Qasam kembali menghela napas untuk menenangkan dirinya sendiri. “Ada orang yang sengaja ingin menghancurkan pernikahanku dengan Ameena.”“Tidak peduli dengan siapa pun yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Tapi fakta itu menjelaskan bahwa kau sudah berkhianat dan mempermalukan keluarga ini. Sebelum kau bertindak, seharusnya kau pikirkan dulu resikonya. Kita punya nama besar. Dan kau berani melakukan ini! benar- benar memalukan!” hardik Husein dengan keras, kemudian melangkah pergi bersama kemarahannya.“Kita pulang!” Amira melangkah pergi, mengajak suaminya.Alka mengikuti sang istri meninggalkan rumah.Wafa tak bisa berkata apa- apa. gadis itu berlari masuk kamar. Ia prihatin dengan keadaan kakaknya, yang jelas hancur dan tersudut di hari pernikahannya yang gagal. Sangat menyedihkan. Bahkan perbuatannya itu sampai harus diketahui oleh khalayak umum. Meski merasa prihatin, namun Wafa juga tidak bisa membenarkan perbuatan kakaknya.“Tidak seperti yang mama pikirkan, semua ini benar- be
Qasam berjalan mendekati pintu kamar Ameena, ia berhenti di ambang pintu melihat situasi di dalam melalui pintu yang terbuka. Gadis itu tengah berada di atas kasur dengan bantal disusun gak tinggi di belakang hingga posisinya setengah duduk. Pembantu duduk di hadapannya menyuapi makan. "Ayo, dimakan Non. Nanti Non sakit. Sudah sejak kemarin Non nggak makan loh, saya jadi takut dimarahi Nyonya besar sama Tuan besar," bujuk pembantu itu dengan lembut. "Ayo makan Non. Saya sedih lihat Non begini. Kejadian yang menimpa Non ini adalah ujian. Jangan terlalu larut, Non. Kasiani diri Non. Justru Non harus merasa bersyukur karena diperlihatkan sejak sekarang siapa calon suami Non yang sebenarnya, jadi Non nggak terlambat menyadarinya. Biarkan saka lelaki begitu, Non. Non berhak hidup bahagia. Yang sabar ya, Non." Pembantu bicara panjang lebar demi menenangkan.Qasam membeku di tempat, menatap Ameena dengan sedih. Air mata Ameena menetes deras. Kemudian wanita itu sesenggukan dalam tangis ya
"Kenapa jadwal kerjaku tidak disusun? Tadi seharusnya aku ada meeting, sekarang aku ada pertemuan dengan Pak John. Tapi aku tidak tahu dengan jadwal itu,” tegas Qasam pada asistennya, Fahri.“Qizha sudah beberapa hari tidak mausk kerja, tanpa kabar.” Fahri ingat kejadian di pesta pernikahan Qasam. Ia berada di acara itu ketika kekacauan terjadi. Dan ia memahami perasaan Qasam yang sedang tidak baik- baik saja.Qasam memutar mata sambil geleng kepala singkat mengingat foto yang dikirimkan oleh Hasan. Qizha dalam keadaan sekarat atau bahkan sudah mati?“Apakah Qizha tidak memberi tahukanmu atas ketidak hadirannya itu?” tanya Fahri agak segan. Ia tahu letak permasalahan antara Qizha dan Qasam.“Lupakan!”“Atau sudah ada nama sekretaris yang baru? Mungkin kau ingin menggantinya?”“Tidak. Tidak akan ada penggantian sekretaris.”“Lalu?” Fahri bingung. “Sebelum Qizha masuk, seluruh jadwal kerjaku diatur olehmu kan? jadi kau handle kembali tugas itu.”Fahri menghela napas panjang.
“Mama!” Qasam mengetuk pintu kamar Habiba. Sudah beberapa hari Qasam didiamkan oleh mamanya. Bahkan ketika Qasam menelepon mamanya pun tak pernah dijawab. Habiba diajak ngomong pun tak menyahut. Qasam tak sanggup diperlakukan begini oleh mamanya.Tak ada sahutan dari dalam kamar.“Aku masuk, Ma!” Qasam menekan handle dan masuk kamar.Habiba sedang duduk, menulis di meja. Ia mengenakan kaca mata, lampu meja menyorot bukunya.Qasam menarik kursi dan duduk di depan mamanya, berbatasan dengan meja.“Ma, tolong jangan diamkan aku. Bicaralah padaku! Aku seperti orang mati kalau diperlakukan begini oleh mama. Aku tidak peduli jika semua orang mengacuhkan aku, tapi jangan mama.” Qasam berucap lembut.Habiba masih diam, terus menulis. Seolah tak ada orang yang mengajaknya bicara.“Ma, aku masih anakmu, kan? Pernyataan mama yang bilang tidak akan mengakuiku lagi sebagai anak itu tidak terjadi kan? jawab, Ma!” lembut Qasam lagi.Habiba mengangkat wajah. Melepas kaca matanya dan menat
Qizha membuka mata, ia menatap langit- langit kamar. Lampu- lampu yang menyort membuatnya silau setelah entah berapa lama ia tak sadarkan diri.Lampu? Kenapa di kuburan ada lampu?Eh, jadi Qizha masih hidup? Kirain sudah mati.Di sekeliling terdapat peralatan medis. Ia berbaring di atas bed tempat biasa orang sakit dibaringkan.Fix, Qizha sekarang sedang berada di rumah sakit.“Selamat malam!” suster masuk, tersenyum ramah. Kemudian mengecek kondisi Qizha. “Udah berapa lama aku di sini, Sus?” lirih Qizha masih lemas.“Sudah dua hari. Nona kehabisan banyak darah.”Qizha hendak bangkit namun suster menahannya. “Jangan banyak gerak dulu, Nona. Luka di perut memang sudah kering, tapi Nona masih harus menjalani perawatan intensif.”Qizha mengangguk.“Siapa yang membawaku kemari?” tanya Qizha. Penasaran. Seingatnya, ia terbaring lemah tak berdaya di tanah setelah mendapat tusukan dari orang tak dikenal. Mungkin orang asing yang mencelakainya itu adalah orang suruhannya Qasam.
Tatapan Qasam menyorot tajam pada Qizha. “Mau kemana kau?”Qasam menatap infus yang sudah dilepas.“Kabur?” tanya Qasam lagi. Ia maju dan meraih pergelangan tangan Qizha.“Aku akan teriak kalau kamu macam- macam.” Qizha panik.“Teriak saja! kau pikir aku manusia bodoh yang akan bertindak gegabah di tempat umum begini? santai saja dulu!” tegas Qasam membuat Qizha menyadari satu hal, bahwa memang benar Qasam tak akan mungkin berbuat hal buruk terhadapnya di tempat umum begini.Di luar, orang- orang lalu lalang.Tepat saat itu, dokter pun masuk. Sosok berpakaian putih itu ternyata dikenal oleh Qasam. Inez, tantenya Qasam, yang tak lain juga ibunya Hasan.Ini kebetulan atau sudah dikondisikan hingga Inez sendiri yang menjadi dokter untuk Qizha? Pertanyaan itu berputar di kepala Qasam.“Qasam, kau di sini?” tanya Inez. “Oh ya, ini kenapa pasienku berada di sini? Bukankah seharusnya dia berbaring di sana?” Inez menunjuk bed. Juga menatap infuse yang dilepas sembarangan.“Aku hanya
Seketika wajah Qizha yang dibalut kesedihan dan air mata itu berubah jadi bingung. Loh, kok bisa? Bukankah Qizha hampir mati akibat ulah Qasam?“Jangan berbohong! Jelas- jelas aku hampir mati. Siapa pelakunya kalau bukan orang suruhanmu? Bukankah terakhir kali kamulah yang mengatakan kalau kamu akan mengirim orang suruhan untuk melenyapkan aku? Ini nggak lucu! Kamu jangan menghindar hanya karena nggak mau dituduh pembunuh!” ungkap Qizha.“Aku tidak sepertimu. Yang dengan entengnya melenyapkan nyawa, karena aku tahu itu sama saja mendahului Tuhan. Mengambil nyawa yang diciptakan Tuhan hanyalah tugas Tuhan sendiri dan aku tidak boleh ikut campur. Tugasku hanya untuk membuat air matamu kering, itu saja!” balas Qasam.“Jadi kamu pikir aku punya musuh? Menurutku hanya kamu satu- satunya orang yang menginginkan kematianku.”“Sangat disayangkan jika kamu terlalu cepat mati, lebih baik hidup dan merasakan penderitaan, istriku.”“Kamu sudah menalakku. Aku bukan istrimu lagi.”“Qiz
Qizha turun dari mobil, mengikuti Qasam yang sudah lebih dulu turun. Rupanya ia dibawa ke rumah milik Qasam. Entah apa yang akan dilakukan pria itu terhadapnya di sana. Qizha menunggi di sisi mobil disaat Qasam menjauh untuk menelepon. Sepertinya Qasam terlibat pembicaraan serius dan tak ingin pembicraaannya itu didengar oleh Qizha.Qasam sedang berbicara dengan Inez. “Tan, aku membawa Qizha pulang. Tante jangan mencarinya, aku tidak mau tante merasa kehilangan pasien dan menganggap ini sbeuah masalah besar. Administrasi sudah kuurus.”“Loh, kenapa? Qizha masih dalam masa perawatan.”“Perawatan dariku justru akan lebih baik.”“Qasam, tante tahu kamu nggak benar- benar menjaga Qizha. Dia bukan istri yang kamu mau kan? entah apa alasanmu menikahinya diam- diam. Dan tante tidak yakin kalau kau akan menjaganya. Lebih baik kembalikan dia ke rumah sakit.”“Hasan sudah mencelakai Qizha, dia tahu posisi Qizha. Aku hanya ingin menyelamatkan Qizha dari serangan Hasan berikutnya.”
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p