“Ada masalah apa kau dengan Weni?” tanya Qasam dengan suara tenang.Qizha mendadak merasa canggung dan tegang. Apakah ia akan dihakimi?“Nggak ada masalah apa- apa. Saya bahkan nggak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Bu Weni, kenapa dia nggak suka sama saya. Dia terus- terusan saja memusuhi saya. Dia menghina, memojokkan, bahkan menyerang saya. Sampai akhirnya mau mencelakai saya. Saya nggak punya kesalahan apa- apa sama dia, tapi dia terus membenci saya seolah saya ini musuh besarnya.”Capek- capek Qizha menjelaskan sesuatu yang jelas sudah diketahui alasannya oleh Qasam. Andai saja Qizha tahu kalau penjelasannya itu percuma, tentu dia tak akan bicara panjang lebar hanya untuk hal yang sia- sia.“Setahuku Weni adalah staf yang baik,” ucap Qasam.“Apakah ini maksudnya bapak nggak percaya sama saya?” lirih Qizha.“Tidak ada asap jika tidak ada api. Awalnya kau mendapatkan jabatan sekretaris, lalu kini menjadi OB. Apakah itu alasannya sehingga kau bersikap semena- mena pa
Pemandangan yang menyembul di balik kemeja menjadi pusat perhatian Qasam. Pria itu menundukkan kepala dan berkata pelan, "Kau akan menyerahkan milikmu kepadaku sekarang."Seluruh tenaga Qizha benar- benar hilang, bahkan untuk mengangkat kepala pun tak bisa lagi, Jika ia memiliki kekuatan, tentu ia sudah melakukan perlawanan kuat.Sedikit demi sedikit, kesadarannya pun mulai memudar. Namun ia masih bisa merasakan apa yang terjadi dengan jelas ketika sang CEO menikmati sisi sensitif di dadanya, pria itu nyaris seperti bayi. Kemeja Qizha dilepas sempurna, kemudian celananya dipelorotkan ke bawah. Kini Qizha tanpa busana. Tak sehelai pun menutupinya. Ah, kemana tenaganya? Kenapa tubuhnya jadi lemas sekali tanpa kekuatan apa pun? Sama sekali tak bisa melakukan pemberontakan.Tangannya terangkat hendak melawan, namun kembali terjatuh dengan lemas.Ia merasakan sentuhan demi sentuhan, bahkan ia merasakan sensasi saat area inti menjadi pusat sasaran lelaki itu. Air mata Qizha berderai dari
Qizha membuka kelopak mata secara perlahan, kepalanya berdenyut. Tubuhnya pegal semua. Bagian sensitifnya terasa ngilu saat ia bergerak.Hah? Apa yang telah terjadi padanya? Qizha menatap tubuhnya yang terbaring di sofa tanpa lapisan sehelai benang pun. Pakaiannya berserakan di segala arah.Lalu tangisnya pecah saat teringat kejadian terakhir. Ah, pria kejam itu telah melecehkannya. Pria itu telah merenggut kesucian yang dia jaga dengan baik selama ini. Benar- benar pria biadab! Dengan segala bujuk rayu, pria itu berusaha mendapatkan Qizha. Cih, tapi Qizha sama sekali tidak tertarik. Dia pasrah saat lelaki itu menggagahinya bukan karena rela, tapi tak sanggup melawan rasa lemas.Qizha ingat bagaimana lelaki itu menggagahinya, ingat bagaimana pria itu memberikan sentuhan- sentuhan hangat, juga ingat bagaimana benda asing itu mengoyak selaput dara miliknya. Kini ia tidak lagi memiliki mahkota yang bisa dia banggakan kepada sang suami.Qizha benar- benar merasa hancur. Ia m
Tatapan Qasam fokus ke tubuh Qizha yang terbaring di atas kasur. Hidungnya mungil dan mancung. Bulu matanya lentik, bibirnya merah ranum. Kembali bayangan insiden hangat itu terekam di kepala Qasam. Ia ingat bagaimana Qizha terlihat pasrah di bawahnya, lalu dengan leluasa Qasam melakukan apa saja terhadap Qizha. Termasuk melakukan penyatuan panas itu. Tubuh Qasam tiba- tiba memanas mengenang hal itu. Namun detik berikutnya kepalanya menggeleng.Plak!Tangan Qizha terhempas dan jatuh ke bawah, menempel tepat di paha Qasam. Sentuhan tangan Qizha di paha Qasam membuat pria itu merasakan sensasi yang berbeda. Aneh, semenjak ia melakukan hubungan badan dengan Qizha, kenapa perasaannya jadi berubah begini? Seperti ada sesuatu yang menggelora bilamana ia berdekatan apa lagi sampai bersenggolan begini?Ah ya ampun, jangan bilang Qasam menikmati hubungan itu hingga menimbulkan perasaan yang menagih.Tapi… apakah salah kalau seorang suami menikmati berhubungan dengan istrinya sendiri?“Eumhh
Qizha bersujud di shalat subuhnya. Lama ia bersujud sambil melafazkan doa. Kemudian ia mengucap takbir untuk tahiyat akhir. Saat mengucap salam, Qizha meneteskan air mata. Bukan kesedihan yang membuat Qizha meneteskan air mata. Tapi entah kenapa shalatnya kali ini terasa sangat berbeda. Hati Qizha seperti dihujani kesejukan, ia merasa sangat tenang dan damai. Tak ada kegundahan yang menyelimuti benaknya. Senyumnya mengembang di akhir doa. Ia seperti mendapat kekuatan baru. Ia menyadari bahwa semua yang dia alami ini adalah ujian yang bila ia mampu melewatinya maka akan naik derajatnya. Qizha memohon petunjuk, apakah ia harus menyudahi pernikahannya dengan Qasam, ataukah menyudahinya? Tuhan pasti tahu yang terbaik untuk kehidupannya. Qasam nyaris seperti musibah bagi Qizha, yang setiap waktu hadir hanya untuk menyakiti Qizha. Lalu, apakah Qizha masih harus bertahan? Apakah setelah Qasam meminta maaf maka Qizha akan memberi kesempatan sekali lagi untuk melihat perubahan pad
Tepat saat Qasam terlena, Qizha pun mendorong tubuh Qasam yang menjadi penghalang di hadapannya, kemudian ia melompat turun dari meja dan melangkah pergi dengan cepat. "Aku harus pergi," ucap Qizha sambil menoleh dan mengedipkan satu mata ke arah Qasam, tak lupa pula tangannya bergerak mengancingkan bra di punggung. Ia meninggalkan Qasam yang berdiri mematung menatap kepergiannya dengan raut tertipu.Sepertinya kali ini Qizha menang. Muka Qasam lucu sekali saat merasa ditipu begitu.Disebabkan perut kelaparan, terpaksa Qizha membeli lontong di emperan jalan untuk mengisi perutnya pagi itu. Selain berhemat, makan lontong di sana juga enak. Ia tidak bisa hidup boros. Ia tidak mendapatkan nafkah dari Qasam, juga belum gajian. Tiba- tiba terlihat seseorang menghampiri warung dan duduk di sisi Qizha. "Mbak, lontong dua ya!" seru sosok wanita yang tak lain adalah Sina. Qizha dan Sina bertukar pandang. "Loh, Kak Qizha? Kamu di sini?" Sina yang kini berpenampilan modis itu menatap Qiz
"Aku nggak akan pulang. Biarkan ayah di rumah tanpa aku," ucap Qizha."Kamu tidak kasian pada ayahmu yang sakit- sakitan dan diperlakukan dengan buruk oleh ibumu. Kasian dia. Kalau bisa, bawa saja ayahmu tinggal bersamamu," sahut Arsen lagi. "Ini demi kalayakan hidup ayahmu."Mendengar perkataan Arsen, Qizha marah pada Agatha, wanita yang membawa pengaruh buruk pada Bily. Entah pelet apa yang diberikan Agatha sampai Bily jadi setakluk itu. Melihat Qizha yang masih diam, Arsen kembali berkata, "Setelah kamu meninggalkan rumah bersama Qasam, aku memilih untuk membawa Sina tinggal ke rumahku. Dan kemarin aku sempat mampir ke rumahmu, berharap bisa melihatmu, siapa tahu kamu ada pulang ke sana, tapi ternyata tidak. Sengaja kubawakan oleh- oleh untuk mertuaku. Di sana, aku melihat pemandangan menyedihkan, ibu tirimu itu menyia- nyiakan ayahmu. Dibiarkan tergeletak di lantai saat terjatuh, padahal sedang sakit.""Itu terjadi karena kebodohannya sendiri, yang merelakan dirinya dijadikan bu
Oh Tuhan... Jadi, pria biadab yang sudah merenggut kesuciannya itu adalah calon suami gadis cantik ini? "Aku dan calon suamiku memang sedang berjarak, tapi aku akan mencoba baikan mengingat dia sudah punya niat bagus untuk melamarku dalam waktu dekat.""Mm... Maaf, apa kamu sangat mencintainya? Mm...tapi jangan dijawab, kesannya ini lancang sekali." Qizha pura- pura segan.Ameena tertawa kecil. "Tentu saja. Dia itu sebenarnya lelaki yang baik. Dia sangat perhatian dan romantis. Hanya saja, dia sempat menunda pernikahan, inilah yang membuatku jadi kesal padanya."Andai saja gadis cantik ini tahu bahwa calon suaminya adalah huaya bermulut manis yang telah merampas kesucian seorang wanita, apakah dia akan tetap berpandangan yang sama terhadap pria itu?Namun, Qizha tak memiliki keberanian untuk membongkar masalah itu. Lebih baik ia menyimpan rahasia itu rapt- rapat, jangan sampai ada yang tahu. Selain malu kalau ia sudah dinodai, ia juga tak memiliki kekuatan apapun untuk menghadapi o
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p