“Betulan hamil?” gumam Rainer.Claire mengangguk dan memberengut secara bersamaan. Ia kesal Rainer malah mengatakan ia hanya bersandiwara. Lelaki itu kini sedang terpaku. Pandangannya turun dari wajah, dada hingga perut Claire yang masih rata.“Kapan?” Rainer bertanya lirih.“Sepertinya hasil dari hubungan kita yang terakhir di penthouse. Sebelum kamu pergi meninggalkanku.”Mata Rainer terpejam seolah membayangkan hari itu. Lalu ia mengangguk dan kembali menatap Claire. Dengan terharu memeluk istrinya dan menciumi wajahnya.“Kita akan punya bayi. Ya Tuhan. Apa kamu merasakan tubuhku gemetaran sekarang?” Bahkan suara Rainer ikut bergetar.Akhirnya Claire tersenyum. Tingkah Rainer yang begitu terharu mengetahui kebenaran itu membuatnya geli sendiri. Mereka terkekeh bersama hingga membuat Brandon, Adam dan Maya menggeleng.“Apa kalian tidak sadar kami masih di sini?” sindir Brandon dengan nada tinggi.Spontan, Rainer dan Claire menoleh. Tangan Claire digenggam Rainer dan mereka kembali m
Rainer menatap anak-anak kecil di hadapannya. Anak perempuan yang memeluk adiknya dan berdiri di samping ranjang hidrolik. Di atas ranjang itu terbaring anak lelaki lain yang tangannya mash diinfus.“Ceritakan tentang keluarga kalian,” pinta Rainer seraya berjongkok dan menyamakan pandangannya dengan Savanah.Savanah terlihat takut. Ia melirik Claire. Kemudian semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Jayden.“Jangan takut, Hanah. Ini Rainer, suami Kakak.” Claire menenangkan Savanah.Rainer sadar ia memulai dengan salah. Lalu, lelaki itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. Savanah menyambut jabatan tangan Rainer dan akhirnya bisa tersenyum.Savanah bercerita tentang keluarganya. Ibu dan bapaknya adalah nelayan. Namun sudah dua tahun, orang tua mereka hilang di tengah lautan saat sedang mencari ikan.Sejak saat itu, Savanah lah yang menjaga kedua adiknya. Dengan segala keterbatasan, ia menghidupi mereka. Taka da raut sedih pada wajah anak perempuan itu.Kehidupan keras telah me
“Kebanyakan makan?” Rainer mengulangi pernyataan dokter saat mengantar Claire ke rumah sakit.“Iya. Tidak ada yang serius. Hanya karena sedang hamil perlu menyesuaikan asupan saja,” balas dokter santai.“Jadi, aku tidak boleh makan banyak?” Claire bertanya dengan wajah bingung.“Boleh. Asal jangan berlebihan. Mungkin, sensor kenyang Nyonya Claire sedang kacau karena hormon hamil. Jadi saat lambung penuh dan terus dimasukin makanan, menyebabkan muntah.”Claire dan Rainer mengangguk mengerti. Dokter hanya menyarankan agar Claire secepatnya memeriksakan kehamilannya pada spesialis kandungan di kota. Saran itu membuat Rainer segera mempersiapkan kepulangan mereka.Sampai di hotel, Claire langsung membuat janji temu dengan dokter ahli kandungan di kota. Sementara Rainer berkemas. Ia juga mengabari Brandon dan kedua orang tuanya.“Dua jam lagi pesawat berangkat, kita pergi sekarang,” titah Rainer pada Claire.“Tapi, aku belum berpamitan pada Mila dan Savanah juga keluarga mereka.”“Aku juga
“Hmm … aku waspada, tetapi karena tidak kram, ya, aku pikir tidak apa-apa,” jelas Claire.“Bilang saja enak. Jadi, kamu tidak menolakku.” Rianer terkekeh saat Claire memukuli lengannya sebagai bentuk jawaban atas candaannya.“Kamu tau apa yang akan aku lakukan jika kamu tidak kembali?” Claire menatap wajah suaminya.“Apa?”Claire berkata ia sudah berencana menelepon Brandon dan memberitahukan kehamilannya. Ia juga akan meminta Daddy-nya merahasiakan berita tersebut. Setelah perut membesar dan tidak dapat lagi disembunyikan, ia akan pergi ke luar negeri dan melahirkan sendiri.Rainer terdiam saat Claire berkata ia akan menyembunyikan fakta bahwa ada bayi hasil dari pernikahan pura-pura mereka. Ia memutuskan begitu, karena tidak ingin rumah tangga Rainer dan Stella kembali terguncang.Bahkan Claire sangat yakin Daddy-nya akan menutup semua akses agar Rainer tidak bisa lagi bertemu Claire dan bayi mereka.“Syukurlah, itu tidak terjadi.” Rainer mengembuskan napas berat dan mencium puncak
“Istriku,” Rainer menjawab santai. Matanya tetap pada Claire yang kini sedang berbincang dengan keluarga.“Kuhajar kau kalau berani berselingkuh!” ancam Brandon dengan nada tegas.Rainer menatap Brandon. Lelaki setengah baya itu berdiri seolah menantangnya bertarung. Rainer menggeleng samar.“Tidak pernah terlintas dalam pikiranku akan berbuat seperti yang Daddy katakan.”“Bagus. Aku akan selalu mengawasimu.” Brandon membuat kode dengan memicingkan matanya.“Iya, Dad. Lagipula kenapa Daddy berpikiran begitu, sih? Kami baru saja bersatu kembali.” Rainer memprotes asumsi Brandon.“Karena kamu bau parfum wanita.”Setelah berkata begitu, Brandon mencondongkan wajahnya ke arah tubuh Rainer. Lelaki itu mengangguk tegas seolah memastikan kebenaran prasangkanya.“Tentu saja. Karena aku memakai parfum Claire.”Dengan pasrah, Rainer bercerita tentang bagaimana Claire mual pada aroma maskulin. Brandon mengerutkan kening mendengar penuturan Rainer. Lalu terkekeh pada akhir yang membuat lelaki tam
Dua minggu kemudian, Brandon menyerahkan perusahaan Rischmont pada putri satu-satunya. Pengesahan jabatan akan dilakukan pagi ini di depan para pengacara dan petinggi perusahaan.Baru kali ini, Rainer berdandan rapi. Ia menggunakan stelan jas yang senada dengan pakaian kerja Claire. Penampilannya membuat Claire berdecak kagum.“Ck, tampan sekali, suamiku,” puji Claire seraya menepuk pipi Rainer.“Iya, tampan tapi bau parfum wanita.” Rainer mengeluh pada sang istri.Ya. Claire tetap bersikukuh bahwa ia akan mual jika mencium aroma maskulin di tubuh Rainer. Hingga dengan terpaksa, Rainer tetap menggunakan parfum beraroma manis khas istrinya.“Memangnya kamu mau aku mual-mual?” Claire memberengut pada Rainer.“Tentu tidak. Tapi, memangnya kamu mau suami tampanmu ini diketawain karena bau parfum wanita?”“Bilang saja karena kamu sayang sekali pada istrimu dan tidak ingin istrimu mual. Gitu.”Rainer mencebik dan berkata, “Lebayy!”“Jadi? Kamu terpaksa? Tidak sayang padaku?” Claire mendelik
“Selamat Nyonya Presdir,” bisik Rainer dari bali punggung Claire.Wanita itu segera membalik tubuh. Saat berhadapan dengan Rainer, bibirnya tersenyum manis. Sesaat kemudian, bibir itu rata kembali menampilkan wajah datarnya.“Ke mana jasmu? Kenapa dilepas?” Claire mengamati tubuh sang suami yang hanya mengenakan kemeja lengan panjang.“Aku lepas. Gerah!”“Pakai lagi!”“Panas, My Lady. Aku nggak betah pakai jas,” tolak Rainer.“Please … pakai jasmu lagi, ya,” mohon Claire dengan tatapan manjanya.Rainer mengembuskan napas panjang. Ia memberikan kode pada seseorang yang kemudian datang dengan jas miliknya. Di hadapan Claire, Rainer kembali mengenakan jas.Wajah Claire kini kembali tersenyum senang. Ia menggapit lengan Rainer dan membawanya ke sudut minuman. Lalu, memberikan sang suami minuman dingin yang menyegarkan.“Minum ini. Biar kamu tidak kepanasan.”“Sebenarnya tadi sudah minum beberapa gelas. Hanya menyegarkan sebentar saja setelah itu tetap saja aku merasa gerah.”“Jas itu buat
Rainer dengan telaten mengusap lembut perut Claire. Wanita itu merbahkan kepalanya di dada Rainer sambil terisak."Hiks, hiks, hiks, maafkan aku.""Sstt ... sudah, My Lady. Kamu tidak bersalah.""Bagaimana kalau bayi ini dalam masalah, Rainer?" Claire mendongakkan kepalanya menatap Rainer dengan mata berair.Jari jempol Rainer mengusap lembut pipi yang basah itu. Ia tidak ingin berprasangka buruk atas apa yang akan terjadi. Tetapi ia pasrah pada kehendak Tuhan."Yang penting kamu tenangkan diri dulu, My Lady. Kita berdoa agar bayi kita baik-baik saja."Claire mengangguk meski dengan wajah sedih. Ia menahan diri untuk tidak mengeluh. Walaupun perutnya masih terasa tegang.Di lobi rumah sakit, sebuah kursi roda telah siap menyambut Claire. Rainer membopong istrinya dan mendudukkannya di kursi yang petugas kesehatan siapkan.Petugas mendorong kursi roda sementara Rainer berjalan di samping. Tangan Claire digenggam erat oleh suamin