“Mama pulang ya, Sayang. Ingat pesan Mama. Boleh bersedih tapi bagi sama suami kamu.” Mama melirihkannya ketika memeluk si bungsu untuk pamit pulang setelah mengantarkan sampai rumah Gallen. Emily mengangguk dengan senyuman kecil, pelukan mamanya adalah obat paling mujarab saat ini. Gallen memang menenangkan dan membuatnya aman, namun pelukan dan belaian mamanya jauh lebih ampuh menentramkan hati Emily. “Aku akan di rumah untuk beberapa hari ini, temani kamu recovery.” Gallen memberikan segelas air putih begitu Emily duduk di sofa panjang ruang tengah mereka. “Terima kasih.” Emily menerima gelas dan meminumnya hingga tandas, ia haus ternyata. “Kamu menakuti Giana sampai Giana tanya sama aku dan mama mengenai kuret.” Gallen mengambil gelas di tangan Emily dan meletakannya di meja. Emily melepas tawa hingga melempar kepala ke belakang saking gelinya. Sampai tawanya selesai dan Gallen menyeka sudu
“Aku boleh tahu enggak sih kejadian buruk bagaimana yang menimpa Giana kecil?” Emily memeluk boneka bantal guling dalam posisi miring menghadap Giana yang sedang menekuri layar laptopnya menonton sebuah anime. “Sebenarnya aku sudah enggak mau cerita masa lalu buruk itu, tapi enggak apa deh sekali ini.” Giana menghentikan tayangan dan memutar kursi yang ia duduki untuk menghadap Emily. Emily tiba-tiba memasuki kamar Giana di malam Sabtu karena Gallen harus menghadiri sebuah pertemuan salah satu kliennya. Emily memberikan sebuah bantal Hello Kitty untuk di peluk Giana. “Aku dulu pernah hilang, pas kelas satu SD. Di culik tepatnya, memang enggak ada sehari semalam. Karena yang nyulik bodoh tidak tahu kalau percuma menculik aku untuk minta tebusan, Abang dan keluarga tante enggak punya uang banyak. Aku dilepaskan begitu saja pas tahu ternyata salah culik. Aku lari pas diturunkan dari mobil di tengah jalan yang enggak aku kenali
“Kita salaman sama yang buat acara terus pulang,” tukas Gallen. “Enak saja, aku sudah sangat efort dan ini bajunya belum di bayar. Astaga seumur-umur baru pernah aku pakai baju belum bayar. Dan kamu enteng sekali bilang salaman terus pulang. Aku mau makan dulu sampai kenyang,” bantah Emily sarat ancaman. “Kita bisa makan di restoran mana saja yang kamu ingin sampai kenyang bila perlu beli sama restorannya. Baju kamu terlalu memancing perhatian mata para laki-laki Emily astaga aku bisa gila.” Gallen mendesah panjang. “Ini namanya baju pesta, kamu berharap aku pakai abaya?” Emily menahan tawa melihat bagaimana frustasinya sang suami.Gallen kembali mendesah. “Ok maaf sudah memberikan bom waktu dengan bilang kita ke pesta dua jam sebelum acara. Tapi balasan kamu sungguh keterlaluan Emily, sepulang dari acara aku akan memberikan kamu hukuman sumpah. Jangan jauh-jauh dari badan aku selama di sana, awas kamu.” Em
Emily tersenyum membaca pesan singkat dari Giana yang mengatakan selamat honey moon saat ia berjalan beriringan dengan Gallen menyusuri lorong hotel. “Tunggu Emily, kita harus bicara dulu.” Gallen menghentikan langkah anggung istrinya yang tampak sangat terbiasa dengan gedung hotel mahal. “Kita akan bicara di dalam kamar, Gallen. Kamu mau kita bicara di lorong begini? jangan memandang aku seperti aku sangat kegatelan menjebak kamu ke hotel,” dengus Emily sengaja. “Astaga aku enggak menuduh kamu seperti itu. Mana ada istri kegatelan sama suami, maksud aku ... buat apa kita sampai booking kamar kalau hanya untuk tidur. Kamu belum boleh ... melakukan aktivitas .... “ Emily tersenyum kecil akan perkataan Gallen yang terbata-bata karena enggan mengatakan hubungan suami istri atau bercinta. “Kamu sudah tanya sama aku? tahu dari mana aku belum bisa?” Emily bertanya pelan, sungguhkan mereka harus memb
“Oh ya? wau heboh dong pasti.” Gracia menimpali dengan tawa saat mereka tengah makan siang bersama di ruangan sang kakak. “Iya kita jadi duduk semeja sampai pamit pulang,” kekeh Emily. Saling bercerita dengan sesekali bercanda adalah cara kedua kakak beradik tersebut mengurai rindu karena jadwal kerja mereka yang membuat keduanya jarang bertemu. Emily melirik ponsel di samping piring makannya bergetar dan terbaca suami iseng membuat Gracia tersenyum kecil. Kebiasaan Emily memberi nama di kontaknya dengan unik ternyata belum berubah. “Iya, aku sedang makan siang sama kak Grace.” Emily menjawab panggilan video call dari Gallen. “Lagi sama kak Grace? Ya sudah.” Gallen langsung mematikan panggilan yang membuat Emily melongo lebar dan Gracia tertawa kecil. “Panggil lagi sana bicara di luar, mungkin segan.” Gracia dapat mengerti jika sampai saat ini pun adik iparnya masih malu padanya.
“Mau apa mereka?” Gallen berseru segera memakai bajunya setelah mandi kilat. “Enggak tahu, aku sudah hubungi keamanan perumahan untuk datang ke rumah sebelum kita datang. Kak Grace aku hubungi enggak diangkat-angkat. Yuk cepat.” Emily menyambar kedua ponsel mereka dan segera keluar hotel. Menyusuri jalanan Ibu Kota pada jam pulang kerja adalah ibarat mengurut dada dengan tarikan nafas panjang. Harus memiliki kesabaran yang tiada berujung agar selamat sampai tujuan tanpa mengumpat di jalanan. Sesampainya di rumah, Emily segera turun dan berjalan cepat ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar melewati dua sekuriti yang duduk di teras rumah. Gallen menyapa keduanya dan bertanya apa yang terjadi. “Ada apa Ma?” Emily menghampiri mamanya yang duduk di samping Giana. “Emily ... tolong maafkan Tante dan Bara, Emily.” Ibu Batara memegangi kedua kaki Emily dengan berlutut dan tangisan yang pecah ber
Giana memandang wajah lelap Emily di sampingnya, Emily meminta ia tidur bersamanya karena Gallen tiba-tiba harus melakukan perjalanan ke Semarang kembali untuk urusan dekor. “Aku tidak bisa bicara langsung, karena pasti nanti kak Em besar kepala dan terus meledek aku. Aku mau bilang terima kasih sudah mau menerima kami, terutama abang. Aku sangat bersyukur kak Emily datang di antara kami.” Giana berbicara dengan sangat pelan, berbaring miring berhadapan dengan Emily yang sudah terpejam memeluk bantal guling. Giana langsung terdiam kala Emily bergerak dan melempar bantal guling ke punggungnya, mata terpejam dan segaris senyuman terlihat. Emily bergerak kembali, kini menarik tubuh Giana untuk ia peluk dan ia timpa dengan kakinya agar tidak bisa bergerak. “Astaga Kak Em enggak tidur ternyata?” tebak Giana penuh sesal akan pengakuannya beberapa menit lalu. “Anggap saja aku tidur dan enggak dengar ,” kekeh Emil
Gallen sampai rumah sakit saat Giana sudah selesai di operasi tiga jam kemudian dan masih berada di ruangan ICU karena kondisi pasca operasi belum kunjung membaik. Gallen hanya memberikan tatap datar pada Emily dan Gracia sebelum memasuki kamar ICU adiknya. “Apa Gallen akan baik-baik saja, Kak?” tanya Emily parau. “Tentu saja dia tidak baik-baik saja. Kita doakan saja dan dampingi ya,” bujuk Gracia. Emily sendiri sudah sekali masuk untuk melihat adik iparnya yang terbaring penuh dengan alat penunjang hidup hampir di seluruh badannya. Bahkan saat selimut di sibak sedikit saja, maka bekas luka panjang di atas dada Giana terlihat. Emily bahkan belum membawa Giana menemui Dokter kulit untuk memeriksa apa saja yang akan Giana jalani untuk menghilangkan parut panjang di badannya dan sekarang bertambah luka sayatan di dada Giana karena operasinya kali ini. Sesak sekali dada Emily teringat semalam keduanya masih ti