“Aksa sayang!...” Riri melangkahkan kakinya menuju panti asuhan di mana Aksa tinggal saat ini. Senyumnya mengembang sempurna di kala melihat sang bayi manis yang sudah tertawa karna melihatnya. Tanpa memperdulikan ibu penjaga panti, Riri langsung mengambil Aksa yang tengah duduk di atas kasur. Melihat tingkah istrinya, Leon hanya bisa menggelengkan kepala. Leon melangkahkan kakinya menghampiri ibu panti yang berada tak jauh darinya. “Maaf bu, untuk satu minggu ke depan Aksa akan kami bawa pulang. Untuk semua keperluannya akan saya siapkan, jadi ibu tidak perlu khawatir.” Setelah hampir satu bulan menghabiskan waktu berdua, Leon dan Riri memutuskan untuk membawa Aksa pulang ke rumah selama satu minggu penuh. Di sepanjang perjalanan Riri bermain-main dengan Aksa, senyumnya mengembang sempurna, dan suara tawa mereka memenuhi seisi mobil. Mobil yang mereka tumpangi melaju kencang membelah ramainya jalanan di kota Jakarta. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mereka sampai di r
“Nyonya ingin mereka pergi dari sini?.” Tanya Alden memastikan. Dengan sorot matanya yang tajam, Riri mengangguk mengiyakan ucapan Alden. Secara tiba-tiba dari arah belakang terdapat dua orang wanita berbaju hitam dan berdiri di samping kanan kirinya Riri. Alden berjalan menghampiri beberapa orang penggosip yang membicarakan keluarga bosnya. Dengan modal kata-kata dan perintah dari Riri, Alden membereskan mereka tanpa menimbulkan keributan seperti apa yang dia katakan tadi. Dengan mata kepalanya sendiri, Riri melihat banyak orang yang mulai menghampiri dan mengerumuni beberapa wanita yang tadi sedang membicarakannya. Hanya berselang beberapa menit saja para wanita itu hilang dari hadapan Riri. Riri terbelalak tak percaya, berkali-kali dia menggosok matanya untuk memastikan penglihatannya. “Apa kaca mataku sudah tidak berfungsi lagi?.” ***** Di dalam sebuah apartemen yang mewah terdapat sepasang mata panda milik Riri yang sedang terkantuk-kantuk. Sudah menjadi rutin
“Sudah bangun?.” Aroma bunga mawar menyerbak di seluruh penjuru kamar. Mata yang tadinya tertutup rapat perlahan-lahan terbuka. Sepasang mata coklat terlihat samar-samar karna mata Riri belum terbuka sepenuhnya. Riri mengerjapkan matanya berkali-kali, mata yang indah itu meneteskan air karna rasa sakit yang ada di sekujur tubuhnya. Rasa nyeri dan sakit yang ada di seluruh tubuh membuat Riri kesulitan untuk bergerak, dan bahkan untuk mengatur nafas pun sangat sulit. ‘Aduh, kenapa badanku sakit sekali? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?.’ “Sebelum protes, aku mau melakukan pembelaan diri dulu. Kalau kamu tidak menggodaku, aku tidak akan sebrutal tadi malam.” Riri menatap Leon yang sudah dalam kondisi segar bugar. Raut wajah Leon yang terlihat sangat bahagia dengan senyum yang sangat lebar membuat Riri terheran-heran sekaligus takut akan terjadi sesuatu hal yang mengerikan. “Mas kenapa?.” Tanya Riri dengan suara yang bahkan tidak keluar. Untungnya dengan kelebihan ajaib ya
Riri menggelengkan kepalanya. Dari awal Riri memang tidak yakin kalau Leon sendiri yang menyuruh Aksa untuk memanggilnya papah, tapi karna tidak ada orang lain yang bisa di jadikan tersangka, Riri memilih Leon karna memang hanya Leon-lah yang sering berada di dekat Aksa selain dirinya.'Tunggu dulu, kalau bukan mas Leon, apa mungkin Angel sendiri yang mengajari Aksa dan menyuruh Aksa memanggilnya mamah?.'Leon tercengang mendengar nama Angel di sebutkan, terlebih lagi jika benar Angel yang menyuruh Aksa memanggil dirinya sendiri dengan sebutan mamah.Leon berpikir sejenak, banyak sekali perbedaan yang dia dapatkan dari laporan Alden dan cerita Riri, keduanya memberikan pernyataan yang sangat berbanding terbalik hingga membuat kepala Leon menjadi pusing.'Hanya ada satu yang benar, dan aku yakin kalau laporan Alden tidak salah. Tapi jika bukan Angel, siapa orang memasukkan obat perangsang dan mengajari Aksa yang tidak-tidak?.'“Oh iya, tadi mas tanya soal aku makan atau minum sesuatu s
“Aku tidak mau tahu! Papah harus membantuku agar bisa bergabung dengan keluarga Ganada!.” Samar-samar Asrof mendengar suara kekasihnya yang terdengar sedang marah. Asrof berusaha bangkit dari tidurnya dengan susah payah. Siluet seorang wanita yang berada tidak jauh darinya membuat Asrof terpaku sejenak. ‘Della kan? Apa maksudnya tadi?. Apa aku salah dengar?. Apa jangan-jangan..." “Kamu sudah sadar ya? Aku takut sekali waktu dengar kamu sakit. Padahal kita tinggal bersebelahan, tapi aku malah tidak bisa menjagamu.” “Tidak apa-apa, aku hanya sedikit kelelahan saja.” Asrof terduduk lemas di atas ranjang. Semenjak tiga hari yang lalu dirinya memang mengalami demam tinggi, tapi apa terjadi padanya tadi malam benar-benar di luar nalar. ‘Sepertinya aku pernah merasakan sensasi tadi malam, tapi di mana ya? Dan dengan siapa aku mengalaminya?.' ***** Beberapa lembar kertas surat lamaran berada di tangan Riri. Setelah mengetahui ada yang tidak beres dengan kedua babysitter Aksa, Ri
Suasana seketika hening. Tawa Leon pun berhenti, badannya juga membeku ketika tangan Riri menghantam wajahnya. “Sakit.” Cicit Leon pelan. Riri berdecih sambil memalingkan wajahnya. Ucapan Leon yang tidak ada lucu-lucunya membuat Riri naik pitam. Kalau di posisi Della pun dirinya pasti akan menampar wajah orang yang menertawakan aibnya. Hal tabu seperti itu tidak bisa di jadikan candaan seenaknya, selain mencoreng harga diri Della, hal itu juga dapat mencoreng harga diri para wanita lainnya. Bagi sebagian orang memang terdengar lucu, tapi bagi korban, itu adalah hal memalukan yang mungkin tidak akan pernah bisa dia lupakan. “Jangan katakan seperti itu lagi!. Awas saja nanti kalau aku dengar mas Leon tertawa karna itu!.” Wajah Leon terlihat sangat masam, teguran dari istrinya yang terlihat sangat marah membuat mulut Leon tertutup rapat. “Iya. Lagian aku kan tertawa karna om Asrof di tampar.” Kilah Leon mencari alasan. Walaupun dirinya memang menertawakan kemalangan pamannya,
“Kita tetap bisa datang walaupun berangkat besok!.” Kata-kata Leon seketika membuat Riri terdiam. Memang benar masih ada waktu tiga hari lagi, tapi yang namanya pernikahan kerabat dekat kan seharusnya datang lebih awal dari pada yang lainnya. Contohnya Riri dan keluarganya dulu ketika Nayla menikah di Jakarta. Banyak sekali kerabat dekat yang datang untuk membantu acara resepsinya, dan Riri yakin kebanyakan orang pasti begitu. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku bagi orang yang saat ini berada di sampingnya. “Jangan-jangan tradisi orang kaya berbeda. Benar-benar tidak memiliki rasa kekeluargaan. Mengindahkan sesuatu yang terasa seperti tradisi saja tidak mau. Dasar aneh.” Setelah sekian lama berdebat, mobil yang di tumpangi Leon dan Riri akhirnya tiba di depan rumah sakit. Leon mengajak Riri menuju ruangan dokter yang sebelumnya sudah dia kabari. Namun sebelum keluar dari mobil, Leon memberikan sebuah masker dan memakaikan sebuah jaket ke Riri. Dengan sikap profesi
Setumpuk makanan di hadapan Riri membuat nafsu makannya tidak kunjung datang juga. Sudah hampir dua minggu Riri hanya makan satu kali sehari saja, hal itulah yang membuat masalah pada pertumbuhan janin yang ada di dalam kandungannya. Di saat seharusnya perutnya terlihat sedikit membuncit karna terdapat tiga janin, perut Riri justru terlihat sangat rata hingga tidak terlihat seperti orang yang sedang hamil kembar tiga pada umumnya. “Kamu tidak kasihan dengan mereka?” “Aku lapar, sebenarnya aku juga mau makan, tapi tanganku tidak mau bergerak.” Keluh Riri yang sudah menatap makanan di depannya selama hampir satu jam. Riri mengusap perutnya yang masih rata seolah tidak ada kehidupan di sana. Peringatan keras dokter kandungan kemarin terus terngiang-ngiang di kepala Riri, walaupun begitu nafsu Riri tak kembali membaik. ‘Aku harus makan, tapi kenapa tangan dan mulutku tidak mau bergerak sedikit pun?.’ Melihat tidak ada pergerakan dari istrinya, Leon berinisiatif mengambil