Saat ini Claire menggunakan lingerie tipis. Bahkan dadanya setengah terbuka. Hampir seluruh kulit mulusnya terpampang.Dengan gerakan pelan, Claire mengenakan kimono tidur. Berusaha tidak menghiraukan tatapan bergairah dari Rainer. Namun, ia tidak sempat menghindar saat lelaki itu mendekatinya.“Kenapa ditutup?” Rainer memprotes kimono yang menutup tubuh istrinya.“Malu!” Claire menjawab asal.Rainer terkekeh geli. “Aku sudah lihat semuanya. Kenapa mesti malu.”Claire hanya mencebik sebagai jawaban. Rainer menuntunnya ke ruang makan. Lelaki itu sudah menyiapkan makanan.“Tadi chef aku suruh datang dan memasak sup ginseng untukmu. Makanlah dulu. Setelah itu baru tidur.” Rainer berkata sambil mendorong satu kursi untuk diduduki Claire.“Aku malas makan.” Claire menolak sambil mengerutkan kening menatap mangkuknya yang telah diisi sup oleh Rainer.Hembusan napas panjang terdengar dari hidung Rainer. Lelaki itu akhirnya duduk menyamping kemudian mengambil mangkuk milik istrinya. Perlahan
Jantung Rainer berdebar kencang. Menyesali setiap ucapan yang keluar dari bibir Claire. Akhirnya, kekesalannya timbul juga."Oh, begitu? Jadi, kamu ingin sekali melihatku menikah dengan Stella?" Rainer menantang Claire dengan mata nyalang menatap wajah cantik di hadapannya.Claire tentu saja menjadi terkejut melihat perubahan sikap Rainer. Lelaki itu memandangnya dingin. Rasanya Claire jadi membeku melihat tatapan tersebut."Itu juga impian adikmu, Nita, bukan? Dan kamu sangat ingin mewujudkan apa yang Nita inginkan sebagai bentuk rasa bersalahmu padanya." Claire membalas dengan suara pelan namun masih jelas terdengar.Rainer mendekati Claire. Berlama-lama memandang wajah yang selalu terbayang di pelupuk matanya. Menatap bibir yang selalu ia rindukan untuk dikecup.Tapi kali ini wajah itu membuat harga dirinya sebagai lelaki tercoreng. Ditolak berkali-kali, dilabeli pembual, penggombal bahkan buaya. Rasanya semua itu sudah cukup. "Baik. Jika itu maumu. Aku akan menikahi Stella," desi
Sesaat mereka bertatapan. Wajah keduanya serius tanpa senyum. Hingga akhirnya ketukan di pintu memutuskan tatapan tersebut.Rainer berdiri dan membuka pintu. Mila mengungkapkan kedatangannya pada sang asisten. Rainer mengangguk dan melebarkan pintu untuk Mila.Claire bangkit dari kursinya dan pindah ke sofa agar Mila bisa leluasa membersihkan meja. Wanita itu melirik Rainer yang mengikutinya.“Berkas ini yang harus kamu periksa. Ini yang harus ditanda-tangani.” Rainer memberikan berkas serta pulpen kepada Claire.“Oke. Aku periksa sebentar.”Keduanya lalu terlihat sibuk mendiskusikan berkas. Pernyataan terakhir Rainer terpaksa tertunda pembahasannya karena ada Mila.“Maaf, Nyonya Claire, Tuan Rainer, sudah selesai.” Mila menunduk santun.Rainer berdiri dan menghampiri meja. Mengamatinya sejenak, kemudian meminta Mila membawakan air mineral untuk Claire. Wanita muda itu mengangguk dan segera pergi.Sambil menunggu Mila, Claire kembali menandatangani berkas. Rainer mengambil dua botol a
“Iya. Aku lihat Mila keluar dari sini sambil menangis. Ada apa?” tanya Rainer sambil membereskan berkas di meja Claire.“Tidak tau. Aku tadi membelikannya makanan. Ia memang terlihat terharu.” Claire membalas. “Tangannya sampai gemetaran saat makan.”Kemudian, Claire bercerita bahwa Mila menyisakan makanannya. Office girl itu meminta sisa makanan untuk dibawa pulang. Setelah diizinkan ia terlihat semakin terharu.Claire berbicara sambil menatap layar laptopnya. Ia tak tau Rainer memandanginya dengan senyum bangga. Baru kali ini, Claire berinteraksi langsung dengan seorang office girl.“Mila gadis miskin yang baik. Ia makan dengan gemetaran mungkin karena sejak pagi perutnya belum terisi.” Rainer menjelaskan.Claire mengangkat kepalanya. Ia menatap Rainer dengan tatapan penuh tanya akan pernyataannya barusan.“Bagaimana kamu tau?”“Aku pernah mengobrol dengannya di pantry. Saat itu jam istirahat. Mila hanya makan biskuit.”“Ya Tuhan.”“Aku senang kamu berderma kepadanya. Ia memang butu
Claire duduk sendirian di ruang tamu. Cahaya senja menyusup melalui jendela, menggambarkan bayangan-bayangan yang terlupakan. Bayangan Rainer yang begitu perhatian tidak bisa lepas dari pelupuk matanya.Pernikahan mereka adalah sandiwara, sebuah kontrak yang dibuat untuk kepentingan bisnis. Namun, di antara semua akting dan dialog palsu, ada perasaan yang tumbuh. Claire tidak pernah berpikir bahwa hatinya akan terlibat dalam permainan ini. Tapi sekarang, dia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar akting.King Rainer Conrad. Nama yang sulit ia lupakan. Seandainya sang pemilik nama adalah lelaki jahat, bengis, dan kurang ajar, ia kan dapat mudah berpaling. Namun, Rainer malah merupakan sosok yang selalu membantunya dan tau akan kebutuhannya.Suara dering telepon genggamnya membuat Claire melirik pada benda komunikasi tersebut. Ia mengaktifkan telepon saat melihat sama Lunar di layar. Mungkin adiknya sudah tau tentang kisah pernikahan pura-puranya.“Lunar,” sapa Claire.“Kak Claire, a
Esok paginya, Claire tetap berangkat ke kantor. Meskipun hari ini adalah akhir pekan, kantor tetap ramai. Mereka memang akan mendapat bonus besar jika tetap mengerjakan proyek di akhir pekan.Ketika matanya melirik ruang kerja Rainer, Claire mengembuskan napas berat. Hari-harinya kini akan hambar tanpa Rainer. Ia mulai menyadari itu.Setengah hari Claire menenggelamkan diri pada pekerjaan. Wanita cantik itu membuka jas feminimnya. Kini ia hanya mengenakan blus tanpa lengan."Tok, tok, tok."Claire mengernyit mendengar pintunya diketuk. Biasanya saat bekerja di akhir pekan, ia tidak menerima tamu."Masuk." Claire mempersilahkan.Mila melongokkan kepalanya. Gadis muda itu memakai pakaian biasa. Saat lembur, para petugas kebersihan memang tidak memakai seragam."Maaf mengganggu, Nyonya Claire.""Oh, Mila. Kamu masuk juga?"Mila mengangguk. "Saya memang masuk saat akhir pekan, Nyonya."Claire tersenyum mendengar pernyataan Mila. Mungkin selama ini ia memang tidak mengamati keadaan sekitar
Rainer tersenyum tipis pada Claire. Lelaki tampan itu mencoba bersikap santai dan menghampiri wanita cantik di sampingnya dan mengelus punggungnya. Tentu saja Claire juga menjadi salah tingkah.“Kamu di sini, My Lady?” Rainer berbicara pada Claire.Claire merespon dengan senyum canggung. Entah kenapa sekarang, mendengar nama panggilan itu rasanya aneh di telinganya. Apalagi sikap Rainer tetap penuh perhatian."Iya." Claire hanya menjawab singkat.Kemudian Claire menoleh serta menatap Mila dan keluarganya. “Mmm … maaf, kalau begitu, saya pamit dulu, ya.”“Iya. Kebetulan aku datang untuk menjemput Claire,” ucap Rainer. Ia lalu berkata pada Mila. “Nanti aku telepon, ya. Ada yang ingin aku bicarakan.”Mila langsung membalas. “Iya, Tuan. Terima kasih.”Wilma dan Arden pun turut mengucapkan terima kasih. Rainer menahan pintu saat Claire keluar. Mereka berjalan bersama dalam diam.Saat tiba di parkiran, Rainer menoleh pada wanita cantik di sebelahnya.“Aku yang menyetir. Di mana mobilmu?”Cl
Claire duduk tegak saat mendengar pernyataan sang pengacara. Seketika ia merasa kesal.“Apa kamu pikir aku membutuhkan harta Rainer?” nada suara Claire meninggi.“Bukan seperti itu maksud dari klien kami, Nyonya.” Pengacara berbicara dengan sabar.“Katakan saja pada Rainer bahwa aku tidak akan menggugat hartanya.”“Tetapi, itu semua tercantum dalam proses perceraian.”“Aku akan menghubungi pengacaraku!”Tanpa menunggu balasan, Claire segera menutup telepon. Ia melempar alat komunikasi ke sembarang arah di ranjang. Dengan wajah kesal, ia kembali berbaring dan menutup matanya.Beberapa jam kemudian, Claire baru terbangun karena merasa lapar. Ternyata sudah hampir jam sebelas siang. Ia bertanya-tanya sudah sampai mana perjalanan Rainer dan Adam saat ini.Sambil menyeret langkah ke dapur, Claire menatap telepon genggamnya. Tidak ada yang menarik hingga ia meletakkan telepon tersebut di meja.Chef penthouse sudah menyiapkan makanan di meja makan. Claire tinggal duduk dan makan dengan santa
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
“Mommy dan Papi ‘kan setiap hari bertemu dengan kalian. Jika kalian mau berlibur sebentar bersama Grandpa, Kakek, Nenek dan Gangan, pasti kami izinkan,” ucap Rainer pada putri-putrinya.“Memangnya Mommy dan Papi tidak kangen kami nanti?” Rinna bertanya dan menatap kedua orang tuanya.“Iya. Kami saja baru berpisah sebentar, kangen,” timpal Linda sambil memeluk saudara kembarnya.Claire mengamati putri kembarnya yang kini berpelukan. Sungguh sulit memisahkan mereka berdua. Padahal psikolog anak sudah mengingatkan bahwa mereka harus paham bahwa mereka adalah dua individu.Selama ini, Rinna dan Linda bertindak layaknya mereka adalah satu orang. Semua harus sama. Pakaian, mainan, juga berkegiatan.Pernah suatu ketika Claire dan Rainer membawa masing-masing satu anak. Hebatnya, keduanya tetap melakukan kegiatan yang sama meski berbeda jarak.Saat Rinna makan spaghetti, ternyata Linda pun meminta makanan yang sama. Saat Linda tidur, termyata Rinna pun tidur. Hingga akhirnya Claire dan Rainer
“Ada apa dengan menantu cantikku?” Maya bertanya pada Brandon.“Beberapa hari yang lalu, Claire sempat terlambat makan karena sibuk meeting. Aku pikir, sakitnya sudah membaik. Entahlah.” Brandon mencoba menjelaskan.Di dalam kamar, Rainer mengumpulkan rambut Claire dan memeganginya. Tangannya yang bebas mengusap-usap lembut punggung sang istri. Claire sedang memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.Rainer yang membersihkan bekas muntahan di wastafel kamar mandi. Claire keluar dan segera berbaring. Rasanya ia mual sekali.“Aku ambilkan jeruk dingin mau?”Claire menggeleng pada tawaran Rainer. “Aku mau lemon hangat saja.”“Oke. Sebentar, ya.”Sebelum keluar kamar, Rainer mengusap sayang kepala sang istri. Mencium dahinya dalam-dalam. Lalu, membuka pintu untuk kembali ke dapur.Namun, ia segera tertegun. Di depan pintu, Brandon, Adam menggendong Rinna, Maya menggendong Linda hingga Granny berdiri sambil menatapnya. Mereka menuntut penjelasan.“Kenapa putriku muntah-muntah?” Brandon m
Si kembar berlarian di dalam pesawat pribadi milik Rainer. Mereka hanya duduk manis selama makan. Setelah itu kembali aktif hingga akhirnya tertidur.“Pantas saja kamu sering meringis saat mereka di dalam perut, My Lady.” Rainer menggeleng sambil mengusap sayang kepala kedua putrinya.“Iya, mereka memang aktif sejak embrio.” Claire terkekeh.Rainer tersenyum. Ia menciumi wajah putri-putrinya. Kemudian kembali duduk di samping Claire.Rinna dan Linda tidur di kursi yang berhadapan dengan kursi Claire dan Rainer. Sementara Brandon telah beristirahat di kamar pesawat.“Bagaimana kalau yang ini?” Rainer bertanya pelan sambil mengusap perut Claire. “Apa ia juga seaktif kakak-kakaknya?”Tangan Claire melapisi tangan Rainer, lalu menggeleng. “Janin ini belum bergerak. Tetapi, karena kehamilan pertama sudah merasakan gerakan aktif, aku tidak akan kaget kalau kali ini pun janinnya setipe.”Kekehan keluar dari tenggorokan Rainer. Ia merentangkan tangan dan merangkul sang istri. Kepala Claire ki
Sampai di kafe, Rainer langsung memesan segelas jus buah. Ia memberikannya kepada Claire sambil menunggu makanan datang. Claire perlahan meminumnya jusnya.“Enak? Gulanya cukup?”Claire hanya mengangguk lalu memegangi kepalanya yang terasa berat.Akhirnya, Rainer berinisiatif memijat tengkuk sang istri. Merasa tidak bertambah baik, Claire menepis tangan Rainer dan menggeleng untuk memberi kode agar berhenti memijatnya.Kemudian, Rainer hanya mengusap-usap pelan punggung sang istri.Makanan mereka datang. Rainer menawarkan untuk menyuapi Claire, namun istrinya menggeleng. Claire makan sedikit demi sedikit.“Mungkin seharusnya aku minum obat lambung dulu, ya.” Claire berkata saat ia kesulitan menelan makanannya.“Mau aku belikan obat lambung di apotik dulu?”“Tidak usah. Aku sudah terlanjur makan.”Rainer mengangguk. Ia kembali memperhatikan Claire makan. Hanya setengah porsi yang berhasil dihabiskan.“Apa masih terasa pusing?”Claire mengangguk. “Sekarang malah tambah mual.”“Hmm … mun
Rainer datang saat ke perusahaan Rischmont untuk menjemput putri-putrinya. Dari jauh ia sudah melihat si kembar yang berlarian di lobi. Sedikit kekacauan mereka buat saat berbagai kertas, alat tulis atau bahkan kabel komputer menjadi mainan.“Nona, nanti kesetrum. Letakkan kabelnya, ya.” Pengasuh Linda melarang nona mudanya menarik-narik kabel.“Kabelnya lucu. Warnanya ungu.” Linda beralasan saat pengasuh bertanya kenapa ia senang sekali pada kabel tersebut.“Nona Rinna, itu kertas penting. Gambar di kertas lain saja, ya.” Kini pengasuh memohon pada nona mudanya agar kertas-kertas yang ia ambil diletakkan ke tempat semula.Kedua pengasuh bernapas lega, saat melihat Rainer masuk. Lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga sikunya itu tersenyum pada kedua anak perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya.“Papi.” Keduanya lalu berlarian menghampiri Rainer.Kedua tangan Rainer terentang lebar. Ia memeluk kedua putrinya sekaligus kemudian menciuminya satu persatu. Setelah itu ia m
“Grandpa tidak mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi.”Claire membiarkan si kembar bercerita. Bibir mungil kedua putrinya bergerak-gerak tak henti. Cerita mereka sungguh random.Dari kesal karena mereka akan dipisahkan di kelas berbeda. Kemudian melihat Papi mencium Mammy di bibir. Lalu, permainan menarik di playground sekolah. Hingga mereka kemudian kembali pada cerita saat bertemu guru pertama kali di sekolah.“Aku tidak suka gurunya!” Si kembar berkata berbarengan.“Guru itu tidak melakukan apa pun pada kalian.” Claire menimpali ucapan si kembar.“Memangnya kalau memisahkan anak berarti tidak melakukan apa pun?”Umur mereka baru dua tahun. Namun, sungguh, terkadang Claire sampai bingung menjawab pertanyaan atau bahkan terpana dengan ucapan yang meluncur dari bibir putri-putrinya.“Sekolah melakukannya agar kalian bisa mandiri tanpa ketergantungan satu sama lain.”Sejenak si kembar saling menatap wajah masing-masing. Tiba-tiba dua anak kecil perempuan itu saling berpelukan erat.
Dua Tahun Berikutnya.“Erinna Rainclare Conrad dan Erlinda Rainclare Conrad.”Dua anak perempuan berlarian menghampiri seorang wanita yang memanggil nama lengkap mereka. Rainer dan Claire hanya terkekeh dan mengikuti putri-putri mereka.“Yang mana Rinna dan yang mana Linda?” Wanita yang berprofesi guru sekolah itu bertanya pada dua anak cantik di depannya.“Aku Rinna.”“Aku Linda.”Bergantian anak kecil itu menjawab. Wanita di depan mereka melirik Rainer dan Claire yang mengangguk membenarkan. Maklum wajah kedua kembar itu sangat mirip.Rinna dan Linda saat ini sedang trial untuk masuk sekolah playgroup. Keduanya sangat bersemangat. Meskipun menurut Rainer keduanya masih sangat kecil untuk bersekolah, tetapi akhirnya ia menyetujui saat putri-putrinya itu terus merengek.“Rinna di kelas A, dan Linda di kelas B,” ucap guru tersebut.Kedua anak perempuan itu lalu menatap guru mereka. Kemudian menatap Rainer dan Claire. Rinna dan Linda mundur teratur sambil menggelengkan kepala.“Rinna ma