“Giana! Apa yang kamu lakukan! kenapa lompat dari mobil? sudah tahu habis operasi.” Gallen melotot pada pintu mobil belakang kala mendengar debum lumayan keras. Giana meringis, niatnya adalah cepat tenggelam dalam kamarnya dan berselimut dari pada harus mendengarkan kelanjutan pertengkaran kedua kakaknya. “Enggak lompat kok Bang, aku ingin pipis. Silakan dilanjutkan.” Giana meringis lebar dan mengendap-endap meninggalkan garasi mobil rumah mereka. Emily masih berdiri di samping pintu yang ia tutup dengan kencang. Siap melayani omelan panjang Gallen. “Kenapa kamu juga diam saja di situ? Mau berantem lagi? sana masuk,” titah Gallen pada Emily. “Menyebalkan!” Emily menjerit kesal sekali dan melewati Gallen dengan membenturkan bahunya dan bahu Gallen dengan kencang hingga Gallen terhuyung ke belakang namun tidak mengatakan apa-apa. Emily melempar tasnya ke ranjang dengan dengus ken
“Baiklah Sayang, selesaikan dulu saja pekerjaan kamu.” Gallen membelai kepala Emily yang terdapat cepol sanggul tinggi asal-asalan tersebut. “Jangan sentuh-sentuh ih.” Emily kembali menggeram kecil dan hal tersebut membuat Gallen terkekeh kecil. Gallen meninggalkan Emily setelah istrinya menyuruhnya pergi untuk kedua kalinya. Sangat jarang Emily marah padanya bahkan sampai membantahnya habis-habisan di depan Giana. Sekarang sedang merajuk dan mengatakan belum memaafkannya. Pukul tujuh malam dua kawan Giana datang ke rumah membawa alat tempur belajar mereka yang membuat Gallen melongo. Giana mengatakan teman-temanya akan datang untuk memberikannya materi yang sudah ia tinggalkan selama di rawat di rumah sakit. “Kalian menginap saja bagaimana? Abang yang akan telepon orang tua kalian, tapi kalau tidak boleh biar Abang yang antar pulang.” Gallen menghampiri ketiga gadis yang sudah lebih dari tiga jam duduk di ru
“Kita bicara di dalam saja ya, ini akan jadi pembicaraan panjang.” Emily memberikan senyuman segan. “Ok,” jawab Gallen singkat. Mereka menghabiskan camilan yang dibawa Emily terlebih dahulu baru kemudian masuk ke dalam. Saat di dapati ketiga gadis di sana sedang merapikan tempat mereka menonton, tak pelak membuat Emily ingin menyeletuk. “Begadangnya jangan sampai subuh ya, bilang aku kalau Gina ternyata video call sama cowok.” Emily mengedipkan mata pada kedua gadis di sana yang langsung cekikikan menyenggol lengan Giana. “Berisik Kak Em, sana masuk kamar sendiri. Kita akan begadang sampai pagi.” Giana menjulurkan lidah pada Emily. “Giana ... kamu belum sembuh ya,” tegur Gallen. “Iya Abang iya, ayo cepat kita jangan ganggu pasangan yang mau bermesraan.” Giana ngibrit ke kamar usai mengatakan hal tersebut, diiringi cekikikan kembali dua gadis lainnya. “Jangan me
“Sudah?” tanya Gallen.“Sudah, sudah dilepas. Kamu jangan sampai lupa pakai ya,” kekeh Emily berbisik pada Gallen karena lorong tunggu terdapat banyak pasien lainnya.“Kita akan beli sepulang dari ini, ada tebus obat enggak?” Gallen meraih tangan Emily dan menggenggamnya untuk meninggalkan pintu ruangan Dokter kandungan.“Enggak, enggak perlu ambil obat apa pun. Ayo kita pulang, tapi sebelumnya mampir cari camilan buat anak-anak ya.” Emily memberikan senyuman menenangkan untuk Gallen.“Kenapa suka sekali mencekoki mereka makanan sih? lagi belajar mereka,” protes Gallen.“Biar berkembang dan tambah tinggi, lihat kan kalau teman-teman Giana sama mungilnya kaya Giana? Astaga mereka pada keberatan gendong buku kuliah apa bagaimana sih,” kekeh Emily.Gallen mengusap kepala Emily yang masih saja tertawa geli, ia baru menyadari yang dikatakan istrinya benar adanya. Ternyata Emily meminta berhenti di toko ice cream yang dulu mereka datangi usai USG.“Giana ingin ice cream katanya,” bi
Emily melambaikan tangan pada Giana yang ia antar berangkat kuliah pertama kali usai cuti panjangnya. Kemudi ia lajukan menuju kantornya, Subuh Gallen sudah bertolak ke Gayana karena ada pekerjaan di salah satu hotel di Jakarta Pusat. “Mau apa sih ini orang,” geram Emily ketika pintu kacanya di ketuk saat ia akan menjalankan kembali mobilnya usai membeli segelas kopi di sebuah cafe. Emily membuka kaca jendela separuh untuk mengetahui ada perlu apa Benad sampai menghadangnya. “Ada apa?” tanya Emily. “Ada yang ingin gua bicarakan, bisa kita bicara?” Benad bertanya dengan senyuman seolah hantaman Gallen beberapa hari lalu tidak membuatnya jera. “Tidak ada lagi yang harus dibicarakan, dan gua enggak ingin bicara lagi sama elu setelah ke kurang ajaran elu kemarin itu.” Emily tegas menolak.Benad terkekeh kecil. “Begitu saja Em, gua hanya main-main kemarin. Kali ini gua serius mau bicara sama elu. T
Gallen langsung turun dengan berpesan agar Emily dan Gracia di mobil saja. belum sampai di tempat Giana, Benad melihat Gallen dan langsung pergi dari hadapan sang adik dengan seringai menyebalkan pada Gallen. “Dia bicara apa sama kamu, harusnya kamu langsung menghindar. Kamu enggak apa-apa?” Gallen bertanya pada sang adik. “Aku sudah mau pergi tadi, tapi dia bilang Kak Em di rumah sakit. Benar di rumah sakit?” Giana bertanya dengan berjalan berdampingan dengan Gallen dan tangannya di gandeng menuju seberang di mana mobilnya berada. “Emily ada di mobil, kalau sekali lagi dia menghampiri kamu ... apa pun alasannya langsung pergi. Cari keramaian,” titah Gallen. “Iya Bang,” jawab Giana. Giana dan Gallen masuk ke mobil langsung di serbu pertanyaan oleh Emily dan Gracia. “Kamu enggak apa-apa Gi? Dia bicara apa tadi sama kamu?” tanya Emily. “Lain kali pentung langsung
“Astaga gila!” umpat Gracia seketika. Gracia menginjak pedal gas semakin dalam, ia memang perempuan, namun jangan sekali-sekali meragukan keahlian mengemudinya yang menakjubkan. Di jalanan yang ramai ia sangat gesit membawa Pajero sport putih mengkilap miliknya dengan mengagumkan. “Ada pelatnya Em? Kamera belakang bisa merekamnya.” Gracia bertanya dengan fokus pada jalanan ramai. “Enggak ada Kak, sedikitpun kulitnya enggak terlihat. Kak!” jerit Emily saat Gracia memanuver kemudi memasuki sebuah hotel besar tiba-tiba. “Berani elu hah? berhenti kita di sini, sialan betul berani menguntit kita.” Gracia memaki-maki sendirian. Saat Gracia memberhentikan mobil di depan lobi hotel mewah, sang penguntit berkendaraan motor sport di belakangnya melewati mobil mereka begitu saja. Tidak berhenti karena jelas akan ketahuan dan membahayakan dirinya sendiri. “Sudah lewat, Kak. Ya Tuhan ...
“Kok uang, Bang?” tanya Giana karena yang lainnya masih syok. “Karena butuh, perusahaan bangkrut. Menjadi tersangka penggelapan dana, kemungkinan Bara atau entah siapa berani membayar mahal untuk membuat Emily dan sekelilingnya menjadi cemas.” Gallen menjawab dengan santai. “Itu baru kemungkinan, aku tidak tahu pasti alasannya apa. Akan aku pastikan sendiri nanti,” tambah Gallen. “Enggak ya Gallen, tidak perlu mencari dan menemuinya.” Emily langsung paham isi kepala Gallen saat ini. “Aku enggak akan membahayakan diri tentu saja, banyak sekali cara senyap Emily. Aku punya keluarga yang semuanya perempuan, jadi aku akan jauh lebih berhati-hati.” Gallen memberikan senyum menenangkan pada Emily. Pembicaraan mereka berlima terhenti ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, semuanya masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat. Giana bermalam dengan mama dan Grace, yang Grace seret saat akan m