Pernyataan Adam membuat yang mendengar menatap lelaki itu dengan pandangan bingung. Namun, Adam hanya menyikapinya dengan senyum penuh arti pada sang putra.Sementara Rainer berpikir Papa-nya menyindir karena masalah dengan Stella di kampung halaman.Untung saja Brandon mulai membicarakan tentang bisnis. Ia sangat tertarik dengan cara Adam berbisnis di daerah Conrad. Hingga kemudian mereka terlibat perbincangan tentang daerah kelahiran Rainer tersebut.“Maaf, semuanya. Jam istirahatku sebentar lagi selesai. Aku izin pergi lebih dulu.” Matt berpamitan pada semuanya.“Kak Claire, aku ikut Matt saja. Kantor kami satu arah, kok.” Lunar pun berpamitan.Semuanya mengangguk. Mereka melambai pada Matt dan Lunar yang berjalan keluar restoran.“Apa Matt tidak kau berikan jabatan di perusahaanmu?” tanya Adam pada Brandon. “Kasihan, menantumu itu masih terikat jam kerja.”“Matt tidak mau. Mungkin suatu saat bisa aku rayu. Keahliannya hampir setara dengan Claire.” Brandon beralasan.“Ah, iya. Aku
Saat ini Claire menggunakan lingerie tipis. Bahkan dadanya setengah terbuka. Hampir seluruh kulit mulusnya terpampang.Dengan gerakan pelan, Claire mengenakan kimono tidur. Berusaha tidak menghiraukan tatapan bergairah dari Rainer. Namun, ia tidak sempat menghindar saat lelaki itu mendekatinya.“Kenapa ditutup?” Rainer memprotes kimono yang menutup tubuh istrinya.“Malu!” Claire menjawab asal.Rainer terkekeh geli. “Aku sudah lihat semuanya. Kenapa mesti malu.”Claire hanya mencebik sebagai jawaban. Rainer menuntunnya ke ruang makan. Lelaki itu sudah menyiapkan makanan.“Tadi chef aku suruh datang dan memasak sup ginseng untukmu. Makanlah dulu. Setelah itu baru tidur.” Rainer berkata sambil mendorong satu kursi untuk diduduki Claire.“Aku malas makan.” Claire menolak sambil mengerutkan kening menatap mangkuknya yang telah diisi sup oleh Rainer.Hembusan napas panjang terdengar dari hidung Rainer. Lelaki itu akhirnya duduk menyamping kemudian mengambil mangkuk milik istrinya. Perlahan
Jantung Rainer berdebar kencang. Menyesali setiap ucapan yang keluar dari bibir Claire. Akhirnya, kekesalannya timbul juga."Oh, begitu? Jadi, kamu ingin sekali melihatku menikah dengan Stella?" Rainer menantang Claire dengan mata nyalang menatap wajah cantik di hadapannya.Claire tentu saja menjadi terkejut melihat perubahan sikap Rainer. Lelaki itu memandangnya dingin. Rasanya Claire jadi membeku melihat tatapan tersebut."Itu juga impian adikmu, Nita, bukan? Dan kamu sangat ingin mewujudkan apa yang Nita inginkan sebagai bentuk rasa bersalahmu padanya." Claire membalas dengan suara pelan namun masih jelas terdengar.Rainer mendekati Claire. Berlama-lama memandang wajah yang selalu terbayang di pelupuk matanya. Menatap bibir yang selalu ia rindukan untuk dikecup.Tapi kali ini wajah itu membuat harga dirinya sebagai lelaki tercoreng. Ditolak berkali-kali, dilabeli pembual, penggombal bahkan buaya. Rasanya semua itu sudah cukup. "Baik. Jika itu maumu. Aku akan menikahi Stella," desi
Sesaat mereka bertatapan. Wajah keduanya serius tanpa senyum. Hingga akhirnya ketukan di pintu memutuskan tatapan tersebut.Rainer berdiri dan membuka pintu. Mila mengungkapkan kedatangannya pada sang asisten. Rainer mengangguk dan melebarkan pintu untuk Mila.Claire bangkit dari kursinya dan pindah ke sofa agar Mila bisa leluasa membersihkan meja. Wanita itu melirik Rainer yang mengikutinya.“Berkas ini yang harus kamu periksa. Ini yang harus ditanda-tangani.” Rainer memberikan berkas serta pulpen kepada Claire.“Oke. Aku periksa sebentar.”Keduanya lalu terlihat sibuk mendiskusikan berkas. Pernyataan terakhir Rainer terpaksa tertunda pembahasannya karena ada Mila.“Maaf, Nyonya Claire, Tuan Rainer, sudah selesai.” Mila menunduk santun.Rainer berdiri dan menghampiri meja. Mengamatinya sejenak, kemudian meminta Mila membawakan air mineral untuk Claire. Wanita muda itu mengangguk dan segera pergi.Sambil menunggu Mila, Claire kembali menandatangani berkas. Rainer mengambil dua botol a
“Iya. Aku lihat Mila keluar dari sini sambil menangis. Ada apa?” tanya Rainer sambil membereskan berkas di meja Claire.“Tidak tau. Aku tadi membelikannya makanan. Ia memang terlihat terharu.” Claire membalas. “Tangannya sampai gemetaran saat makan.”Kemudian, Claire bercerita bahwa Mila menyisakan makanannya. Office girl itu meminta sisa makanan untuk dibawa pulang. Setelah diizinkan ia terlihat semakin terharu.Claire berbicara sambil menatap layar laptopnya. Ia tak tau Rainer memandanginya dengan senyum bangga. Baru kali ini, Claire berinteraksi langsung dengan seorang office girl.“Mila gadis miskin yang baik. Ia makan dengan gemetaran mungkin karena sejak pagi perutnya belum terisi.” Rainer menjelaskan.Claire mengangkat kepalanya. Ia menatap Rainer dengan tatapan penuh tanya akan pernyataannya barusan.“Bagaimana kamu tau?”“Aku pernah mengobrol dengannya di pantry. Saat itu jam istirahat. Mila hanya makan biskuit.”“Ya Tuhan.”“Aku senang kamu berderma kepadanya. Ia memang butu
Claire duduk sendirian di ruang tamu. Cahaya senja menyusup melalui jendela, menggambarkan bayangan-bayangan yang terlupakan. Bayangan Rainer yang begitu perhatian tidak bisa lepas dari pelupuk matanya.Pernikahan mereka adalah sandiwara, sebuah kontrak yang dibuat untuk kepentingan bisnis. Namun, di antara semua akting dan dialog palsu, ada perasaan yang tumbuh. Claire tidak pernah berpikir bahwa hatinya akan terlibat dalam permainan ini. Tapi sekarang, dia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar akting.King Rainer Conrad. Nama yang sulit ia lupakan. Seandainya sang pemilik nama adalah lelaki jahat, bengis, dan kurang ajar, ia kan dapat mudah berpaling. Namun, Rainer malah merupakan sosok yang selalu membantunya dan tau akan kebutuhannya.Suara dering telepon genggamnya membuat Claire melirik pada benda komunikasi tersebut. Ia mengaktifkan telepon saat melihat sama Lunar di layar. Mungkin adiknya sudah tau tentang kisah pernikahan pura-puranya.“Lunar,” sapa Claire.“Kak Claire, a
Esok paginya, Claire tetap berangkat ke kantor. Meskipun hari ini adalah akhir pekan, kantor tetap ramai. Mereka memang akan mendapat bonus besar jika tetap mengerjakan proyek di akhir pekan.Ketika matanya melirik ruang kerja Rainer, Claire mengembuskan napas berat. Hari-harinya kini akan hambar tanpa Rainer. Ia mulai menyadari itu.Setengah hari Claire menenggelamkan diri pada pekerjaan. Wanita cantik itu membuka jas feminimnya. Kini ia hanya mengenakan blus tanpa lengan."Tok, tok, tok."Claire mengernyit mendengar pintunya diketuk. Biasanya saat bekerja di akhir pekan, ia tidak menerima tamu."Masuk." Claire mempersilahkan.Mila melongokkan kepalanya. Gadis muda itu memakai pakaian biasa. Saat lembur, para petugas kebersihan memang tidak memakai seragam."Maaf mengganggu, Nyonya Claire.""Oh, Mila. Kamu masuk juga?"Mila mengangguk. "Saya memang masuk saat akhir pekan, Nyonya."Claire tersenyum mendengar pernyataan Mila. Mungkin selama ini ia memang tidak mengamati keadaan sekitar
Rainer tersenyum tipis pada Claire. Lelaki tampan itu mencoba bersikap santai dan menghampiri wanita cantik di sampingnya dan mengelus punggungnya. Tentu saja Claire juga menjadi salah tingkah.“Kamu di sini, My Lady?” Rainer berbicara pada Claire.Claire merespon dengan senyum canggung. Entah kenapa sekarang, mendengar nama panggilan itu rasanya aneh di telinganya. Apalagi sikap Rainer tetap penuh perhatian."Iya." Claire hanya menjawab singkat.Kemudian Claire menoleh serta menatap Mila dan keluarganya. “Mmm … maaf, kalau begitu, saya pamit dulu, ya.”“Iya. Kebetulan aku datang untuk menjemput Claire,” ucap Rainer. Ia lalu berkata pada Mila. “Nanti aku telepon, ya. Ada yang ingin aku bicarakan.”Mila langsung membalas. “Iya, Tuan. Terima kasih.”Wilma dan Arden pun turut mengucapkan terima kasih. Rainer menahan pintu saat Claire keluar. Mereka berjalan bersama dalam diam.Saat tiba di parkiran, Rainer menoleh pada wanita cantik di sebelahnya.“Aku yang menyetir. Di mana mobilmu?”Cl