KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG
BAB 2"Baiklah, Bu. Aku dan suamiku akan pergi hari ini juga," ucapku sambil berdiri dari duduk."Anggita, kamu beneran ingin meninggalkan ibumu? Kenapa kamu menjadi anak durhaka sekarang sekarang?" Suara Ibu seketika melunak saat aku sama sekali tidak keberatan untuk pergi dari rumah dan tidak menganggapnya Ibu sesuai ucapannya tadi."Kamu sudah gi-la, Anggita? Kamu rela meninggalkan Ibu untuk pergi bersama orang lain itu?" Mbak Gina berujar sambil melempar pandangan sinis pada suamiku."Dia suamiku, bukan orang lain. Ayo, Mas, kita berkemas dan pergi dari sini," ucapku dan mengajak Mas Ilham untuk pergi berkemas."Anggita-""Sudah, Bu. Biarkan saja Anggita pergi dari sini, kita lihat saja nanti, dia dan suaminya itu pasti akan kembali ke sini lagi, karena Gina pernah melihat rumahnya yang lama sudah hampir roboh!" ucap Mbak Gina saat Ibu ingin mencegahku melangkah."Pergi lah sekarang, dan jangan kembali lagi!" usir Mbak Gina yang menatapku tajam."Tapi, Gina-""Tidak ada tapi-tapian, Bu. Mulai sekarang, aku yang akan menjaga Ibu di sini, biarkan Anggita pergi dari rumah ini, dengan begitu beban di rumah ini akan berkurang!" potong Mbak Gina. Padahal, dia yang menjadi beban kami selama dia tinggal di sini.Aku tahu kekhawatiran ibuku saat ini, kalau aku dan Mas Ilham pergi dari sini, siapa yang akan membeli kebutuhan rumah? Selama ini, Mbak Gina tidak pernah membantu dalam hal apa pun, dengan alasan uangnya habis untuk bayar membayar cicilan motor dan bayar hutang.Aku mempunyai empat saudara. Satu laki-laki dan tiga perempuan. Aku anak paling bungsu. Masing-masing sudah menikah dan dua saudaraku tinggal di rumah masing-masing yang berada di kota.Mereka sama sekali tidak pernah mau tahu dengan keadaan ibu, saat ibu sedang sakit sekali pun.Mereka hanya mengirimkan uang dua ratus ribu setiap awal bulan dan Ibu selalu membanggakan uang yang dikirim mereka padaku, tanpa memikirkan perasaanku mau pun perasaan Mas Ilham yang sudah banyak berkorban untuknya.Kalau dipikir-pikir, uang kiriman dari Kak Arini dan Bang Usman sama sekali tidak sebanding dengan pengeluaran kami selama di rumah ibuku. Semua hasil dari menyadap karet dan kerja harian suamiku yang lainnya, semuanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan dapur.Bukan meminta untuk dibanggakan atau meminta untuk dipuji, setidaknya, sedikit saja Ibu menghargai suamiku.Benar kata pepatah, jauh bau wangi dan dekat bau busuk._____"Pikirkan lagi bila mau pergi dari sini, Anggita. Ibu tidak akan melarangmu untuk tinggal di sini lagi," ucap Ibu yang menghampiriku di teras, aku menunggu Mas Ilham kembali dari mengantar barang-barang kami ke rumah lama kami.Dua tahun yang lalu. Kami pindah ke rumah Ibu karena kasihan melihatnya tinggal sendirian di rumah.Sekarang sudah ada Mbak Gina, jadi tidak perlu merasa kasihan kepada Ibu yang sudah banyak menyakiti hati dan perasaan kami."Anggita, Ibu berbicara padamu, apa kamu tidak dengar?" ucap Ibu lagi saat aku tidak menanggapi ucapannya."Anggita dengar, Bu." Aku menarik napas dalam-dalam."Jadi, apa kamu tetap mau pergi juga?""Iya, untuk apa kami berada di sini kalau hanya untuk dijadikan bahan ejekan? Kami punya hati dan perasaan, Bu. Bukan hati batu yang tidak punya perasaan bila mendengar ucapa Ibu yang selalu mengejek perkerjaan suamiku," paparku sambil menahan diri untuk tidak meninggikan suara dihadapan orang yang sudah melahirkanku."Makanya, dari awal jangan mau menikah dengan Ilham, Ilham itu tidak jelas asal usulnya! Sudah berapa tahun kamu menikah dengannya? Sudah hampir empat tahun kamu menikah dan belum memiliki apa-apa! Jangankan set perhiasan, anting-anting saja kamu tidak punya! Apa yang kamu harapkan dari dia? Rumah dan tanahnya yang tidak seberapa itu?""Apa Mbak Gina mempunyai rumah atau tanah sekarang? Mbak Gina sudah lebih sepuluh tahun menikah, malahan rumahnya di jual dan tinggal bersama Ibu di sini, lalu? Kenapa Ibu terus saja membanggakan suaminya? Bahkan suamiku lebih baik dari suami Mbak Guna. Walau tanah rumahnya tidak besar, tapi itu sudah cukup membuat kami bahagia dengan kesederhanaan," ucapku tanpa melihat mata Ibu."Walau mereka tidak mempunyai rumah sekarang, setidaknya Mbak Gina kamu masih bisa memberikan Ibu uang pegangan, dan suaminya bekerja kantoran yang membuat Ibu dibangga-banggakan oleh para tetangga. Coba kamu pikir sekarang, apa selama ini kamu pernah memberi Ibu uang untuk pegangan? Sama sekali tidak pernah 'kan? Itu karena Ilham kerjanya seperti itu, para tetangga selalu mengeluh bau busuk setiap kali Ilham menjual hasil karetnya yang uangnya tidak seberapa itu! Kamu bilang bahagia? Jangan munafik Anggita, jaman sekarang tidak ada orang yang akan bahagia dengan hidup susah, kamu akan menyesal kemudian hari nanti, pegang kata-kata Ibu ini," terang Ibu membuatku menggeleng-gelengkan kepala sembari beristighfar."Insyaallah, Anggita tidak akan pernah menyesal, Bu. Anggita benar-benar bahagia hidup dengan Mas Ilham.""Ck! Apa yang kamu banggakan dari Ilham? Bahkan, telingamu saja tidak memakai perhiasan!" Lagi da lagi, ibuku selalu mempermasalahkan tentang telingakunyang tidak mengenakan perhiasan."Seharusnya Ilham itu pergi merantau jauh seperti anaknya Bu Yuli, yang pulangnya membawa uang banyak dan memberikan mertuanya uang dan disuguhkan makanan yang enak-enak!" omel Ibu sambil berkacak pinggang melihatku yang duduk di kursi."Cukup, Bu. Jangan membandingkan suamiku dengan orang lain. Lagi pula, almarhum bapak yang menikahkan kami, Bu. Pilihan Bapak tidak pernah salah," ucapku dengan nada pelan, sambil beranjak dari kursi karena suara motor suamiku sudah hampir mendekati rumah."Ibu bersumpah! Keluarnya kamu dari rumah ini! Kamu akan merasakan kesulitan dan kesengsaraan seumur hidup! Dengar itu, Anggita!" teriak Ibu sambil mengacungkan jari telunjuknya ke udara.Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering setelah mendengar ucapan Ibu kandungku barusan."Aku harap, Allah tidak mengabulkan sumpah yang Ibu ucapkan itu. Assalamualaikum," ucapku sambil melangkahkan kaki dari hadapan Ibu."Anggita!"BERSAMBUNG...KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 3Kami sudah sampai setelah setengah jam perjalanan dari rumah ibuku. Lokasinya tidak begitu jauh."Sabar, ya? Walau bagaimana pun Ibu, dia tetap ibu kita," ucap Mas Ilham sembari memarkirkan motor di samping rumah.Rumah sederhana yang hanya memiliki satu kamar, sudah dua tahun kami meninggalkan rumah ini demi menjaga ibuku di rumahnya.Rumah panggung ini terbuat dari papan, dinding papan dan lantainya juga dari papan. Atap daunnya sudah banyak yang bocor karena sudah lama tidak diganti.Kupandangi halaman rumah yang sudah ditumbuhi rumput ilalang setinggi lutut, yang tampak bergoyang saat angin bertiup pelan.Tanah ini adalah tanah Mas Ilham yang dibeli sebelum menikah denganku. Setelah menikah denganku, kami membangun rumah sederhana.Kami menikah tanpa dihadiri keluarga suamiku. Karena orang tuanya tidak menyetujui pernikahan kami, alasannya karena aku anak bungsu dan Mas Ilham juga anak bungsu.Kata suamiku, ibunya percaya dengan mitos-mi
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 4"Pak Udin, apa benar ini rumahnya? Kita salah alamat kali, masa adikku tinggal di rumah yang mirip kandang kambing begini?" Deg!Jantungku berdetak lebih cepat saat mendengar ucapan seorang wanita yang berdiri di samping wanita paruh baya itu. Mungkin, wanita paruh baya itu adalah ibunya."Menurut informasi dari penjual sayur tadi, inilah rumahnya," sahut Pak supir itu."Ya ampun, mirip kandang kambing, kok bisa adikku tinggal di tempat seperti ini? Mana banyak kotoran kambing lagi tuh! Pasti adikku tidur dengan kambing juga, menyesal sekali aku ikut Ibu ke sini!" Wanita yang satunya lagi ikut mengomentari rumah ini dengan mengomel tiada henti."Kalian ini, jaga ucapan kalian, kalau pemilik rumah ini dengar gimana?" Satu wanita yang berjilbab coklat itu menegur."Biarin, emang kenyataannya begini kok, mirip kandang kambing di tempat nenek kita di kampung. Mana bisa di sebut rumah."Lancar sekali muncungnya mengatakan bahwa rumahku mirip kan
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 5"Kamu kalau mau pergi, pergi saja, tapi jangan membawa beras Ibu, kembalikan berasnya!" hardik ibuku saat aku sudah berdiri di hadapannya.Aku menoleh ke belakang dan melihat Ibu mertua dan ketiga kakak iparku yang melihat ke arahku dan Ibu.Aku tidak tahu apa tanggapan mereka sekarang terhadap ibuku? Ibu datang di saat tidak tepat kalau hanya untuk membahas soal beras.Salahku juga, kenapa aku membawa beras itu. Walau beras itu adalah milik kami sendiri."Bu, tolong jangan sekarang, ada Ibu mertua dan kakak iparku, aku mohon, Bu. Jangan mempermalukan-""Oh, ternyata ada Ibu mertuamu? Setelah beberapa tahun kamu menikah dengan anaknya yang mis-kin itu, dan baru sekarang dia datang. Pantasan saja kamu mencuri beras di rumah Ibu, ternyata mau menjamu keluarga suamimu itu untuk makan!" sela Ibu membuatku semakin malu."Bu, tolong jangan berbicara seperti itu, Tolong lah, Bu. Ayo, masuk dan berkenalan lah dengan Ibu mertuaku," pintaku memohon
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 6"Lho, memangnya ngapain nelpon Pak Udin?" "Ibu mau pulang! Nah, itu Pak Udin. Titin, Irna, Linda, kita pulang sekarang!" panggil ibu mertua tegas memanggil ke tiga kakaknya Mas Ilham.Mobil sedan yang dikendarai Pak Udin berhenti di depan rumah. Entah ke mana Pak Udin pergi? Kalau Pak Udin berada di sini saat ibuku datang, pasti ibuku akan bersikap baik kepada ibu mertuaku.Seperti ibu mertuanya Bang Usman. Saat datang menggunakan mobil, ibuku langsung menyambutnya dengan senyum hangat. Karena bagi ibuku, yang mempunyai mobil sudah pasti orang kaya dan bertahta."Kita pulang?" tanya Kak Irna."Iya, lebih baik pulang, tiba-tiba Ibu merasa gerah!" jawab ibu mertua ketus."Syukurlah! Tidak jadi menginap, ayo, aku sudah kepanasan berada di rumah ini. Ilham, kamu tidak pulang?" Kak Titin bertanya."Duluan, kapan-kapan aku akan menyusul membawa istri dan anakku," jawab Mas Ilham dengan tersenyum manis melihat kakaknya itu."Betah amat hidup di si
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 7PoV Author."Gina, ini sudah tanggal tujuh, kenapa adikmu belum mengantarkan uang kiriman dari Arini dan Usman?" Bu Dira menghampiri Gina di teras.Gina yang sedang menggunting kukunya pun menyahut. "Wah, benar juga ya, jangan-jangan Anggita sudah membelanjakan uang kiriman itu, ini 'kan musim hujan, Bu. Si Ilham pasti tidak bisa bekerja. Kita ke rumah mereka saja, Bu." "Tapi, tunggu dulu, Ibu mau telpon Usman dan Arini, mereka berdua sudah mengirimnya atau belum." Bu Dira ingin melangkah masuk untuk mengambil ponselnya."Kelamaan, Bu. Uangnya pasti sudah dikirim dari kemarin, ayo, kita pergi sekarang ke rumah Anggita," ucap Gina, dan beranjak dari kursi untuk mengambil kunci motornya yang ada di dalam kamar."Bu Dira," panggil Bu Tijah."Bu Tijah, aduh, kok sudah datang sepagi ini? Ada apa?" Bu Dira mendadak terlihat panik, saat melihat Bu Tijah, Bu Tijah adalah orang yang ingin menagih hutangnya, Bu Dira memasang sendal menuju ke arah Bu
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG BAB 8Jangan menuduh yang bukan-bukan, Mbak. Sepersen pun, kami tidak pernah memakan uang kiriman-""Diam! Kamu jangan ikut campur, Ilham!" bentak ibuku pada Mas Ilham."Bicaramu sok sekali!" timpal Mbak Gina ketus, dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Dengan sekali sentakan keras, kantong berisi mie ayam yang kupegang sudah berpindah ke tangan Mbak Gina."Lihat ini, Bu. Anggita semakin berani saja! Dia sudah membelanjakan uang kiriman untuk Ibu, dengan membeli makanan kesukaan mereka!" tuduh Mbak Gina, sambil memperlihatkan isi kantong kepada Ibu."Itu dibeli memakai uang kami, Bu. Jangan mendengar tuduhan yang Mbak Gina buat." Aku menghela nafas berat, saat ibuku hanya berdecak menatapku sekilas.Ucapanku selalu saja salah dan tidak benar. Ibu pasti sudah sangat percaya dengan apa yang dituduhkan Mbak Gina.Ibu mengambil kantong di tangan Mbak Gina dan melambungkan kantong itu ke halaman, kantong berisi mie ayam itu pecah setelah menyentuh t
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 9Sesampainya di depan rumah Ibu, aku dibuat bingung dengan kehadiran Imron, dia tampak sedang asik mengobrol hangat dengan Bang Usman di teras."Ilham, kenapa lama sekali datangnya?" tanya Bang Usman, setelah aku turun dan suamiku memarkirkan motornya."Iya, Bang, tadi saya-""Menjual hasil karet, makanya lama," potong Imron sebelum suamiku selesai berbicara.Imron tersenyum miring seakan-akan dia sedang mengejek suamiku."Yah, kerjaanmu itu-itu terus, kapan suksesnya kalau begitu terus?" ucap Bang Usman terdengar meremehkan.Perasaanku menjadi tidak enak mendengarnya."Anggita, lihat dia, dulu dia sangat cantik, setelah menikah, kenapa menjadi kurus dan kusam seperti itu? Sudah jelas kalau Ilham tidak becus menjadi suami, Anggita pasti tidak bahagia menikah dengannya." Alih-alih Imron menatapku dan menilai penampilanku. "Coba dulu Anggita menikah denganku, pasti penampilannya tidak semiris sekarang!" lanjut Imron."Ngapain kamu di sini, Imro
KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNGBAB 10PoV Author.Sebelum adzan subuh berkumandang, Ilham sudah bangun dari tidurnya. Ilham tersenyum melihat istrinya yang masih tertidur lelap sambil memeluknya.Pelan Ilham menurunkan tangan Anggita dari dadanya. Dia beranjak turun dari ranjang dan berjalan pelan agar tidak menimbulkan bunyi berdecit dari lantai papan yang diinjaknya.Ilham menuju dapur, mengeluarkan ikan dan ayam dari dalam kulkas, dan merendamnya di dalam baskom berisi air.Kembali Ilham membuka kulkas dan mengambil sayur. Lalu memisahkan cabe dari tangkainya dan mengupas bawang.Anggita tersadar saat tangannya meraba tapi tidak mendapatkan Ilham berada di tempat tidur.Anggita bangkit dari tempat tidur, mengikat rambutnya asal dan melangkah menuju dapur.Suara langkah kaki Anggita di dengar Ilham. 'Pasti suara langkah kakiku tadi, sudah membangunkan bidadariku.' batin Ilham."Mas, kok tidak membangunkan aku?" ucap Anggita sambil melihat Ilham duduk lesehan sambil memotong t