan tokoh bisnis yang sangat disegani di seluruh dunia. Beliau adalah pendiri Bakhi Group, yang memiliki nilai pasar terbesar di dunia. Semua aset yang dimiliki Pak Abraham, termasuk yang ada di Indonesia sekarang adalah milik Pak Niko. Anda bisa mengambil alih posisi Kakek anda kapan pun anda mau.”Niko tersentak. Dia membayangkan warisan yang akan dia terima. Namun, dia tersadar dan menggelengkan kepala.“Tidak, aku tidak mau!” Niko menjawab tanpa keraguan.“Kenapa?” tanya Danish.“Waktu orang tuaku meninggal, dia tidak merawatku. Dia malah membuangku. Dan sekarang kamu memberitahuku kalau dia kakekku? Lucu! Lucu sekali!” Danish sudah menyangka Niko akan menolak tawaran itu.“Pak Abraham tidak membuang anda. Beliau dulu sengaja mengirim anda ke salah satu asrama putra di kota ini agar anda selamat dari marabahaya,” jelas Danish.Kening Nik