Kejutan 🫶!! Hari ini author up 4 bab. Terima kasih pembaca yang masih setia mengikuti kisah Akira 🫰
Pagi hari Alex bangun hendak bersiap diri menemani pak Hartono. Namun dia dikejutkan dengan ucapan Mona yang mengatakan jika Hartono sedang jatuh sakit.“Apa aku boleh menemuinya?” Tanya Alex yang tak berani masuk ke rumah sebelum Mona mengijinkan.“Masuklah, tapi ayah masih istirahat.” Jawab Mona, sembari membuka lebar pintu.Alex berjalan menuju kamar Hartono. Sesaat sebelum dia hendak melangkah masuk, suara Hartono mengejutkannya.“Alex, masuklah!” Ucap Hartono dengan suara serak.Alex melangkah memasuki kamar Hartono, dan melihat pada pria tua yang terbaring dengan wajah sedikit pucat.“Nak Alex, apa bapak bisa minta tolong? Hari ini tolong gantikan pekerjaan bapak. Antar sembako ke toko yang biasa kita datangi. Apa kau bisa menyetir pick-up?” Tanya Hartono menatap Alex yang sudah berdiri di sisi kasur.“Sepertinya bisa. Saya akan menggantikan pak Har. Beristirahatlah hari ini, dan cepatlah sembuh. Saya permisi.” Ucap Alex lalu segera memutar tubuhnya hendak keluar kamar. Namun uc
Beberapa ratus meter terlihat lampu hijau akan berubah merah dalam hitungan detik. Alex menginjak gas dalam-dalam agar laju mobil tidak terhenti di lampu merah.Alex berhasil melalui lampu lalu lintas, hingga dia bisa bernafas lebih lega. Melihat kembali ke spion, dan tak melihat kedua pria yang mengejarnya. Nafasnya terengah-engah, dengan peluh bercucuran. Namun kini dia sedikit tenang, bisa lolos dari kejaran. Meskipun ke depannya Alex harus lebih berhati-hati, karena nantinya dia akan melewati jalanan yang sama.Alex memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Dari dalam mobil, Alex sudah melihat Hartono dan putrinya duduk di teras rumah. Tersenyum ramah menyambut kedatangannya.Alex mengusap peluh di wajah dengan kaos yang dia pakai, sebelum melangkah keluar.“Bagaimana? Apa kamu mengalami kesulitan, Lex?” Tanya Hartono yang sedikit khawatir.“Tidak pak Har, aku sepertinya sudah mulai terbiasa.” Jawab Alex sembari menyerahkan kunci pick-up.“Terima kasih Lex, sudah menolong bapak.” uc
“Hum, maksud aku apa kamu pernah berhubungan dengan seorang wanita?” Ucap Mona sembari memandang ke arah pria yang tengah fokus menyetir. Setelah melihat foto portrait yang tergambar di dada Alex, membuat Mona dihantui rasa penasaran terhadap gambar wanita itu. Alex mengurangi laju kendaraan, menoleh sekilas ke arah gadis di sampingnya. “Maksudmu? Maaf Mona, aku sendiri tak mengingatnya. Mungkin pak Hartono belum pernah menceritakan ini. Aku hilang ingatan dan aku sendiri tidak tahu siapa namaku sebenarnya.” Jawab Alex sambil menghembuskan nafas panjang. “Aku melihat foto itu, aku kira kamu mempunyai hubungan dengan wanita di foto itu.” Ujar Mona, yang kemudian merutuki dirinya telah lancang menanyakan hal yang pribadi. “Foto?” Wajah Alex mengerut tak mengerti, kembali menatap Mona dengan wajah penuh pertanyaan. “Foto apa yang kamu maksud, Mona?” Mona tak kuat membalas tatapan Alex, membuatnya salah tingkah hingga kembali memandang ke arah jalanan. “Foto di dadamu, Lex.” Jawab Mo
Tubuh Alex terlihat menonjol karena tinggi dan kulitnya yang putih. Namun Alex berusaha berjalan menunduk menutupi wajahnya dengan tangan.Berjongkok di samping bak sampah yang cukup besar, mampu menutupi tubuhnya. Dia berusaha mencari cara agar Mona bisa melihatnya. Hingga akhirnya Alex memanggil satu anak kecil penjual tisu keliling.“Katakan pada wanita yang memakai dress bunga untuk datang kemari.” Ucap Alex sembari memberikan uang sepuluh ribu pada anak itu, lalu menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah Mona berdiri.Bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun tampak senang dan menerima uang itu, lalu segera menuruti perintah Alex. Menghampiri Mona dan membisikkan sesuatu padanya.Mona mengarahkan pandangannya ke arah bak sampah. Mengulas senyum ketika melihat keberadaan Alex di sana. Mona segera melangkah menghampiri Alex.“Lex, ada apa? Kenapa bersembunyi seperti ini?” Tanya Mona dengan raut penasaran.“Kau lihat dua pria yang berdiri di samping mobil ayahmu.” Ucap Alex membe
Alex kembali bersembunyi, kali ini dia memilih untuk bersembunyi di samping pos sekuriti. Pandangannya masih mengawasi ke arah dua pria yang masih berdiri di sisi pick-up.Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa keluar dari sana tanpa diketahui kedua pria itu.Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mencari bantuan orang lain agar bisa membawa mobil pick-up itu keluar.Kebetulan ada rekan sekuriti yang bisa mengemudikan mobil.“Pak, saya minta tolong bisa kemudikan mobil pick-up itu keluar? Jika kedua orang itu bertanya, tolong jelaskan jika mobil ini hanya sewaan.” Ucap Anggara menunjuk pada mobil pick-up, sembari merogoh selembar lima puluh ribu dari saku celana. Itu uang satu-satunya yang ia miliki, namun tak ada jalan lain selain menggunakannya.“Baik mas, tapi kedua orang itu siapa? Kok sepertinya bukan orang sini?” Tanya pria rekan sekuriti.“Saya juga tidak mengenalnya, pak. Sepertinya orang itu berniat jahat, dan ingin mencari saya.” “Kalau begitu ceritanya, lapor saja sa
“Alex? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?” Hartono kembali memarkirkan motor tuanya, lalu segera menghampiri Alex. Matanya menelisik pada wajah dan tubuh Alex, memastikan keadaan pria itu. Hartono bersyukur karena tak mendapati luka serius di tubuh Alex, hanya beberapa goresan pada kedua tangan. “Maafkan saya pak Har. Saya datang terlambat.” Ucap Alex masih mencoba menutupi hal yang terjadi pada dirinya. “Kemana kedua orang itu?” Tanya Hartono mengabaikan ucapan Alex. Dirinya lebih khawatir akan keselamatan yang mengancam pemuda ini. Alex mengangkat sebelah alisnya, merasa sedikit bingung. Dirinya belum bercerita apapun, dan ingin merahasiakan dari Hartono. Niatnya agar pria tua itu tidak banyak pikiran, karena kondisi Hartono yang masih tidak enak badan. “Mona sudah cerita semua, Lex. Katakan dimana kedua preman itu? Apa perlu bapak lapor ke polisi?” Hartono melihat kebingungan Alex. Karena Alex tak kunjung menjawab maka dia berusaha menjelaskan agar pemuda itu paham maksud
Pagi hari, Alex bangun sebelum matahari muncul. Meskipun hanya tidur selama tiga jam, Alex terlihat bersemangat bersiap melakukan perjalanan ke Jakarta. Dia sudah meminta ijin Hartono untuk membawa sebagian baju yang Hartono pinjamkan.Mona yang baru saja mendengar tentang niat Alex akan pergi ke Jakarta, sontak terkejut. Jauh dalam hati Mona merasa tidak rela melepas kepergian pemuda yang telah mencuri hatinya dari awal pertemuan. Namun Mona cukup tahu diri, jika dirinya tidak berhak untuk melarang.Alex sudah bersiap dengan motor GL pro keluaran tahun 90an, milik Hartono.“Berhati-hatilah di jalan, Alex. Bapak selalu mendoakan keselamatanmu.” Ucap Hartono melepas kepergian Alex.Sementara Mona hanya terdiam di ambang pintu dengan perasaan tak menentu. Hingga Alex bergerak semakin menjauh, Mona segera melangkah memasuki kamar. Membuat Hartono sedikit heran dengan sikap putrinya.Hartono menghampiri kamar putrinya. Melihat Mona yang berbaring tengkurap, menutup wajahnya dengan bantal.
Sudah tiga hari Akira dibuat cemas dengan keberadaan suaminya. Selama itu pula Argi tak menghubunginya, bahkan nomornya tak aktif hingga sekarang.Akira mencoba mencari tahu apa kesalahan yang membuat suaminya berubah sedemikian rupa.“Apa lebih baik aku datang ke rumah orang tua Argi? Mungkin mereka tahu.” Sebuah ide terlintas di pikirannya. Akira memutuskan untuk mengunjungi mertuanya hari ini. Semenjak menikah, Akira sama sekali tidak pernah mengunjungi rumah mertuanya.Akira bersiap dalam waktu beberapa menit. Dia sengaja tidak mengajak Ashley, karena Akira tahu betul bagaimana sikap ketidaksukaan kedua mertuanya pada Ashley. Akira tidak ingin putrinya merasakan penolakan.“Bik, tolong jaga Ash selama saya pergi. Nanti jika tuan datang atau menelpon, bilang saja jika aku mengunjungi rumah pak Raditya.” Pamit Akira pada Rumi. Akira sengaja pergi ketika putrinya tengah tidur siang.Suara klakson taksi terdengar dari depan, Akira segera beranjak keluar gerbang.Meskipun Argi pernah m
“Bagaimana kabarmu?” tanya Raditya dengan pandangan menelisik. Dia hendak memastikan kebenaran dari ucapan putranya.Hingga tatapannya tertuju pada perut Clara, yang terlihat masih datar. Tak lama, tatapannya pun kembali pada wajah Clara.“Kondisi saya seperti yang anda lihat. Andai pak Anggara tidak memberikan pekerjaan ini, mungkin saja hidup saya luntang-lantung,” ucap Clara menjelaskan.“Bolehkah aku bertanya?”Clara kembali memandang ke arah Raditya dengan mata memicing.“Silahkan, pak Radit!”“Apa benar kau telah mengandung benih putraku, Clara?” tanya Raditya sengaja mengurangi volume suaranya agar obrolan mereka tidak didengar orang lain.Clara menundukkan pandangan, jari jemarinya saling meremas di atas paha. Entah apa maksud dari kedatangan Raditya kesini, namun haruskah Clara menjawab jujur?Clara masih trauma akan sikap Argi yang kasar padanya sejak pertemuan terakhir mereka. Perkataan Argi yang tidak terima jika dirinya mengandung calon bayi keluarga Rinega, masih terngia
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim