“Alex? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?” Hartono kembali memarkirkan motor tuanya, lalu segera menghampiri Alex. Matanya menelisik pada wajah dan tubuh Alex, memastikan keadaan pria itu. Hartono bersyukur karena tak mendapati luka serius di tubuh Alex, hanya beberapa goresan pada kedua tangan. “Maafkan saya pak Har. Saya datang terlambat.” Ucap Alex masih mencoba menutupi hal yang terjadi pada dirinya. “Kemana kedua orang itu?” Tanya Hartono mengabaikan ucapan Alex. Dirinya lebih khawatir akan keselamatan yang mengancam pemuda ini. Alex mengangkat sebelah alisnya, merasa sedikit bingung. Dirinya belum bercerita apapun, dan ingin merahasiakan dari Hartono. Niatnya agar pria tua itu tidak banyak pikiran, karena kondisi Hartono yang masih tidak enak badan. “Mona sudah cerita semua, Lex. Katakan dimana kedua preman itu? Apa perlu bapak lapor ke polisi?” Hartono melihat kebingungan Alex. Karena Alex tak kunjung menjawab maka dia berusaha menjelaskan agar pemuda itu paham maksud
Pagi hari, Alex bangun sebelum matahari muncul. Meskipun hanya tidur selama tiga jam, Alex terlihat bersemangat bersiap melakukan perjalanan ke Jakarta. Dia sudah meminta ijin Hartono untuk membawa sebagian baju yang Hartono pinjamkan.Mona yang baru saja mendengar tentang niat Alex akan pergi ke Jakarta, sontak terkejut. Jauh dalam hati Mona merasa tidak rela melepas kepergian pemuda yang telah mencuri hatinya dari awal pertemuan. Namun Mona cukup tahu diri, jika dirinya tidak berhak untuk melarang.Alex sudah bersiap dengan motor GL pro keluaran tahun 90an, milik Hartono.“Berhati-hatilah di jalan, Alex. Bapak selalu mendoakan keselamatanmu.” Ucap Hartono melepas kepergian Alex.Sementara Mona hanya terdiam di ambang pintu dengan perasaan tak menentu. Hingga Alex bergerak semakin menjauh, Mona segera melangkah memasuki kamar. Membuat Hartono sedikit heran dengan sikap putrinya.Hartono menghampiri kamar putrinya. Melihat Mona yang berbaring tengkurap, menutup wajahnya dengan bantal.
Sudah tiga hari Akira dibuat cemas dengan keberadaan suaminya. Selama itu pula Argi tak menghubunginya, bahkan nomornya tak aktif hingga sekarang.Akira mencoba mencari tahu apa kesalahan yang membuat suaminya berubah sedemikian rupa.“Apa lebih baik aku datang ke rumah orang tua Argi? Mungkin mereka tahu.” Sebuah ide terlintas di pikirannya. Akira memutuskan untuk mengunjungi mertuanya hari ini. Semenjak menikah, Akira sama sekali tidak pernah mengunjungi rumah mertuanya.Akira bersiap dalam waktu beberapa menit. Dia sengaja tidak mengajak Ashley, karena Akira tahu betul bagaimana sikap ketidaksukaan kedua mertuanya pada Ashley. Akira tidak ingin putrinya merasakan penolakan.“Bik, tolong jaga Ash selama saya pergi. Nanti jika tuan datang atau menelpon, bilang saja jika aku mengunjungi rumah pak Raditya.” Pamit Akira pada Rumi. Akira sengaja pergi ketika putrinya tengah tidur siang.Suara klakson taksi terdengar dari depan, Akira segera beranjak keluar gerbang.Meskipun Argi pernah m
“Mas Argi?” Senyum menghilang dari bibir Akira, berganti dengan raut wajah terkejut dan penuh pertanyaan. Melihat pemandangan tak terduga di hadapannya. Akira bisa melihat tangan suaminya yang memeluk pinggang sang wanita, sementara kedua tangan wanita melingkar di leher suaminya. Kedua orang yang tengah duduk bermesraan di sofa, sontak menoleh ke arah Akira. “Akira? Siapa yang menyuruhmu kesini?” Tanya Argi dengan mata melebar, tak menyangka jika istrinya berada di rumah orang tuanya. Argi menyuruh perempuan di pangkuannya untuk berdiri dan sedikit menjauh. Mata Akira menelisik pada penampilan wanita yang bersama suaminya. Wanita memakai blus dengan dua kancing atas yang terbuka, membuat bongkahan ranum di dadanya terekspos. Juga rok span mini yang memperlihatkan paha mulusnya. Melihat ekspresi wanita yang awalnya terkejut, sekarang memandangnya dengan tatapan mengejek. Membuat Akira yakin jika wanita itu bukanlah orang baik. “Mas Argi, siapa dia? Siapa perempuan ini?” Tanya Akira
Alex terbangun karena mimpi buruk. Peluh membanjiri dahi dan pelipisnya. Nafas memburu, matanya merotasi ke sekeliling ruangan sempit.Mendadak dadanya terasa sesak, hatinya merasakan sakit tanpa sebab.Alex melirik ke arah jam di ponsel, masih jam 9 malam. Baru tiga jam dirinya tertidur karena kelelahan.Alex tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Mengapa dia merasakan kekhawatiran pada hal yang dia sendiri tidak mengerti?Alex beranjak dari kasur tipis, melangkah menuju wastafel untuk mencuci wajahnya. Berharap itu akan menghapus sedikit rasa sesak di dada.“Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku merasa sedih tanpa sebab?” Anggara memandang dirinya pada cermin kecil. Hingga tatapannya tertuju pada wajah wanita yang terukir di dada kanannya.Tangannya bergerak menyentuh foto wanita itu.“Siapa kamu? Mengapa aku seperti mengenalmu? Apa kamu adalah bagian dari hidupku? Hingga aku melukis wajahmu di sini?” Pertanyaan yang terus berputar di kepala Alex. Namun seberapa kerasnya dia b
Akira masih terdiam, menatap Baskoro dengan tatapan pilu.“Baiklah, ijinkan papa menghubungi suamimu.” Baskoro tak memerlukan jawaban Akira, dia memutar langkahnya keluar dari ruangan untuk menghubungi Argi.Panggilan pertama tak ada jawaban, Baskoro masih mengulangi, hingga ketiga kali. Hingga akhirnya panggilannya dijawab.“Datanglah ke klinik Husada! Istrimu dirawat di sini.” Ucap Baskoro singkat, lalu segera mengakhiri panggilan.Pikiran Baskoro diliputi praduga. Keadaan Akira saat ini tentu erat kaitannya dengan suaminya. Namun dia akan menunggu sampai dugaannya terbukti. Baskoro yakin Argi akan datang kemari.Baskoro kembali duduk di kursi tunggu, menunggu hingga Argi datang. Jarak antara rumah Argi dengan klinik tak jauh. Dia pasti akan segera datang.Tak lama, lima belas menit berlalu. Baskoro melihat sosok Argi dari kejauhan. Melangkah dengan tergesa semakin mendekat ke arahnya.Baskoro bangkit berdiri, ketika Argi hampir sampai. Menatap tajam ke arah pria arogan di hadapanny
Malam itu juga Akira dipindahkan ke rumah sakit Medika Utama, rumah sakit milik keluarga Rinega. Meskipun tak ingin, Akira terpaksa mengikuti kemauan suaminya. Akira masih ingin bertemu dengan Ruth, dan berharap Ruth akan menjenguknya. Namun dengan kepindahan mendadak, membuatnya seperti hidup dalam kungkungan. Kini Akira berada di ruangan VVIP, ruangan yang begitu luas dan penuh fasilitas. Meski ruangan begitu nyaman, hati Akira begitu tertekan dan tersiksa. Jam sudah menunjuk tengah malam namun Akira tak juga bisa memejamkan mata. Pikirannya begitu penuh, memikirkan putrinya Ashley juga kedua mantan mertuanya. Akira ingin menanyakan kabar putrinya, mungkin saat ini Ashley sedang rewel karena sedari siang ditinggal pergi ibunya. Ingin hati menyampaikan keluh kesahnya pada Argi, dan berharap Argi mau membawa Ashley kesini. Namun Akira masih sakit hati, hingga dia tidak ingin mengatakan apapun pada suaminya. Suasana di ruangan begitu sunyi, Akira melihat pada jam dinding sudah menun
“Ash?” Ucap Akira seakan tak percaya dengan apa yang dilihat. Rumi berdiri di ambang pintu, dengan menggendong putri kesayangannya.Bocah perempuan berusia dua tahun berlari menghampiri ranjang Akira, sembari memanggil ibunya.“Mami, mami..” teriak Ashley dengan wajah yang dipenuhi kebahagiaan. Setelah seharian menunggu ibunya yang tak kunjung pulang ke rumah, akhirnya kini bisa bertemu wanita yang sangat dia sayangi.Ashley meminta pengasuh untuk menurunkannya dari gendongan. Tubuh kecilnya berlari menuju ranjang Akira.Karena tubuhnya pendek, Ashley tidak mampu naik ke atas ranjang dan hanya melompat-lompat di samping ranjang. Tangan mungilnya terus menggapai selimut Akira.Rumi yang berada di belakang Ashley, segera membantu balita itu untuk naik ke ranjang.Ashley begitu bahagia, hingga dia memeluk erat Akira dan mulai menangis saking bahagianya.“Ash, maafkan mami. Mami kemarin malam tidak pulang dan belum sempat mengabari Ash.” Ucap Akira dengan penuh penyesalan. Tangannya membe
“Bagaimana kabarmu?” tanya Raditya dengan pandangan menelisik. Dia hendak memastikan kebenaran dari ucapan putranya.Hingga tatapannya tertuju pada perut Clara, yang terlihat masih datar. Tak lama, tatapannya pun kembali pada wajah Clara.“Kondisi saya seperti yang anda lihat. Andai pak Anggara tidak memberikan pekerjaan ini, mungkin saja hidup saya luntang-lantung,” ucap Clara menjelaskan.“Bolehkah aku bertanya?”Clara kembali memandang ke arah Raditya dengan mata memicing.“Silahkan, pak Radit!”“Apa benar kau telah mengandung benih putraku, Clara?” tanya Raditya sengaja mengurangi volume suaranya agar obrolan mereka tidak didengar orang lain.Clara menundukkan pandangan, jari jemarinya saling meremas di atas paha. Entah apa maksud dari kedatangan Raditya kesini, namun haruskah Clara menjawab jujur?Clara masih trauma akan sikap Argi yang kasar padanya sejak pertemuan terakhir mereka. Perkataan Argi yang tidak terima jika dirinya mengandung calon bayi keluarga Rinega, masih terngia
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim