“Gallen sudah-sudah.” Emily berseru dengan menarik lengan kiri Gallen sekuat ia bisa. Gallen mendengus kuat menghentikan tangannya di udara sebelum kembali menghantam Tio yang masih tersungkur di lantai. Gallen masih mengatur deru nafasnya saat dua orang keamanan menghampiri mereka bertiga. Ternyata salah satu penonton di ruang tunggu ICU ada yang memanggil keamanan. “Maaf Pak, maafkan kami yang buat keributan. Hanya salah paham, kami tidak akan ribut dan mengganggu lagi.” Emily yang meminta maaf usai dua sekuriti membantu Tio bangun dan bertanya ada keributan apa. “Bapak sungguh tidak apa-apa? berdarah itu mulutnya, kalau memang bapak ini bersalah kami bisa bantu proses.” Salah satu sekuriti bertanya pada Tio yang meringis kesakitan. “Enggak Pak, benar ini hanya salah paham. Kami masih satu keluarga. Maafkan kami sudah buat keributan.” Tio menjawab dengan menyeka darah di sudut bibirnya yang robek.
Gallen membawa dua kantong makanan di tangan kanan dan di tangan kiri ada beberapa gelas jus dingin yang baru saja ia pesan. Giana sudah dipindahkan ke ruang rawat setelah melalui banyak kejadian menegangkan. Ia sekarang telah menjalani masa pemulihan. “Sini aku bawakan, tadi Emily harus ke kantor sebentar karena ada berkas yang harus ditandatangani dan harus menemui salah satu klien. Aku yang akan membatu jaga Giana sampai Emily pulang.” Gracia mengambil tentengan minum di tangan Gallen dan memasuki kamar Giana berdua. Gallen mendengus saat melihat Tio sedang duduk di samping ranjang Giana dan bercakap-cakap pelan dengan adiknya. Sudah seminggu Tio di Indonesia, dan setiap pagi selalu datang ke rumah sakit hingga sore hari. Gallen sudah mengusirnya berkali-kali namun dasar muka tembok, Tio hanya mengangguk dengan senyuman menyebalkan. “Suruh dia pulang, Giana. Belum jadi Milyader tapi bolos kerja seminggu, perusahaan mak e
“Terima kasih, Kak,” ucap Giana setelah ia duduk nyaman di atas ranjang kamarnya. Setelah lebih dari tiga minggu di rawat, Giana diperbolehkan pulang dan menjalani perawatan di rumah. Banyak teman kuliah yang menjenguknya karena berita Giana tertabrak di depan kampus santer terdengar hingga penjuru fakultas. Bahkan kakak tingkat yang awalnya Emily sangka pacar Giana juga menjenguk dengan salah satu dosen. “Habis ini kita perbaiki berat badan kamu ya, turun sampai empat kilo. Kita akan cekoki kamu makan yang banyak dan bergizi.” Emily membelai kepala Giana yang kusut karena tidak kunjung mandi. “Siap Kak, aku juga merasa kok celana melorot semua. Tapi aku sungguh mau mandi dan keramas. Sudah enggak enak sekali badannya,” ringis Giana. “Besok pagi akan ada yang datang ke sini ya, jadi enggak perlu ke salon kamu.” Emily menghidupkan pendingin ruangan dan menyalakan aroma terapi yang sudah ia siapkan sebelum Gia
“Ya ampun gua dilupakan? Benad,” kekeh laki-laki yang menyapa Emily. “Oh astaga sorry.” Emily bangun dan meletakan mangkuknya di kursi biru untuk menjabat tangan Benad. “Apaan ini?” Benad menatap sangsi uluran tangan Emily yang mengajaknya berjabat tangan, dia justru menarik tubuh Emily untuk ia peluk erat dengan tawa berderai-derai. Hal tersebut tak pelak menjadikan Gallen langsung tersulut, ia langsung bangun dari duduknya untuk menghantam laki-laki bernama Benad yang berani-beraninya memeluk istrinya di depan mata. Akan tetapi belum Gallen menarik tubuh yang memeluk istrinya, Emily sudah mendorong lumayan kuat Benad hingga lengan yang memeluk terlepas segera. “Tolong jangan sembarangan main peluk, aku sudah punya suami. Ini suami aku.” Emily meringis saat melihat wajah siap menerkam Gallen. “Sorry sorry kebiasaan tiap bertemu Emily selalu pelukan. Kami dulunya memang pacaran, kenalkan gua
“Giana! Apa yang kamu lakukan! kenapa lompat dari mobil? sudah tahu habis operasi.” Gallen melotot pada pintu mobil belakang kala mendengar debum lumayan keras. Giana meringis, niatnya adalah cepat tenggelam dalam kamarnya dan berselimut dari pada harus mendengarkan kelanjutan pertengkaran kedua kakaknya. “Enggak lompat kok Bang, aku ingin pipis. Silakan dilanjutkan.” Giana meringis lebar dan mengendap-endap meninggalkan garasi mobil rumah mereka. Emily masih berdiri di samping pintu yang ia tutup dengan kencang. Siap melayani omelan panjang Gallen. “Kenapa kamu juga diam saja di situ? Mau berantem lagi? sana masuk,” titah Gallen pada Emily. “Menyebalkan!” Emily menjerit kesal sekali dan melewati Gallen dengan membenturkan bahunya dan bahu Gallen dengan kencang hingga Gallen terhuyung ke belakang namun tidak mengatakan apa-apa. Emily melempar tasnya ke ranjang dengan dengus ken
“Baiklah Sayang, selesaikan dulu saja pekerjaan kamu.” Gallen membelai kepala Emily yang terdapat cepol sanggul tinggi asal-asalan tersebut. “Jangan sentuh-sentuh ih.” Emily kembali menggeram kecil dan hal tersebut membuat Gallen terkekeh kecil. Gallen meninggalkan Emily setelah istrinya menyuruhnya pergi untuk kedua kalinya. Sangat jarang Emily marah padanya bahkan sampai membantahnya habis-habisan di depan Giana. Sekarang sedang merajuk dan mengatakan belum memaafkannya. Pukul tujuh malam dua kawan Giana datang ke rumah membawa alat tempur belajar mereka yang membuat Gallen melongo. Giana mengatakan teman-temanya akan datang untuk memberikannya materi yang sudah ia tinggalkan selama di rawat di rumah sakit. “Kalian menginap saja bagaimana? Abang yang akan telepon orang tua kalian, tapi kalau tidak boleh biar Abang yang antar pulang.” Gallen menghampiri ketiga gadis yang sudah lebih dari tiga jam duduk di ru
“Kita bicara di dalam saja ya, ini akan jadi pembicaraan panjang.” Emily memberikan senyuman segan. “Ok,” jawab Gallen singkat. Mereka menghabiskan camilan yang dibawa Emily terlebih dahulu baru kemudian masuk ke dalam. Saat di dapati ketiga gadis di sana sedang merapikan tempat mereka menonton, tak pelak membuat Emily ingin menyeletuk. “Begadangnya jangan sampai subuh ya, bilang aku kalau Gina ternyata video call sama cowok.” Emily mengedipkan mata pada kedua gadis di sana yang langsung cekikikan menyenggol lengan Giana. “Berisik Kak Em, sana masuk kamar sendiri. Kita akan begadang sampai pagi.” Giana menjulurkan lidah pada Emily. “Giana ... kamu belum sembuh ya,” tegur Gallen. “Iya Abang iya, ayo cepat kita jangan ganggu pasangan yang mau bermesraan.” Giana ngibrit ke kamar usai mengatakan hal tersebut, diiringi cekikikan kembali dua gadis lainnya. “Jangan me
“Sudah?” tanya Gallen.“Sudah, sudah dilepas. Kamu jangan sampai lupa pakai ya,” kekeh Emily berbisik pada Gallen karena lorong tunggu terdapat banyak pasien lainnya.“Kita akan beli sepulang dari ini, ada tebus obat enggak?” Gallen meraih tangan Emily dan menggenggamnya untuk meninggalkan pintu ruangan Dokter kandungan.“Enggak, enggak perlu ambil obat apa pun. Ayo kita pulang, tapi sebelumnya mampir cari camilan buat anak-anak ya.” Emily memberikan senyuman menenangkan untuk Gallen.“Kenapa suka sekali mencekoki mereka makanan sih? lagi belajar mereka,” protes Gallen.“Biar berkembang dan tambah tinggi, lihat kan kalau teman-teman Giana sama mungilnya kaya Giana? Astaga mereka pada keberatan gendong buku kuliah apa bagaimana sih,” kekeh Emily.Gallen mengusap kepala Emily yang masih saja tertawa geli, ia baru menyadari yang dikatakan istrinya benar adanya. Ternyata Emily meminta berhenti di toko ice cream yang dulu mereka datangi usai USG.“Giana ingin ice cream katanya,” bi