Menjelang malam, Agatha mematut diri di cermin setelah mengenakan gaun sebatas lutut yang membentuk lekuk tubuh. Bibir bergincu merah terang itu mengulas senyum tipis sebelum menyambar tas selempang. Lalu, keluar kamar sambil berjalan mengendap-endap.
Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tak ada orang yang melihatnya keluar rumah. Sayang harapannya hanya sebatas angan karena sang mertua memergokinya saat membuka pintu utama. “Mau ke mana kamu, Agatha?” Agatha tergagap karena tak menyangka akan bertemu mertuanya. Dia mengusap tengkuk sambil tersenyum canggung sebelum menjawab. “Aku mau ke acara ulang tahun temanku, Ma. Terus pulangnya mau mampir ke rumah Papa dulu.” Erina menelisik penampilan sang menantu dari atas sampai bawah sebelum tersenyum sinis. “Alden sudah tahu?” “Nanti aku kasih tahu lewat pesan saja, Ma.” Agatha kembali mengusap tengkuk karena merasa diintimidasi oleh tatapan mertuanya. “Aku pergi dulu, Ma. Takut kemalaman.” Agatha berlalu begitu saja. Dia berjalan tergesa-gesa tanpa menoleh ke belakang hingga sampai di luar gerbang. Lalu, celingukan sebelum menghela napas panjang. Dia merogoh tas dan mengeluarkan sebuah botol parfum dan menyemprotkannya ke belakang telinga dan pergelangan tangannya. Tak berselang lama, sebuah mobil mendekat dan berhenti tepat di depan Agatha. Kaca bagian penumpang diturunkan, kemudian suara seorang pria terdengar menyapa. “Sudah lama menunggu, Manis?” Agatha tersenyum sumringah sebelum menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan keadaan, lalu naik ke mobil. Perlahan, kendaraan itu melaju meninggalkan kediaman Wijaya menyusuri jalanan menuju sebuah kafe yang terletak di pinggiran kota Malima. Wanita itu mengumbar senyum ketika pria yang tadi duduk di belakang kemudi membukakan pintu untuknya. Lalu, mengulurkan tangan dan menggandengnya untuk memasuki kafe. Keduanya duduk di sudut kafe sambil ditemani temaramnya lampu yang menambah suasana hangat malam itu. Agatha menatap kagum pria di depannya sambil terus mengulas senyum. Sementara sang pria melakukan hal yang sama sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemejanya. “Kamu sangat berbeda, Kevin. Aku sampai tidak mengenalimu tempo hari waktu ketemu di restoran.” Kevin tersenyum miring dan mengambil sebatang rokok, kemudian menyulutnya. Dia menyesap nikotin itu dan mengepulkan asapnya ke udara. “Kamu juga makin cantik, Tha. Sayangnya aku terlambat karena kamu sudah menikah. Andai belum, aku mau menikahimu.” Agatha merasa di atas awan mendengar pujian dari Kevin. Dia menyematkan rambut ke belakang telinga sambil melempar tatapan penuh harap kepada pria yang ada di depannya. “Andai aku bertemu denganmu lebih dulu, Kevin. Aku pasti lebih bahagia bisa menikah denganmu.” Kevin mengernyit mendengar ucapan Agatha. “Maksudnya? Kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu, Tha? Kenapa?” Agatha menghela napas panjang dan menunduk dalam. Perlahan, bahu wanita itu bergetar diiringi suara isak tangisnya. Kevin menoleh ke kanan dan kiri sebelum duduk mendekat dan merengkuh Agatha dalam pelukannya. “Kenapa, Tha? Apa suamimu kasar? Apa dia menyakitimu? Katakan, Tha!” Agatha masih tenggelam dalam kesedihannya sehingga Kevin perlahan mengusap lembut punggungnya. Isak tangis yang tadi kencang, sedikit demi sedikit mereda. Lalu, wanita itu menatap Kevin sebelum menyusut air matanya. “Dia terlalu cuek sebagai seorang suami, Kevin. Dia sama sekali tidak mau menganggapku sebagai istri. Aku harus bagaimana?” Agatha kembali terisak, tetapi kali ini lebih bisa mengontrol emosinya. Sementara Kevin kembali mengusap lembut punggung Agatha dan membiarkannya menumpahkan semua isi hati. Lima menit berselang, Agatha sudah berhenti menangis. Dia mengusap air mata yang membasahi pipi sebelum mencoba tersenyum kepada Kevin. “Terima kasih, Kevin. Untung ada kamu yang mau aku ajak ketemuan. Sungguh aku bingung harus cerita ke siapa. Semua orang tidak ada yang mau mendengar keluh kesahku.” “Tenang saja, Tha. Aku akan tetap di sisimu, meskipun kamu sudah menikah. Ya, anggap saja aku ini teman baikmu.” Agatha tersenyum sebelum meminta izin ke kamar mandi. Di depan wastafel yang ada dalam kamar mandi, dia menatap cermin sambil tersenyum sinis. Lalu, merogoh tas dan mengambil bedak dan memoleskannya pada wajah. “Begitu mudahnya memancing ikan. Kasih umpan sedikit, maka dia luluh selamanya.” Agatha masih memasang seringai di wajahnya saat memoleskan lipstik berwarna merah ke bibir. “Tinggal selangkah lagi, maka aku akan mendapatkan segalanya.” Usai memastikan penampilannya sempurna, Agatha kembali menemui Kevin. Kebetulan di sana sudah terhidang aneka makanan yang dipesan sebelumnya. “Kamu baik-baik saja, Tha?” tanya Kevin yang dijawab dengan anggukan Agatha. “Kalau begitu makan dulu, yuk! Aku sengaja pesan semua makanan favorit kamu.” “Masih ingat saja.” “Dua tahun adalah waktu yang lumayan lama untuk mengenalmu lebih dalam, Tha.” Kevin mengering nakal sambil menjawil dagu Agatha. Lalu, keduanya tersenyum sebelum memulai menyantap hidangan di depan mereka. Selama sesi makan itu, baik Agatha maupun Kevin saling berbagi cerita untuk mengenang masa lalu. Tak lupa cerita juga saat keduanya tak bertemu. Canda tawa mewarnai pertemuan mereka kali itu. “Sudah malam, Tha. Aku antar pulang sekarang.” Agatha mengangguk dan segera bangkit dari duduk, kemudian keduanya berjalan sambil bergandengan hingga sampai ke mobil. “Makasih buat malam ini, Kevin. Bisakah kita bertemu lebih sering?” Kevin menoleh kepada Agatha sambil tersenyum sumringah. “Tentu saja, Cantik. Kapan pun kamu butuh, aku pasti akan datang menjemputmu.” Agatha tersenyum manis sambil menyematkan rambut ke belakang telinga. Lalu, menatap Kevin sesaat sebelum mendaratkan kecupan di pipinya. “Aku masih sayang sama kamu, Kevin.” Kevin membeku di tempat. Dia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Dia hanya mengangguk sebelum melajukan mobil meninggalkan kafe. Sepanjang perjalanan, hening meningkahi keduanya. Agatha menatap keluar jendela, sedangkan Kevin fokus menatap jalanan. Kedua orang itu tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga Agatha memberanikan diri untuk membuka mulut. “Maafkan aku, Kevin. Aku tahu ini salah, tapi setelah pertemuan kita kemarin, aku selalu memikirkanmu” Kevin masih bungkam karena bingung harus bereaksi apa. Jujur, dia juga senang bisa bertemu kembali dengan Agatha, tetapi di sisi lainnya dia tidak enak hati dengan status pernikahan wanita itu. “Apa aku salah kalau memilih bersamamu daripada suamiku, Kevin? Aku benar-benar menyesal sudah menikah dengan Alden.” Kevin makin gusar dengan ucapan Agatha. Dia berulang kali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menepikan mobil dan berhenti sejenak. Pria itu memejamkan mata sesaat sebelum menghadap Agatha. “Sebenarnya aku juga masih sayang sama kamu, Tha. Aku masih berharap kita bisa sama-sama lagi kayak dulu.” “Kalau begitu kita pacaran saja mulai sekarang.” “Tapi, Tha ... kamu, kan ....” “Jangan pedulikan suamiku, Sayang. Aku akan mencampakkannya sesegera mungkin dan memilihmu.” Agatha mendekat dan meletakkan kedua tangannya di bahu Kevin. Dia menatap pria itu penuh cinta sebelum mendaratkan kecupan di bibirnya. Pria itu tergemap, tetapi tak mampu melawan karena Agatha kembali membungkam bibirnya dengan ciuman panas penuh hasrat. Kevin terbawa suasana dan mulai menikmati permainan. Dia menarik tengkuk Agatha untuk memperdalam ciuman hingga napas keduanya hampir habis. Mereka melerai pelukan untuk meraup oksigen dengan rakus. Lalu, tertawa lepas setelah saling menatap. Kevin kembali melajukan mobil hingga sampai di depan kediaman Wijaya. Agatha segera turun setelah memastikan keadaan aman, kemudian melambaikan tangan saat mobil Kevin perlahan menjauh. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri sebelum berjalan mengendap-endap memasuki rumah. Dia lega karena tak ada lagi orang yang terjaga. Lalu, berjalan menuju kamar sambil menenteng sandal hak tingginya. Dia bernapas lega usai masuk ke kamar dan hendak menuju ranjang. Namun, langkahnya terhenti kala lampu di kamar menyala terang. “Dari mana kamu?”Agatha menatap Alden sebelum mengumbar senyuman. Dia mendekat dan hendak memeluk sang suami, tetapi langsung ditepis. “Tadi tanya ke mana aku pergi, sekarang malah cuek.” Agatha mengerucutkan bibir sambil bersedekap. “Aku cuma bertanya. Lagipula bukan urusanku juga mau ke mana saja kamu pergi.” Alden berlalu menuju pintu, tetapi Agatha segera mencegahnya. “Kita sudah menikah dua Minggu lebih, Alden. Tidak maukah kamu melewati malam pertama kita sebagai pengantin baru?” Alden kembali menepis kasar tangan Agatha yang mulai bergerilya di lengannya. Lalu, menatap nyalang sang istri sambil mendengkus kesal. “Inilah risiko yang harus kamu tanggung, Agatha. Kamu tahu aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Jadi jangan berharap ada malam pertama bagi kita.” Usai berucap demikian, Alden langsung keluar kamar dan membanting pintu di belakangnya sehingga membuat Agatha tersentak. Wanita itu mendengkus kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya ke ranjang. Lalu, memukul bant
Eleanor mengerjap pelan kala suara alarm menyapa rungu. Dia meraba untuk mencari ponsel dan segera mematikan alarm. Lalu, beringsut duduk dan menggeliat sejenak sebelum mengedarkan pandangan. “Selamat pagi, Eleanor,” ucap Eleanor pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Lalu, mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan otot. Masih teringat jelas dalam benak kejadian semalam saat Darren memintanya untuk tinggal sejenak di dapur. Wanita itu bergeming sambil menatap tangan sang suami sebelum beralih untuk menatap wajahnya. Aura dingin yang biasanya hinggap berganti dengan kesedihan. Entah apa yang sudah terjadi, yang pasti Darren sedang tidak baik-baik saja. Maka Eleanor memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya. Sekian menit berlalu, Darren hanya bungkam sehingga membuat Eleanor mengernyit heran. “Ada yang mau kamu sampaikan?” “Lupakan. Tidurlah!” Darren kembali seperti biasa. Dingin dan misterius sehingga membuat Eleanor menghela napas
Eleanor tersenyum tipis setelah memasang sabuk pengaman, kemudian melirik sang suami sekilas sebelum menatap jalanan. Sementara, Darren perlahan mulai melajukan mobil meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya suara musik yang terdengar memenuhi kabin.“Kamu senang, Elea?”Eleanor menoleh saat mendengar suara suaminya. Dia tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, dia kembali menatap jalanan.“Ehm, bukankah ini urusan bisnismu, apa tidak apa-apa jika aku ikut?”Darren melirik sang istri sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan. “Aku lebih tenang jika kamu ikut bersamaku. Dan ... anggap saja ini liburan.”Eleanor kembali tersenyum mendengar jawaban suaminya. Lalu, menikmati musik sambil sesekali ikut bersenandung. Sementara di sebelahnya, Darren memperhatikan sambil tersenyum.Hampir dua jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Darren sampai di hotel yang dituju. Keduanya turun di lobi sebelum melangkah menuju resepsionis. Lalu, berjalan menuj
Alden tersentak mendengar peringatan yang diucapkan Darren. Kedua matanya langsung menatap lekat ponsel yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut dalam sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.“Jangan berpura-pura lagi, Alden! Aku tahu kamu menyuruhnya untuk memata-matai Elea.”Alden mengalihkan tatapan dari ponsel di depannya kepada Darren. Tahu ke mana arah pembicaraan pria itu, Alden mendengkus kesal. Lalu, menyandarkan punggung sambil menatap penuh ejekan kepada sepupunya.“Kalau iya kenapa?” Alden tersenyum miring sebelum bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan merebutnya kembali darimu, Darren. Lihat saja nanti.”Darren mendengkus kesal sebelum berbalik dan hendak berlalu, tetapi suara Alden berhasil membuat langkahnya terhenti.“Kamu tak akan berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Darren!”Darren mengepalkan kedua tangannya sebelum segera pergi meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya juga meladeni semua omong kosong
Agatha terjaga ketika ingin berkemih. Dia berusaha untuk bangun, tetapi tangan kekar seseorang melingkari perutnya. Dia menoleh dan mendapati Kevin masih tertidur pulas di sampingnya. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap lembut pipi sang pria sebelum memindahkan tangan dari perutnya. Perlahan Agatha bangkit dan hendak turun dari ranjang, tetapi Kevin mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Sayang?” “Aku harus ke kamar mandi, Kevin.” “Jangan lama-lama. Aku masih menginginkanmu.” Agatha tersenyum manis sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Dia sama sekali tak merasa risih meskipun Kevin menatapnya lekat. Lekuk tubuh wanita itu sudah membuat Kevin mabuk kepayang dan ingin kembali mengulang indahnya dosa beberapa jam yang lalu. Saat Agatha keluar kamar mandi, Kevin langsung duduk dan mengulurkan tangan. Senyum lebarnya tersumir di bibir kala sang wanita setengah berlari dan menerjangnya hingga terjengkang di ranjang. “Mau lagi?” tanya Agat
“Aku juga tidak tahu. Aku ingat plat nomor mobilnya dan aku yakin itu adalah Alden. Tapi waktu aku mau mendekat, dia malah tancap gas.”Darren mendengkus kesal mendengar ucapan istrinya. Dia menggeretakkan gigi karena menahan amarah. Melihat itu, Eleanor segera mengusap lembut lengan suaminya.“Mungkin dia hanya iseng, jangan dimasukkan ke hati, ya?”Eleanor tersenyum manis, berusaha untuk meredam amarah suaminya. Lalu, saat menyadari tindakannya, dia segera menarik kembali tangannya. “Maaf, aku hanya spontan tadi.”Darren menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. Namun, saat hendak berlalu, suara Eleanor berhasil menahannya.“Sarapan sudah siap. Sebaiknya segera makan sekarang sebelum dingin dan tidak enak lagi.”Darren mengangguk dan menunggu Eleanor bangkit dari duduk. Meskipun kesakitan, wanita itu tetap memaksakan diri untuk berjalan. Eleanor berjalan lebih dulu, sedangkan Darren di belakangnya sambil diam-diam mengamati. Saat tiba di meja makan, senyum yang sejak
Eleanor terkejut melihat kaca tempat foto yang terpajang di nakas pecah usai terjatuh karena ulahnya. Dia segera berjongkok dan berusaha untuk mengambil benda itu, tetapi tangannya langsung ditahan seseorang. Wanita itu langsung mendongak dan terkejut melihat sang suami.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Ini salahku, nanti akan aku ....”“Lupakan! Memangnya kamu mau ke mana lagi?”Darren menghela napas panjang sebelum mengangkat Eleanor dan membaringkannya ke ranjang. Lalu, mengambil foto tadi dan menaruhnya ke nakas sebelum keluar kamar dan kembali sambil membawa sapu. Tanpa bicara, pria itu membersihkan sisa pecahan kaca dan membawanya keluar.Sementara itu, Eleanor merasa sangat bersalah. Dia menatap hampa foto yang tergeletak asal di nakas sebelum menunduk sambil meremas jemarinya. Mendengar suara langkah mendekat, dia mendongak dan bersitatap dengan sang suami.“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak ....”“Aku bilang lupakan! Itu hanya sebuah foto, yang terpenting kam
“Aku mau pernikahan ini dibatalkan!” Suara lantang Eleanor langsung menarik perhatian semua anggota keluarga, pun dengan tamu yang hadir di sebuah gedung resepsi. Ya, hari itu rencananya Eleanor akan menikah dengan Alden, pria yang telah berpacaran dengannya selama lima tahun. “Jangan bercanda kamu, El. Kamu akan menikah sebentar lagi.” Suara tegas dan berwibawa milik seorang pria paruh baya bernama William itu terdengar memenuhi ruangan. “Aku tidak bercanda, Kek. Aku serius akan membatalkan pernikahan ini karena ....” Eleanor menarik napas berat sebelum menatap calon suami yang duduk di sampingnya. “Karena Alden telah menghamili Agatha.” “Elea, a-apa maksud kamu?” tanya Alden tergagap. Wajahnya seketika memucat. Alden langsung menatap Agatha yang tengah menyunggingkan seringai tipis di sebelah ibunya. Kakek William yang sedang duduk langsung berdiri dan menatap Eleanor dengan tatapan tidak senang. “Hari ini adalah hari baik, Elea. Bagaimana bisa kamu bercanda dengan memb
Eleanor terkejut melihat kaca tempat foto yang terpajang di nakas pecah usai terjatuh karena ulahnya. Dia segera berjongkok dan berusaha untuk mengambil benda itu, tetapi tangannya langsung ditahan seseorang. Wanita itu langsung mendongak dan terkejut melihat sang suami.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Ini salahku, nanti akan aku ....”“Lupakan! Memangnya kamu mau ke mana lagi?”Darren menghela napas panjang sebelum mengangkat Eleanor dan membaringkannya ke ranjang. Lalu, mengambil foto tadi dan menaruhnya ke nakas sebelum keluar kamar dan kembali sambil membawa sapu. Tanpa bicara, pria itu membersihkan sisa pecahan kaca dan membawanya keluar.Sementara itu, Eleanor merasa sangat bersalah. Dia menatap hampa foto yang tergeletak asal di nakas sebelum menunduk sambil meremas jemarinya. Mendengar suara langkah mendekat, dia mendongak dan bersitatap dengan sang suami.“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak ....”“Aku bilang lupakan! Itu hanya sebuah foto, yang terpenting kam
“Aku juga tidak tahu. Aku ingat plat nomor mobilnya dan aku yakin itu adalah Alden. Tapi waktu aku mau mendekat, dia malah tancap gas.”Darren mendengkus kesal mendengar ucapan istrinya. Dia menggeretakkan gigi karena menahan amarah. Melihat itu, Eleanor segera mengusap lembut lengan suaminya.“Mungkin dia hanya iseng, jangan dimasukkan ke hati, ya?”Eleanor tersenyum manis, berusaha untuk meredam amarah suaminya. Lalu, saat menyadari tindakannya, dia segera menarik kembali tangannya. “Maaf, aku hanya spontan tadi.”Darren menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. Namun, saat hendak berlalu, suara Eleanor berhasil menahannya.“Sarapan sudah siap. Sebaiknya segera makan sekarang sebelum dingin dan tidak enak lagi.”Darren mengangguk dan menunggu Eleanor bangkit dari duduk. Meskipun kesakitan, wanita itu tetap memaksakan diri untuk berjalan. Eleanor berjalan lebih dulu, sedangkan Darren di belakangnya sambil diam-diam mengamati. Saat tiba di meja makan, senyum yang sejak
Agatha terjaga ketika ingin berkemih. Dia berusaha untuk bangun, tetapi tangan kekar seseorang melingkari perutnya. Dia menoleh dan mendapati Kevin masih tertidur pulas di sampingnya. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap lembut pipi sang pria sebelum memindahkan tangan dari perutnya. Perlahan Agatha bangkit dan hendak turun dari ranjang, tetapi Kevin mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Sayang?” “Aku harus ke kamar mandi, Kevin.” “Jangan lama-lama. Aku masih menginginkanmu.” Agatha tersenyum manis sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Dia sama sekali tak merasa risih meskipun Kevin menatapnya lekat. Lekuk tubuh wanita itu sudah membuat Kevin mabuk kepayang dan ingin kembali mengulang indahnya dosa beberapa jam yang lalu. Saat Agatha keluar kamar mandi, Kevin langsung duduk dan mengulurkan tangan. Senyum lebarnya tersumir di bibir kala sang wanita setengah berlari dan menerjangnya hingga terjengkang di ranjang. “Mau lagi?” tanya Agat
Alden tersentak mendengar peringatan yang diucapkan Darren. Kedua matanya langsung menatap lekat ponsel yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut dalam sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.“Jangan berpura-pura lagi, Alden! Aku tahu kamu menyuruhnya untuk memata-matai Elea.”Alden mengalihkan tatapan dari ponsel di depannya kepada Darren. Tahu ke mana arah pembicaraan pria itu, Alden mendengkus kesal. Lalu, menyandarkan punggung sambil menatap penuh ejekan kepada sepupunya.“Kalau iya kenapa?” Alden tersenyum miring sebelum bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan merebutnya kembali darimu, Darren. Lihat saja nanti.”Darren mendengkus kesal sebelum berbalik dan hendak berlalu, tetapi suara Alden berhasil membuat langkahnya terhenti.“Kamu tak akan berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Darren!”Darren mengepalkan kedua tangannya sebelum segera pergi meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya juga meladeni semua omong kosong
Eleanor tersenyum tipis setelah memasang sabuk pengaman, kemudian melirik sang suami sekilas sebelum menatap jalanan. Sementara, Darren perlahan mulai melajukan mobil meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya suara musik yang terdengar memenuhi kabin.“Kamu senang, Elea?”Eleanor menoleh saat mendengar suara suaminya. Dia tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, dia kembali menatap jalanan.“Ehm, bukankah ini urusan bisnismu, apa tidak apa-apa jika aku ikut?”Darren melirik sang istri sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan. “Aku lebih tenang jika kamu ikut bersamaku. Dan ... anggap saja ini liburan.”Eleanor kembali tersenyum mendengar jawaban suaminya. Lalu, menikmati musik sambil sesekali ikut bersenandung. Sementara di sebelahnya, Darren memperhatikan sambil tersenyum.Hampir dua jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Darren sampai di hotel yang dituju. Keduanya turun di lobi sebelum melangkah menuju resepsionis. Lalu, berjalan menuj
Eleanor mengerjap pelan kala suara alarm menyapa rungu. Dia meraba untuk mencari ponsel dan segera mematikan alarm. Lalu, beringsut duduk dan menggeliat sejenak sebelum mengedarkan pandangan. “Selamat pagi, Eleanor,” ucap Eleanor pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Lalu, mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan otot. Masih teringat jelas dalam benak kejadian semalam saat Darren memintanya untuk tinggal sejenak di dapur. Wanita itu bergeming sambil menatap tangan sang suami sebelum beralih untuk menatap wajahnya. Aura dingin yang biasanya hinggap berganti dengan kesedihan. Entah apa yang sudah terjadi, yang pasti Darren sedang tidak baik-baik saja. Maka Eleanor memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya. Sekian menit berlalu, Darren hanya bungkam sehingga membuat Eleanor mengernyit heran. “Ada yang mau kamu sampaikan?” “Lupakan. Tidurlah!” Darren kembali seperti biasa. Dingin dan misterius sehingga membuat Eleanor menghela napas
Agatha menatap Alden sebelum mengumbar senyuman. Dia mendekat dan hendak memeluk sang suami, tetapi langsung ditepis. “Tadi tanya ke mana aku pergi, sekarang malah cuek.” Agatha mengerucutkan bibir sambil bersedekap. “Aku cuma bertanya. Lagipula bukan urusanku juga mau ke mana saja kamu pergi.” Alden berlalu menuju pintu, tetapi Agatha segera mencegahnya. “Kita sudah menikah dua Minggu lebih, Alden. Tidak maukah kamu melewati malam pertama kita sebagai pengantin baru?” Alden kembali menepis kasar tangan Agatha yang mulai bergerilya di lengannya. Lalu, menatap nyalang sang istri sambil mendengkus kesal. “Inilah risiko yang harus kamu tanggung, Agatha. Kamu tahu aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Jadi jangan berharap ada malam pertama bagi kita.” Usai berucap demikian, Alden langsung keluar kamar dan membanting pintu di belakangnya sehingga membuat Agatha tersentak. Wanita itu mendengkus kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya ke ranjang. Lalu, memukul bant
Menjelang malam, Agatha mematut diri di cermin setelah mengenakan gaun sebatas lutut yang membentuk lekuk tubuh. Bibir bergincu merah terang itu mengulas senyum tipis sebelum menyambar tas selempang. Lalu, keluar kamar sambil berjalan mengendap-endap.Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tak ada orang yang melihatnya keluar rumah. Sayang harapannya hanya sebatas angan karena sang mertua memergokinya saat membuka pintu utama.“Mau ke mana kamu, Agatha?”Agatha tergagap karena tak menyangka akan bertemu mertuanya. Dia mengusap tengkuk sambil tersenyum canggung sebelum menjawab.“Aku mau ke acara ulang tahun temanku, Ma. Terus pulangnya mau mampir ke rumah Papa dulu.”Erina menelisik penampilan sang menantu dari atas sampai bawah sebelum tersenyum sinis. “Alden sudah tahu?”“Nanti aku kasih tahu lewat pesan saja, Ma.” Agatha kembali mengusap tengkuk karena merasa diintimidasi oleh tatapan mertuanya. “Aku pergi dulu, Ma. Takut kemalaman.”Agatha berlalu begit
Darren mengikuti arah pandang Eleanor, tetapi orang yang dimaksud tersebut sudah pergi. “Siapa?”Eleanor mengernyit heran sebelum menjawab. “Aku tidak yakin, tapi tadi sepertinya ... ah, lupakan saja.”Eleanor mengulas senyum sebelum menyendok makanan dan memasukkannya ke mulut. Dia berbinar karena rasa masakannya yang enak. Sementara di depannya, Darren menyantap makanan sambil sesekali melirik istrinya.Selama sesi makan itu, Eleanor dimanjakan lidahnya oleh berbagai rasa masakan. Meskipun terbilang masakan sederhana, tetapi rasanya seperti di restoran mewah.Usai menyantap makanan hingga selesai, mereka meninggalkan rumah makan itu setelah berpamitan kepada Hana.“Semua masakannya enak, padahal hanya menu sederhana. Seperti masakan rumahan, tetapi rasanya bisa diadu sama restoran mewah. Apa Hana yang memasak semuanya?”Eleanor menoleh dan menatap penuh harap kepada suaminya. Namun, sekian detik menunggu, hanya hening yang terasa. Wanita itu menghela napas panjang sebelum me