“Aku menghindar karena aku tidak ingin menyakiti kamu baik dengan ucapan ataupun mungkin lepas kendali dengan tangan aku. Aku hanya menenangkan pikiran dan mencari jalan keluar Emily.” Gallen menjelaskan dengan perlahan, tanpa melepas tatap mereka dan genggam tangannya pada tangan Emily yang juga tampak pucat. “Sampai tiga hari?” geram Emily. “Aku sangat bingung dan tidak habis pikir sama pemikiran kamu Emily. Dan sampai saat ini juga aku belum menemukan jalan yang tepat untuk keberatan kamu hamil.” Gallen menunduk mengingat ia tidak menemukan jalan keluar. Emily kembali melepas tangannya yang digenggam Gallen. Memandang wajah Gallen yang terlihat sangat frustasi. “Aku bukan akan membunuh anak kamu, tapi kamu bertingkah seolah aku akan melakukan hal itu. Aku hanya belum siap, bukan tidak mau dan berkeinginan melenyapkannya. Aku bukan pembunuh darah daging aku sendiri.” Emily memerah wajahnya saat mengatakanny
“Kuncinya jangan stres ya Bu Emily. Nikmati tiap prosesnya dengan bahagia, agar bayinya tumbuh dengan bahagia juga.” Dokter memesankan sebelum Emily meninggalkan kamar rawatnya. “Terima kasih banyak Dok.” Emily mengangguk menyalami Dokter dan berjalan dengan tangannya yang di genggam Gallen, Emily menolak memakai kursi roda karena merasa ia bukan pesakitan. “Mama, kak Gracia sana Giana tadi mau ikut jemput tapi aku larang. Mama sudah di rumah tapi, mau buat makanan sehat katanya buat kamu,” papar Gallen. Emily mengangguk, sejak pertengkaran mereka yang membuat Emily pecah menangis tersedu-sedu. Emily lebih banyak diam karena mama, Gracia dan Giana ada di sekitar mereka selama Emily di rawat. Mereka belum kembali membahasnya, Emily sendiri tidak mau lagi bertengkar dengan Gallen karena kepergian tiga hari suaminya. Mereka akan kembali bicara tentu saja, belum ada kalimat saling memaafkan. “Tolong berhenti di
“Aku tidur sama Mama ya,” Emily menyandarkan kepala pada bahu mama, mereka sedang duduk di ruang tengah rumah Gallen. “Hus, nanti Gallen sendirian dong. Sudah dimaafkan kan? Mama juga sudah marahi kalian berdua. Mau jadi Ibu, belajar dewasa lagi ya.” Mama membelai pipi Emily lembut dengan senyuman lebar. “Mama mau tidur sama aku ya, Ma.” Giana datang dengan membawa tiga cangkir teh. “Iya Mama mau tidur sama anak Mama yang lain,” kekeh mama membuat Emily ikut tertawa, tidak keberatan sama sekali. “Jangan langsung tidur ya Ma, Giana suka teleponan sama cowok malam-malam pakai sayang-sayangan,” ledek Emily. “Apaan! enggak Ma, bohong itu Kak Em. Aku kalau teleponan masih sore,” kekeh Giana membuat mama dan Emily melotot padanya. “Abang tumbenan meeting malam-malam, Kak?” tanya Giana pada Emily yang masih menyandari mamanya. “Enggak tahu, meeting sama siapa juga ak
Emily mengerutkan kening sebelum terlepas tawa saat membaca sebuah amplop yang di kirim secara Resmi dari perusahaan bernama Renova. “Lunas ya Em,” kekeh wanita di depan Emily yang mengenakan dres selutut mengembang di bagian bawah berwarna putih polos. “Kalau diingat kita memang gila ya Le.” Emily menimpali dengan tawa pula. “Jangan bicara sembarangan lagi ah Em, nanti calon keponakan aku dengar emaknya suka mengumpat. Cukup sudah masa kamu mengumpat, sudah mau punya anak. Astaga aku masih enggak menyangka Emily si gil ... pekerja keras maksud aku.” Kalea tertawa membenarkan perkataannya yang akan mengatakan gila.Kalea terkekeh kecil. “Aku masih belum percaya kamu akan punya bayi, Emily.” Emily mengangguk kuat, tiba-tiba matanya merebak. Kalea langsung beringsut pindah duduk ke samping Emily untuk merangkul bahunya serta membelai lembut seraya mengusap sudut mata sang sahabat yang basah. “A
“Tidak bisa Mas, walau kami suami istri ... urusan Gayana itu tanggung jawab suami saya. Atau begini saja, saya teleponkan sekarang saja. Suami saya tidak pernah tidak mengangkat panggilan dari saya. Saya akan bilang kalau Mas Reynal menagih pembayaran bunga.” Emily hendak membuka tas untuk mengambil ponsel namun ia mendengar dengusan kuat dari laki-laki di depannya. “Ternyata kere. Biar saya urus sendiri.” Dengan paksa Reynal mengambil map di tangan Emily dan berlalu dari hadapan Emily dengan cepat menyeberangi jalanan ramai.Emily menggelengkan kepala. “Orang sekarang kalau mau menipu ada saja. Ya kali Gallen menghutang untuk WO miliknya. Dikiranya aku bodoh apa.” Emily segera menghubungi bagian control cctv gedung kantornya untuk meminta salinan gambar di mana ia berbincang dengan laki-laki asing selama hampir sepuluh menit sebelum ia melanjutkan perjalanan pulang. “250 juta? ya Tuhan mana pernah aku punya hutang sebesar
“Di ruangan admin Pak, ada di sebelah ruangan saya pribadi dan tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Karena selalu di kunci, dan ada beberapa klien yang baru merintis membayar secara tunai. Ada brangkas juga di dalamnya,” jelas Andrean. Gallen semakin mengerutkan kening dalam, sampai akhirnya ia menghela nafas pendek. “Saya lihat sekuriti depan bertambah, sejak kapan ada tambahan sekuriti baru Pak Andreas?” Gallen memicingkan mata dalam. Mata Andreas, laki-laki paruh baya dengan sebagian rambut yang sudah memutih langsung membelalak sempurna. Ia lupa jika memiliki dua sekuriti baru untuk berjaga di gerbang paling depan kantor Bogana. “Saya tidak menuduh Pak Andreas sengaja, karena jelas Bapak tidak sengaja. Tapi mari realisis, yang Reynal temui untung istri saya. Yang mana maaf bukan sombong adalah pemilik perusahaan besar yang kantornya saya sebutkan semalam. Dia tidak bisa dibohongi perkara penipuan se
Gallen dan dua keamanan rumah Emily membawa dua tersangka tersebut langsung ke kantor polisi. Cukup lama Gallen di sana karena memberikan keterangan dan menghubungi Andreas juga. Saat sampai ke rumah justru terjadi kegaduhan, Emily yang meringkuk di sofa panjang ruang keluarga mereka dikelilingi ketiga wanita lainnya. “Rumah sakit Gallen cepat, Emily kram lagi perutnya,” seru Gracia lantang saat Gallen sampai. Gallen melebarkan mata sempurna, segera mengangkat tubuh Emily yang sudah sedingin es dan berkeringat di keningnya. Gracia menghidupkan mobil sedangkan Gallen memegangi Emily di bangku belakang. Giana dan mama turut serta di dalamnya. “Bagaimana awalnya Ma?” tanya Gallen saat di jalan menuju rumah sakit. “Kami sedang membicarakan dua orang tadi dan tahu-tahu perut Emily kesakitan. Sepertinya cemas berlebihan, Gallen.” Mama menjelaskan dengan mengusap kening berkeringat Emily yang ia apit bersama Gallen.
“Mama pulang ya, Sayang. Ingat pesan Mama. Boleh bersedih tapi bagi sama suami kamu.” Mama melirihkannya ketika memeluk si bungsu untuk pamit pulang setelah mengantarkan sampai rumah Gallen. Emily mengangguk dengan senyuman kecil, pelukan mamanya adalah obat paling mujarab saat ini. Gallen memang menenangkan dan membuatnya aman, namun pelukan dan belaian mamanya jauh lebih ampuh menentramkan hati Emily. “Aku akan di rumah untuk beberapa hari ini, temani kamu recovery.” Gallen memberikan segelas air putih begitu Emily duduk di sofa panjang ruang tengah mereka. “Terima kasih.” Emily menerima gelas dan meminumnya hingga tandas, ia haus ternyata. “Kamu menakuti Giana sampai Giana tanya sama aku dan mama mengenai kuret.” Gallen mengambil gelas di tangan Emily dan meletakannya di meja. Emily melepas tawa hingga melempar kepala ke belakang saking gelinya. Sampai tawanya selesai dan Gallen menyeka sudu