KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG
BAB 1"Mas Fadli, sudah mau berangkat kerja?"Suamiku yang baru pulang dari menyadap karet di kebun Pak Rt, menyapa suami dari kakak pertamaku dengan ramah.Mas Fadli yang sudah memakai sepatu kerjanya berdiri seraya mengangkat dagunya memperlihatkan gaya sombong dan angkuh."Kamu tidak lihat? Belum buta 'kan?" Suami kakakku itu berkata dengan tatapan mengejek sambil berjalan ke arah motornya."Lagian tidak perlu tanya-tanya! Sudah tahu Fadli itu setiap hari Senin sampai Sabtu kerja, bukan seperti kamu yang setiap malam kerja tapi tidak ada hasilnya sama sekali!" Alih-alih ibuku menimpal dengan ketus dari dalam rumah.Sedetik kemudian Ibu sudah keluar dari dalam rumah, aku yang sedang menyiram bunga langsung menghentikan aktivitas."Iya, mending pulang dari nyadap langsung mandi, biar tidak merusak bau parfum suamiku yang mahal itu! Kerja bagai kuda hasilnya tidak ada!" ejek Mbak Gina dengan tersenyum miring."Apa kalian lupa? Siapa yang membeli beras dan kebutuhan dapur untuk mengisi perut kalian?" Aku melemparkan pertanyaan setelah Mbak Gina menyelesaikan ejekkannya pada suamiku, Mas Ilham."Alah! Mau hitung-hitungan segala, resiko menumpang ya gitu, sadar diri dong, wajar kalian mengeluarkan sedikit biaya karena kalian hanya numpang di rumah ini!""Terus? Mbak Gina pemilik rumah ini, gitu? Sekarang aku tanya, Mbak mengeluarkan apa saja sejak tinggal di rumah Ibu?" ucapku, Mbak Gina tampak memutar bola mata ke sana ke mari seperti mencari jawaban."Anggita! Jaga ucapanmu ketika berbicara dengan kakakmu, apa kamu sudah kehilangan sopan santun setelah menikah dengan Ilham!?""Kenapa Ibu hanya menyuruh aku yang-""Sayang, sudah, tidak baik pagi-pagi berantem hanya karena masalah sepele, didengar tetangga malu, ayo." Mas Ilham menarik lenganku untuk masuk.Suamiku bekerja menyadap karet dan kerja sampingan lainnya, seperti membersihkan kebun milik orang, yang upahnya dibayar perhari."Aku berangkat kerja dulu, pulangnya agak telat sedikit, karena hari ini ada meeting di kantor, biasalah, orang kantoran ya begini, beda sama yang kerja serabutan!" Terdengar suara Mas Fadli pamit dan mengolok-olok pekerjaan suamiku."Pulang telat agak lamaan juga tidak apa-apa, Mas. Bulan depan 'kan, kita mau beliin Ibu sofa baru, jadi kerja yang semangat," ucap Mbak Gina."Untung ada kalian, kalau tidak, entah kapan sofa butut itu berganti dengan yang baru, kamu tahu sendiri 'kan? Suaminya Anggita itu sama sekali tidak bisa diharapkan!" Ibu berkata dengan volume suara yang besar. Aku hanya menghela nafas panjang mendengarnya.Apa Ibu tidak ingat siapa yang merawatnya saat dia sakit? Siapa yang sudah susah payah ke sana ke mari mencari uang untuk biaya pengobatannya dulu?"Sabar," ucap Mas Ilham sambil mengusap punggung tanganku. Kami berdua berada di meja makan, makanya kami ikut mendengar pembicaraan mereka di teras."Pulang-pulang langsung makan. Makan terus kerjaanmu, Ilham! Lihat Fadli, pagi-pagi sudah pergi ke kantor karena berniat mau membelikan mertuanya sofa baru!" Ibuku menatap tajam ke arah Mas Ilham yang tengah mengunyah makanan."Syukurlah kalau begitu, Bu. Ilham senang mendengarnya." Mas Ilham berucap sambil mendorong piring sarapan nasi goreng yang ada dihadapannya. Aku tahu, dia tidak berselera untuk melanjutkan sarapannya lagi."Senang terus ucapanmu, sekali-kali dicontohi si Fadli itu, beliin kulkas kek atau apa gitu, sesekali nyenangin mertua kek!" sungut Ibu sambil menyendokkan nasi goreng ke dalam piringnya.'Apa ibu tidak sadar dalam berkata? Nasi dan apa yang ada diatas meja ini, hasil dari keringat suamiku yang menyadap karet ditengah malam buta.' batinku, aku hanya bisa menjawab di dalam hati, rasanya tidak tahan lagi untuk sabar dengan perkataan ibuku yang menyakiti hati suamiku.Kupandangi suamiku yang hanya tersenyum menanggapi omelan ibuku."Ha-ha, Ibu ini ada-ada saja, minimal mikir dulu sebelum berbicara, mana mungkin, Ilham membelikan kulkas untuk Ibu, beli daster yang baru untuk Anggita saja tidak bisa! Ha-ha-ha!""Bisa saja, Mbak. Kalau kami pergi dari rumah ini!""Anggita! Menjawab saja kerjaanmu, apa kamu mau meninggalkan Ibu di sini? Apa kamu mau ingkar janji kepada almarhum bapakmu yang meminta kamu untuk menjaga Ibu? Mau pergi ke mana kamu, hah?" Ibu emosi dengan mata yang melotot tajam menatapku."Sekarang sudah ada Mbak Gina yang menjaga Ibu, untuk apa lagi kami ada di sini? Anggap saja Anggita sudah ingkar janji kepada almarhum bapak," ucapku dengan nada setenang mungkin.Kupandangi Mas Ilham yang hanya menatapku tanpa ekspresi. Kalau dulu aku berbicara ingin pergi dari rumah ini, Mas Ilham pasti akan menggeleng-geleng cepat. Mungkin, suamiku sudah merasa bosan melihat sikap ibuku yang makin hari makin menjadi, semenjak Mbak Gina pindah ke rumah ini karena rumah lamanya sudah dijual untuk membayar hutang. Hutang apa pun aku tidak tahu."Pergi lah! Jangan anggap aku ibumu setelah kakimu keluar dari rumah ini!" sergah ibuku murka.BERSAMBUNG...KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 2"Baiklah, Bu. Aku dan suamiku akan pergi hari ini juga," ucapku sambil berdiri dari duduk. "Anggita, kamu beneran ingin meninggalkan ibumu? Kenapa kamu menjadi anak durhaka sekarang sekarang?" Suara Ibu seketika melunak saat aku sama sekali tidak keberatan untuk pergi dari rumah dan tidak menganggapnya Ibu sesuai ucapannya tadi."Kamu sudah gi-la, Anggita? Kamu rela meninggalkan Ibu untuk pergi bersama orang lain itu?" Mbak Gina berujar sambil melempar pandangan sinis pada suamiku."Dia suamiku, bukan orang lain. Ayo, Mas, kita berkemas dan pergi dari sini," ucapku dan mengajak Mas Ilham untuk pergi berkemas."Anggita-""Sudah, Bu. Biarkan saja Anggita pergi dari sini, kita lihat saja nanti, dia dan suaminya itu pasti akan kembali ke sini lagi, karena Gina pernah melihat rumahnya yang lama sudah hampir roboh!" ucap Mbak Gina saat Ibu ingin mencegahku melangkah."Pergi lah sekarang, dan jangan kembali lagi!" usir Mbak Gina yang menatapku taj
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 3Kami sudah sampai setelah setengah jam perjalanan dari rumah ibuku. Lokasinya tidak begitu jauh."Sabar, ya? Walau bagaimana pun Ibu, dia tetap ibu kita," ucap Mas Ilham sembari memarkirkan motor di samping rumah.Rumah sederhana yang hanya memiliki satu kamar, sudah dua tahun kami meninggalkan rumah ini demi menjaga ibuku di rumahnya.Rumah panggung ini terbuat dari papan, dinding papan dan lantainya juga dari papan. Atap daunnya sudah banyak yang bocor karena sudah lama tidak diganti.Kupandangi halaman rumah yang sudah ditumbuhi rumput ilalang setinggi lutut, yang tampak bergoyang saat angin bertiup pelan.Tanah ini adalah tanah Mas Ilham yang dibeli sebelum menikah denganku. Setelah menikah denganku, kami membangun rumah sederhana.Kami menikah tanpa dihadiri keluarga suamiku. Karena orang tuanya tidak menyetujui pernikahan kami, alasannya karena aku anak bungsu dan Mas Ilham juga anak bungsu.Kata suamiku, ibunya percaya dengan mitos-mi
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 4"Pak Udin, apa benar ini rumahnya? Kita salah alamat kali, masa adikku tinggal di rumah yang mirip kandang kambing begini?" Deg!Jantungku berdetak lebih cepat saat mendengar ucapan seorang wanita yang berdiri di samping wanita paruh baya itu. Mungkin, wanita paruh baya itu adalah ibunya."Menurut informasi dari penjual sayur tadi, inilah rumahnya," sahut Pak supir itu."Ya ampun, mirip kandang kambing, kok bisa adikku tinggal di tempat seperti ini? Mana banyak kotoran kambing lagi tuh! Pasti adikku tidur dengan kambing juga, menyesal sekali aku ikut Ibu ke sini!" Wanita yang satunya lagi ikut mengomentari rumah ini dengan mengomel tiada henti."Kalian ini, jaga ucapan kalian, kalau pemilik rumah ini dengar gimana?" Satu wanita yang berjilbab coklat itu menegur."Biarin, emang kenyataannya begini kok, mirip kandang kambing di tempat nenek kita di kampung. Mana bisa di sebut rumah."Lancar sekali muncungnya mengatakan bahwa rumahku mirip kan
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 5"Kamu kalau mau pergi, pergi saja, tapi jangan membawa beras Ibu, kembalikan berasnya!" hardik ibuku saat aku sudah berdiri di hadapannya.Aku menoleh ke belakang dan melihat Ibu mertua dan ketiga kakak iparku yang melihat ke arahku dan Ibu.Aku tidak tahu apa tanggapan mereka sekarang terhadap ibuku? Ibu datang di saat tidak tepat kalau hanya untuk membahas soal beras.Salahku juga, kenapa aku membawa beras itu. Walau beras itu adalah milik kami sendiri."Bu, tolong jangan sekarang, ada Ibu mertua dan kakak iparku, aku mohon, Bu. Jangan mempermalukan-""Oh, ternyata ada Ibu mertuamu? Setelah beberapa tahun kamu menikah dengan anaknya yang mis-kin itu, dan baru sekarang dia datang. Pantasan saja kamu mencuri beras di rumah Ibu, ternyata mau menjamu keluarga suamimu itu untuk makan!" sela Ibu membuatku semakin malu."Bu, tolong jangan berbicara seperti itu, Tolong lah, Bu. Ayo, masuk dan berkenalan lah dengan Ibu mertuaku," pintaku memohon
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 6"Lho, memangnya ngapain nelpon Pak Udin?" "Ibu mau pulang! Nah, itu Pak Udin. Titin, Irna, Linda, kita pulang sekarang!" panggil ibu mertua tegas memanggil ke tiga kakaknya Mas Ilham.Mobil sedan yang dikendarai Pak Udin berhenti di depan rumah. Entah ke mana Pak Udin pergi? Kalau Pak Udin berada di sini saat ibuku datang, pasti ibuku akan bersikap baik kepada ibu mertuaku.Seperti ibu mertuanya Bang Usman. Saat datang menggunakan mobil, ibuku langsung menyambutnya dengan senyum hangat. Karena bagi ibuku, yang mempunyai mobil sudah pasti orang kaya dan bertahta."Kita pulang?" tanya Kak Irna."Iya, lebih baik pulang, tiba-tiba Ibu merasa gerah!" jawab ibu mertua ketus."Syukurlah! Tidak jadi menginap, ayo, aku sudah kepanasan berada di rumah ini. Ilham, kamu tidak pulang?" Kak Titin bertanya."Duluan, kapan-kapan aku akan menyusul membawa istri dan anakku," jawab Mas Ilham dengan tersenyum manis melihat kakaknya itu."Betah amat hidup di si
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 7PoV Author."Gina, ini sudah tanggal tujuh, kenapa adikmu belum mengantarkan uang kiriman dari Arini dan Usman?" Bu Dira menghampiri Gina di teras.Gina yang sedang menggunting kukunya pun menyahut. "Wah, benar juga ya, jangan-jangan Anggita sudah membelanjakan uang kiriman itu, ini 'kan musim hujan, Bu. Si Ilham pasti tidak bisa bekerja. Kita ke rumah mereka saja, Bu." "Tapi, tunggu dulu, Ibu mau telpon Usman dan Arini, mereka berdua sudah mengirimnya atau belum." Bu Dira ingin melangkah masuk untuk mengambil ponselnya."Kelamaan, Bu. Uangnya pasti sudah dikirim dari kemarin, ayo, kita pergi sekarang ke rumah Anggita," ucap Gina, dan beranjak dari kursi untuk mengambil kunci motornya yang ada di dalam kamar."Bu Dira," panggil Bu Tijah."Bu Tijah, aduh, kok sudah datang sepagi ini? Ada apa?" Bu Dira mendadak terlihat panik, saat melihat Bu Tijah, Bu Tijah adalah orang yang ingin menagih hutangnya, Bu Dira memasang sendal menuju ke arah Bu
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG BAB 8Jangan menuduh yang bukan-bukan, Mbak. Sepersen pun, kami tidak pernah memakan uang kiriman-""Diam! Kamu jangan ikut campur, Ilham!" bentak ibuku pada Mas Ilham."Bicaramu sok sekali!" timpal Mbak Gina ketus, dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Dengan sekali sentakan keras, kantong berisi mie ayam yang kupegang sudah berpindah ke tangan Mbak Gina."Lihat ini, Bu. Anggita semakin berani saja! Dia sudah membelanjakan uang kiriman untuk Ibu, dengan membeli makanan kesukaan mereka!" tuduh Mbak Gina, sambil memperlihatkan isi kantong kepada Ibu."Itu dibeli memakai uang kami, Bu. Jangan mendengar tuduhan yang Mbak Gina buat." Aku menghela nafas berat, saat ibuku hanya berdecak menatapku sekilas.Ucapanku selalu saja salah dan tidak benar. Ibu pasti sudah sangat percaya dengan apa yang dituduhkan Mbak Gina.Ibu mengambil kantong di tangan Mbak Gina dan melambungkan kantong itu ke halaman, kantong berisi mie ayam itu pecah setelah menyentuh t
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 9Sesampainya di depan rumah Ibu, aku dibuat bingung dengan kehadiran Imron, dia tampak sedang asik mengobrol hangat dengan Bang Usman di teras."Ilham, kenapa lama sekali datangnya?" tanya Bang Usman, setelah aku turun dan suamiku memarkirkan motornya."Iya, Bang, tadi saya-""Menjual hasil karet, makanya lama," potong Imron sebelum suamiku selesai berbicara.Imron tersenyum miring seakan-akan dia sedang mengejek suamiku."Yah, kerjaanmu itu-itu terus, kapan suksesnya kalau begitu terus?" ucap Bang Usman terdengar meremehkan.Perasaanku menjadi tidak enak mendengarnya."Anggita, lihat dia, dulu dia sangat cantik, setelah menikah, kenapa menjadi kurus dan kusam seperti itu? Sudah jelas kalau Ilham tidak becus menjadi suami, Anggita pasti tidak bahagia menikah dengannya." Alih-alih Imron menatapku dan menilai penampilanku. "Coba dulu Anggita menikah denganku, pasti penampilannya tidak semiris sekarang!" lanjut Imron."Ngapain kamu di sini, Imro