“Kau tunggu di sini!” titah Qasam saat sudah berada di ruang keluarga.Qizha diam mematung, mematuhi perintah sang suami.Qasam berlalu memasuki ruangan lain. Ia menuju ke kamar Habiba.Tok tok… Kepalan tangannya mengetuk pintu. Tak ada sahutan.“Ma, aku masuk ya?” seru Qasam.Tetap tak ada sahutan.Qasam membuka pintu, ia mendapati Habiba tengah menikmati secangkir teh panas di sofa kamarnya. Ia yakin mamanya mendengar suaranya, namun wanita yang kelihatan lebih muda dari usianya itu sengaja tak mau menyahuti. “Ma, tolong jangan begini. Apakah menurut mama hidupku akan tenang saat mama mendiamkanku?” Qasam duduk disisi mamanya, menatap lekat. Hatinya kacau saat diperlakukan begini oleh mamanya. Habiba diam saja, masih meneguk teh seolah tak ada Qasam di sisinya.“Cabut kata- kata mama yang bilang kalau aku tidak diakui sebagai anak, please!” pinta Qasam.“Apa sudah selesai bicara? Kalau sudah selesai, silakan keluar. Aku mau ke ruang tengah, nenekmu sedang berkunjung kemar
“Ayo, temui keluargaku. Kau harus memperkenalkan dirimu sebagai menantu di rumah ini!” ajak Habiba penuh semangat.Qizha menggeleng sambil menahan tangan Habiba yang menariknya hingga tubuh Habiba pun tertahan di posisinya.Habiba mengangkat alis,isyarat menanyakan kenapa Qizha menahannya.“Aku nggak bisa, Tante,” jawab Qizha merasa rendah diri. Dia bukan siapa- siapa di sana, benar- benar merasa tak percaya diri. Apa lagi di sini suaminya sama sekali tak mendukungnya. Lalu bagaimana mungkin ia akan merasa nyaman diperkenalkan sebagai istrinya Qasam, ditambah dia berasal dari kalangan sederhana.“Kok panggil Tante lagi?”“Maaf, maksudnya aku nggak bisa, mama.” Lidah Qizha terdengar agak kaku memanggil ‘mama’.“Kenapa?” tanya Habiba.“Aku… Aku bukanlah istri yang diharapkan seperti wanita lainnya, yang dinikahi karena sebuah tujuan membina rumah tangga. Aku dinikahi karena sebuah ketdak sengajaan. Aku dipertahankan dan dibawa ke sini dengan status istri juga bukan karena keingina
"Mama!" Habiba memperingatkan dengan ekspresi menghakimi. "Hargai keputusanku. Biarkan aku mengurus anakku dengan jalan pikiranku sendiri. Tolong untuk tidak mengacaukannya!""Qasam itu juga cucuku. Ada darahku yang mengalir di tubuhnya. Aku berhak mencampuri semua ini! Aku yakin Qasam tidak menyukai wanita ini." Amira bersikukuh."Jangan paksakan Qasam untuk mempertahankan sesuatu yang dia tidak sukai, akibatnya akan fatal. Nanti Qizha sendiri juga yang merasakan kehancuran saat hidup dengan lelaki yang tidak menyukainya," sahut Alka, kakeknya Qasam dengan nada tenang."Semuanya sudah terjadi dan sepasang suami istri ini harus menjalaninya, akad yang mereka ikrarkan di hadapan Tuhan bukanlah hal main- main, maka jangan dibuat main-main," sahut Habiba tegas. "Tuhan tidak memerlukan apa pun untuk mengubah perasaan mereka menjadi saling menyayangi. Ini bukan masalah suka atau tidak suka, tapi tanggung jawab besar. Dan Qasam harus punya tanggung jawab untuk rumah tangganya."Amira tak bi
Qizha melihat nomer asing meneleponnya. Mungkin telepon dari butik seperti yang dikatakan Habiba. "Halo selamat malam!"Suara di seberang sangat ramah sekali. "Saya dari butik Mirasana. Benar saya bicara dengan Nyonya Qizha?""Ya, benar.""Bisakah disebutkan ukuran baju, sendal dan ukuran pinggang?"Qizha seperti terhipnotis hingga menyebutkan saja ukuran yang diminta.Pembicaraan disudahi. "Kak Qizha!"Qizha menoleh mendengar panggilan itu. Wafa berdiri menyandar di pintu. Gadis itu mengunyah apel. "Ada apa, Wafa?" tanya Qizha. Wafa berjalan masuk kamar. Tatapannya membuat Qizha tak nyaman. "Kakak bukan menantu dan ipar yang diinginkan di sini. Kasian Mas Qasam mesti menghabiskan sisa waktunya dengan kakak," ucap Wafa datar saja. "Sembilan puluh persen penghuni rumah ini nggak mengharapkan kehadiran kaka di sini. Kakak tahu kan apa yang harus kakak lakukan?"Sakit sekali mendengar perkataan Wafa. Memang benar semua penghuni rumah, tidak menyukai Qizha, kecuali Habiba. "Aku jug
Tapi ngomong- ngomong ia harus tidur dimana?Mungkinkah ia harus tidur seranjang dengan Qasam di kasur itu? Kepala Qizha mulai terayun- ayun. Ngantuk sekali. Gludak!Sial. Kepalanya kejeduk meja saking kuatnya rasa kantuk, kepala terayun keras dan menghantam meja. "Aduh!" Qizha mengusap keningnya. Lalu berjalan mendekati ranjang, berbaring di kasur, posisinya berada di paling pinggir. Bukan ia takut tersentuh Qasam, sebab hubungan mereka sudah sangat jauh, imposible jika masih membahas takut tersentuh.“Kenapa kau tidur di sini?” Suara dari arah belakang mengejutkan Qizha. Padahal ia sudah hampir tertidur, tapi malah jadi melek lagi gara- gara suara itu.Qizha menoleh.“Jangan tidur di sini!” titah Qasam.Qizha mengernyit. Ia lalu bangkit duduk. “Lalu aku harus tidur dimana? Udah bener aku tidur di sofa tadi, kenapa malah disuruh amsuk kamar? Sekarang setelah di kamar, kamu mengusirku? Bagiaman ini sebenarnya?”Qasam mendorong bantal yang baru saja digunakan Qizha hingga b
Qasam sudah selesai memasang pakaiannya. Ia tengah asik menyisir rambut yang baru saja diuyel- uyel menggunakan minyak rambut.Tatapannya tertuju ke cermin, tepat pada pantulan wajah di belakangnya. Yaitu wajah Qizha.“Kau jangan beranggapan kalau hidupmu di sini adalah bagian dari keluargaku. Rumah tangga kita akan seperti neraka sampai kau menua!” tegas Qasam.“Aku malah kasihan kepadamu, karena hidupmu nggak akan bermanfaat saat memupuk dendam, justru akan memupuk dosa,” lembut Qizha sambil merapikan kasur.“Akhir jaman memang banyak manusia berilmu tinggi, sama sepertimu. Kulihat kau ini memiliki ilmu tinggi dalam beragama, tapi percuma jika hanya berilmu tinggi saja, iblis pun ilmunya jauh lebih tinggi.”Qizha menarik napas panjang. Sampai kapan Qasam terus menyudutkannya begini?“Pun tidak ada gunanya ibadah tanpa ilmu, menjadi manusia bodoh juga sama celakanya jika tidak mau mencari ilmu. Tapi akan lebih baik manusia bodoh berakhlak baik yang sedang mencari ilmu, dari pad
“Qizha, ayo duduk! Makanlah!” ucap Habiba. Situasi dan kebersamaan keluarga besar Qasam benar- benar sangat membuat Qizha merasa canggung sekali. Apa lagi ia merasa sendirian. Hanya Habiba yang berada di pihaknya.Qizha memutari meja, lalu duduk di sisi Amira. Di sini lebih baik dari pada berada di sisi Husein. Qizha bingung harus mengambil makan apa. Ia membalikkan piring di depannya, ada meja putar di tengah- tengah meja yang di sana tersaji berbagai menu untuk sarapan. Sebenarnya Qizha menginginkan pastel, tapi ia tak berani memutar meja. Untuk menjulurkan tangan saja rasanya canggung, apa lagi memutar meja. Habiba bangkit berdiri, ia mengambilkan pastel untuk Qizha. “Ayo, makanlah!” Qizha tersenyum. Mertua idaman. Tau banget selera menantu. “Bagaimana malammu, Qasam? Apakah berjalan dengan baik? Kau tidak tidur sendiri tadi malam bukan?” tanya Amira. “Aku tidak bisa tidur. Mungkin karena ini adalah awal dari segalanya,” jawab Qasam datar saja. “Aku berharap kau
“Aku sebenarnya juga nggak suka Mas Qasam menikah dengan wanita yang nggak Mas Qasam cintai. Itu pasti hanya akan membuat beban hidup Mas Qasam jadi makin berat. kasihan sekali Mas Qasam,” sambung Wafa lagi. Qasam diam saja. membiarkan Wafa mengungkapkan apa saja. Jika Qizha memiliki suami yang mencintainya, tentu sang suami akan membelanya., menjaga hatinya dari serangan kalimat- kalimat julid yang menyakiti. Tapi ini Qizha harus berjuang sendiri.“Cepat habiskan makanmu! Kita akan ke kantor!” Qasam melangkah pergi meninggalkan meja.Qizha buru- buru menghabiskan makan, lalu meneguk minum separuh. “Hei, jangan tinggalkan minummu begitu saja! ini maish ada separuh. Kau harus menghabiskannya. Sususmu ini mahal!” seru Amira.Qizha yang sudah dua langkah meninggalkan meja, kembali ke meja dan meneguk susu sampai habis. Sebenarnya perutnya mual menghabiskan susu itu karena sudah kenyang, tapi nenek itu pasti akan memakinya jika ia membantah.Beginilah nasib menantu yang sed
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p