Merindukannya

Eleanor mengerjap pelan kala suara alarm menyapa rungu. Dia meraba untuk mencari ponsel dan segera mematikan alarm. Lalu, beringsut duduk dan menggeliat sejenak sebelum mengedarkan pandangan.

“Selamat pagi, Eleanor,” ucap Eleanor pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Lalu, mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan otot.

Masih teringat jelas dalam benak kejadian semalam saat Darren memintanya untuk tinggal sejenak di dapur. Wanita itu bergeming sambil menatap tangan sang suami sebelum beralih untuk menatap wajahnya. Aura dingin yang biasanya hinggap berganti dengan kesedihan. Entah apa yang sudah terjadi, yang pasti Darren sedang tidak baik-baik saja. Maka Eleanor memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya.

Sekian menit berlalu, Darren hanya bungkam sehingga membuat Eleanor mengernyit heran. “Ada yang mau kamu sampaikan?”

“Lupakan. Tidurlah!”

Darren kembali seperti biasa. Dingin dan misterius sehingga membuat Eleanor menghela napas berat. “Kamu sudah menbuatku penasaran, jadi aku akan menunggu sampai kamu mau cerita ada apa sebenarnya.”

Eleanor menarik kursi di meja makan dan duduk sambil menatap penuh tanya suaminya. Namun, pria itu tetap memilih bungkam dan mengambil air untuk minum. Lalu, mengambil beberapa bahan makanan di lemari pendingin sebelum mengolahnya. Aroma masakan langsung menguar memenuhi ruangan sehingga membuat Eleanor menelan ludah.

“Mau?” Darren mencoba menawari Eleanor sambil menyodorkan sendok. “Aku sengaja masak agak banyak.”

Eleanor menghela napas panjang sebelum mengambil sendok yang disodorkan Darren, lalu mengambil masakan yang masih mengepulkan asap.

“Awas panas!”

Sayang seruan Darren terlambat karena Eleanor terlanjur memasukkan makanan tadi ke mulutnya. Alhasil wanita itu kepanasan.

Eleanor mengipasi mulutnya yang terbuka, sedangkan Darren menahan tawa sambil menyodorkan minuman.

“Bukankah sudah aku bilang kalau itu panas.”

“Telat!”

Eleanor mengerucutkan bibir setelah menenggak air yang diberikan suaminya. Sementara, Darren masih menahan tawa karena ekspresi lucu istrinya. Lalu, pria itu mengambil sesendok makanan dan meniupnya sebelum menyodorkan kepada sang istri.

“Makanlah! Yang ini sudah pasti dingin.”

Eleanor menyipitkan mata sebelum mengambil sendok yang berisi makanan dan memasukkannya ke mulut. Dia mengunyah perlahan dan kembali menerima hal yang sama dari suaminya hingga beberapa kali.

“Kenapa tidak makan?” tanya Eleanor menyadari bahwa sejak tadi Darren hanya sibuk meniup makanan dan menyodorkan untuknya.

“Aku sudah kenyang.”

Eleanor memelotot mendengar ucapan suaminya. “Aku juga sudah kenyang kalau begitu. Mana ada aku kenyang sendiri, sedangkan kamu hanya melihatku saja. Sengaja biar aku gendut sendiri, ya?”

Darren tergelak mendengar ucapan Eleanor. Lalu, menyadari raut wajah kesal wanita itu, Darren kembali kepada mode dinginnya.

“Kenapa berpikir begitu?”

“Habisnya tiap tengah malam selalu masak dan hanya aku yang disuruh makan, sedangkan kamu hanya melihatku saja.”

“Begitukah?”

“Tentu saja. Mulai besok aku tidak mau makan lagi masakanmu, biar aku tetap kurus.”

Darren tersenyum sambil menggelengkan kepala. Lalu, mengambil air dan meneguknya hingga tandas. Setelahnya, mereka dilingkupi keheningan hingga beberapa saat sampai Eleanor menguap karena mengantuk.

“Kalau tidak ada yang mau kamu bicarakan, aku tidur dulu.” Eleanor bangkit dari duduk dan hendak melangkah, tetapi suara Darren mencegahnya. “Besok ikutlah denganku!”

“Ke mana?” tanya Eleanor sambil berbalik dan menatap lekat suaminya.

“Ke sebuah hotel di pinggiran kota.”

Eleanor mengernyit heran mendengar kalimat suaminya. “Hotel? Maksudmu kita ....”

“Aku ada pertemuan dengan beberapa orang. Kamu bisa menunggu di kamar hotel atau berbelanja.”

Eleanor mengangguk paham, kemudian senyum manisnya tersumir di bibir. Tangan kanannya terangkat dan membentuk lingkaran dengan jari telunjuk dan jempolnya. Setelah itu, dia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

Sementara di meja makan, Darren menatap piring kosong di depannya sambil tersenyum. Lalu, mengambil benda itu dan meletakkannya di wastafel untuk dicuci sebelum kembali ke kamar untuk beristirahat.

Sedangkan di kediaman Wijaya, di salah satu kamarnya, terlihat lampu masih menyala terang. Ternyata Agatha masih terjaga karena sedang berkirim pesan dengan Kevin. Malam itu untuk kesekian kalinya, dia tidur sendiri karena Alden memilih tidur di ruang kerja ayahnya. Karenanya dia bebas melakukan apa saja termasuk saling berbalas pesan dengan sang mantan.

[Kamu belum tidur, Tha?]

Agatha tersenyum mendapat pesan singkat dari Kevin. Dia segera mengetik sesuatu di layar dan mengirimkannya kepada Kevin.

[Belum. Aku masih terbayang-bayang kejadian tadi. Jadi ingat masa lalu kita, Kevin.]

Tak sampai dua menit, sebuah pesan singkat dari Kevin masuk ke ponselnya.

[Aku juga, Tha. Bagaimana kalau besok kita jalan lagi. Konton, makan dan lakukan apapun mau kamu.]

Agatha tersenyum membaca pesan dari Kevin. Lalu, kembali mengetik sesuatu di layar dan mengirimkannya.

[Boleh. Jemput aku sekitar jam sepuluh pagi, ya? Kebetulan rumah sepi karena semua pergi kerja.]

Lagi, Agatha segera menerima pesan balasan dari Kevin.

[Siap, Sayangku. Kabari lagi besok.]

Agatha berbinar membaca pesan singkat dari Kevin. Lalu, dia mengirimkan sebuah emotikon berbentuk bibir berwarna merah sebelum mematikan ponsel karena mendengar suara gagang pintu yang diputar. Wanita itu menoleh saat melihat Alden masuk dan berjalan menuju lemari untuk mengambil sepasang baju dan celana.

“Tidurlah di sini malam ini, Sayang. Apa kamu tidak mau menemaniku?”

Agatha sengaja menepuk tempat kosong di sebelahnya, kemudian menaikkan baju tidur yang dipakainya hingga menampakkan pahanya yang mulus. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat jakun sang suami naik turun karena kesulitan menelan ludah.

Agatha pun bangkit dan hendak mendekat, tetapi Alden segera berlari ke puntu dan keluar kamar. Melihat itu, Agatha mengentakkan kaki karena kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya ke ranjang dan memukul bantal berulang kali.

“Sialan! Baru kali ini ada cowok yang menolak pesonaku.”

Sementara itu, Alden segera berlari ke ruang kerja sang ayah dan menguncinya. Dia merinding membayangkan apa yang akan terjadi apabila terlambat keluar kamar tadi. Pria itu melemparkan baju yang dibawanya ke sofa sebelum duduk. Dia mendengkus kesal sambil menjambak rambut.

“Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu.”

Alden berpikir keras agar bisa terhindar dari Agatha. Namun, semua usahanya gagal karena Kakek William pasti tidak akan tinggal diam. Semua yang dipertahankannya bisa saja diambil lagi oleh pria tua itu.

Alden menyandarkan punggung ke sofa dan menengadah menatap langit-langit. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia memejamkan mata sesaat dan ingatan tentang Eleanor kembali datang.

“Aku merindukanmu, El.”

Alden segera membuka mata dan meraih ponsel untuk menghubungi seseorang. Begitu panggilan diangkat, dia langsung memberikan perintah.

“Ikuti dia dan laporkan apa saja yang dia lakukan."

Setelahnya telepon terputus. Alden meletakkan ponsel di meja dan kembali menyandarkan punggung di sofa. Lelah yang mendera raga membuat pria itu akhirnya tunduk pada kantuk dengan posisi setengah duduk hingga keesokan harinya.

Suara dering ponsel adalah hal pertama yang didengar oleh Alden saat membuka mata. Dia segera meraih ponsel dan menjawab panggilan begitu membaca nama yang tertera di layar.

“Bagaimana?” Alden mendengarkan kalimat yang disampaikan sang penelepon sambil mengangguk sesekali sebelum menutup telepon. “Mau ke mana kalian pagi-pagi begini?”