“Tidak bisa Mas, walau kami suami istri ... urusan Gayana itu tanggung jawab suami saya. Atau begini saja, saya teleponkan sekarang saja. Suami saya tidak pernah tidak mengangkat panggilan dari saya. Saya akan bilang kalau Mas Reynal menagih pembayaran bunga.” Emily hendak membuka tas untuk mengambil ponsel namun ia mendengar dengusan kuat dari laki-laki di depannya. “Ternyata kere. Biar saya urus sendiri.” Dengan paksa Reynal mengambil map di tangan Emily dan berlalu dari hadapan Emily dengan cepat menyeberangi jalanan ramai.Emily menggelengkan kepala. “Orang sekarang kalau mau menipu ada saja. Ya kali Gallen menghutang untuk WO miliknya. Dikiranya aku bodoh apa.” Emily segera menghubungi bagian control cctv gedung kantornya untuk meminta salinan gambar di mana ia berbincang dengan laki-laki asing selama hampir sepuluh menit sebelum ia melanjutkan perjalanan pulang. “250 juta? ya Tuhan mana pernah aku punya hutang sebesar
“Di ruangan admin Pak, ada di sebelah ruangan saya pribadi dan tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Karena selalu di kunci, dan ada beberapa klien yang baru merintis membayar secara tunai. Ada brangkas juga di dalamnya,” jelas Andrean. Gallen semakin mengerutkan kening dalam, sampai akhirnya ia menghela nafas pendek. “Saya lihat sekuriti depan bertambah, sejak kapan ada tambahan sekuriti baru Pak Andreas?” Gallen memicingkan mata dalam. Mata Andreas, laki-laki paruh baya dengan sebagian rambut yang sudah memutih langsung membelalak sempurna. Ia lupa jika memiliki dua sekuriti baru untuk berjaga di gerbang paling depan kantor Bogana. “Saya tidak menuduh Pak Andreas sengaja, karena jelas Bapak tidak sengaja. Tapi mari realisis, yang Reynal temui untung istri saya. Yang mana maaf bukan sombong adalah pemilik perusahaan besar yang kantornya saya sebutkan semalam. Dia tidak bisa dibohongi perkara penipuan se
Gallen dan dua keamanan rumah Emily membawa dua tersangka tersebut langsung ke kantor polisi. Cukup lama Gallen di sana karena memberikan keterangan dan menghubungi Andreas juga. Saat sampai ke rumah justru terjadi kegaduhan, Emily yang meringkuk di sofa panjang ruang keluarga mereka dikelilingi ketiga wanita lainnya. “Rumah sakit Gallen cepat, Emily kram lagi perutnya,” seru Gracia lantang saat Gallen sampai. Gallen melebarkan mata sempurna, segera mengangkat tubuh Emily yang sudah sedingin es dan berkeringat di keningnya. Gracia menghidupkan mobil sedangkan Gallen memegangi Emily di bangku belakang. Giana dan mama turut serta di dalamnya. “Bagaimana awalnya Ma?” tanya Gallen saat di jalan menuju rumah sakit. “Kami sedang membicarakan dua orang tadi dan tahu-tahu perut Emily kesakitan. Sepertinya cemas berlebihan, Gallen.” Mama menjelaskan dengan mengusap kening berkeringat Emily yang ia apit bersama Gallen.
“Mama pulang ya, Sayang. Ingat pesan Mama. Boleh bersedih tapi bagi sama suami kamu.” Mama melirihkannya ketika memeluk si bungsu untuk pamit pulang setelah mengantarkan sampai rumah Gallen. Emily mengangguk dengan senyuman kecil, pelukan mamanya adalah obat paling mujarab saat ini. Gallen memang menenangkan dan membuatnya aman, namun pelukan dan belaian mamanya jauh lebih ampuh menentramkan hati Emily. “Aku akan di rumah untuk beberapa hari ini, temani kamu recovery.” Gallen memberikan segelas air putih begitu Emily duduk di sofa panjang ruang tengah mereka. “Terima kasih.” Emily menerima gelas dan meminumnya hingga tandas, ia haus ternyata. “Kamu menakuti Giana sampai Giana tanya sama aku dan mama mengenai kuret.” Gallen mengambil gelas di tangan Emily dan meletakannya di meja. Emily melepas tawa hingga melempar kepala ke belakang saking gelinya. Sampai tawanya selesai dan Gallen menyeka sudu
“Aku boleh tahu enggak sih kejadian buruk bagaimana yang menimpa Giana kecil?” Emily memeluk boneka bantal guling dalam posisi miring menghadap Giana yang sedang menekuri layar laptopnya menonton sebuah anime. “Sebenarnya aku sudah enggak mau cerita masa lalu buruk itu, tapi enggak apa deh sekali ini.” Giana menghentikan tayangan dan memutar kursi yang ia duduki untuk menghadap Emily. Emily tiba-tiba memasuki kamar Giana di malam Sabtu karena Gallen harus menghadiri sebuah pertemuan salah satu kliennya. Emily memberikan sebuah bantal Hello Kitty untuk di peluk Giana. “Aku dulu pernah hilang, pas kelas satu SD. Di culik tepatnya, memang enggak ada sehari semalam. Karena yang nyulik bodoh tidak tahu kalau percuma menculik aku untuk minta tebusan, Abang dan keluarga tante enggak punya uang banyak. Aku dilepaskan begitu saja pas tahu ternyata salah culik. Aku lari pas diturunkan dari mobil di tengah jalan yang enggak aku kenali
“Kita salaman sama yang buat acara terus pulang,” tukas Gallen. “Enak saja, aku sudah sangat efort dan ini bajunya belum di bayar. Astaga seumur-umur baru pernah aku pakai baju belum bayar. Dan kamu enteng sekali bilang salaman terus pulang. Aku mau makan dulu sampai kenyang,” bantah Emily sarat ancaman. “Kita bisa makan di restoran mana saja yang kamu ingin sampai kenyang bila perlu beli sama restorannya. Baju kamu terlalu memancing perhatian mata para laki-laki Emily astaga aku bisa gila.” Gallen mendesah panjang. “Ini namanya baju pesta, kamu berharap aku pakai abaya?” Emily menahan tawa melihat bagaimana frustasinya sang suami.Gallen kembali mendesah. “Ok maaf sudah memberikan bom waktu dengan bilang kita ke pesta dua jam sebelum acara. Tapi balasan kamu sungguh keterlaluan Emily, sepulang dari acara aku akan memberikan kamu hukuman sumpah. Jangan jauh-jauh dari badan aku selama di sana, awas kamu.” Em
Emily tersenyum membaca pesan singkat dari Giana yang mengatakan selamat honey moon saat ia berjalan beriringan dengan Gallen menyusuri lorong hotel. “Tunggu Emily, kita harus bicara dulu.” Gallen menghentikan langkah anggung istrinya yang tampak sangat terbiasa dengan gedung hotel mahal. “Kita akan bicara di dalam kamar, Gallen. Kamu mau kita bicara di lorong begini? jangan memandang aku seperti aku sangat kegatelan menjebak kamu ke hotel,” dengus Emily sengaja. “Astaga aku enggak menuduh kamu seperti itu. Mana ada istri kegatelan sama suami, maksud aku ... buat apa kita sampai booking kamar kalau hanya untuk tidur. Kamu belum boleh ... melakukan aktivitas .... “ Emily tersenyum kecil akan perkataan Gallen yang terbata-bata karena enggan mengatakan hubungan suami istri atau bercinta. “Kamu sudah tanya sama aku? tahu dari mana aku belum bisa?” Emily bertanya pelan, sungguhkan mereka harus memb
“Oh ya? wau heboh dong pasti.” Gracia menimpali dengan tawa saat mereka tengah makan siang bersama di ruangan sang kakak. “Iya kita jadi duduk semeja sampai pamit pulang,” kekeh Emily. Saling bercerita dengan sesekali bercanda adalah cara kedua kakak beradik tersebut mengurai rindu karena jadwal kerja mereka yang membuat keduanya jarang bertemu. Emily melirik ponsel di samping piring makannya bergetar dan terbaca suami iseng membuat Gracia tersenyum kecil. Kebiasaan Emily memberi nama di kontaknya dengan unik ternyata belum berubah. “Iya, aku sedang makan siang sama kak Grace.” Emily menjawab panggilan video call dari Gallen. “Lagi sama kak Grace? Ya sudah.” Gallen langsung mematikan panggilan yang membuat Emily melongo lebar dan Gracia tertawa kecil. “Panggil lagi sana bicara di luar, mungkin segan.” Gracia dapat mengerti jika sampai saat ini pun adik iparnya masih malu padanya.