“Es krim-nya enak?” tanya Niko.“Enak.” Echa mendekatkan tubuhnya di telinga Niko. “tapi enakan punyamu.”Niko menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. Dia merasa darah di sekejur tubuhnya menderu-deru.Echa terkekeh pelan melihat ekspresi Niko ini.Niko pun membisikkan sesuatu di telinga Echa, “Kita makan dulu, abis itu kita bertempur di rumah.” Dengan malu-malu istrinya menganggukkan kepala. Mereka pun menuju salah satu tempat makan yang ada di lantai itu juga.Saat mereka makan bersama, mereka saling bertatapan mesra hingga seseorang menepuk pelan pundak Echa dari arah belakang.“Echa?” sapa seorang wanita.“Susi?” sapa Echa. Dia tampak senang bertemu temannya itu. “sudah lama aku nggak bertemu denganmu. Kapan balik dari Amerika?”“Aku baru balik seminggu yang lalu. Sekalian mau tetap tinggal di sini,” jawab Susi sambil menarik kursi di sebelah Echa, kemudian dia menatap pada Niko yang duduk di depan. “Kamu Niko, ‘kan?”Niko hanya mengangguk.“Iya
Melihat Mamanya menatap Niko dengan senyuman penuh arti, Echa pun memperingatkan, “Jangan nyeleneh, Ma. Nggak usah nyuruh Mas Niko yang aneh-aneh lagi.”“Apasih, Echa. Kamu itu loh kalau ke Mama kok pikirannya negatif melulu,” sanggah Hesti. “heran Mama. Apa jangan-jangan otakmu–” “Udah, Ma,” potong Echa. “ada keperluan apa Mama datang ke sini?”“Kamu nggak mau mempersilahkan Mama masuk dulu?” tanya Hesti–kesal. “capek loh Mama nungguin dari tadi.”Echa menarik napasnya dalam-dalam, “Mama jawab dulu keperluan Mama.”“Mama ke sini mau minta uang. Uang Mama sudah habis,” keluh Hesti.Echa mengambil uang dari dalam dompetnya, “Ini, Ma.” dia menyodorkan 3 lembar 50 ribu-an.“150 ribu? Uang apaan ini. Masak cuma ngasih segini doang. Dibelikan jajan nggak cukup ini.” Hesti jelas menolak pemberian Echa yang terlalu sedikit.Echa tidak kaget. “Uang Echa tinggal 200 ribu, Ma. Echa cuma ngambil 50-nya,” ucap Echa.“Kamu kok pelit banget sih sama Mama sendiri. Kebangetan sih kamu, Echa. Minima
Lagi, terdengar suara ketukan pintu. Echa meremas-remas tangannya–emosi. Kali ini dia enggan membukakan pintu.“Echa!” teriak Hesti dari luar. “katanya suamimu punya 300 ribu. Di transfer ya ke rekening Mama. Malam ini juga.”Echa tak menjawab. Dia hanya menahan kesedihan dalam hati.“Mama pulang. Awas loh, beneran ditransfer.”Echa berhambur ke pelukan Niko. Dia memeluk suaminya dengan erat.“Aku nggak habis pikir dengan Mama. Kenapa dia sangat membencimu, Mas?” Echa berusaha menahan tangisnya.Niko merengkuh tubuh istrinya. Dia mengelus punggungnya dengan lembut, “Tidak usah dipikirkan. Aku biasa aja.”Tak ingin istrinya berlarut-larut memikirkan ini, Niko membisikkan sesuatu, “Katanya mau bertempur?”Perlahan senyuman merekah terbit di bibir Echa, “Mau bertempur pakai strategi apa?”“Pakai semua strategi yang ada,” jawab Niko, dan keduanya saling melemparkan senyuman menggoda.***Pagi hari yang cerah, tapi suasananya tidak secerah harinya. Bagaimana tidak, Hesti kembali datang men
“Niko, mana minumannya?! Si lelet ini, bisa kerja gak, sih? ” Lengkingan suara sang Nyonya seketika memenuhi rumah, membuat pria 20 tahunan itu berjalan cepat menuju ruang tamu sambil membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya.Selalu seperti ini, Hesti akan memarahinya tanpa ampun jika tidak sesuai keinginan wanita itu. Padahal, Niko awalnya melamar menjadi sopir di rumah ini untuk membiayai kuliahnya sendiri di kampus yang kebetulan sama dengan Echa–anak Nyonya Hesti. Tapi, perlahan jobdesknya justru terus bertambah akibat sang Nyonya. “Maaf, barusan aku masih meracik minuman, Nyonya,” ucap Niko sembari memindahkan gelas ke atas meja untuk nyonya rumah dan kedua temannya yang baru saja pulang dari acara arisan Ibu-ibu sosialita itu. “Ck! Mau kupecat kamu?”“Udahlah, Hes. Kamu hebat loh bisa menemukan pembantu multitalenta kayak dia!” Salah satu teman sosialita Hesti berbicara. “Penurut kayak seekor anjing,” sambung yang lain dengan nada sarkas. “padahal dia ganteng sih. Tubuh
Pikiran Niko seketika kosong. Dengan gagap dia menjawab, “Ka-kakek-ku? A-abraham?”“Benar.” Danish mengangguk. “Kakek Pak Niko adalah pengusaha dan tokoh bisnis yang sangat disegani di seluruh dunia. Beliau adalah pendiri Bakhi Group, yang memiliki nilai pasar terbesar di dunia. Semua aset yang dimiliki Pak Abraham, termasuk yang ada di Indonesia sekarang adalah milik Pak Niko. Anda bisa mengambil alih posisi Kakek anda kapan pun anda mau.”Niko tersentak. Dia membayangkan warisan yang akan dia terima. Namun, dia tersadar dan menggelengkan kepala.“Tidak, aku tidak mau!” Niko menjawab tanpa keraguan.“Kenapa?” tanya Danish.“Waktu orang tuaku meninggal, dia tidak merawatku. Dia malah membuangku. Dan sekarang kamu memberitahuku kalau dia kakekku? Lucu! Lucu sekali!” Danish sudah menyangka Niko akan menolak tawaran itu.“Pak Abraham tidak membuang anda. Beliau dulu sengaja mengirim anda ke salah satu asrama putra di kota ini agar anda selamat dari marabahaya,” jelas Danish.Kening Nik
“Mulai detik ini kamu aku pecat!” teriak Echa begitu lantang. Karena masalah yang menimpa keluarganya, untuk pertama kalinya Echa tidak bisa berpikir jernih. Niko jelas merasa heran melihat Echa tidak seperti biasanya, “Maaf, Nona. Apakah Nona tersinggung dengan perkataanku barusan? Sungguh, aku tulus ingin membantu Nona.” “Diam kamu, Niko! Kamu mau menertawakan keterpurukan keluargaku, ‘kan?!” Echa benar-benar tidak terkendali. “Di mana hatimu? Tiga tahun kamu hidup dari belas kasih keluargaku. Dan ini balasanmu? Oh aku tahu … kamu sengaja cari gara-gara biar aku memecatmu? Kamu pikir aku sudah nggak mampu lagi membayar gajimu? Gitu, ‘kan?!” Niko menggelengkan kepala. Rupanya wanita itu telah salah paham. “Tidak, Nona. Aku–” sayangnya saat Niko ingin menjelaskan, wanita itu kembali berteriak penuh amarah. “Turun, kamu! Aku nggak sudi melihatmu lagi!” “Nona–” Niko benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bersuara. Terlebih lagi Echa semakin tak terkendali dalam berucap, “Kamu
“Aku akan menikah dengan pembantuku, Niko Pram.”Usai menyetujui penawaran itu, Echa langsung melangkah pergi tanpa pamitan. Hatinya benar-benar hancur, merasa hidupnya sudah berakhir. Dia terpaksa mengorbankan masa depannya demi menyelamatkan nyawa Papanya.Sarah dan Tessa tersenyum penuh kemenangan. “Dengan begini, keluarga mereka tidak akan pernah bangkit meski Om Fikram pulih.”Tampak sekali, keduanya tidak sabar ingin menyaksikan penderitaan Echa dan keluarganya di hari-hari berikutnya.Sementara itu, di tempat lain, Niko sedang berdiri di dekat tembok dan menatap nyalang pada teman-temannya yang menertawakan dirinya. Fenomena ini sudah tak asing baginya. Selama 4 tahun kuliah, cibiran dan hinaan sudah biasa dia dapatkan.“Dasar anak yatim! Aku masih heran, kenapa kamu bisa sampai lulus dari kampus elit ini, padahal kamu cuma pembantu rumah tangga.” Aldi menatap Niko dengan pandangan mengejek.“Mungkin dia ada pekerjaan sampingan jadi gigolo,” sahut Dito yang disambut tawa keras
“Dasar bego! Kamu tuh harusnya bersyukur. Tinggal cium sepatunya Aldi, masa depanmu bakalan lebih baik.” Seorang wanita tiba-tiba menimpali, “4 juta loh, jauh lebih besar dibandingkan ngebabu di keluarganya kak Echa.” Niko menatap nyalang pada teman-temannya, “Masa depan tidak ada yang tahu. Jangan suka menghina orang lain, mungkin saja orang yang kalian hina masa depannya jauh lebih baik dari kalian!” Ucapan Niko malah disambut tawa keras dengan tatapan menghina dari teman-temannya. “Memotivasi diri sendiri itu penting, tapi sadar diri itu jauh lebih penting,” ucap Aldi penuh ejekan. “Atau kemiskinan telah membuatmu jadi punya gejala gangguan jiwa?” Mereka kembali tertawa. Sayangnya, mereka salah besar mengira Niko kali ini diam saja. Mood-nya sudah buruk akibat pertengkarannya dengan Echa tadi. Belum lagi, wanita tadi membawa-bawa keluarga wanita itu. “Apa kalian tidak bosan melakukan hal ini kepadaku?” “Bosan? Tidak ada kata bosan untuk membully makhluk sampah sepertimu.”