“Hmm … aku waspada, tetapi karena tidak kram, ya, aku pikir tidak apa-apa,” jelas Claire.“Bilang saja enak. Jadi, kamu tidak menolakku.” Rianer terkekeh saat Claire memukuli lengannya sebagai bentuk jawaban atas candaannya.“Kamu tau apa yang akan aku lakukan jika kamu tidak kembali?” Claire menatap wajah suaminya.“Apa?”Claire berkata ia sudah berencana menelepon Brandon dan memberitahukan kehamilannya. Ia juga akan meminta Daddy-nya merahasiakan berita tersebut. Setelah perut membesar dan tidak dapat lagi disembunyikan, ia akan pergi ke luar negeri dan melahirkan sendiri.Rainer terdiam saat Claire berkata ia akan menyembunyikan fakta bahwa ada bayi hasil dari pernikahan pura-pura mereka. Ia memutuskan begitu, karena tidak ingin rumah tangga Rainer dan Stella kembali terguncang.Bahkan Claire sangat yakin Daddy-nya akan menutup semua akses agar Rainer tidak bisa lagi bertemu Claire dan bayi mereka.“Syukurlah, itu tidak terjadi.” Rainer mengembuskan napas berat dan mencium puncak
“Istriku,” Rainer menjawab santai. Matanya tetap pada Claire yang kini sedang berbincang dengan keluarga.“Kuhajar kau kalau berani berselingkuh!” ancam Brandon dengan nada tegas.Rainer menatap Brandon. Lelaki setengah baya itu berdiri seolah menantangnya bertarung. Rainer menggeleng samar.“Tidak pernah terlintas dalam pikiranku akan berbuat seperti yang Daddy katakan.”“Bagus. Aku akan selalu mengawasimu.” Brandon membuat kode dengan memicingkan matanya.“Iya, Dad. Lagipula kenapa Daddy berpikiran begitu, sih? Kami baru saja bersatu kembali.” Rainer memprotes asumsi Brandon.“Karena kamu bau parfum wanita.”Setelah berkata begitu, Brandon mencondongkan wajahnya ke arah tubuh Rainer. Lelaki itu mengangguk tegas seolah memastikan kebenaran prasangkanya.“Tentu saja. Karena aku memakai parfum Claire.”Dengan pasrah, Rainer bercerita tentang bagaimana Claire mual pada aroma maskulin. Brandon mengerutkan kening mendengar penuturan Rainer. Lalu terkekeh pada akhir yang membuat lelaki tam
Dua minggu kemudian, Brandon menyerahkan perusahaan Rischmont pada putri satu-satunya. Pengesahan jabatan akan dilakukan pagi ini di depan para pengacara dan petinggi perusahaan.Baru kali ini, Rainer berdandan rapi. Ia menggunakan stelan jas yang senada dengan pakaian kerja Claire. Penampilannya membuat Claire berdecak kagum.“Ck, tampan sekali, suamiku,” puji Claire seraya menepuk pipi Rainer.“Iya, tampan tapi bau parfum wanita.” Rainer mengeluh pada sang istri.Ya. Claire tetap bersikukuh bahwa ia akan mual jika mencium aroma maskulin di tubuh Rainer. Hingga dengan terpaksa, Rainer tetap menggunakan parfum beraroma manis khas istrinya.“Memangnya kamu mau aku mual-mual?” Claire memberengut pada Rainer.“Tentu tidak. Tapi, memangnya kamu mau suami tampanmu ini diketawain karena bau parfum wanita?”“Bilang saja karena kamu sayang sekali pada istrimu dan tidak ingin istrimu mual. Gitu.”Rainer mencebik dan berkata, “Lebayy!”“Jadi? Kamu terpaksa? Tidak sayang padaku?” Claire mendelik
“Selamat Nyonya Presdir,” bisik Rainer dari bali punggung Claire.Wanita itu segera membalik tubuh. Saat berhadapan dengan Rainer, bibirnya tersenyum manis. Sesaat kemudian, bibir itu rata kembali menampilkan wajah datarnya.“Ke mana jasmu? Kenapa dilepas?” Claire mengamati tubuh sang suami yang hanya mengenakan kemeja lengan panjang.“Aku lepas. Gerah!”“Pakai lagi!”“Panas, My Lady. Aku nggak betah pakai jas,” tolak Rainer.“Please … pakai jasmu lagi, ya,” mohon Claire dengan tatapan manjanya.Rainer mengembuskan napas panjang. Ia memberikan kode pada seseorang yang kemudian datang dengan jas miliknya. Di hadapan Claire, Rainer kembali mengenakan jas.Wajah Claire kini kembali tersenyum senang. Ia menggapit lengan Rainer dan membawanya ke sudut minuman. Lalu, memberikan sang suami minuman dingin yang menyegarkan.“Minum ini. Biar kamu tidak kepanasan.”“Sebenarnya tadi sudah minum beberapa gelas. Hanya menyegarkan sebentar saja setelah itu tetap saja aku merasa gerah.”“Jas itu buat
Rainer dengan telaten mengusap lembut perut Claire. Wanita itu merbahkan kepalanya di dada Rainer sambil terisak."Hiks, hiks, hiks, maafkan aku.""Sstt ... sudah, My Lady. Kamu tidak bersalah.""Bagaimana kalau bayi ini dalam masalah, Rainer?" Claire mendongakkan kepalanya menatap Rainer dengan mata berair.Jari jempol Rainer mengusap lembut pipi yang basah itu. Ia tidak ingin berprasangka buruk atas apa yang akan terjadi. Tetapi ia pasrah pada kehendak Tuhan."Yang penting kamu tenangkan diri dulu, My Lady. Kita berdoa agar bayi kita baik-baik saja."Claire mengangguk meski dengan wajah sedih. Ia menahan diri untuk tidak mengeluh. Walaupun perutnya masih terasa tegang.Di lobi rumah sakit, sebuah kursi roda telah siap menyambut Claire. Rainer membopong istrinya dan mendudukkannya di kursi yang petugas kesehatan siapkan.Petugas mendorong kursi roda sementara Rainer berjalan di samping. Tangan Claire digenggam erat oleh suamin
Rainer tetaplah Rainer yang sederhana. Meskipun statusnya adalah seorang pemilik perusahaan yang kini sedang berkembang dan mulai dikenal dunia bisnis, ia tetap berpenampilan sama.Claire sudah mencoba beberapa kali mendandaninya, namun hasilnya tetap sama. Dalam waktu dua jam, jas yang terpasang rapi akan dilepas. Dasi dikendurkan dan lengan kemeja digulung asal hingga ke atas siku.Seperti saat ini, Claire berada di ruang kerja pribadi Rainer di perusahaan Conrad. Rencananya mereka akan makan siang bersama. Karena Claire telah lebih dulu selesai pekerjaannya, maka ia berinisiatif menjemput Rainer.Wanita cantik itu menggeleng saat menemui suaminya yang duduk dengan penampilan acak-acakan. Padahal tadi pagi ia sudah memilihkan pakaian kerja yang nyaman. Tetap saja, Rainer membuka semua dan menggulung kemejanya.“Duduk dulu, My Lady. Sebentar, ya. Aku masih harus menyelesaikan ini sebentar lagi.” Rainer menyambut sang istri dan mendudukkannya di kursi di depan mejanya.“Mau minum sesu
Rainer menggeleng tak mengerti. Claire menceritakan tentang suara wanita yang menjawab panggilan telepon barusan. Bahkan wanita itu langsung mematikan saluran telepon saat Claire bertanya dengan ketus.Kembali Rainer mencoba menghubungi Adam. Belum berhasil, telepon itu malah tidak aktif saat ini.“Kita makan saja dulu. Setelah ini kita coba telepon Papa lagi.” Rainer menyiapkan makanan untuk istrinya.Claire mengangguk. Ia membuang rasa curiganya. Tak baik juga berprasangka buruk pada Papa mertua.Menu yang dipesan Rainer lezat. Komposisi gizinya lengkap. Claire menghabiskan makanannya dengan cepat.“Sudah kenyang?” Rainer bertanya saat melihat Claire berhenti makan.Kepala wanita cantik itu menggeleng.“Aku takut kalau makan lagi nanti malah muntah.”“Ya, sudah. Berhenti dulu. Aku rasa kamu makan sudah cukup banyak, kok.” Rainer menyelesaikan makannya dan mengelap bibir.“Apa kamu ada agenda penting di kantor setelah ini?” Claire bertanya seraya minum air mineral beroksigen.“Aku ma
Claire berbelanja ditemani supir. Masuk ke satu toko dan berbelanja ia lakukan sendiri. Sama seperti saat ia belum menikah.Selain lupa janji, Rainer bahkan pulang larut malam. Claire tidak tau jam berapa akhirnya ia terlelap. Ia hanya sadar bahwa semalam menunggu hingga jam satu lalu memutuskan tidur.Saat terbangun, Lengan Rainer melingkari pinggang. Telapak tangannya berada di perut Claire. Lelaki itu masih terlelap.Claire mengangkat lengan Rainer perlahan. Ia mengenakan mantel tidur dan pergi ke kamar mandi untuk membuang air seni. Lalu, tiba-tiba Rainer menyusulnya.“My Lady.” Rainer merentangkan tangan dan memeluk Claire. “Aku rindu padamu.”Wajah Claire tersenyum. “Pulang jam berapa semalam?”“Emm … jam tiga dini hari.”“Ya, sudah. Kamu tidur saja lagi.”Namun kepala Rainer menggeleng. “Tidak bisa. Aku harus ke kantor pagi-pagi sekali.”“Tapi ini baru jam setengah enam pagi, Rainer.”“Iya, jam enam aku harus sudah ada di kantor. Kita mandi bersama, ya.”Ingin protes, tapi seka